Renungan Hari Minggu Biasa XXVI
Hari Minggu Migran dan Pengungsi
Sdr. Yansianus Fridus D. OFM
Pengantar
Hari Minggu ini, 26 September 2021, merupakan Hari Minggu Migran. Perayaan ini merupakan bagian dari perhatian dan keprihatinan Gereja atas pengalaman buruk yang dialami oleh para migran dan pengungsi di dunia. Mereka seringkali dipersulit, ditolak dan menjadi korban ketidakadilan dan kekerasan. Gereja ingin mendoakan mereka dan mengambil langkah-langkah konkret yang perlu untuk melindungi hak dan martabat mereka. Paus Fransikus menjadi teladan bagi seluruh Gereja yang memberi perhatian yang begitu besar terhadap persoalan migrasi ini. Selain pesan khsusus yang selalu disampaikan pada Hari Mingggu Migran dan pengungsi, dalam Ensiklik Fratelli Tutti, ia memberikan porsi perhatian yang cukup besar pada persoalan ini. Mengikuti jejak Paus Fransiskus, para murid Kristus dipanggil untuk menjadikan persoalan migrasi sekaligus sebagai persoalan kemanusiaan dan iman.
Migrasi Sebagai Hak Asasi yang Harus Dilindungi
Kegiatan bermigrasi merupakan hak asasi manusia yang harus diakui dan dilindungi. Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya disahkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB 45/158 pada tanggal 18 Desember 1990. Pasal 7 -11 resolusi tersebut secara khusus berbicara tentang pengakuan dan perlindungan hak para migran dan keluarga mereka. Berikut ini adalah beberapa poin penting yang secara eksplisit berbicara tentang hak asasi para migran: pertama, para migran berhak untuk tidak diperlakukan secara diskrimatif dengan alasan apapun (Pasal 7); kedua, para migran bebas untuk meninggalkan negara manapun, termasuk negara asal mereka (Pasal 8); ketiga, hak hidup para migran dan keluarganya dilindungi oleh hukum (Pasal 10). Keempat, Pekerja migran atau anggota keluarganya tidak boleh diperbudak atau diperhambakan. (Pasal 11).
Allah telah menciptakan kita sebagai makhluk yang bermartabat. Karena itu manusia tidak dapat dan tidak boleh diperalat oleh sturktur sosial ekonomi atau politik, karena setiap pribadi memiliki kebebasan untuk mengarahkan dirinya sendiri menuju tujuan yang terakhir. Migrasi menjadi sebuah masalah ketika para perantau diperlakukan secara kurang manusiawi, diperas dan diperalat untuk kepentingan segelintir orang. Cita-cita kita adalah menjadi perantau yang bermartabat. Cita-cita ini tidak hanya menjadi kewajiban banyak orang terhadap diri kita tetapi pertama-tama harus menjadi bagian dari kesadaran diri kita.
Semua manusia adalah sama dan sederajat karena sesungguhnya “Allah tidak membedakan orang” (bdk. Kis 10:34; Rm 2;11; Gal 2:6; Ef 6:9). Karena dibentuk seturut gambar dan rupa Allah sendiri. Penjelmaan Putera Allah memperlihatkan kesetaraan semua orang bekenaan dengan martabatnya: “Tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal 3:28; bdk. Rm 10:12; 1 Kor 12:13, Kol 3:11). Gereja sebagai tanda kehadiran Allah dalam sejarah manusia bergumul dalam persoalan-persoalan kemanusiaan. Melalui ajaran sosialnya, Gereja Katolik ingin mengajak seluruh umat beriman untuk selalu peka dan peduli pada nasib sesama, terutama mereka yang miskin, menderita, terasing, dan terbuang.
Migrasi: Menyambut, Melindungi, Mengembangkan, dan Mengintegrasikan.
Paus Fransiskus memberi judul Pesannya pada Hari Minggu Migran dan pengungsi yang ke-107 (2021) ini, “Menuju ‘Kita’ yang Semakin Luas”. Pesan Paus ini bersumber pada Ensiklik Fratelli Tutti yang dikeluarkannya pada 4 Oktober tahun 2020 yang lalu. Dalam Enskiliknya tersebut, Paus menegaskan migrasi menyebabkan jutaan orang dewasa ini – anak-anak, perempuan dan laki-laki dari segala usia – dirampas kebebasannya serta dipaksa hidup dalam kondisi yang mirip dengan perbudakan. Perbudakan berakar pada pandangan yang memungkinkan dia diperlakukan sebagai objek, entah dengan paksaan, atau tipu muslihat atau dengan tekanan fisik atau psikologis. Pribadi manusia yang diciptakan dalam gambaran dan keserupaan dengan Allah dirampas kebebasannya, dijual dan dilecehkan untuk menjadi milik orang lain. Mereka diperlakukan sebagai sarana demi suatu tujuan. (FT. 24). Kaum migran tidak diperlakukan punya hak dan memiliki martabat yang hakiki sebagai pribadi. Tak seorang pun secara terbuka akan menyangkal bahwa mereka umat manusia, akan tetapi dalam kenyataannya, lewat sikap keputusan dan cara kita memperlakukan mereka, kita menunjukkan bahwa kita memandang mereka kurang berharga, kurang penting, kurang manusia (FT.39). “Migrasi dipengaruhi oleh “hilangnya rasa tanggung jawab bagi saudara-saudari kita, yang merupakan landasan dasar bagi setiap masyarakat sipil” (FT.40).
Kata-kata Paus ini sejalan dengan Sabda-Sabda Tuhan yang kita dengar pada hari Minggu ini. Yosua menyuruh Musa untuk mencegah Eldad dan Medad yang dipenuhi Roh seperti nabi, lantaran mereka tidak turut pergi ke kemah; Musa tidak sepakat dengan apa yang disampaikan Yosua (Bil. 11:25-29). Hal serupa juga dikisahkan dalam Injil. Yesus mencela para murid-Nya yang mencegah orang yang bukan pengikut-Nya yang mengusir setan. (Mrk. 9:38-39). Menganggap orang lain yang bukan bagian dari kita merupakan cara pikir yang melahirkan sikap ekslusif dan menyingkirkan yang lain. Orang lain bukan bagian dari kita sehingga kita tidak perlu peduli dengan mereka dan bahkan konsekuensi terjauhnya ialah mengobjekkan mereka; Mereka tidak dipandang lagi sebagai sesama, sebagai saudara yang perlu dihormati dan dikasihi. Persis ini yang menjadi akar persoalan yang menyebabkan nasib buruk yang dialami oleh mereka yang bermigrasi dan mengungsi. Mereka tidak diperlakukan sebagai subjek melainkan sebagai objek yang yang dapat diperjualbelikan demi keuntungan baik secara ekonomis maupun sebagai pemuas hasrat. Tanggapan terhadap kehadiran mereka yang berbeda termasuk para migran menurut Paus dapat diringkaskan dalam empat kata: menyambut, melindungi, mengembangkan, dan mengintegrasikan. (FT. 129)
Perjumpaan Sebagai Hadiah Timbal Balik
Untuk melawan cara pikir yang mengeksklusikan dan menyingkirkan yang lain, Paus Fransiskus selanjutnya menegaskan bahwa kedatangan mereka yang berbeda, datang dari cara hidup dan budaya lain, dapat menjadi suatu hadiah, sebab “kisah para migran senantiasa merupakan kisah perjumpaan antara individu dan budaya. Bagi komunitas dan masyarakat yang mereka datangi, kaum migran memberikan kesempatan untuk memperkaya dan perkembangan manusia secara utuh bagi semua”. (FT 133). Sesama di sekitar kita merupakan hadiah yang harus disyukuri dan bukan sebagai ancaman yang perlu disingkirkan, sebab mereka memiliki martabat yang tak terhapuskan yang sama sebagaimana setiap umat manusia lainnya”. Penghargaan dan syukur atas orang lain hanya akan terjadi jika kita membukan hati kita pada mereka yang berbeda, hal ini memampukan mereka, dengan tetap menjadi diri mereka sendiri, berkembang dalam cara-cara baru. Perbedaan budaya yang telah berkembang selama berabad-abad perlu dilestarikan, kalau tidak dunia kita akan semakin miskin. “kita perlu berkomunikasi satu sama lain, untuk menemukan karunia dari masing-masing pribadi, memperjuangkan segala apa yang menyatukan kita, dan memandang perbedaan kita sebagai peluang untuk bertumbuh dalam saling menghargai. Kesabaran dan kepercayaan dibutuhkan dalam dialog tersebut, yang memungkinkan individu, keluarga dan komunitas menyampaikan nilai-nilai budaya mereka dan menerima segala yang baik yang datang dari pengalaman orang lain”. Perjumpaan dengan orang dan budaya lain merupakan berkat, sumber kekayaan dan karunia baru yang mendorong kita untuk berkembang (FT.134-135).
Mengupayakan Kesatuan Membuat Gereja semakin “Katolik”
Migrasi adalah sebuah tanda zaman yang mengandung harapan dan kegelisahan serta menuntut kita anggota Gereja untuk menyelidikinya dan menafsirkannya dalam terang Injil (bdk. GS art.4). Dari sisi iman migrasi adalah sebuah jalan menuju pembebasan seperti yang dialami para tokoh kitab Suci seperti Abraham (Kej. 12). Bangsa Israel bermigrasi menuju tanah terjanji yang berlimpahkan susu dan madu (Keluaran 33:3). Keluarga kudus Nazaret mengungsi ke Mesir agar selamat dari bahaya yang mengancam (Matius 2:14). Ada sekian banyak alasan mengapa orang bermigrasi.
Dengan mengacu kepada Surat Santo Paulus kepada komunitas di Efesus: “Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera: satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, … (Ef 4:4-5), Paus menegaskan bahwa Kekatolikan kita sungguh ditentukan oleh sejauh mana Gereja merangkul semua orang, membangun persekutuan dalam keragaman, menyatukan perbedaan tanpa memaksakan keseragaman yang tidak memperhitungkan kepribadian. Dalam menghadapi beragam orang asing, migran dan pengungsi, dan dalam dialog antarbudaya yang dapat muncul dari perjumpaan ini, kita memiliki kesempatan untuk tumbuh sebagai Gereja dan saling memperkaya. Semua orang yang dibaptis, di mana pun mereka berada, adalah anggota yang sah dari komunitas gerejawi baik komunitas lokal mereka maupun komunitas Gereja yang satu, penghuni satu rumah dan bagian dari satu keluarga. Umat beriman Katolik dipanggil untuk bekerja sama, masing-masing di tengah komunitasnya sendiri, untuk membuat Gereja menjadi semakin inklusif ketika dia mengemban misi yang dipercayakan kepada para Rasul oleh Yesus Kristus: “Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat. Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang kusta; usirlah setan-setan. Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma.” (Mat 10:7-8).