Penderitaan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Tidak ada manusia yang luput dari penderitaan, kendati berbeda jenis dan kadarnya. Ada yang menderita karena sakit, entah menimpa dia sendiri atau orang yang dikasihi, oleh kematian orang yang dikasihi, menderita karena bencana alam, kecelakaan lalu lintas, kehilangan pekerjaan, relasi keluarga atau komunitas yang tidak harmonis, masih banyak lagi jenis penderitaan lainnya yang dialami manusia. Ada yang menderita dalam waktu yang singkat, namun ada juga yang menderita dalam waktu yang cukup lama. Pandemi Covid-19 yang menimpa dunia hampir dua (2) tahun ini menyebabkan penderitaan begitu banyak orang. Ada begitu banyak orang yang sakit, meninggal dunia, kehilangan orang-orang terkasih, kehilangan pekerjaan, dll. Penderitaan menyebabkan situasi tidak tenang, tidak nyaman, tidak bebas dan tidak membahagiakan. Penderitaan sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.

Meskipun penderitaan begitu sering dialami dan menimpa hampir semua manusia, penderitaan tetaplah menjadi pengalaman batas yang selalu ditakuti dan mau dihindari manusia. Banyak orang yang tidak mudah menerima proses penuaan diri dengan melakukan banyak terapi, perawatan, pengobatan yang membuatnya awet muda. Demi menghindari sakit, orang melakukan apa saja untuk kesehatannya, entah olahraga, minum air putih yang banyak, minum vitamin, isitrahat cukup, dll. Menghadapi Pandemi Covid-19, amat nampak bagaimana perjuangan, pribadi, keluarga, organisasi, negara dan bahkan dunia berjuang agar orang yang dikasihi, warga negara dan seluruh masyarakat dunia terhindar dari virus yang mematikan itu. Ada begitu banyak upaya yang dilakukan, mulai dari himbauan, protokol Kesehatan, aturan, pengobatan sampai pada penerimaan vaksin yang hingga saat ini masih berlangsung.

Bacaan-Bacaan Kitab Suci yang kita dengar pada Minggu Biasa ke XXIV ini, amat relevan dengan pergulatan kita berhadapan dengan penderitaan. Bacaan pertama yang diambil dari Kitab Nabi Yesaya 50:5-9a berkisah tentang Hamba Yahwe yang menderita. Berhadapan dengan penderitaan-Nya, Hamba Yahwe tidak berpaling, tidak memberontak, tidak menyembunyikan muka ketika dinodai dan diludahi. Yesaya menggambarkan dengan sangat radikal dan bahkan menakutkan perihal derita yang dialami hamba Yahwe tersebut. Namun, di tengah penderitaan yang amat dahsyat tersebut, Hamba Yahwe menemukan pertolongan dari Tuhan. Tuhan memberi peneguhan dan kekuatan berhadapan dengan penderitaaan. Figur Hamba Allah yang menderita itu ditegaskan kembali oleh Yesus dalam bacaan Injil. Yesus Sang Mesias menanggung banyak penderitaan; Ia ditolak, dibunuh dan kemudian bangkit pada hari ketiga.

Reaksi Petrus yang tidak bisa menerima pewahyuan diri Allah sebagai Mesias yang menderita, barangkali menjadi penegasan atas penolakkan dan ketakutan manusia umumnya berhadapan dengan penderitaan, sebagaimana yang telah saya katakan di atas tadi. Adalah lebih mudah bagi kita membayangkan dan mendengarkan kisah Kitab Suci perihal Allah yang Mahakuasa yang dengan kekuasaan-Nya menyembuhkan dan mengusir aneka pendertiaan yang dialami manusia dari pada mendengar pewahyuan diri Allah yang menderita seperti itu. Bagaimana Allah yang menderita itu mampu mengatasi penderitan manusia? Atau apa sebenarnya kabar gembira dan keselamatan yang mau disampaikan kepada kita melalui bacaan-bancaan tersebut di atas?

Pertama-tama, Allah tetaplah menjadi misteri bagi manusia; Misteri itu tidak pertama-tama karena Allah yang menyembunyikan diri-Nya untuk dikenal dan dipahami seutuhnya oleh manusia, melainkan karena akal budi manusia yang begitu terbatas untuk mengenal dan memahami Allah dan cara kerja-Nya terhadap manusia dan dunia. Allah yang menderita sama sekali tidak bermaksud untuk melahirkan penderitaan manusia dan menganggap bahwa penderitaan itu wajar dan diterima saja sebagai ‘salib’ dengan dalil toh Allah sendiri juga menderita. Allah yang menderita tidak menyingkirkan radikalitas penderitaan sebagai pengalaman batas yang memaksa orang untuk berbuat sesuatu untuk mencegah dan keluar dari penderitaan. Penderitaan harus tetap dipahami sebagai pengalaman negatif, yang selalu diupayakan pembebasan dari padanya. Bukankah kebangkitan Yesus, Allah yang menderita itu sendiri, menjadi bukti bahwa kematian harus dikalahkan oleh kehidupan?

Pewahyuan Allah yang menderita harus dipahami dalam seluruh sejarah keselamatan; sejarah keterlibatan Allah sendiri dalam seluruh perjalanan hidup manusia, termasuk manusia yang berhadapan dengan penderitaan. Dengan menghadirkan diri sebagai yang ikut menderita, Allah sungguh bersolider dengan mereka yang berjuang mengatasi penderitaan mereka. Allah yang menderita, Allah yang hadir, menemani dan menguatkan mereka yang menderita. Dalam konteks ini, menghasihi, solider, peduli, tidak berpangku tangan berhadapan dengan pederitaan sesama merupakan kabar gembira sekaligus mandat perutusan bagi kita. Dalam konteks ini, kita memahami dan mengaktualisasikan apa yang ditegaskan oleh Rasul Yakobus dalam bacaan kedua: “Jika iman tidak disertai perbuatan, maka iman pada hakikatnya mati.” Mengimani Sang Mesias yang menderita meski meringankan langkah kita untuk hadir, peduli, solider dan menolong saudara dan saudari kita yang menderita.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here