Kapitel Ordo Saudara Dina (OFM), cabang terbesar dari Ordo Pertama Fransiskan sedunia, baru-baru ini memilih Minister General mereka yang baru. Dia adalah Pastor Massimo Fusarelli, seorang warga asli Roma berusia 58 tahun yang telah menjadi fransiskan sejak 1982. Ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1989, ia memiliki lisensiat dalam Teks-teks Kristen Kuno dari Institut Patristik Augustinian (Augustinianum) yang terkenal, yang berlokasi di Roma. Fra Massimo Fusarelli terpilih untuk masa jabatan enam tahun pertama sebagai Menteri General OFM.
Xavier Le Normand dari Harian Katolik Internasional La Croix mengadakan wawancara dengan biarawan yang menjadi pengganti ke-121 Santo Fransiskus Assisi.
La Croix: Bagaimana panggilan religius Anda lahir?
Fra Massimo Fusarelli: Ketika saya masih SMA, sekitar tahun 1980, beberapa teman dan saya sedang mencari tempat untuk memupuk iman kami. Di Italia, periode itu ditandai dengan kekerasan politik, bahkan terorisme. Kami prihatin dengan semua itu. Dengan teman-teman ini, kami dengar bahwa ada komunitas Fransiskan tidak jauh, yang memberi pelayanan injili dan melayani orang-orang cacat, yang pada waktu itu sangat terisolasi.
Komunitas ini membuat kami terkesan karena suasananya yang selalu positif dan keterbukaannya kepada kaum muda. Saya jatuh hati padanya, dan saya bukan satu-satunya, karena kami bertiga dari kelompok teman ini bergabung dengan Ordo Fransiskan. Saya merasakan panggilan untuk berada bersama Tuhan, yang menjadi nyala api yang nyata bagi saya, yang masih saya miliki sampai sekarang, meskipun dengan cara yang berbeda. Saya mula-mula bergegas untuk menjawab panggilan itu; kemudian saya mengalami kesulitan, tetapi nyala api itu selalu ada.
Bagaimana panggilan Fransiskan Anda berkembang sejak Anda bergabung dengan ordo?
Ketika saya masih muda, terutama ketika saya berada di antara orang-orang cacat, saya mulai dengan berusaha melakukan sesuatu bagi orang-orang miskin, agak mirip dengan karya amal. Kemudian, seperti Santo Fransiskus yang tidak ingin berbuat untuk orang miskin, tetapi ingin hidup bersama mereka, saya merasakan panggilan untuk berbagi kehidupan mereka. Saya mengalami ini ketika beberapa saudara lain dan saya membuka persaudaraan di lingkungan yang sangat kurang beruntung. Kami tidak memiliki misi pastoral yang nyata selain mendengarkan orang.
Ini sangat penting bagi saya, karena saya menjadi sadar akan kebenaran anggaran dasar kami: orang miskinlah yang mengubah kita – bukan sebaliknya – karena mereka membuka kita pada visi Injil yang baru. Bahkan orang-orang yang kejam, bahkan pelacur yang melewati hal-hal yang mengerikan, menjaga martabat mereka yang luhur. Kita harus selalu belajar dari yang terkecil di antara kita. Orang miskin mengingatkan kita akan Tuhan dan hanya melalui merekalah kita dapat bertemu dengan Kristus.
Saya mengalami ini secara khusus pada tahun 2016, setelah gempa bumi di Amatrice (di Abruzzo), tempat saya tinggal saat itu. Di hadapan orang-orang yang terluka dan berduka ini, saya membuka pintu hati saya lebih lagi. Sejak itu, saya tidak bisa lagi mencari Tuhan tanpa memikirkan air mata dari mereka yang telah kehilangan segalanya.
Pernahkah Anda mengalami saat-saat keraguan, saat mempertanyakan panggilan Anda?
Saya pernah mengalami dua momen kegelapan dalam iman saya. Selama yang pertama, saya mempertanyakan semua doktrin yang pernah saya pelajari. Tetapi saya belajar memahami bahwa keraguan itu sebenarnya lebih emosional daripada rasional: berasal dari kesulitan meninggalkan diri saya sendiri.
Malam gelap kedua benar-benar mempertanyakan Tuhan: “Di mana Engkau?” Saya mendapat kesan bahwa semua pegangan saya sedang runtuh dan saya merasakan kekosongan yang luar biasa, terutama terhadap ritus dan segala yang saya sebut bayangan religius. Tidak ada yang tersisa. Semuanya berantakan, dan saya harus belajar untuk percaya lagi.
Hari ini, saya berharap menjadi orang yang percaya, tidak hanya kepada Tuhan, tetapi juga pada kemungkinan untuk mengandalkan Tuhan sepenuhnya. Iman saya masih sedikit gelisah, tapi iman adalah pencarian akan Tuhan, karena Tuhan selalu menampakkan diri kepada kita dengan cara yang berbeda dan kita harus terbuka terhadap kejutan-kejutan ini. Jalan iman selalu baru.
Rekan-rekan Anda memilih Anda untuk memimpin persaudaraan Fransiskan Juli lalu. Bagaimana perasaan Anda tentang pemilihan ini?
Ketika hasil akhir pemilihan diumumkan, saya diliputi reaksi ketakutan. Tetapi saat yang paling sulit adalah malam sebelumnya, karena saya telah menerima banyak dukungan, sementara saya menyadari kelemahan saya dalam misi untuk menjadi tanda dari Santo Fransiskus.
Saya tidak percaya bahwa keberhasilan misi ini akan tergantung pada apakah saya baik atau tidak, melainkan pada kemampuan saya untuk melayani dari dalam kelemahan saya, sambil menaruh hidup saya di tangan Tuhan.
Tuhan kembali berkata kepadaku: “Lepaskan dirimu untuk-Ku”, dan aku merasakan lagi sulitnya penyerahan ini.
Apa yang akan menjadi prioritas utama dari mandat Anda?
Prioritas mandat saya telah diberikan kepada saya oleh kapitel umum dan saya harus menaatinya. Kami telah diminta untuk memperbarui identitas Fransiskan kami, bukan sebagai doktrin, tetapi sebagai cara hidup. Nama ordo kami adalah fratres minores, saudara-saudara dina. Jadi ini berarti memperbaharui persaudaraan dan menjadikan diri lebih kecil. Ini meminta kami untuk melepaskan diri dari sikap defensif dan belajar untuk bersukacita berada bersama orang miskin, yang ditolak, yang terpinggirkan. Tujuannya adalah untuk menemukan kembali Injil dan meletakkannya di jantung kehidupan kami. Tentu saja tidak ada yang baru, tetapi ini adalah soal percaya dengan sungguh-sungguh bahwa ini mungkin.
Prioritas lain dari pekerjaan saya adalah membantu saudara-saudara yang terkadang putus asa atau lelah. Hal ini ditemukan di negara-negara barat di mana panggilan mengering dan para saudara mempertanyakan makna misi mereka. Kami harus benar-benar percaya bahwa Tuhan juga ada di mana yang kita tidak menantikan-Nya lagi. Di sisi lain, di tempat panggilan-panggilan berkembang, kami tidak boleh puas mengucapkan selamat kepada diri sendiri, tetapi mencoba memahami apa yang menjadi dasar keberhasilan ini. Singkatnya, di satu sisi, ini adalah perkara menghidupkan kembali harapan, dan di sisi lain, mendukung harapan di mana sudah ada.
Kita tidak boleh lupa bahwa melakukan sesuatu yang baik tidak menjadi berita utama dan bahwa Injil jauh lebih kuat daripada kita, karena itu adalah kekuatan Allah. Misalnya, apakah Tuhan tidak lagi bekerja di Prancis yang sekular? Tentu saja Tuhan melakukan itu, dan kita harus mendengarkan dan percaya bahwa Tuhan hadir saat ini, bahkan mungkin lebih dari sebelumnya.
Kepedulian terhadap ciptaan, banyak acuan kepada Santo Fransiskus Asisi, kerinduan pada “Gereja yang miskin bagi orang miskin”. Paus Fransiskus tampaknya lebih Fransiskan daripada Yesuit. Menurut Anda, apakah Gereja sedang mengambil belokan Fransiskan?
Ini memang refleksi kami selama kapitel umum: kita sedang mengalami momen Fransiskan yang luar biasa, tetapi mungkin kami sendiri tidak cukup menjalaninya. Ensiklik Laudato si’ (2015) dengan perspektif ekologi integral memberi kita suatu visi baru di mana segala sesuatu saling berhubungan; dan menempatkan iman kembali di jantung dunia. Inilah yang dihayati Santo Fransiskus.
Dalam Fratelli tutti (2020), paus mengatakan kepada kita bahwa kita sebagai manusia membutuhkan relasi-relasi baru berdasarkan persahabatan sosial, karena Injil dan berkat Injil. Sekali lagi, ini sangat Fransiskan.
Saya percaya bahwa jalan yang harus diikuti adalah yang ditunjukkan oleh paus: menjadi Gereja yang miskin, menerima ditelanjangi dan tidak percaya bahwa kita adalah Gereja yang besar dan kuat. Ini membutuhkan pertobatan, termasuk bagi kami kaum religius. Dalam pengertian inilah saya memahami kepatuhan kepada paus: untuk benar-benar mendengarkannya sebagai sumber yang subur.
Nasihat apa yang Anda punya bagi kaum awam dalam menjalani jalan Fransiskan ini?
Saya selalu mendorong keluarga-keluarga untuk mengikuti gaya hidup injili. Bacalah Injil di antara kalian sendiri dan jalani! Kita juga dapat bertanya pada diri sendiri tentang  bagaimana relasi di antara anggota keluarga yang berbeda, mengevaluasi ikatan kita dengan harta benda, dan bertanya pada diri sendiri apakah keluarga terbuka untuk orang lain atau tertutup dalam dirinya sendiri.
Nasihat lainnya adalah untuk selalu menumbuhkan harapan, terutama saat ini yang memberi pertanda – insya Allah! – tentang masa pasca-Covid. Ini tentang percaya bahwa masa depan sudah ada di sini pada saat ini. Tetapi kita harus ingat bahwa harapan lahir dari kemiskinan. Jika saya mencoba untuk memiliki terlalu banyak uang, untuk melindungi ukuran keamanan, untuk selalu memiliki jaminan, harapan tidak mungkin ada.
Santo Fransiskus tidak ingin memiliki apa pun agar menjadi bebas. Bahkan tanpa melangkah sejauh itu, kita harus belajar bagaimana menjadi sedikit lebih sederhana, memiliki apa yang dibutuhkan saja, dan selebihnya bergantung pada Tuhan.
*Diterjemahkan dari
oleh Sdr. Martin Harun, OFM.