Oleh: Guido Ganggus OFM
Monarkianisme lahir sebagai respon atas istilah “Allah lain” yang disebutkan oleh Yustinus Martir.[1] Aliran ini dimulai di Roma pada saat Viktor diganti oleh Zephyrinus menjabat sebagai uskup Roma tahun 198-217. Yustinus konsisten mengatakan bahwa Kristus bukan manusia biasa tetapi juga Allah, pada saat kelahiran-Nya Ia disembah oleh tiga majus, Kristus dibaptis bukan karena dia membutuhkan-Nya, namun dalam rangka keselamatan manusia.[2] Dia benar-benar lahir dari perawan Maria, dan keperawanan kelahiran-Nya dibedakan dari semua analogi manusiawi oleh karena tidak adanya seorang ayah (ilahi).
Namun, Sabelius menyanggah pemikiran Yustinus Martir. Sabelius mengatakan bahwa Bapa dan Putra itu satu dan sama, perbedaan hanyalah pada tata nama untuk menggambarkan aspek-aspek yang berbeda dari pribadi yang sama. Pandangan Sabelius disanggah lagi oleh Hipolitus di Roma. Hipolitus mengatakan bahwa Bapa dan Logos adalah dua Pribadi (person atau prosopon) yang berbeda.[3] Hipolitus menegaskan bahwa selalu ada pluralitas dalam keallahan di mana Allah berdiam dalam kesunyian yang kekal bersama dengan Firman-Nya.[4] Allah tidak serta-merta sendirian, tetapi Dia “berjumlah” dengan keberadaan Firman dan kebijaksanaan-Nya. Dalam keallahan terdapat hanya satu kekuatan yang ada dalam semua pribadi. Hipolitus yang merupakan salah seorang pembela ajaran Trinitas (melawan Noetus) berjuang di Roma.
Di antara perdebatan Sabelius dan Hipolitus, muncullah Kalikstus.[5] Kehadiran Kalikstus justru tidak memberikan kepuasan kebenaran (penganut Sabelius). Menurut Hipolitus, Kalikstus berhasil membedakan posisinya dari pandangan sesat Sabelius dengan mengakui perbedaan nyata antara Bapa dan Putra. Tetapi perbedaannya adalah bahwa Bapa adalah nama Roh Ilahi yang tinggal di dalam Putra yang mengenakan tubuh dalam manusia Yesus. Dibalik kontroversi dengan Hipolitus, Kalikstus justru secara terbuka mengecam pandangan Hipolitus sebagai Ditheisme belaka. Pada tahun 217, Kalikstus menggantikan Zephyrinus sebagai uskup di Roma sehingga kontroversi ini belum berujung.
Kontroversi seputar Monarkianisme berlanjut karena rumusan yang disampaikan oleh Kalikstus belum dapat diterima dan senantiasa mengganggu Gereja sepanjang abad III. Dalam hal ini, hadir Tertulianus di Afrika yang merasa bahwa terdapat kebutuhan untuk memerangi Monarkianisme. Niat Tertulianus memerangi kesesatan Monarkianisme semakin diperuncing dengan adanya seorang bernama Praxeas yang menyebarkan ajaran Monarkianisme ekstrem di Afrika. Ajaran Monarkianisme Praxeas menekankan ketunggalan Allah. Praxeas lebih dalam memahami Monarkianisme dengan menekankan bahwa Bapa sendiri yang menderita disalib.[6] Praxeas mempertahankan bahwa nama Bapa dan Putra hanya sebutan yang berbeda dari subjek yang sama, Tuhan yang satu, mengacu pada hubungan di mana Dia sebelumnya berdiri untuk dunia disebut Bapa, tetapi mengacu pada penampakannya dalam manusia disebut Putra.
Praxeas seorang Monarkian, berasal dari Asia Kecil dan hidup pada akhir abad II atau awal abad III. Dia percaya pada kesatuan ketuhanan dan dengan keras tidak setuju dengan usaha membagi kepribadian atau kepribadian Bapa, Anak, dan Roh Kudus di dalam Gereja Kristen. Praxeas dalam pandangannya percaya akan kesatuan keallahan. Ia menolak pembedaan dalam keilahian dan membela bahwa segala sesuatunya ada dalam monarki tunggal Allah. Dia dikenal juga berdasarkan karya yang ditulis oleh Tertulianus berjudul Adversus Praxean. Dalam buku itu dikatakan bahwa Praxeas adalah orang yang memulai ajaran sesat Monarki dan Patripasionisme (Patripasionisme adalah ajaran sesat yang menyiratkan penderitaan Bapa, Bapa juga ikut menderita di salib) di Roma tahun 206. Melalui karya tersebut, Tertulianus membela ajaran tentang Allah Tritunggal.
Praxeas tinggal dalam waktu yang singkat di Roma untuk menyebarkan ajarannya. Dia datang ke Roma ketika komunitas Montanis didukung beberapa uskup Roma seperti Zephyrinus.[7] Namun sebelum Zephyrinus, Praxeas berhasil mempengaruhi paus Eleutherus.[8] Kemudian Praxeas kembali ke Kartago untuk melakukan dorongan kepada beberapa orang agar dapat mengadopsi ajarannya. Praxeas datang ke Kartago sebelum Tertulianus meninggalkan persekutuan Katolik. Dia mengajarkan doktrin Monarkian di sana, atau setidaknya sebuah doktrin yang oleh Tertulianus dianggap sebagai Monarkian. Ia adalah musuh lama bagi Tertulianus sebab dianggap sebagai pembawa ajaran sesat. Tertulianus menentangnya sebelum tahun 202.
Dari beberapa ulasan di atas, penulis dapat merangkum bahwa Tertulianus hidup dalam konteks masyarakat yang majemuk yaitu kekisaran Romawi. Kemajemukan tersebut nampak dalam berbagai bidang kehidupan seperti politik, agama, dan kebudayaan. Dalam bidang politik terdapat masalah penganiayaan orang Kristen, dalam bidang keagamaan terdapat penyembahan berhala, dan dalam bidang budaya terdapat helenisme. Ketiga hal besar ini sangat memberikan pengaruh besar dalam banyak karya yang ia kerjakan semasa hidupnya. Iman Kristen bukan hanya mendapatkan tantangan dari luar, melainkan banyak juga tantangan yang datang dari dalam jemaat Kristen sendiri, misalnya lahirnya aneka ajaran sesat. Sejumlah teolog termasuk Tertulianus dengan gigih mengungkapkan pembelaan di depan para bidah.
[1] Henry Chadwick, The Early Church, hlm. 87.
[2] Sebagaimana dipahami oleh Henry Chadwick, The Early Church, hlm. 88.
[3] Sebagaimana dipahami oleh Henry Chadwick, The Early Church, hlm. 87.
[4] Lih. Seperti yang dipahami oleh John. N. D. Kelly, Early Christian Doctrines (London: Adam & Charles Black, 1968), hlm. 111-113.
[5] Kalikstus adalah seorang budak Kristen yang dihukum kerja paksa di penjara Sardina karena dituduh melakukan penggelapan harta tuannya dalam jumlah besar. Kemudian dibebaskan kembali oleh pada saat Marcia, selir Kaisar Commodus, berhasil membelanya. Kemudian dibawah uskup Zephyrinus, Kalikstus ditugasi menjaga kuburan di jalan Appia dekat tempat yang disebut Katakombe. Bdk. Henry Chadwick, The Early Church, hlm. 88.
[6] “In Tertullian’s view Praxeas accomplished two bits of the devil’s business: he expelled the Paraclete and crucified the Father ”. Henry Chadwick mengutip kata-kata Tertulianus, The Early Church, hlm. 89.
[7] Eric Osborn, Tertullian: First Theologian of the West, hlm. 120.
[8] Disarikan dari ‘Dictionary of Christian Biography and Literature to the End of the Sixth Century A.D., with an Account of the Principal Sects and Heresies’ https://www.ccel.org/ccel/wace/biodict.html?term=Praxeas,%20a%20heretic (Diunduh pada 18 Maret 2018, pukul 17.00 WIB)