Oleh: Guido Ganggus OFM
Sosial Politik
Situasi sosial politik pada abad II dan III mengacu pada rentetan peperangan antara kekaisaran Romawi melawan bangsa-bangsa sekitar yang saling berebut kuasa dan wilayah, seperti peperangan melawan bangsa Parthia di Timur, Seleukia, dan beberapa bangsa lainnya di sekitar wilayah kekaisaran. Pada masa hidup Tertulianus, berkuasa beberapa kaisar, seperti Antoninus Pius (138-161), Marcus Aurelius (161-180), Commodus (180-192), Septimius Severus (193-211), Caracalla (211-217), Macrinus (217-218), dan Elagabalus (218-222). Masing-masing kaisar memiliki latar sistem politiknya. Sistem politik itu terwujud dalam beberapa kebijakan-kebijakan tertentu.[1] Misalnya, pada masa pemerintahan Septimius Saverus, dia berhasil menyingkirkan semua lawan politiknya.[2] Perjuangan Saverus membuahkan hasil, tidak sampai tahun 197 semua lawan politiknya dieliminasi.[3] Pada akhir pemerintahannya, Severus menjalankan sejumlah tindakan militer untuk mempertahankan Britania dari serangan dadakan suku Barbar dan menjalankan rekonstruksi tembok Hadrian sebelum meninggal di York (Inggris) pada tanggal 4 Februari 211.
Selain melakukan perlawanan terhadap bangsa-bangsa asing yang mengancam kekaisaran, penguasa Romawi juga bertindak tegas kepada orang-orang Kristen dengan melakukan rangkaian penganiayaan keji karena berbagai tuduhan.[4] Misalnya penganiayaan pada masa pemerintahan Markus Aurelius. Selama musim dingin tahun 165/166, tentara Romawi mengepung wilayah Seleukia di Tigris. Musim panas berikutnya Lucius Verus kembali ke Roma untuk merayakan kemenangan di Parthia. Tapi kemenangan di Timur tidak membawa keamanan. Para tentara Romawi pulang membawa petaka yaitu wabah dan sampar dari kuil Apollo di Seleukia. Wabah tersebut menyebar dengan cepat ke sebagian besar penduduk kekaisaran. Situasi semakin diperparah karena pada saat yang sama, kekaisaran Romawi dalam ancaman dari bangsa Jermanik di perbatasan Utara. Menurut sejarawan Romawi Dio Cassius (155–235) sebagaimana dipahami oleh Samuel K. Cohn, wabah tersebut menyebabkan 2.000 orang tewas dalam sehari di Roma atau sekitar 7 sampai 15 persen dari populasi penduduk.[5] Jumlah korban tewas sekitar lima juta yang mencakup ribuan warga sipil serta puluhan ribu tentara Romawi.
Dalam kondisi ini para pemimpin setiap kepercayaan dipanggil ke Roma dari semua penjuru untuk melakukan beberapa bentuk ritus perdamaian. Rupanya ritus perdamaian yang dilakukan tidak mengurangi jumlah rakyat Romawi yang tewas. Dalam hitungan hari, penyakit ini terus-menerus merenggut penduduk nyawa penduduk termasuk salah seorang kaisar, yaitu Lucius Verus pada tahun 169. Pemerintah mulai melihat bahwa musibah terjadi karena ulah orang Kristen.[6] Pernyataan itu semakin diperkuat dengan ramalan dari peramal Yunani terkenal yaitu Alexander dari Abonuteichos yang membenci orang Kristen untuk membenarkan adanya penganiayaan.[7] Selain ramalan dan anggapan pemerintah, terdapat penilaian dari masyarakat yang menganggap orang Kristen tidak loyal terhadap negara karena terkadang tidak mengikuti ibadah-ibadah publik khususnya kepada dewa-dewi.[8] Oleh karena tidak loyal, maka dewa-dewi marah sehingga menimbulkan berbagai macam bencana atas kekaisaran. Asumsi-asumsi negatif dari masyarakat menjadi alasan bagi negara untuk melakukan penindasan.[9] Inilah salah satu faktor penyebab permusuhan terhadap orang Kristen.[10]
Dari kalangan terpelajar,[11] muncul orang yang membenci orang Kristen. Salah satu tokoh yang terkenal bernama Celsus. Dia seorang filsuf Platonik yang memberikan pembenaran pada penindasan terhadap orang Kristen.[12] Dia membenarkan dan menganggap orang Kristen mengisolasi diri dari kegiatan masyarakat dan negara. Celsus mempelajari dengan sangat baik agama Yahudi dan Kristen sehingga memiliki celah untuk ditindas (hanya menyembah kepada Allah yang satu, dan mengingkari yang lainnya). Melalui tulisannya yang mencemoohkan agama Kristen, ia mengajak orang Kristen untuk bertobat dan mulai menyembah dewa-dewi resmi kekaisaran. Salah satu keprihatinan Celsus adalah orang Kristen membawa perpecahan dalam kekaisaran.[13]
Sosial Keagamaan
Menurut orator dan politisi Cicero, bangsa Romawi pada umumnya menaruh kepercayaan pendewaan (deification).[14] Bangsa Romawi mengungguli semua orang lain dalam kearifan yang unik, di mana mereka percaya bahwa semua yang ada di bumi berada di bawah kekuasaan dan arah para dewa. Agama Romawi tidak didasarkan pada rahmat ilahi tetapi sebaliknya pada saling percaya antara dewa dan manusia. Objek agama Romawi adalah untuk mengamankan kerja sama, kebajikan, dan kedamaian para dewa. Orang-orang Romawi percaya bahwa bantuan ilahi ini akan memungkinkan mereka menguasai kekuatan-kekuatan tak dikenal di sekitar mereka dan dengan demikian mereka akan dapat hidup dengan sukses. Akibatnya, muncullah kumpulan aturan, hukum ilahi, menahbiskan apa yang harus dilakukan atau dihindari.
Dalam bidang keagamaan, kekaisaran Romawi menolerir semua dewa sembahan wilayah-wilayah hasil taklukkan di samping dewa-dewi resmi kekaisaran.[15] Dewa-dewa ini dianggap bertindak sebagai penolong baik bagi individu maupun kota-kota. Namun, jika masyarakat lalai (mengabaikan dewa-dewi), para dewa akan menjadi marah dan melukai individu bahkan masyarakat. Ibadat pagan kuno diasumsikan semacam kontrak ritual di mana, jika kata-kata tertentu diucapkan dan pengorbanan/persembahan dilakukan, dewa-dewi wajib untuk menanggapi pemuja. Terhadap kenyataan banyaknya penyebahan berhala, orang Kristen mengasingkan diri dari kegiatan seperti itu. Dalam situasi ini, ketika terjadi bencana alam di wilayah kekaisaran, orang Kristenlah yang dituduh sebagai penyebabnya karena membangkang dan tidak melakukan penyebahan kepada dewa-dewi. Pembangkangan orang Kristen dianggap mengakibatkan dewa-dewi marah.
Kekristenan hidup dan berproses memperluaskan ajarannya dalam konteks agama yang bervariasi (Politeisme). Kekaisaran yang luas sejak awal memiliki banyak dewa sembahan yang terbagi dalam dewa sembahan resmi kekaisaran dan dewa asing.[16] Kekristenan dalam konteks keberagaman ini pada mulanya memiliki kemudahan dalam memperluaskan ajarannya karena dianggap sebagai sekte orang Yahudi, bahkan diberikan kebijakan untuk tidak menyembah dewa resmi kekaisaran.[17] Orang Yahudi kala itu mendapatkan perlakuan khusus dalam hal keagamaan karena kepercayaan Monoteisme Yahudi sudah lama ada sebelum terbentuknya kekaisaran. Dalam praktiknya, orang Kristen mengecam keberadaan dewa-dewi, menolak model kepercayaan Politeisme yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Romawi, serta tidak memberikan persembahan terhadapnya.[18]
Sosial Budaya
Kekristenan awalnya tumbuh dalam lingkungan kebudayaan Yahudi, kemudian perlahan diwartakan para Rasul meluas hingga jantung-jantung kota kekaisaran Romawi.[19] Dalam wilayah kekaisaran Romawi yang begitu luas yang mencakup semua wilayah di sekitar laut Tengah, Eropa, beberapa wilayah Asia Barat (Timur Tengah) serta Afrika Utara, kekristenan pun diapiti oleh berbagai macam pengaruh kebudayaan lain yang berpengaruh besar, yaitu kebudayaan helenisme.[20] Dalam konteks kemajemukan kebudayaan inilah Gereja tumbuh dan berkembang. Selain itu, kekaisaran Romawi terdiri dari berbagai macam bahasa dan adat-istiadat. Bahasa resmi adalah bahasa Yunani. Pusat politik kekaisaran Romawi terletak di Roma, sedangkan pusat kebudayaannya terdapat di Athena dan Aleksandria. Roma dan Athena menjadi tempat yang berperanan penting dalam proses kebudayaan helenisme.[21] Secara tidak langsung, kebudayaan helenisme mempengaruhi agama dan adat-istiadat tradisional masyarakat Romawi.
Hadirnya filsafat dalam kekaisaran Romawi tidak langsung jadi melainkan membutuhkan proses panjang. Persis pada abad II dan III, filsafat yang berpengaruh adalah aliran Stoa.[22] Proses masuknya pikiran Yunani seperti aliran Stoa dibawa oleh mereka yang sudah berpendidikan. Kelompok yang mendapat pengaruh dari Yunani tumbuh dengan pengaruh kecil, namun menjadi sangat menonjol ketika kelompok ini memegang jabatan publik seperti Seneca.[23] Dia adalah filsuf aliran Stoa dan penasihat kaisar. Dalam hal ini akhirnya teori-teori sekolah mulai memengaruhi seluruh komunitas. Oleh karena itu, Stoisisme memiliki arti penting dalam perubahan pola pikir akan kehidupan yang baik.[24] Melalui aliran Stoa, Gereja terpengaruh dan mengajarkan doktrin yang konsisten tentang kesetaraan manusia, dengan menempatkan doktrin ini ke dalam praktik dalam kehidupan pribadi masing-masing orang Kristen.[25]
Situasi yang paling tampak pada zaman ini adalah gelombang kebudayaan Yunani yang begitu masif. Pada paruh abad II, konteks pikiran Gereja melangkah dari Palestina ke alam pikiran Yunani (helenis). Pada masa yang sama Gereja dirasuki oleh suatu proses helenisasi pikiran, yaitu proses masuknya budaya serta pemikiran Yunani. Gereja bekerja keras menangani pengaruh yang besar untuk mempertanggungjawabkan iman dan kepercayaan itu dengan bahasa helenis. Singkatnya, pada masa itu Gereja menghadapi pemikiran-pemikiran dan budaya baru dari berbagai penjuru khususnya budaya Yunani. Percampuran budaya secara langsung meminta Gereja untuk merumuskan segala bentuk ajaran iman dalam formulasi bahasa yang bisa dimengerti oleh semua orang yang telah dirasuki oleh kebudayaan helenis. Beberapa tokoh (Yustinus Martir, Irenius, Origenes) mendapat pengaruh dari filsafat Yunani, termasuk Tertulianus. Aliran filsafat yang tersohor adalah filsafat Stoa. Selain Stoa, yang berpengaruh adalah filsafat Neoplatonis dan Phytagorean. Bukti pengaruh dari filsafat adalah pertengahan abad II, Yustinus Martir pergi ke Efesus untuk belajar filsafat.[26] Pemikiran filsafat memberikan pengaruh dalam setiap pembelaannya terhadap iman Kristen dengan menggunakan bahasa filsafat.
Corak pemikiran Yunani berbeda dengan pemikiran Ibrani, terutama menyangkut kepercayaan bahwa bagi orang Israel kebenaran Allah diwahyukan dalam sejarah, sedangkan bagi orang Yunani kebenaran itu berdasarkan tatanan ontologis, yaitu hal mengada.[27] Inkulturasi mengakibatkan bahwa cara berbicara Alkitab digantikan dengan konsep-konsep metafisis yang berpusat pada masalah mengada.[28] Apabila diterapkan pada konsep Allah, hal ini berarti bahwa perbedaan antara Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus kiranya dapat diartikan sebagai perbedaan dalam ber-hypostasis, artinya berdiri sendiri secara metafisis (kata Yunani hypostasis mengacu kepada eksistensi pribadi tersendiri: diri pribadi). Para apologet Gereja awal bertindak sebagai perintis inkulturasi ketika mereka mempersatukan konsep Yunani Logos dengan gagasan Logos dalam Injil Yohanes (bdk. 1:1-18) dan memandangnya sebagai kepribadian tersendiri. Filsafat Yunani menekankan pencarian kebenaran yang didasarkan pada kodrat dan dunia.
Yustinus Martir sebagaimana dipahami oleh Henry Chadwick mencoba menjawab persoalan Logos dengan mengemukakan pokok pikirannya. Dia menyebutkan Logos ilahi sebagai “Allah lain” (another God) selain Bapa.[29] Sebutan Allah lain sebenarnya hendak menunjukkan Kristus, namun demikian ia jatuh pada paham Pluralisme yang menimbulkan sederetan masalah karena jurang Politeisme terbuka lebar di sana. Oleh karena itu, Gereja tetap harus mempertahankan Monoteisme. Dalam Monoteisme tersebut, hal yang dilakukan adalah bagaimana menjelaskan konsep Tritunggal dalam masyarakat yang sudah dirasuki budaya helenis.
[1] Sebagai contoh, pada masa pemerintahan kaisar Trayanus (98-117), dia tidak menghiraukan surat-surat yang mengadukan orang Kristen untuk dianiaya, sehingga pada masanya, penganiayaan berkurang. Selain itu kebijakan politiknya berhasil memperebutkan wilayah sebelah Barat yaitu Laut Atlantik, sebelah Timur adalah sungai Efrat dan Laut Hitam, sebelah Utara adalah sungai Donau dan sungai Rhein, sebelah Selatan adalah Gurun Sahara dan Gurun Arabia. Lih. H. Berkhof dan I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, diterjemahkan oleh I. H. Enklaar (Jakarta: BPK. Gunung Mulia,1997), hlm. 16-17.
[2] Kemenangan Saverus dalam perang membuat warga Kartago melakukan pesta meriah; “When news came of Septimius Severus’ successes in war, Carthage celebrated the event with gay abandon. Bonfires blazed in the streets,…”. Lih. Timothy D. Barnes, Tertullian: A Historical and Literary Study, hlm. 87-88.
[3] Bdk. Susann S. Lusnia, “Septimius Severus Pertinax Augustus, Lucius”, dalam The Encyclopedia of Ancient History, diedit oleh Roger S. Bagnall, dkk (Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2013), hlm. 6156–6160.
[4] Timothy D. Barnes, Tertullian: A Historical and Literary Study, hlm. 130. Kekristenan adalah sebuah bentuk tindakan kriminalitas karena mendengar istilah “minum darah”. Selain itu terdapat tuduhan bahwa orang Kristen tidak loyal terhadap dewa-dewi kekaisaran karena menolak melakukan korban. Bdk. Timothy D. Barnes, Tertullian: A Historical and Literary Study, hlm. 143-146.
[5] Samuel K. Cohn, Epidemics: Hate and Compassion from the Plague of Athens to AIDS (Oxford: University Press, 2018), hlm. 13-14.
[6] Di bawah pemerintahan Markus Aurelius (168-180), kekristenan semakin dibenci. Pada tahun 177, kurang lebih 48 orang mati sebagai martir di Lyon dekat Gaul. Lih. J. Derek Holmes dan Bernard W. Bickers, A Short History of the Catholic Church (Great Britain: Burn & Oates, 1983), hlm. 19.
[7] Timothy D. Barnes, Tertullian: A Historical and Literary Study, hlm. 130.
[8] E. A. Ryan, “The Problem of Persecution in the Early Church”, Theological Studies: Journals, Vol. V, No. III, Sep 01, 1944, hlm. 314.
[9] Penganiayaan atau penindasan terjadi di Afrika Utara pada awal pemerintahan kaisar Commodus dan Vigellius Saturninus sebagai gubernur pada tahun l80/181. Dia adalah gubernur pertama yang mengeksekusi orang Kristen. Segera setelah kedatangannya di Kartago, pada 1 Juli 180, dia mengutuk kematian beberapa orang Kristen. Bdk. Timothy D. Barnes, Tertullian: A Historical and Literary Study, hlm. 60-61. Bdk. juga dengan J. Derek Holmes dan Bernard W. Bickers, A Short History of the Catholic Church, hlm. 19.
[10] Pada musim semi dan musim panas 197, Kartago menikmati ucapan syukur musim karnaval. Namun ada beberapa yang menolak untuk berpartisipasi. Orang-orang Yahudi dan Kristen menyatakan bahwa perayaan semacam itu adalah bentuk penyembahan berhala. Maka agama Kristen dan Yahudi tidak melakukannya Lih. Timothy D. Barnes, Tertullian: A Historical and Literary Study, hlm. 88.
[11] Kaum terpelajar memandang agama Kristen sebagai agama yang tidak masuk akal dengan adanya istilah makan dan minum darah manusia (kanibalisme). Bdk. E. A. Ryan, “The Problem of Persecution in the Early Church”, hlm. 314.
[12] Timothy D. Barnes, Tertullian: A Historical and Literary Study, hlm. 130.
[13] Johannes Quasten, Patrology: The Ante-Nicene Literature After Irenaeus, hlm. 52.
[14] Sebagaimana yang dipahami oleh Spencer Cole, Cicero and the Rise of Deification at Rome (Cambridge: University Press, 2013), hlm. 25-26.
[15] J. Derek Holmes dan Bernard W. Bickers, A Short History of the Catholic Church, hlm. 12.
[16] Henry Chadwick, The Early Church, hlm. 24. Kekaisaran memiliki banyak kebudayaan dan kepercayaan di beberapa wilayah sehingga berpengaruh pada jumlah kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya. Kepercayaan dari beberapa wilayah tetap diterima atau dimasukkan sebagai dewa asing selain dewa resmi kekaisaran. Bdk. Eric M. Orlin, Foreign Cults in Rome (Oxford: University Press, 2010) hlm. 31-32.
[17] E. A. Ryan, “The Problem of Persecution in the Early Church”, hlm. 314-315. Secara umum orang Yahudi sering dilecehkan oleh musuh-musuh mereka, namun mereka memiliki hak dan kewajiban untuk mematuhi tradisi leluhur mereka. Apa pun kecurigaan akan tingkah laku dan moral mereka dalam menyembah Tuhan leluhur mereka, tetap dianggap sah menurut hukum. Berbeda dengan orang Kristen, meskipun berasal dari Yahudi, agama Kristen sudah berpisah dari agama nenek moyang. Akibat langsung dari perpisahan itu, agama Kristen menjadi ilegal. Lih. Timothy D. Barnes, Tertullian: A Historical and Literary Study, hlm. 90.
[18] E. A. Ryan, “The Problem of Persecution in the Early Church”, hlm. 315.
[19] J. Derek Holmes dan Bernard W. Bickers, A Short history of the Catholic Church, hlm. 11.
[20] Th. Van D. End, Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2008), hlm. 11. Ditaklukkannya Asia Barat Daya oleh Kaisar Aleksander Agung (333-323 SM), telah dianggap sebagai permulaan dari zaman baru, yaitu Helenisme. Helenisme adalah pergerakan kebudayaan sejak Aleksander Agung, di mana bahasa Yunani dan peradaban Yunani mendapat tempat yang tertinggi dalam kehidupan orang zaman itu, khususnya bagi kalangan orang terkemuka di kota-kota. Bdk. H. Jagersma, Dari Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba: Sejarah Israel dari 330 SM-135 M, diterjemahkan oleh Soeparto Poerbo (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2003), hlm. 13.
[21] Th. Van D. End, Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas, hlm. 11.
[22] Th. Van D. End, Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas, hlm. 13.
[23] Paul H. Furfey, “Social Action in the Early Church 30–180 A. D.”, hlm. 174.
[24] Paul H. Furfey, “Social Action in the Early Church 30–180 A. D.”, hlm. 174.
[25] Paul H. Furfey, “Social Action in the Early Church 30–180 A. D.”, hlm. 174-175.
[26] Lih. Henry Chadwick, The Early Church, hlm. 74-75.
[27] Niko S. Dister, Teologi Sistematika I, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 131.
[28] Niko S. Dister, Teologi Sistematika I, hlm. 131.
[29] Henry Chadwick, The Early Church, hlm. 85-86.