Setelah menegaskan salah satu aspek penting dari panggilan para murid-Nya yaitu untuk menjadi pelayan, Yesus lalu mengambil seorang anak kecil ke tengah-tengah mereka dan bersabda, “Barangsiapa menerima anak seperti ini demi nama-Ku, ia menerima Aku. Dan barangsiap menerima Aku, sebenarnya bukan Aku yang mereka terima, melainkan Dia yang mengutus Aku” (Mrk 9:37). Sabda Yesus ini merupakan salah satu dari sekian banyak teks Kitab Suci yang memperlihatkan hubungan yang begitu dekat antara Allah dan manusia, terutama orang-orang kecil; orang miskin, orang sakit, orang gelandangan, dll.
Kitab Suci baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru memuat begitu banyak kisah tentang Allah yang peka, peduli, terlibat dan membela orang-orang kecil, terpinggir dan menderita. Ada relasi yang begitu erat antara mengasihi, memperhatikan dan melayani orang-orang kecil dan mengasihi Allah. Manusia tidak hanya menjadi gambar dan rupa Allah, melainkan juga sebagai sakramen Allah. Kita dapat berjumpa dengan Allah dalam diri sesama, terutama mereka yang menderita. Apa yang kita lakukan terhadap sesama juga kita lakukan untuk Allah. Figur anak kecil merupakan gambaran orang atau kelompok orang yang tidak berdaya, yang lemah, yang tidak mempunyai andalan lain dalam kehidupan, selain Allah sendiri. Mereka adalah anak-anak, orang miskin, dan kelompok-kelompok lain yang dimarginalkan dalam masyarakat.
Menjadi anak kecil merupakan cara Allah mewahyukan diri-Nya kepada manusia melalui Yesus Kristus Sang Bayi mungil yang lahir di betlehem (Luk. 2:12). Inkarnasi Allah mengambil bentuk seorang bayi kecil yang miskin dan tak berdaya. Dalam Bayi Yesus yang miskin ini Allah menampakan diri-Nya, dan dari Dia yang miskin dan tak berdaya itulah yang menyelamatkan dunia. Ketakberdayaan dan kemiskinan dijadikan Allah sebagai bagian integral dari pewahyan diri-Nya yang selalu merendah dan mengosongkan diri-Nya (Kenosis).
Tatkala mulai tampil di depan umum untuk mulai mewartakan Kerejaan Allah, Yesus mengumandangkan visi dan misi-Nya yaitu pembebasan terhadap mereka yang kecil, miskin dan tertindas (Lukas 4: 18-21; 7:18-23). Masih banyak kisah lain dalam Injil yang memperlihatkan Allah dalam diri Yesus yang begitu dekat dan berpihak kepada mereka yang disingkirkan, seperti para pendosa, kaum perempuan, orang-orang-orang sakit dan juga kelompok-kelompok lain yang seringkali dipandang hina dan disingkirkan oleh baik secara sosial, politik maupun agama pada zamannya.
Selain menjadi sarana penampakan diri Allah dalam sejarah, relasi, kedekatan dan tindakan kasih terhadap orang kecil, miskin dan tak berdaya juga menjadi jalan keselamatan (Matius 25:31-46). “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu melakukannya untuk Aku. Dan sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku” (Matius 25: 40,45). Memberi makan orang yang lapar, memberi minum kepada yang haus, memberi tumpangan pada orang asing, memberi pakaian kepada yang telanjang, dan melawat orang yang sakit dan yang dipenjara merupakan perbuatan yang dilakukan kepada Allah sendiri dan yang menjamin keselamatan manusia. Ada relasi yang begitu kuat antara iman akan Kristus dan keberpihakkan kepada mereka yang kecil dan lemah. Iman akan Kristus menghantar para murid Kristus kepada orang-orang kecil; dan komitmen keberpihakkan terhadap orang-orang kecil menghantar para murid kepada Kristus. Yesus menghantar para murid menemukan orang kecil dengan segala kebajikan yang ada pada mereka. Sebaliknya, orang kecil menghantar para murid kepada Kristus dan kerajaan-Nya.
Allah telah menjadikan keserupaan, kedekatan dan kasih terhadap orang-orang kecil sebagai jalan dan sarana baik untuk pewahyuan diri dan cara bertindak Allah sendiri maupun sebagai jalan keselamatan manusia. Gereja sebagai persekutuan orang yang beriman kepada Allah, dipanggil untuk mengambil cara dan jalan yang sama untuk menampakkan identitasnya dalam dunia dewasa ini demi keselamatan Gereja sendiri dan dunia. Gereja hanya mampu menjadi garam dan terang dunia, jika Gereja mampu menjadi Sakramen Allah yang memperlihatkan kasih, perhatian dan keberpihakkan kepada orang kecil dan lemah.
Gereja dipanggil menampakkan wajahnya sebagai Gereja yang dekat dan berpihak kepada orang-orang kecil; para petani miskin yang ruang hidupnya digerus atas nama pembangunan yang selalu berpihak kepada mereka yang kaya dan berkuasa; Gereja yang menyuarakan jeritan dan tangisan kaum miskin yang dihimpit oleh kapitalisme yang mengutamakan uang dari pada hak dan martabat manusia; bukan Gereja yang menjadi corong kepentingan dan hasrat para penguasa dan pengusaha yang kekayaan dan kekuasaanya dibangun diatas kemiskinan dan penderitaan orang-orang kecil.
Sebagaimana Allah telah menjadikan kedekatan dan kebepihakkan kepada orang-orang kecil sebagai jalan keselamatan, demikian juga keselamatan Gereja dan daya penyelamatan yang dibawanya akan bergema bagi dunia takkala Gereja memperlihatkan kedekatan dan keberpihakkan kepada orang-orang kecil. Tentang hal ini Paus Fransiskus menegaskannya dalam Seruan Apostolik Evangelii Gaudium: “Jika menerima dorongan perutusan ini, Gereja seluruhnya harus keluar menjumpai setiap orang tanpa kecuali. Tetapi kepada siapa Gereja pertama-tama harus pergi?
Ketika membaca Injil, kita menemukan petunjuk yang jelas: “tidak terbatas pada teman-teman dan tetangga-tetangga kita yang kaya, tetapi terutama pada orang-orang miskin dan orang-orang sakit, mereka yang biasanya dihina dan diabaikan, mereka yang tidak bisa membalasmu” (Luk 14:14). Tidak mungkin ada keraguan atau penjelasan yang melemahkan pesan yang sangat jelas ini. Hari ini dan selalu bahwa “kaum miskin adalah para penerima Injil yang memiliki hak istimewa,” dan pewartaan Injil yang disampaikan kepada mereka dengan cuma-cuma adalah tanda Kerajaan yang dibawa oleh kedatangan Yesus. Kita harus menyatakan, dengan terus terang, bahwa “ada ikatan tak terpisahkan antara iman kita dan kaum miskin.” Semoga kita tidak pernah meninggalkan mereka.
Maka, marilah kita bergerak keluar, marilah kita bergerak keluar menawarkan kepada setiap orang hidup Yesus Kristus! Saya lebih menyukai Gereja yang memar, terluka dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan, daripada Gereja yang menutup diri dan nyaman melekat pada rasa amannya sendiri. Saya tidak menginginkan Gereja yang berambisi menjadi pusat dan berakhir dengan terperangkap dalam jerat obsesi dan prosedur. Kalau ada suatu yang harus dan pantas menyusahkan kita atau mengusik hati nurani kita, hal itu adalah kenyataan bahwa begitu banyak saudara-saudari kita hidup tanpa kekuatan, terang dan penghiburan yang lahir dari persahabatan dengan Yesus Kristus, tanpa komunitas iman yang mendukung mereka, tanpa makna dan tujuan hidup.
Lebih daripada perasaan takut tersesat, saya berharap bahwa kita akan digerakkan oleh perasaan takut untuk terperangkap dalam struktur-struktur yang memberikan kita rasa aman palsu, dalam peraturan-peraturan yang menjadikan kita hakim-hakim yang kejam, dalam kebiasaan-kebiasaan yang membuat kita merasa aman, sementara di luar pintu kita orang-orang sedang kelaparan dan Yesus tak lelah-lelahnya bersabda kepada kita: “Kamu harus memberi mereka makan” (Mrk. 6:37; EG.48-49).