Kesetaraan (Equality) atau dalam bahasa Kitab Kejadian ‘Kesepadanan’ merupakan salah satu prinsip dasar hak asasi manusia yang terus menerus menjadi perjuangan banyak orang. Kaum perempuan yang dalam budaya patriarkal, seringkali tidak dipandang setara dengan laki-laki, terus-menerus berupaya memperjuangkan kesetaraan gender agar hak dan martabat mereka diakui. Kaum migran dan pengungsi yang seringkali diperlakukan secara tidak manusiawi, seperti ditolak, dipersulit pengurusan dokumen, diperbudak, diberi upah yang kecil, dijadikan sebagai budak, terus memperjuangkan hak mereka sebagai manusia yang perlu dihargai dan dilindungi agar memperoleh kehidupan yang layak. Kaum difable yang selama ini merasa dibaikan dalam pembangunan, kini menuntut kesetaraan melalui pembangunan yang berpihak kepada mereka. Mereka yang menjadi korban rasisme, kaum lansia. Masih banyak lagi contoh lain yang dapat kita deretkan di sini perihal impian, harapan dan perjuangan demi kesetaraan yang dilakukan oleh orang atau kelompok yang merasa diabaikan, dipinggirkan, dan diperlaukan secara tidak setara dan tidak adil.
Tentang hal ini, Paus Fransiskus berkata “Saya ingin menyebutkan beberapa dari mereka yang “orang terbuang yang tersembunyi”, yang diperlakukan layaknya benda asing dalam masyarakat. Banyak pribadi difabel “merasa bahwa mereka ada tanpa memiliki serta tanpa keterlibatan”. Banyak yang masih menghalangi mereka untuk sungguh bebas memilih. Perhatian kita jangan hanya mempedulikan mereka namun juga memastikan “keterlibatan aktif mereka dalam komunitas sipil dan gerejawi. Hal ini menjadi proses yang mendesak dan malahan melelahkan, akan tetapi proses yang secara bertahap menyumbangkan bagi pembentukan hati nurani yang mampu mengenali setiap pribadi itu unik serta tak tergantikan.” Saya memikirkan juga, “kaum lansia yang, juga karena keterbatasannya, seringkali dipandang sebagai beban”. Akan tetapi setiap dari mereka dapat memberikan “suatu sumbangan yang khas bagi kepentingan umum melalui kisah-kisah kehidupan mereka yang mengagumkan”. Marilah kita ulangi: kita perlu memiliki “keberanian untuk bersuara bagi mereka yang didiskriminasi karena disabilitas mereka sebab, sayangnya, di beberapa negara dewasa ini orang sulit mengakui mereka sebagai pribadi dengan martabat yang sama”. Pemahaman yang tidak memadai akan kasih universal. (Fratelli Tutti 98)
Dalam bacaan pertama kita mendengar Tuhan bersabda “Aku akan menjadikan penolong baginya (Adam), yang sepadan dengan dia.” (Kej.2: 18) Gagasan kesepadanan ini tentunya tidak bisa dilepaskan dengan identitas manusia itu sendiri yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah sendiri. (Kej.1:27). Kesepadanan mengandaiakan pengakaun perihal sesama sebagai gambar dan rupa Allah yang diciptakan baik adanya. Kesepadaan juga mengisyaratkan bahwa sesama adalah pribadi, sebagai subjek yang perlu diakui, dihargai dan di hormati dan dikasihi. Bacaan kedua menekankan pentingnya bagi kita untuk memandang orang lain sebagai saudara, sebab Yesus sendiri melalui peristiwa inkarnasi telah menjadi saudara bagi mausia. Para murid Kristus juga harus menempuh jalan yang sama dengan memandang dan memperlakukan yang lain sebagai saudara. (Ibrani 2: 11). Sedangkan Yesus, dalam Injil, berhadapan dengan orang Farisi yang mencobainya dengan mengajukan pertanyaan: “bolehkah seorang suami menceraikan istrinya?” Yesus menjawab pertanyaan tersebut dengan mengacu kembali kepada kisah penciptaan laki-laki dan perempuan sebagaimana tertulis dalam Kitab Kejadian yang sebutkan di atas. Perceraian dan juga perzinahan merupakan prilaku yang menciderai martabat manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Dengan melakukan perceraian seseorang tidak lagi mampu memandang sesama atau pasangan sebagaii pribadi, sebagai anak Allah yang patut dihormati, dijaga dan dikasihi. Perceraian merupakan tanda bahwa orang tidak mampu memandang yang lain sebagai subjek yang diterima dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada padanya. Perceraiana merupakan akumulasi dari cara pikir dan tindakan yang mengobjekkan orang lain dengan mengutamakan prinsip ‘senang-tidak senang,’ ‘suka-tidak suka’ dan ‘guna-tidak guna.’ Selagi suka, senang dan berguna perlu dipertahankan; sebaliknya kalau sudah tidak merasa senang, tidak suka dan tidak berguna, diabaikan saja.
Prinsip kesetaraan merupakan aspek yang sangat penting bagi terwujudnya sebuah persekutuan, persehabatan sosial atau persaudaraan kasih. Prinsip ini berlaku bagi seluruh komunitas manusia, mulai dari perkawinan/ keluarga, komunitas, Gereja, dll. Paus Fransiskus menegaskan bahwa kasih harus menjadi fondasi bagi prinsip kesetaraan itu: “Suatu kasih yang sanggup mengatasi segala batasan adalah dasar bagi apa yang di setiap kota dan negara disebut “persahabatan sosial”. Persahabatan sosial yang murni di dalam masyarakat memungkinkan keterbukaan universal yang benar. Ini semua jauh dari universalisme palsu dari mereka yang terus-menerus bepergian ke luar negeri sebab mereka tidak tahan menghadapi dan mencintai masyarakatnya sendiri. Mereka yang memandang rendah masyarakatnya cenderung menciptakan dalam masyarakatnya kategori kelas pertama dan kedua, orang-orang yang lebih atau kurang bermartabat, mereka yang mendapatkan hak-hak yang lebih besar atau lebih rendah. Dengan cara seperti itu, mereka menyangkal adanya ruang bagi setiap orang”. (Fratelli Tutti 99) Pace e Bene!!!