Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Ekologi merupakan bagian sentral dari biologi (biology). Tetapi ekologi mempunyai konteks evolusioner, struktur konseptual, dan praktik eksperimental yang unik. Terkait hal ini, filsafat lingkungan memberikan jembatan antara filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya. Isu-isu filosofis yang dapat ditanggapi dari perspektif ekologis mencakup keragaman-produktivitas (diversity-productivity) dalam kaitannya dengan kebaikan bersama, persoalan lingkungan, dan tema tradisional filsafat ilmu seperti kontingensi serta kompleksitas. Selain itu, filsafat lingkungan memungkinkan integrasi antara sains dan etika.
Filsafat juga masuk ke dalam pertanyaan yang kaya secara konseptual mengenai studi ekologi. Menawarkan wawasan tentang sejarah ekologi, keanekaragaman hayati, stabilitas alam, realitas komunitas biologis, dan relasi antara fakta serta nilai. Kompleksitas transdisipliner filsafat lingkungan melibatkan pertanyaan umum mengenai sifat sains, masalah konseptual dalam ekologi, pertanyaan filosofis tradisional tentang dasar keberadaan, dan dimensi sosial. Pada tataran tertentu filsafat lingkungan memberikan dasar argumentatif dalam upaya konservasi, mitigasi pencemaran, dan pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan dimaksudkan untuk mengejawantahkan keadilan lingkungan (environmental justice). Keadilan merupakan bagian dari tanggung jawab moral manusia ketika berhadapan dengan spesies lainnya. Terlepas dari kapasitas akal budi manusia yang lebih maju dalam aspek budaya dan bahasa, tanggung jawab moral harus mendapatkan perhatian sebagai antisipasi hasrat egois seperti penimbunan sumber daya (the stockpiling of resources). Karena eksistensi manusia ditandai dengan perilaku berkembang-primitif dan altruistik-egois, perilaku yang lebih baik dimungkinkan apabila ia mengalami proses pendidikan.
PENDIDIKAN EKOLOGI
Berbagai macam slogan mengenai lingkungan merasuk ke dalam imajinasi sosial (social imaginary) dan dimensi konseptual serta aksiologis pendidikan. Terkait hal ini, pendidikan lingkungan (environmental education) harus bersifat integral. Mengupayakan pendidikan lingkungan yang ekosentris. Mengintegrasikan prinsip-prinsip etika tanah (land ethics), ekologi dalam (deep ecology), ekologi sosial (social ecology), ekofeminisme (ecofeminism), dan perubahan paradigma ekologi (the change of paradigm ecologies). Sehingga pendidikan lingkungan mampu menawarkan cara pandang yang terpadu, menjadi landasan dan kerangka kerja pedagogis serta metodologis.
Pendidikan lingkungan dimaksudkan untuk menopang pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Hal ini dimungkinkan apabila pendidikan lingkungan diejawantahkan dalam gerakan pendidikan (educational movement). Pendidikan lingkungan bukan sekadar konsepsi dangkal mengenai persoalan lingkungan. Karena pendidikan lingkungan beroperasi dalam ranah epistemologi (epistemology), mengedepankan metodologi dan refleksi kritis. Dalam era pendidikan post-formal, pendidikan lingkungan diintegrasikan dengan konsep ekologi integral yang memungkinkan pembelajaran transformatif.
Integrasi tersebut diperlukan terutama ketika berhadapan dengan persoalan lingkungan, kebijakan publik lembaga internasional, perubahan imajinasi sosial mengenai krisis ekologi, dan perdebatan yang terjadi di antara akademisi, pendidik, dan aktivis lingkungan. Pendidikan lingkungan yang masuk ke dalam kategori pemikiran ekologis (ecological thinking) muncul sejak 1970. Dalam perjalanan waktu, pendidikan lingkungan dimaksudkan untuk mengakomodasi berbagai macam pemikiran filosofis mengenai ekologi. Harapannya pendidikan lingkungan memberikan sumbangan kritis dan kreatif dalam sejarah gerakan pendidikan.
TIPOLOGI LINGKUNGAN
Pada 1980, John Rodman menunjukkan tiga tipologi arus pemikiran mengenai lingkungan. Pertama, konservasi sumber daya (conservation of resources). Kedua, perlindungan ruang alam (protection of natural spaces). Ketiga, perluasan moral (moral extensionism). Tiga tipologi tersebut menekankan kepentingan instrumental alam, di mana alam mempunyai hak (rights) dan manusia harus mengakuinya. Selain itu, tipologi Rodman mengingatkan manusia untuk memperluas cara pandang moralitas konvensional. Karena sikap moral juga berlaku ketika manusia berhadapan dengan spesies lainnya.
Rodman juga menegaskan pentingnya tahap perkembangan inklusif, kepekaan ekologis (ecolological sensitivity). Kepekaan ekologis terkait dengan persepsi, sikap, dan penilaian yang bertumpu pada metafisika, teori nilai, dan etika. Dalam perkembangan selanjutnya, Arne Naess ingin melampaui pertimbangan etis Rodman, di mana pendidikan lingkungan harus memperkaya prinsip-prinsipnya supaya menjadi pengetahuan dan tindakan ekologis yang sejati. Oleh karena itu, diskursus harus tetap diupayakan untuk meperkaya dan memperluas cara pandang.
ETIKA TANAH
Pada 1970, etika lingkungan (environmental ethics) masuk ke dalam ranah refleksi formal filsafat akademis. Perlu diketahui bahwa etika tanah (the land ethic) dikemukakan oleh Aldo Leopold. Menurut Leopold, sampai saat ini kajian etika bertumpu pada premis bahwa individu adalah anggota komunitas dan seluruh anggota yang ada di dalamnya saling tergantung. Terkait hal ini, ia memperluas batas-batas komunitas dan memasukkan tanah, air, tumbuhan, dan hewan ke dalamnya.
Sebagaimana dipahami Leopold, komunitas ekologi adalah komunitas kepentingan (a community of interests), komunitas simbiosis global yang kompetitif, evolusioner, dan kooperatif. Oleh karena itu, manusia adalah anggota dan warga negara (plain member and citizen) komunitas bumi. Hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran di dalam diri manusia bahwa kelangsungan hidupnya bergantung pada komunitas bumi. Juga penting bagi manusia untuk mengembangkan kesadaran menghormati semua spesies yang ada di bumi.
Keyakinan Leopold bahwa manusia adalah makhluk simbiosis, menunjukkan cara pandangnya yang holistik mengenai ekologi. Bahkan Leopold mencirikan kewarganeragaan ekologis sebagai kehidupan antarkehidupan (inter-living). Sehingga persepsi nilai, intelektual, emosional, dan estetika menentukan kesadaran moral. Menurut Leopold, kesadaran moral terejawantah apabila manusia menjaga keutuhan, stabilitas, dan keindahan komunitas biotik. Selain itu, persatuan antara individu dan ekosistem serta ekosistem dan budaya harus diupayakan.
EKOLOGI DALAM
Etika tanah mengedepankan etika ekosentris yang masih harus mengandaikan suatu ontologi. Ontologi tersebut dibingkai oleh ekologi dalam (deep ecology) yang mengedepankan ontologi relasional (relational ontology), di mana terjadi ketergantungan radikal di antara semua makhluk. Gagasan ekologi dalam diperkenalkan oleh Arne Naess pada 1970. Sejak saat itu, ekologi dalam menjadi referensi utama filsafat lingkungan.
Menurut Naess, mencari penyebab dan solusi atas kerusakan lingkungan dalam bentuk suatu kebijakan serta keputusan konkret pada dasarnya bersifat dangkal (deeper). Naess meyakini bahwa krisis ekologi diakibatkan oleh kesadaran ekologis yang salah (a false ecological conscience). Apa yang bukan manusia dipandang tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Mereka mempunyai nilai sejauh berharga dan berguna bagi manusia. Sehingga manusia dipandang mempunyai otoritas dan hak penuh atas eksistensi mereka. Dengan kata lain, antroposentrisme mengakibatkan persoalan lingkungan.
Antroposentrisme nampak dalam tindakan manusia yang memiskinkan, merusak, dan menindas segala sesuatu yang ada di alam. Terkait hal ini, ekologi dalam bertugas menghilangkan dominasi antroposentrisme dengan mengembangkan kesadaran ekologis yang sejati (a genuinely ecological consciousness). Kesadaran tersebut terkait dengan pandangan bahwa segala sesuatu yang ada di bumi pada hakikatnya saling terkait. Karena alam adalah rumah (oikos), tempat di mana manusia dan makhluk lainnya bertumbuh serta berkembang.
Sebagaimana dikatakan Naess, ego manusia menyebabkan pemisahan antara dirinya dengan alam. Oleh karena itu, Naess menyarankan supaya manusia menjunjung tinggi realisasi diri yang non-egoistik, simbiosis, dan keberagaman. Naess juga membedakan antara Diri (Self) dan diri (self). Menurut Naess, diri (self) bersifat individual dan egosentris. Sehingga manusia harus menjadi Diri (Self) yang sejati, memahami esensi relasional absolut dunia dan kehidupan sebagai tatanan yang sistemik serta kompleks.
Naess mencita-citakan simbiosis non-kekerasan dan manusia harus melakukan proses identifikasi (identification), membangun persekutuan (communion) dengan spesies lainnya dan mengejawantahkan konsepsi etis egalitarianisme atau demokrasi biosfer (biospheric democracy). Proses identifikasi tersebut dimaksudkan supaya manusia memahami realitas keragaman, keunikan, dan kekhususan di antara semua spesies. Harus diingat bahwa ekologi dalam tidak memberlakukan holisme kemenangan (triumphat holism), tetapi membebaskan (liberate) setiap spesies yang mengalami penundukan dan eksploitasi yang disebabkan cara pandang antroposentris.
Antroposentrisme salah menafsirkan realisasi diri dengan cara yang eksklusif dan egois. Berdasarkan kaca mata ekologi dalam, diperlukan perubahan penekanan dari sains menuju kebijaksanaan (wisdom). Kebijaksanaan dibutuhkan untuk memajukan transformasi sosial. Supaya kehidupan manusia selaras dengan alam dan agar etika serta politik sungguh-sungguh meneguhkan kehidupan (life-affirming). Pada tataran tertentu kesadaran ekologis harus sampai menyentuh hati nurani manusia.
PERGESERAN PARADIGMA
Ekologi dalam meyakini bahwa transformasi ekologis diperlukan untuk memahami relasi kompleks di antara berbagai macam budaya yang mengelilingi manusia. Oleh karena itu, dibutuhkan paradigma baru yang visioner. Dalam perspektif pergeseran paradigma (paradigm shift), prinsip relasional dicari dalam filsafat dan teori-teori ilmiah. Penulis seperti Fritjof Capra menunjukkan paradigma yang mewarisi modernitas melibatkan perspektif rasionalis dan Newtonian, mencakup ontologi mekanistik, analitis, formalistik, dan disipliner. Merenungkan dunia secara reduksionis dan dimotivasi oleh ambisi manusia modern terkait kepentingan ekonomi serta kekuatan tekno-industri. Krisis sosial ekologis kotemporer merupakan konsekuensi dari arogansi tersebut.
Pergeseran paradigma dimaksudkan untuk membongkar cara pandang arogan dan memperkuat paradigma baru. Paradigma ini menafsirkan prinsip relasional dalam kerangka filsafat yang berasal dari teori sistemik dan cara pandang di mana pengamat atau subjek sebagai elemen sistemik dunia. Mengartikulasikan kehidupan dalam satu kesatuan yang saling bergantung. Karena istilah ekologi pada hakikatnya merupakan penyatuan sistemik di antara aspek sosial, budaya, dan mental. Selain itu, kehidupan dan evolusi berada dalam wilayah antara ketidakpastian serta kreativitas yang apabila digali tidak ada habisnya. Sehingga pengetahuan yang dibangun bersifat transdisipliner (transdisciplinary).
Visi paradigmatik tersebut harus diterapkan dalam dunia nyata, di mana jaringan kehidupan (web of life) mengikat dunia. Materi yang hidup di bumi membentuk sistem kompleks yang mampu mempertahankan dan memungkinkan kehidupan di planet. Hal ini berguna untuk melihat konsekuensi ekonomis dan demografis dari pertumbuhan yang tidak terbatas di planet yang terbatas. Selain itu, menjelaskan dan mengkomunikasikan homeostasis yang terancam oleh manusia.
EKOFENOMENOLOGI DAN EKOFEMINISME
Berdasarkan tradisi, ekofenomenologi (eco-phenomenological) terinspirasi oleh Marleau Ponty dan Martin Heidegger. Ekofenomenologi menunjukkan pentingnya kembali (return) ke pengalaman hidup manusia di dunia dan berupaya memahami pengalaman tersebut dalam pengertian ekologis serta melepaskannya dari mediasi yang melekat (inherent mediations). Sedangkan ekofeminisme (ecofeminism) tidak dimaksudkan sebagai penerapan feminisme dan lingkungan, melainkan gerakan reformis dari keduanya.
Filsafat lingkungan tidak dapat mengabaikan prinsip-prinsip pandangan dunia patriarkal dan androsentris serta efek penindasannya terhadap perempuan dan alam. Ekofeminisme memahami struktur kekuasaan patriarki tidak hanya sebagai kelembagaan, tetapi mentalitas mendefinisikan fungsi dan nilai perempuan. Ekofeminisme mengkritik masyarakat patrialkal yang memandang perempuan dan alam berdasarkan kaca mata ekonomi (economic), produktif atau tidak produktif.
Ekofeminisme bukanlah aplikasi teori feminis (feminist theory), melainkan asumsi bahwa keretakan alam dan budaya dilihat sebagai dasar dari eksploitasi perempuan. Sehingga manusia harus terbebas dari rintangan patriarki. Terkait hal ini, mekanisme operasi internal antroposentrisme adalah androsentrisme dan mentalitas patriarki yang secara aksiologis serta epistemologis mencemari setiap usaha transformatif.
Ekofeminisme ingin menumbangkan struktur nilai dualistik yang meresapi budaya Barat, memisahkan alam dari manusia, budaya, akal budi, dan jiwa. Selain itu, ekofeminisme ingin melacak kontras di antara laki-laki-perempuan, akal budi-tubuh, pemilik-budak, kebebasan-kebutuhan, universal-partikular, beradab-primitif, subjek-objek, dan aku-yang lain. Ekofeminisme berupaya melampaui pemisahan-pemisahan tersebut dan mengedepankan sikap inklusif, feminisasi (feminizing) masyarakat serta budaya.
Upaya mengatasi dualisme yang menindas (the oppressive dualisms) nampak ketika para pemikir ekofeminisme mengkritik bias androsentris. Menyeimbangkan akal budi, intuisi, dan afeksi serta merayakan perbedaan dalam semangat kasih, kemurahan hati, dan persahabatan. Ekofeminisme menggunakan etika relasional yang mengedepankan kepedulian dan pendampingan (care and accompaniment) serta memberdayakan dan mengembangkan (empower and develop).
Caroline Merchant mengaitkan eksploitasi dan penaklukan alam dengan tindakan seksual, di mana perempuan serta alam tersedia (available) bagi laki-laki. Terkait hal ini, sejatinya perempuan mempunyai relasi khusus dengan alam. Karen J. Warren mengakui relasi khusus perempuan dengan alam terkait dengan aspek historis dan sosial, di mana perempuan dipandang sebagai ibu bumi (mother earth). Ekofeminisme ingin mengatasi dualisme palsu (the false dualism), mengedepankan sistem baru yang lebih inklusif, dan memupuk visi yang lebih integral mengenai relasi manusia dengan alam.
EKOLOGI SOSIAL
Ekologi sosial mewarisi pemikiran kritis dan kategoris Marxisme, melengkapi pemikiran ekologis dengan filsafat sejarah (philosophy of history) dan analisis sosial (social analysis). Hal ini dimaksudkan untuk menjelaskan relasi dialektis antara masyarakat dan alam, di mana keduanya saling memanifestasikan diri. Sampai saat ini sistem kapitalis melihat relasi manusia dengan alam dalam cara pandang pemisahan dan keunggulan (separation and superiority). Bahkan sistem kapitalis membangun logika dominasi sosial dan budaya yang diwujudkan dalam organisasi hierarki masyarakat serta eksploitasi alam dan manusia. Logika dominasi (logic of domination) ditegakkan dalam visi deterministik dan ekonomis yang melingkupi imajinasi sosial hegemonik. Menanamkan dalam diri setiap orang penolakan terhadap semua otonomi individu sejati.
Ekologi sosial memfasilitasi komunitas dialog dan mempertimbangkan partisipasi otonom serta kooperatif di antara spesies. Hal ini dilakukan mengingat pentingnya konsepsi dialektis dan menyadari realitas keterbatasan planet. Manusia harus mengenali batas ekosistem dan permainan kekuasaan. Ekologi sosial mengajukan penjelasan kritis mengenai realitas sejarah krisis sosio-ekologi. Dengan kata lain, ekologi sosial mempromosikan tindakan transformatif sosial (socially transformative action). Analisis sosio-politik mampu memandu praksis transformatif sosial.
Ekologi sosial mendamaikan keadilan lingkungan (environmental justice) dan lingkungan hidup orang miskin (environmentalism of the poor). Keadilan lingkungan menunjukkan bagaimana kebijakan hak asasi manusia menyatu dengan dimensi lingkungan. Selanjutnya, dalam kerangka lingkungan politik dan keadilan distributif, ekologi sosial berupaya menunjukkan adanya diskriminasi alokasi sumber daya serta dampak sosial-lingkungan. Oleh karena itu, ekologi sosial menekankan pentingnya mengakui keunikan lingkungan tempat di mana manusia hidup.
Keunikan tersebut nampak dalam budaya dengan ekosistem yang diwarnai bahasa, mitos, seni, teknik, dan spiritualitas yang beragam. Tanpa perspektif antarbudaya, manusia dapat jatuh ke dalam kolonialisme lingkungan (environmental colonialism) yang mengingkari keragaman manusia sejati. Supaya tidak jatuh ke dalam kolonialisme lingkungan, manusia harus mewujudnyatakan pembangunan berkelanjutan secara komprehensif, memperhatikan identitas, makna, dan pengertian individu serta komunitas.
SINTESIS PRINSIP-PRINSIP FILSAFAT LINGKUNGAN
Peran pendidikan lingkungan adalah memikirkan dan mengusulkan alternatif pendidikan yang merangkul aspirasi berbagai macam pandangan, di mana semuanya saling melengkapi. Menyadari pentingnya bersikap inklusif berhadapan dengan derasnya arus pemikiran. Membuat pemahaman dalam rangkaian keseluruhan dan tidak membatasinya pada satu arus pemikiran. Dengan kata lain, harus mengupayakan elaborasi konseptual (conceptual elaboration). Melihat antroposentrisme (anthropocentrism) dan ekosentrisme (ecocentrism) dalam visi yang lebih luas.
Dewasa ini terjadi ancaman di mana ekosistem berhenti menyediakan sesuatu yang dibutuhkan manusia. Hal ini terjadi karena perilaku manusia yang individualis dan menjunjung tinggi antroposentrisme. Untuk mengatasi persoalan tersebut, fungsi mekanisme lingkungan harus dilestarikan. Menyadari bahwa manusia secara material, budaya, dan spiritual terjalin dengan semua makhluk yang ada di bumi. Selain itu, manusia harus menyadari tempat (place) dan kehadiran (presence) di tengah keragaman spesies.
Pendidikan ekologi mengajarkan mengenai hak-hak makhluk alam, membantu mengenali nilai-nilai intrinsik di alam, dan memungkinkan kesadaran akan pentingnya pemeliharaan alam yang berkelanjutan. Namun, pandangan dunia modern memperburuk krisis ekologi dan mempercayakan proyek epistemologis untuk kemajuan sains yang reduksionis serta mekanistik. Pendidikan ekologi bekerja secara fundamental untuk mengubah cara pandang atau paradigma manusia. Paradigma mengenai karakter relasional dunia dari epistemologi non-reduksionis dan transdisipliner.
Modernitas merasa puas dengan kepastian dan pencapaian pandangan ilmiah deterministik. Menyampaikan kebenaran (the truth) secara dogmatis dan menerapkan formula prosedural. Terkait hal ini, pendidikan ekologi membongkar mitos deterministik dari monologisme ilmiah (scientific monologism). Pendidikan ekologis mengajarkan komunitarianisme biosfer (biospheric communitarianism), di mana keberadaan manusia senantiasa dalam solidaritas dengan dunia sekitar. Membangun koeksistensi di tengah dunia dan mewarnainya dengan toleransi (tolerance). Mengakui dan menunjukkan rasa hormat serta solider terhadap nilai intrinsik sesama manusia dan non-manusia. Solidaritas satu dalam keberagaman (ones within diversity).
PENUTUP
Manusia menempatkan diri sebagai sumber dan ukuran segala sesuatu, menempati posisi tertinggi di antara spesies lainnya. Hal ini nampak ketika manusia memandang dunia secara mekanistik. Misalnya, alam ada untuk melayani manusia (nature exist to serve humanity). Arogansi manusia tersebut mengakibatkan ketidakpastian, risiko, dan bencana. Krisis ekologi terjadi dalam konteks relasi antara manusia, sumber daya alam, dan lingkungan sosial. Produksi industri, penipisan sumber daya alam, polusi, dan pembuangan limbah menghasilkan situasi dan kondisi dunia yang tidak teratur (disordered).
Pertumbuhan penduduk yang cepat, membuat tanah tidak bisa dibiarkan untuk pulih. Kepunahan massal spesies hewan dan tumbuhan akan terus berlangsung selama negara berkembang dibebani hutang. Pengejaran kemajuan materi yang tiada henti dan didasarkan pada mentalitas tanpa batas, membuat sumber daya alam terkuras serta membebani biosfer dengan limbah yang tidak dapat diurai. Selain itu, polusi diakibatkan oleh upaya meningkatkan keuntungan dan produktivitas melalui teknologi. Polusi dan kerusakan lingkungan lainnya ditanggung oleh masyarakat atau konsumen, bukan produsen.
Berhadapan dengan berbagai macam persoalan tersebut, terdapat sejumlah gagasan yang dapat diambil ketika mempelajari filsafat lingkungan dalam upaya mengatasi krisis ekologi. Pertama, memandang dunia secara ekologis, di mana segala sesuatu yang ada di dalamnya saling terkait, tidak terpisahkan. Meminimalisir sikap eksklusif dan egois, mengejawantahkan nilai-nilai ekologi serta praksis hidup berkelanjutan. Kedua, hidup dalam kehati-hatian, mengutamakan cara hidup yang seimbang ketika berhadapan dengan ekosistem serta biosfer. Mengantisipasi dorongan egois dan kompetitif kapitalisme serta memperhatikan batasan penggunaan sumber daya alam. Menciptakan masyarakat ekologis yang didasarkan pada pola kebijakan berkelanjutan yang mencakup aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, teknologi, dan lingkungan.
Ketiga, bersikap kritis terhadap sejumlah cara pandang yang meluas di tengah masyarakat dewasa ini, yaitu alam semesta dipandang secara mekanistik, tubuh manusia dipandang sebagai mesin, perjuangan kompetitif untuk mempertahankan eksistensi, dan kemajuan dapat dicapai melalui pertumbuhan ekonomi serta teknologi. Keempat, melakukan pembaharuan nilai moral dan spiritual. Mengedepankan semangat politik egaliter yang independen dan mencintai bumi. Melihat dunia sebagai sesuatu yang holistik, organik, ekologis, dan spiritual. Bumi dipandang sebagai tubuh, air sebagai darah, udara sebagai nafas, dan gunung berapi sebagai sistem pencernaan.
Kelima, berjuang menuju kondisi yang mapan untuk pemeliharaan kehidupan. Memusatkan perhatian pada kebangkitan kehidupan dari yang mekanik ke yang organik. Menjunjung tinggi budidaya, humanisasi, kerja sama, dan simbiosis. Hal ini dapat dilakukan dalam perencanaan kota, pembangunan daerah, dan pertukaran sumber daya dunia. Keenam, mengaktualisasikan pembangunan berkelanjutan, memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang.
Terdapat dua kata kunci dalam pembangunan berkelanjutan, yaitu kebutuhan (needs) dan batasan (limitations). Kebutuhan terkait dengan sesuatu yang menjadi prioritas dan harus diberikan. Sedangkan batasan diberlakukan dalam ranah teknologi dan organisasi sosial dalam kaitannya dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan saat ini serta masa mendatang. Akhirnya, penelitian, inovasi, dan evaluasi memungkinkan bertumbuh serta berkembangnya pembangunan berkelanjutan dan keutuhan lingkungan serta budaya.
SUMBER BACAAN:
Brenner, Joseph E. “The Philosophy of Ecology and Sustainability: New Logical and Informational Dimensions.” PHILOSOPHIES. Vol. 16, No. 3 (2018), hlm. 1-21.
Grierson, David. “Technology and Ecology.” Dalam David Humphreys dan Spencer S. Stober (editor). Transitions to Sustainability: Theoretical Debates for a Changing Planet. Illinois: Common Ground Publishing, 2014, hlm. 105-118.
Motos, David Molina. “Ecophilosophical Principles for an Ecocentric Environmental Education.” Education Sciences. Vol. 37, No. 9 (2019), hlm. 1-15.
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di dalam EDISI KHUSUS ECOPHILOSOPHY, Gita Sang Surya, Vol. 16, No.4 (Juli-Agustus 2021), hlm. 2-7.
Terima kasih sdra artikelnya sgt bgus dan penting untuk kita spya merawat alam ini dgn baik