Oleh: Guido Ganggus OFM
1. Trinitas: Misteri Ekonomi (Oikonomiae Sacramentum)
1.1. Perlunya Ekonomi dalam Allah
Istilah ekonomi dibutuhkan sebagai acuan yang penting untuk memahami Trinitas.[3] Trinitas dengan ketiga pribadi (Bapa-Putra-Roh Kudus) tidak hanya konsep yang melulu jauh dari realitas kehidupan manusia, tetapi konsep yang membumi untuk mewartakan keselamatan melalui penjelmaan sang Putra. Putra menjadi keberadaan sentral dari Allah karena dengan Dia (Firman) yang keluar dari Allah berperan untuk menciptakan, mengatur, menghakimi, dan terutama bersaksi tentang kebenaran Allah. Pada titik ini, ekonomi perlu dilihat dalam konteks keselamatan manusia. Keselamatan manusia yang diprakarsai oleh ketiga pribadi dan memuncak dalam Kristus adalah suatu tindakan misteri Allah yang tunggal. Walaupun terdapat ketigaan, Trinitas tidak mengesampingkan pemerintahan tunggal Allah (monarki). Monarki dan ekonomi harus berjalan bersama agar pemahaman akan Allah tiga pribadi tidak dipahami secara salah. Monarki tetap mengedepankan adanya satu Allah yang memerintah, tetapi keselamatan terjadi dan berproses melalui ekonomi Allah yaitu; Bapa, Putra, dan Roh Kudus.
Tertulianus menyatakan bahwa ekonomi Allah seperti membagikan (distributes) kesatuan ke dalam Trinitas sehingga tiga menjadi satu, dalam hal kondisi (quality), substansi (substance), dan kuasa (power), tetapi berbeda dalam derajat (sequence),[4] aspek (aspect), dan perwujudan (manifestation).[5] Rumusan inilah yang disebut oleh Tertulianus sebagai misteri ekonomi (the mistery of economy). Trinitas harus dijalankan dalam kerangka susunan internal (the internal disposition) keallahan. Misteri ekonomi adalah keikutsertaan ketiga pribadi yang berbeda dalam hal derajat, aspek, dan manifestasi dalam sejarah keselamatan.[6] Tertulianus bukan hanya menekankan Allah yang imanen (Rasio atau Hikmat Allah), tetapi memberikan perhatian juga pada sejarah keselamatan manusia melalui keaktifan persona-persona yang lain.
Pembahasan mengenai ekonomi dijelaskan oleh Tertulianus dalam salah satu karyanya Apologeticum. Dalam karya tersebut, Tertulianus membandingkan klaimnya dengan filsafat Stoa. Stoa (Zeno) berbicara mengenai logos sebagai “kata” (word), “akal” (reason), “peramal” (oracle), “jiwa Jupiter/dunia” (mind of Jove) dan “dewa” (god). Semua pemahaman Stoa tentang logos hal-hal disatukan (cleanthes) menjadi “roh” (spiritus) yang menyerap di semesta (universe).[7] Kemudian kaum Kristen (baca: teolog) pada masa itu membuat suatu klaim yang sama bahwa Allah menjadikan segalanya oleh “Roh” yang adalah sabda, pikiran, dan kuasa-Nya. Roh sebagai bagian dari substansi Bapa menjadi penyebab segala sesuatu untuk menjadi milik-Nya. Hanya Roh yang dapat sampai kepada logos yang tertinggi (Allah).[8] Roh adalah sungguh substansi dari Allah termasuk Sabda yang dinyatakan-Nya. Sabda itu yang akan mengatur, menghakimi, dan menguasai seluruh ciptaan. Tertulianus mengadaptasikan pemikiran tersebut dengan mengatakan bahwa Sabda adalah perpanjangan dari Tuhan yang lahir melalui proyeksi; sehingga Putra Allah juga disebut Allah sebab berasal dari kesatuan substansi-Nya. Putra sungguh diperanakkan dari Rasio Allah yang paling dalam sehingga Ia disebut sebagai Allah tanpa suatu kekurangan apapun pada-Nya.
Tertulianus memberikan analogi; seperti matahari dan sinarnya. Matahari memancarkan (keluar) dari dirinya sinar, maka sinar merupakan bagian dari matahari (unsur matahari tetap ada di bagian sinar) yang akan menjadi sinar matahari. Dalam hal ini lebih tepat jika dikatakan Putra itu suatu penerusan (extension) dari pada suatu pemisahan (separation) substansi antara Bapa dan Putra. Konsekuensinya kalau dihubungkan dengan Trinitas, apapun yang berasal dari Allah adalah sempurna; Allah tetap satu dengan Dia dan Putra sungguh Allah. Putra yang datang dari Allah memiliki derajat tanpa berubah, tanpa mengalami penyurutan (receding) tetapi lanjutan sempurna (proceeding) dari sumbernya.
1.2. Relasi Substansial
Trinitas adalah suatu jalinan relasi substansial keallahan yang pada satu sisi menuntut perbedaan dan pada sisi lain menuntut kesamaan antara tiga anggota dalam ekonomi Ilahi. Relasi tersebut adalah suatu keniscahyaan, kepastian, dan mutlak. Oleh karena itu, tidak akan ada lagi relasi lain selain relasi substansial dalam keallahan. Relasi dalam keallahan adalah determinatif, pasti, dan tidak bisa ditawarkan oleh alternatif lain selain relasi antara mereka. Bapa, Putra, dan Roh Kudus menjalin relasi substansial yang mutlak (absolut).[9] Keberadaan satu terhadap yang lain tidak bisa dinegasikan begitu saja apalagi menegasikan Roh Kudus (mendiami Putra) karena melalui Roh Kudus jugalah keselamatan juga terwujud. Ketiga pribadi yang satu dengan kemutlakan kesatuan substansi hadir dalam cara “berada bersama” mereka sendiri.
Kemutlakan relasi substansial Allah menyiratkan kesatuan yang tidak terpisahkan. Hal ini berarti bahwa relasi yang terjalin didasarkan pada hal mendasar atau hakiki yang melekat pada ketiga pribadi yaitu, substansi. Melalui substansi yang sama, Trinitas dengan ketiga pribadi memiliki kesamaan tanpa pertentangan. Relasi substansial itulah yang menyatukan mereka dalam keallahan. Relasi substansial terjadi melalui apa yang diperanakan dari Dia sendiri.[10] Putra yang diperanakkan dari Allah adalah sama dengan Allah. Apapun yang diciptakan oleh Allah memiliki hubungan sebab-akibat pada yang diciptakan. Apa yang diciptakan memang tidak selalu seperti substansi Allah karena ciptaan hadir dalam waktu. Putra yang sudah ada sebelum waktu (praeksistensi) menjadikannya berbeda dengan ciptaan lain. Dia sungguh Allah karena merupakan Rasio Allah. Allah itu kekal dan tidak berubah; yang berubah adalah ciptaan karena berasal dari ketidakberadaan.[11] Di dalam tiga pribadi ilahi terdapat hanya satu substansi Allah yang identik (tapi tidak sama) dengan ketiga pribadi tersebut. Keberadaan Allah yang kekal ditunjukkan melalui relasi substansial ketiga pribadi yang saling membutuhkan.[12] Mereka tidak aksidental tetapi esensial.
Perbedaan dalam kerangka relasi substansial terletak dalam hubungan hubungan asal (origin) pada ketiganya. Hubungan asal yang dimaksud berkaitan dengan Allah Putera berasal dari Allah Bapa, dan Roh Kudus berasal dari Allah Bapa dan Putera. Hubungan asal menjadikan mereka berbeda satu terhadap pribadi yang lain. Namun mereka berhubungan dalam satu ikatan kasih antara Bapa dan Putra serta secara bersama Roh Kudus yang menjadi penyempurnanya.[13] Mereka saling memberi satu sama lain karena suatu hubungan yang sempurna yaitu Allah Bapa; “Ia yang melahirkan Putera”, kepada Putera, “Ia yang lahir dari Allah Bapa”, dan kepada Roh Kudus, “Ia yang berasal dari Allah Bapa dan Putera”. Ketiga pribadi ini berbeda secara nyata satu sama lain, yaitu di dalam hal hubungan asalnya: yaitu Allah Bapa yang “melahirkan”, Allah Putera yang dilahirkan, Roh Kudus yang dihembuskan.[14] Perbedaan dalam hal asal tidak membagi kesatuan Ilahi, namun menunjukkan hubungan timbal balik antara pribadi Allah. Bapa dihubungkan dengan Putera, Putera dengan Bapa, dan Roh Kudus dihubungkan dengan kedua-Nya.
2. Trinitas dan Pengaruh Filsafat
2.1. Allah Tritunggal dan Disposisi Relatif
Pemikiran Tertulianus sebagian besar sudah dipengaruhi oleh filsafat Stoa termasuk dalam karyanya Against Praxeas. Istilah Allah Trinitas yang tunggal sulit dipahami oleh orang banyak pada zaman itu, sehingga Tertulianus berinisiatif menjelaskan konsep Allah Tritunggal dengan bantuan bahasa filsafat Stoa. Dalam hal ini, Tertulianus mengembangkan konsep Stoa dengan menganalisis empat kategori logis Stoa.[15] Kategori-kategori yang dimaksud oleh Tertulianus adalah: substansi, kualitas, cara berada atau disposisi, dan cara relatif atau disposisi keberadaan.[16]
Pertama; substansi. Substansi digunakan atau diterapkan pada hal pertama bagi segala sesuatu yang ada, entah material atau objek benda/bertubuh. Itulah hal utama dari semua hal yang ada yang tidak dapat berubah sebab menjadi esensinya. Kedua; kualitas. Kualitas mengacu pada penggolongan suatu hal atau materi menjadi bentuk sesuatu yang partikular/individual.[17] Segala sesuatu yang ada memiliki substansi dan kualitas yang membedakannya dari materi lain. Substansi dan kualitas adalah dua komponen material yang tidak bisa ada sendirian. Suatu objek menjadi spesifik ketika memperoleh kualitas yang digambarkan sebagai hal atau unsur atau roh dengan suatu cara keberadaannya sendiri. Misalnya, manusia memiliki dua substratum yaitu substansi dan kualitas atau dua ekor burung memiliki satu substansi dan dua hal berkualitas. Dal hal ini, metafisika Stoa mulai menggolongkan sesuatu menjadi partikular atau khusus. Ketiga; cara berada atau disposisi. Kategori ketiga ini digunakan untuk menggambarkan kondisi substrat kualitatif, bukan substrat eksistensial dari hal yang membedakan benda tersebut.[18] Dalam arti yang lain disposisi menggambarkan situasi dan atribut individual. Disposisi mencakup waktu, tempat, tindakan, ukuran, dan corak atau warna. Semua fitur ini tercakup dalam kategori disposisi dan dianggap oleh aliran Stoa sebagai yang melekat pada individu.
Keempat; disposisi relatif. Kategori ini menggambarkan bahwa suatu hal memiliki korelasinya dengan yang lain atau suatu hal/individu diarahkan pada relasi dengan fenomena lain.[19] Suatu objek menjadi berbeda karena disandingkan dengan yang lain. Suatu hal/individu/materi menjadi relatif karena disandingkan dengan hal lainnya namun hal/benda itu tetap memiliki kondisi dan karakternya sendiri. Objek sebelumnya dibedakan berdasarkan perbedaan yang melekat dalam diri objek tersebut. Namun pada disposisi relatif, suatu objek berbeda bukan karena hal yang melekat dalam diri objek tetapi perbedaan karena merujuk pada sesuatu yang lain. Dalam arti ini, disposisi relatif merujuk pada hubungan sederhana satu sama lain dan bukan oleh perbedaan intrinsik yang melekat dalam suatu objek.
Dari empat kategori ini, Tertulianus lebih menekankan pada “disposisi relatif” dalam ke-Tritunggalan Allah. Kemajuan Tertulianus terletak dalam penggunaan istilah Stoa yaitu disposisi relatif. Tertulianus menggunakan kategori disposisi relatif dalam memperjuangankan konsep ekonomi atau dispensasi dalam keallahan yang saling berhubungan dalam kesatuan dan kepluralan dalam Trinitas.[20] Rumusan iman Kristen pada mulanya selalu membutuhkan kepluralan dalam Allah. Putra membutuhkan Bapa dan Bapa membutuhkan Putra. Disposisi relatif diperlukan supaya keselamatan itu sungguh-sungguh menyata bagi kehidupan manusia. Sentralitas keselamatan sebenarnya tercermin dalam disposisi relatif Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Disposisi relatif bertumpu dan mengarah pada suatu relasi sederhana kepada yang lain.[21]
Tertulianus menggunakan kategori-kategori tersebut dengan caranya sendiri. Bapa dan Putra memiliki keberadaan mereka dalam disposisi mereka sendiri dan ketika disposisi itu ditolak, Bapa dan Putra tidak demikian adanya/terjadi seperti itu.[22] Seorang Bapa menjadikan Putra dan seorang Putra menjadikan seorang Bapa. Disposisi relatif mereka berarti bahwa Bapa tidak dapat berhubungan dengan diri Bapa sendiri seperti (idealnya) yang Ia lakukan kepada Putra, juga sebaliknya Putra tidak dapat berhubungan dengan diri Putra seperti (idealnya) yang Ia lakukan kepada Bapa. Artinya bahwa Bapa harus sendiri dan Putra juga demikian. Allah menetapkan dan menjaga hubungan di dalamnya. Hubungan-hubungan itu membuat identitas siapakah seseorang (Bapa) ketika seseorang itu memiliki yang lain (Putra). Bapa dan Putra tidak identik. Jika identik antara kedua-Nya, maka konsep sesat terjadi seperti Praxeas. Dengan demikian, ekonomi dalam Trinitas diperkuat oleh disposisi relatif dari Stoa.[23] Disposisi relatif digunakan untuk menggambarkan bagaimana nama Bapa dan Putra mengacu pada hubungan (Bapa-Putra) dan bukan pada kualitas intrinsik kedua-Nya.
2.2. Putra Selalu Menjadi Bagian dalam Ekonomi Ilahi
Dalam usaha untuk menjelaskan identitas Yesus, para Bapa Gereja awal tepatnya Yustinus Martir menggunakan istilah logos dalam permulaan Injil Yohanes (bdk. Yoh. 1:1). Dalam Injil itu dikatakan bahwa Yesus Kristus merupakan Firman Allah dan Hikmat Kebijaksanaan Ilahi. Gagasan tentang Firman atau logos pada zaman Yustinus Martir sangat berkembang dan juga menjadi bagian inti dalam filsafat Stoa (berpangkal pada filsafat Plato). Aliran filsafat ini tersebar di dunia Yunani-Romawi terutama di kalangan cendekiawan. Logos yang kekal dalam Injil Yohanes dipahami secara sama dengan aliran filsafat khususnya Stoa bahwa segala sesuatu berasal dari Logos itu. Maka, Logos itu merupakan pancaran dari keallahan yang satu. Dalam arti itu, logos boleh disebut sebagai anak Allah seperti yang diungkapkan oleh Philo dari Aleksandria.
Dalam keallahan, logos merupakan suatu kekuatan besar atau daya ilahi yang transenden atau prinsip rasional yang menjiwai segala sesuatu di semesta.[24] Logos yang mendiami keallahan itu yang paling dalam disebut logos endiathetos. Pada saat jagat raya atau kosmos itu diciptakan, logos itu keluar dari keallahan. Logos yang keluar dari keallahan itu disebut logos proporikos. Logos proporikos keluar dan menjadi tersendiri. Logos itu meresap segala sesuatu dan khususnya manusia yang berakal menjadi peserta dalam logos itu (logos spermatikos) yang berperan sebagai akal jagat raya. Logos ilahi internal yang disebutkan sebagai Allah (kedua) akhirnya lahir dari seorang perawan dan menjadi seperti manusia.[25] Sebelumnya logos menjadi daging, Ia menampakan diri dalam pelbagai rupa kepada para Bapa Bangsa, Abraham, dan lain sebagainya tetapi tampak sepenuhnya ketika logos itu menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus.
Untuk memahami Putra, Tertulianus juga membahas mengenai Firman atau Putra dari Filsafat Stoa. Stoa membedakan antara inner (batin, pusat, inti) dan uttered (mengucapkan, melisankan, melahirkan, menyuarakan) logos.[26] Inner disamakan dengan logos endiathetos (Rasio atau Firman yang mendiami batin/pusat) dan uttered disamakan dengan logos proporikos (Firman yang keluar).[27] Konsep inner diterapkan pada Bapa dan uttered pada Putra. Jadi, Allah sudah memiliki logos sebagai pikiran yang akan keluar dari-Nya. Perbedaan antara logos endiathetos dan logos proporikos adalah semata untuk menjelaskan hubungan antara Bapa dan Putra bahwa keberadaan kekal atau kelahiran kekal Putra oleh Bapa dapat dianalogikan sebagai logos endiathetos, sedangkan inkarnasi Putra dianalogikan dengan sabda bijaksana logos proporikos.[28]
Dengan demikian, Putra adalah Pikiran, Rasio Allah yang selalu bersama dalam kedalaman Allah yang paling dalam yang keluar dari-Nya. Melalui tindakan kreatif Allah, pikiran tidak tinggal diam dalam batin, tetapi keluar atau melisankan secara sempurna sebagai sabda.[29] Oleh karena itu, sabda Ilahi keluar ketika Allah berfirman, “Jadilah terang”. Tertulianus mengakui bahwa melalui sabda yang diucapkan oleh Allah, Firman lahir guna menjadikan apa yang diucapkan oleh Allah. Tertulianus melukiskan perbedaan antara Firman imanen dalam Allah dan Firman pancaran atau ucapan dari Allah yang lahir dari substansi Ilahi dengan mengambil cara bertahap. Melalui Firman internal, bagi Tertulianus Ia adalah kekal, sedangkan Firman yang keluar tidak kekal. Inner dan uttered diterima sebagai dua cara keberadaan Firman Allah sebelum inkarnasi.[30] Pada tahap terakhir (melampaui Stoa), penebusan terjadi melalui peristiwa Firman menjadi daging.
Tampak melalui filsafat Stoa, Trinitas bergerak turun melalui langkah-langkah yang saling terkait dan terhubung sambil tetap menjaga monarki dan ekonomi.[31] Trinitas yang berasal dari Allah yang terhubung melalui langkah-langkah itu tetap satu substansi. Maka, perbedaan dalam Trinitas bukan soal substansi tetapi persona. Langkah-langkah itu berkaitan dengan sebutan untuk Putra dan Roh Kudus sebagai bagian keseluruhan dari substansi Ilahi.
2.3. Substansi
Bagi Tertulianus, Allah yang diimani oleh orang Kristen begitu khas sebab terdiri dari tiga pribadi Ilahi.[32] Kekhasan itu merujuk pada ketigaan yang menjadi satu; satu dalam kualitas, substansi, dan kekuasaan; Allah unik melalui tiga derajat, aspek, dan perwujudan. Walaupun unik, mereka tetap dalam naungan Allah sepenuhnya, Ilahi, dan kekal. Dalam Trinitas, Bapa sebagai asal dan pemilik kekuasaan yang terbesar, namun ketiga-Nya memiliki kebesaran yang sama dalam cara atau bentuk berbeda.[33] Kebesaran atau kekuasaan Allah Tritunggal melampaui segala sesuatu yang ada termasuk para Malaikat di surga dan kekuasaan tersebut dimiliki secara bersama oleh-Nya. Allah Tritunggal membawahi kekuasaan para Malaikat sehingga Allah menjadi penguasa segalanya. Setiap anggota dalam Trinitas menguasai tanpa batas (without limit) segala di atas segala kekuasaan. Bapa mengkomunikasikan semua kekuasaan kepada Putra dan Roh tanpa ada yang disembunyikan sehingga mereka menjadi yang Mahakuasa.
Tertulianus berusaha menggunakan konsep “satu substansi dengan tiga pribadi” semata-mata untuk menghindari tuduhan Politeisme Gnostik dan Monarkianisme Modalis. Tertulianus menekankan bahwa satu substansi adalah term yang digunakan untuk mendefinisikan realitas dasar yang umum yang dimiliki bersama oleh Bapa, Putra, dan Roh Kudus.[34] Substansi Allah adalah misteri yang tak terlukiskan namun hanya bisa dibahasakan secara sederhana melalui suatu analogi.[35] Tiga pribadi berbeda hadir dalam satu substansi Allah adalah bentuk kepribadian yang diidentifikasi oleh nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.
Tertulianus dipengaruhi oleh Stoa dalam melihat substansi. Tertulianus mengasumsi bahwa setiap substansi adalah korporeal atau bertubuh.[36] Namun tubuh Allah tidak terlihat, tidak terjamah, dan tidak dapat disentuh. Semua yang ada adalah bertubuh. Tertulianus sangat gencar mengatakan bahwa, jika Allah tidak bertubuh tidak mungkin dapat menciptakan sesuatu yang bertubuh atau bermateri. Artinya substansi Allah adalah Roh dan bertubuh. Tampak dalam hal ini Tertulianus termasuk filsuf aliran materialis, seperti Stoa. Tertulianus telah menerima secara umum penggunaan istilah dari Stoa tentang substansi sebagai barang atau materi (stuff).[37] Substansi bukan hal non material. Tertulianus menggunakan istilah Stoa untuk suatu hal tertentu, lebih tepatnya merujuk pada materi pokok dari sesuatu hal. Definisi Stoa ini turut menyertai konsep substansi Allah yang tidak murni material seperti pengertian yang diterima umum saat ini.
Kesatuan adalah suatu pembahasan tentang masalah atau hal substansi.[38] Substansi Allah berarti Allah sendiri dengan keberadaan-Nya yang eksistensial, memiliki derajat, karakter, Ilahi, serta kekekalan. Bisa juga dipahami sebagai suatu kesatuan materi terikat. Substansi mengakui semacam distribusi dan pluralitas tanpa membentuk sebuah divisi. Dalam hal ini hubungan antara Bapa dan Putra tidak lagi dilihat sebagai relasi pribadi melainkan kesatuan substansi. Bapa dan Putra adalah satu, tetapi bukan dilihat sebagai kesatuan hubungan antara Pribadi tetapi kesatuan dalam substansi (kodrat).
2.4. Persona[39]
Kata “persona” merupakan istilah teknis untuk memahami Trinitas. Kata Latin “persona” (person) merupakan adaptasi bahasa Yunani (prosopon berpadanan juga dengan kata “hypostasis”) yang berarti “muka” atau “topeng” yang dimainkan atau diperankan dalam suatu drama Yunani oleh seorang aktor drama.[40] Kata persona kemudian mengalami pergeseran makna, dari bermakna “topeng” merujuk pada peran atau karakter yang dimainkan oleh aktor drama. Aktor drama itu menampilkan karakter khusus dan istimewa. Selain makna tersebut, kata persona berarti, “keberadaan individual yang nyata” yang menjadi pembeda dengan karakter yang lain dalam drama.[41] Istilah “prosopon” dan “persona” pada dasarnya menyampaikan suatu kekhususan yang menjadi pembeda individual dalam drama.
Dari pengertian tersebut, Tertulianus menggunakan kata persona untuk menunjukkan beberapa pribadi dalam Allah Tritunggal. Istilah ini (berbeda dengan pengertian modern) cukup membantu membuka pengertian bagaimana Allah Tritunggal dijelaskan pada satu sisi tunggal dan pada sisi lain terdiri dari tiga pribadi. Bagi Tertulianus, persona dikaitkan dengan subjek bersabda, subjek menciptakan, dan subjek menguduskan.[42] Pemikiran Tertulianus disingkat menjadi “una substantia, tres personae” (satu substansi, tiga pribadi). Ungkapan ini didasarkan pada ungkapan Tertulianus yang mengatakan bahwa satu kesatuan substansi, tiga pribadi berdiam bersama.[43]
Penggunaan istilah persona menjelaskan keberadaan Allah yang berbeda dalam rupa-rupa pada struktur internal-Nya. Tertulianus yang mempercayai keyakinan Tritunggal berdampak pada keharusan untuk berbeda melalui penggunaan istilah persona. Tertulianus dengan baik memberikan gambaran pemakaian bahwa persona merujuk pada apa yang menjadi karakteristik dan ciri pembeda dalam kehidupan yang paling dalam dari Allah (inner life), sedangkan substansi merujuk pada apa yang membuat mereka terhubung dan menyatu menjadi satu dalam kehidupan batin Allah.[44] Melalui rumusan ini terlihat jelas perbedaan antara persona dan substansi. Persona merupakan perwujudan efektif (effective manifestation) dari suatu perbedaan dalam Allah.
Persona dan substansi digunakan oleh Tertulianus untuk menemukan suatu perbedaan nyata dan cara semata untuk membedakan. Artinya bahwa persona yang dimaksud tidak akan membuat pemisahan secara nyata dalam hal substansi, tetapi hanya untuk sekedar menyatakan bahwa mereka berbeda. Misalnya, Bapa sebagai yang mengutus berbeda dengan Putra sebagai yang diutus, dan Roh Kudus sebagai yang akan melanjutkan karya Allah. Penyebutan nama-nama itu adalah cara berada Allah dan bukan suatu pembagian yang nyata sehingga terpisah tanpa hubungan dari sumbernya. Pembagian nyata akan menimbulkan keterpecahan inti (substansi) dalam Allah (mengakibatkan tiga Allah). Oleh karena itu, Tertulianus mengedepankan persona dan substansi agar mudah dipahami tanpa menyimpulkan suatu penafsiran salah akan Allah.
Persona dan substansi adalah dua kata dengan skala penggunaan yang berbeda. Persona bukanlah suatu kata metafisik, tetapi digunakan untuk membedakan dan mendukung penggunaan kata substansi yang metafisik. Substansi yang metafisik ditandai oleh substansi Allah yang rasional (sabda) yang keluar serta nyata dalam Putra yang mana suatu hal berbeda yang diindikasikan sebagai Putra yang memiliki hubungannnya dengan Bapa dan Roh. Dalam rumusan tersebut perbedaan belum terlalu jelas serta batasnya. Maka Tertulianus mencoba menggunakan kata tersebut cukup membantu menjelaskannya. Bagi Tertulianus, persona melibatkan kombinasi dari individualitas dan relasionalitas.[45] Artinya bahwa persona lebih mengacu pada konsep individu namun tetap dalam kerangka terjalin suatu relasionalitas antara mereka. Ekspresi Trinitas dengan penyebutan kata persona tidak akan mengaburkan makna mendalam akan relasi yang terjalin antar persona.
3. Tritunggal: Kepercayaan pada Satu Allah
Kepercayaan kepada satu Allah yang Esa adalah suatu konsep kepercayaan yang mudah diterima oleh pikiran orang banyak. Dalam agama Yahudi, mereka sangat mengakui Allah yang satu. Kepercayaan Yahudi tersebut seperti tafsiran filsuf Yahudi ternama bernama Philo. Philo memperkuat ajaran Yahudi dengan melihat kata-kata Allah kepada Musa; Aku adalah Aku”. (Kel. 3:14). Berdasarkan terjemahan Yunani atau Torah, kata itu berarti, “Aku adalah yang Esa adanya”. Philo meyakini bahwa teks tersebut menandaskan bahwa Allah adalah “ada” (Being) atau yang Esa.[46] Dengan demikian dia menjadi seorang yang pertama membela tentang keesaan Allah. Penamaan atas prinsip atau realitas metafisis yang paling menentukan itu sebagai “Yang Esa” atau “Ada” yang berasal dari pemikiran Yunani, tetapi Philo melihat konsep ini sebagai yang secara tegas sudah ada dalam Alkitab. Allah adalah sesuatu yang transenden dan tak dapat dibayangkan. Dia melampaui waktu, tidak tersentuh oleh materi, dan tidak dapat dipahami. Dalam pemikirannya belum terlihat hubungan antara Allah dan manusia.
Hubungan Allah dan dunia mulai digambarkan Philo dengan menekankan tradisi yang ditemukan dalam Kitab Kebijaksanaan Salomo.[47] Kebijaksanaan atau Logos Allah adalah yang memperantarai semua hubungan antara Yang Esa dengan tatanan ciptaan.
“….Dengan kebaikan Dia memperanakkan alam semesta dan dengan otoritas-Nya Dia memerintah apa yang sudah diciptakan-Nya. Dia memiliki hal ketiga – ada diantara mereka -yang membawa kedua-Nya bersama-sama yaitu, logos-Nya. Melalui logos, Allah adalah pemerintah dan kebaikan dari kedua-duanya……Logos itu dilahirkan dalam akal budi Allah sebelum segala sesuatu dimanifestasikan dalam hubungan dengan semua hal.”[48]
Melalui kutipan Philo di atas, dapat dilihat bahwa Philo sudah memiliki konsepsi tentang Allah yang Esa, yang juga disebutnya Bapa, dan tentang Logos, yang disebutnya Anak.[49] Namun, hubungan antara ketiganya belum terlalu jelas digambarkan oleh Philo. Secara keseluruhan doktrin Tritunggal tidak ditemukan oleh orang Kristen, tetapi oleh pemikiran seorang Yahudi yaitu, Philo Aleksandria dengan dari Kitab yang dinamakan Kitab Kebijaksanaan Salomo. Philo menjadi pemikir yang memprofokasi diskusi Tritunggal.
Kalau berkaca pada sejarah, pembicaraan tentang kesatuan Allah (Esa) merupakan suatu pokok pembicaraan yang sudah menggema sebelum zaman Tertulianus.[50] Konsep kesatuan akan Allah dipandang sebagai konsep lanjutan dari tradisi Ibrani dan suatu tradisi Triad (tiga serangkai). Kemudian Bapa-bapa Gereja awal mencoba mengembangkan konsep Tritunggal dengan mendasarkan diri pada sabda Kitab Suci dan juga pikiran filsafat tentang Logos serta pemikiran Philo. Tertulianus juga demikian, ia mencoba mengembangkan konsep kesatuan antara Bapa-Putra-Roh Kudus.[51] Tertulianus menggunakan salah satu referensi utama untuk mendukung kesatuan dalam Allah dengan kutipan Injil Yohanes (1:1) atau kesatuan dengan Roh Kudus melalui kutipan Matius (28:19). Teks Matius ini juga digunakan oleh Tertulianus dalam rumusan pembaptisan. Pembaptisan melibatkan kesatuan substansi Allah tiga pribadi Allah.
Allah Tritunggal bukan suatu penggandaan penguasa surgawi, tetapi hanya ada satu Allah yang meraja. Allah yang satu itu membaharui janji-Nya dengan manusia melalui Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Melalui cara baru ini, manusia sungguh dapat mengenal Allah secara langsung dengan nama dan pribadi-Nya, yang pada zaman dahulu belum dipahami. Bagi Tertulianus, Allah Tritunggal hadir dalam kenyataan hidup manusia. Allah Tritunggal adalah Allah yang baik dan benar, Dia pencipta dan penguasa dunia yang penuh kejahatan serta kekacauan ini.[52] Allah yang demikian itu dapat dipercaya, jika Ia dalam Yesus Kristus, menebus dunia yang penuh kekacauan, dan akan selalu menyertai manusia melalui Roh Kudus. Allah tidak tinggal diam melihat kenyataan menyeluruh akan situasi dunia.
4. Dua Hakikat (Nature) dalam Putra: Putra Allah dan Putra Manusia
Yesus yang datang ke dunia memiliki suatu kegandaan khusus dalam diri-Nya yaitu Dia sungguh Putra Allah dan Putra manusia. Dalam hal ini Putra memiliki dua kodrat yang menyatu dalam diri-Nya; Dia adalah Firman, Roh Ilahi, yang mengenakan daging manusia bagi diri-Nya sendiri dan menggabungkan Allah dan manusia di dalam diri-Nya sendiri.[53] Firman yang dikandung melalui Roh tetap sama dan tidak berubah dan kekal sehingga tidak akan melebur dalam kedagingan Kristus. Maka pada Yesus Kristus dengan dua kodrat itu, tidak pernah sedikit pun tercampur antara Roh dan daging tetapi tersambung dalam satu pribadi. Pada pribadi Yesus, tiap-tiap zat atau substansi yang tidak terpisah tetap mempunyai ciri-cirinya sendiri dan terdapat serangkaian perbuatan dan tindakan-Nya di dunia terpancar atau atas dasar kehendak dari pribadi yang lain.[54] Dua kodrat menyatu dalam satu pribadi, sehingga Allah sungguh-sungguh disalibkan, Allah benar-benar mati dan dibangkitkan. Yesus Kristus anak Allah tidak dapat dipotong menjadi dua hal terpisah. Dalam konteks ini Tertulianus mencoba memikirkan relasi antara anak Allah yang menjadi manusia dan manusia Yesus orang Nazaret itu.
Pemahaman Tertulianus akan kedua hakikat dalam satu pribadi Yesus sangat dipengaruhi oleh filsafat Stoa[55] yang menyatakan bahwa dalam diri Kristus, Roh dan daging memelihara perbedaan itu. Tertulianus konsisten melawan kaum Monarkian yang memandang Yesus hanya manusia biasa. Mereka melihat bahwa Yesus begitu istimewa karena taat kepada Allah sehingga pada saat pembaptisan, Ia dipilih (Adopsianis) dan dianugerahi kuasa Roh Kudus sehingga mampu memancarkan kekuatan ilahi. Kaum Monarkian memandang Firman menjadi daging melalui proses transfigurasi (pertukaran), bukan dengan mengenakan pakaian daging.[56] Tujuan Allah mengenakan pakaian daging adalah demi keselamatan manusia. Allah yang tidak mau berkotor tangan pada kotornya dunia tidak dapat menyelamatkan apa-apa, karena itu Logos Allah sungguh menjadi seperti manusia (disalibkan dan wafat).[57] Dengan demikian penjelmaan menjadi manusia (inkarnasi) tidak boleh dipahami sebagai proses Logos menjadi daging sehingga substansi atau kodrat ilahi berubah menjadi kodrat manusia. Logos Allah adalah kekal sehingga tidak dapat berubah.
Kedua kodrat dalam diri Yesus menyatu menjadikan-Nya berbeda dengan Bapa. Tertulianus menjelaskan:
“Perbedaan antara Bapa dan Putra tidak sedikit pun mengganggu persatuan seperti matahari dan sinarnya atau hulu sungai dan sungai. Kaum Monarkian bingung dengan pembagian kedua (Putra) atau ketiga (Roh Kudus). Maka untuk membedakan keduanya dalam satu pribadi sebagaimana antara Bapa dan Putra, Putra adalah daging yaitu: manusia; yaitu; Yesus, sedangkan Bapa adalah Roh yaitu Allah; itu adalah Kristus”.[58]
Melalui kutipan di atas, Tertulianus ingin menegaskan langkahnya untuk memisahkan daging dan Roh. Tertulianus menyatakan bahwa Firman Tuhan adalah Roh Tuhan yang disebut kekuatan yang Mahatinggi berasal dari Allah. Roh tetap Roh dan daging tetap daging. Dalam hal ini dapat dilihat kegandaan, bukan suatu percampuran tapi ikut atau hadir dalam satu pribadi.[59] Keduaan atau kegandaan yang berkualitas bergabung dalam satu pribadi yaitu daging dan Roh menjadi satu. Kesatuan dalam Pribadi itu merupakan konsep interpenetasi Stoa akan tubuh fisik yang tetap mempertahankan kualitas khusus dan bukan digantikan oleh hal ketiga. Bagi Tertulianus, frase dua di dalam satu berarti interpenetrasi dari dua tubuh, di mana kesatuan fisik mereka adalah percampuran total.[60]
Untuk menjelaskan hakikat Yesus, Tertulianus juga mengacu pada sabda Malaikat (Luk. 1:35) bahwa anak yang dilahirkan oleh Maria akan disebut “Kudus, Anak Allah” yang Mahatinggi. Ia disebut Yesus. Ia yang dilahirkan akan disebut “Imanuel” (Yes. 7:14), yang ditafsirkan sebagai “Allah bersama kita”. Dari Kitab Yesaya, Tertulianus mendapatkan dua pemahaman yaitu Dia yang adalah lahir adalah “Anak Allah” dan “Allah beserta kita”. Dalam pengertian bahwa Ia yang dilahirkan secara fisik adalah Anak Allah dan oleh karenanya Ia makhluk Ilahi yang dilahirkan dalam daging.
5. Allah Putra Sungguh-sungguh Wafat di Salib
Bagi Tertulianus, Allah Bapa tidak dapat mengenal derita, hanya Allah Putra.[61] Yang sungguh menderita di salib adalah Allah Putra. Tertulianus mengacu pada kutipan Kitab Suci (bdk. Mat. 27:46). Ia menyatakan bahwa teks tersebut merujuk pada daging dan jiwa manusia, dan bukan Firman, Roh, atau Allah. Bagi Tertulianus kata-kata Yesus ini menunjukan totalitas ketidaksopanan (impassibility) Allah yang meninggalkan Anak-Nya dan sejauh memberikan substansi manusia untuk menderita dan mengalami kematian yang sungguh. Hal ini didukung oleh Paulus dan Yesaya (Rom. 8:32, Ye. 57:6). Tetapi, Bapa sebenarnya tidak meninggalkan Putra dalam segala kehormatan-Nya ketika Putra berseru dalam suara nyaring saat menyerahkan nyawa pada Bapa. Kematian Putra sungguh terjadi dan ditinggalkan dalam alam manusia, dan setelah itu mati dan dibangkitkan sebagaimana yang diwartakan oleh Kitab Suci.
Dari beberapa pokok ulasan di atas dapat dirangkum menjadi beberapa bagian; pertama, pengaturan internal (ekonomi) dalam Allah merupakan satu-kesatuan yang sungguh terlibat dalam karya keselamatan tanpa direduksi menjadi konsep Monarkianisme karena Allah adalah Esa. Kedua; Allah yang satu memiliki kesamaan sekaligus perbedaan satu terhadap yang lain melalui cara-Nya sendiri dan dalam hal ini Tertulianus menggunakan istilah substansi dan persona. Ketiga; pengembangan konsep-konsep Allah Tritunggal Tertulianus cukup dibantu dengan pemikiran-pemikiran filsafat pada zamannya, terlebih khusus Stoa.
[1] Misalnya penyebutan istilah “derajat” pada Allah menimbulkan semacam adanya tingkatan dalam Allah (Subordinasionisme). Hal ini kemudian menjadi bahan koreksi pada pembicaraan teologis zaman sesudahnya. Lih. Johannes Quasten, Patrology: The Ante-Nicene Literature After Irenaeus, hlm. 326.
[2] Perdebatan Agustinus dengan Arius. Aliran sesat Arius mengatakan bahwa terdapat tiga substansi dalam Allah karena Putra diperanakan oleh Bapa. Namun Agustinus mendasarkan diri pada argumen “relasi yang tidak berubah” dari Tertulianus. Ketigaan yang kekal dan relasi yang tidak berubah dalam keallahan terjadi karena diturunkan dan hanya lanjutan substansi dari keilahain Allah. Lih. Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 137-138.
[3] Istilah “ekonomi” berasal dari Irenius yang digunakan dalam konteks keselamatan. Tertulianus (dan Hipolitus) menggunakan istilah yang sama dengan suatu pemahaman yang lebih jauh yaitu mengacu pada keberadaan Allah sendiri yang kekal (selain rencana ilahi akan keselamatan). Inilah yang membedakan antara Tertulianus dan Irenius. Dari makna rencana keselamatan dan kekekalan Allah, dipahami lebih jauh bahwa dalam Trinitas terdapat suatu pengaturan atau distribusi elemen-elemen guna mewujudkan keselamatan. Keselamatan tersebut menjadi sempurna melalui inkarnasi. Bdk. John N. D. Kelly, Early Christian Doctrines (London: Adam & Charles Black, 1958), hlm. 110-111. Bdk. juga dengan Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 121.
[4] Kata “sequence” juga dapat diartikan sebagai “urutan, rangkaian, dll”.
[5] Bdk. seperti dikutib dan diterjemahkan oleh Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 121.
[6] Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 135.
[7] Semesta diperintah dan ditentukan oleh suatu prinsip rasional yaitu logos. Menurut Stoa, takdir (fate) merupakan ekspresi sebab-akibat dari logos yang mendominasi semesta. Setiap bagian di semesta ini dihubungkan oleh logos (yang mengatur), bagian yang satu dinamakan surga dan bagian yang lain adalah kehidupan manusia. Bdk. Margaret J. Osler, Divine Will and the Mechanical Philosophy (Cambridge: University Press, 1994), hlm. 81-82. Logos adalah “pemain kunci” yang menata semesta. Manusia juga diilhami oleh logos sehingga manusia memahami keilahian dan logos yang memerintah dunia. Bdk. Jan J. Boersema, The Torah and the Stoics on Humankind and Nature (Leiden: Brill, 2001), hlm. 201. Lih. Juga Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 122.
[8] Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 122.
[9] Robert Laynton, Behind the Masks of God (London: Companion Guides, 2013), hlm. 196.
[10] Matthew Drever, Image, Identity, and the Forming of the Augustinian Soul (Oxford: University Press, 2013), hlm. 60.
[11] Matthew Drever, Image, Identity, and the Forming of the Augustinian Soul, hlm. 60.
[12] Rolans Wall, “The Church: a Communion of Persons” dalam Christ in Our Place, diedit oleh Trevor A. Hart, dkk (Eugene: Pickwik, 1989), hlm. 103.
[13] Rolans Wall, “The Church: a Communion of Persons”, hlm. 103
[14] Katekismus Gereja Katolik, No. 254, diterjemahkan oleh Herman Embuiru (Ende: Nusa Indah, 1995), hlm. 70.
[15] Selain menganalisis empat kategori Stoa, Tertulianus juga menganalisis cerita rakyat tentang adanya tiga entitas ilahi. Ketiga entitas ilahi itu berdamai menjadi satu sehingga mereka menjadi satu kesatuan ilahi yang tidak terbagi. Lih. Marian Hillar, From Logos to Trinity, hlm. 217.
[16] Marian Hillar, From Logos to Trinity, hlm. 217-218. Lih. juga Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 125.
[17] Marcia L. Colish, The Stoic Tradition from Antiquity to the Early Middle Ages, Vol II (Leiden: E. J. Brill, 1990), hlm. 55.
[18] Marian Hillar, From Logos to Trinity, hlm. 218.
[19] Marcia L. Colish, The Stoic Tradition from Antiquity to the Early Middle Ages, hlm. 56.
[20] Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 136.
[21] Sebagaimana yang dipahami oleh Marian Hillar, From Logos to Trinity, hlm. 218.
[22] Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 127.
[23] Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 125.
[24] David L. Jeffrey (ed.), A Dictionary of Biblical Traditional in English Literature (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1992 ), hlm. 459.
[25] Philo dari Aleksandria yang dipengaruhi oleh Stoa merupakan penulis awal yang menjabarkan secara luas mengenai logos-logos tersebut. Dalam Kitab Pentateukh, dia menganalogikan kedua logos tersebut dengan Musa dan Harun. Ajarannya mengacu pada logos di dalam manusia, dan bukan logos kosmik. Secara sederhana, logos endiathetos adalah logos internal dan logos proporikos adalah logos keluaran atau ucapan/sabda. Kedua logos tersebut terhubung erat, apa yang ada dalam logos internal/karya/rasio akan keluar menjadi nyata melalui logos keluaran. Lih. Adam Kamesar, “The Logos Endiathetos and the Logos Prophorikos in Allegorical Interpretation: Philo and the D-Scholia to the Iliad”, Greek, Roman, and Byzantine Studies: Journal of Duke University, Vol 44, No. 2, tahun 2004, hlm. 163-164.
[26] Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 124.
[27] David L. Jeffrey (ed.), A Dictionary of Biblical Traditional in English Literature, hlm. 459.
[28] Marcia L. Colish, The Stoic Tradition from Antiquity to the Early Middle Ages, hlm. 196.
[29] Untuk memahami hal ini, Tertulianus menggunakan metafora visual yaitu Allah mengeluarkan Sabda seperti seperti akar menghasilkan pohon. Ketika Roh dibicarakan, maka seperti pohon yang menghasilkan buah. Lih. Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 124.
[30] Peter Drilling, Premodern Faith in a Posmodern Culture (New York: Rowman & Littelfield Publishers, Inc, 2006), hlm. 79.
[31] Lih. dan bdk. Yoh. 14:16
[32] Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 130.
[33] Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 131.
[34] Roger E. Olson dan Christopher A. Hall, The Trinity (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 2002), hlm. 30.
[35] Allah sebagai misteri merupakan persoalan yang sangat intelektual (metafora intelektual). Ia hanya dapat dipahami dengan analogi-analogi (metafora visual). Lih. Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 122-124.
[36] Peter Drilling, Premodern Faith in a Posmodern Culture, hlm. 79.
[37] Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 131.
[38] Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 131.
[39] Kata persona belum memiliki penjelasan yang final. Kata Latin tersebut diyakini berasal dari kata phersu yang digunakan oleh suku Etruskan Italia dalam ritus penyembahan dewi kesuburan Yunani Persephone. Phersu berarti “topeng” dalam festival penyembahan dewi itu. Kata topeng (mask) dihubungkan dengan kata personus (dari personare: bunyi) untuk menunjukan “topeng yang berbunyi”. Pengertiannya pada zaman Romawi akhir diubah untuk mengindikasikan sebuah karakter dari sebuah penampilan teatrikal. Lih. Aloys Grillmeier, Christ in Christian Tradition, Vol I, diterjemahkan oleh John Bowden (Atlanta: John Knox Press, 1962), hlm. 125.
[40] John N. D. Kelly, Early Christian Doctrines, hlm. 115. Istilah prosopon sudah ditemukan dalam Yustinus Martir dan digunakan pertama kali oleh Hipolitus untuk menunjukkan kehidupan individu-individu dalam Trinitarian. Lih. Angel Cordovilla Perez, “The Trinitarian Concept of Person”, dalam Rethinking Trinitarian Theology, diedit oleh Robert J. Wozniak dan Giulio Maspero (New York: T&T Clark International, 2012), hlm. 111.
[41] Hipolitus, sebagaimana yang dipahami oleh Harry A. Wolfson, The Philosophy of the Church Father, Vol 1 (Cambridge: University Press, 1956), hlm. 333.
[42] Angel Cordovilla Perez, “The Trinitarian Concept of Person”, hlm. 111.
[43] Angel Cordovilla Perez, “The Trinitarian Concept of Person”, hlm. 111-112.
[44] Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 137.
[45] Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 137-138.
[46] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, diterjemahkan oleh Liem Sien Kie (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2006), hlm. 59.
[47] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, hlm. 60.
[48] Philo, The Cherubim seperti diterjemahkan oleh Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, hlm. 61.
[49] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, hlm. 61.
[50] Marian Hillar, From Logos to Trinity, hlm. 215.
[51] Seperti yang dipahami oleh Marian Hillar, From Logos to Trinity, hlm. 215.
[52] Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 117.
[53] Marian Hillar, From Logos to Trinity, hlm. 239. Bdk. juga dengan John N. D. Kelly, Early Christian Doctrines, hlm. 159.
[54] Cletus Groenen, Sejarah Dogma Kristologi (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 109.
[55] Stoa membedakan tiga jenis campuran. Pertama, hal-hal disandingkan dengan yang lain. Kedua, hal-hal itu bergabung sehingga menghilang menjadi zat/substansi ketiga. Jenis campuran ketiga inilah campuran total (total blending). Hal-hal dengan substansi serta kualitasnya tetap dipertahankan dalam campuran itu. Maka kemampuan untuk dipisahkan lagi dari satu sama lain adalah kekhasan zat campuran, dan ini hanya terjadi jika mereka mempertahankan kodrat mereka sendiri dalam campuran. Lih. Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 139.
[56] Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 139.
[57] Adrianus Sunarko, Kristologi: Tinjauan Historis Sistematis, hlm. 72.
[58] Sebagaimana yang disarikan berdasarkan terjemahkan dari Alexander Souter, Tertullian Against Praxeas, hlm. 104.
[59] Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 140.
[60] Tentang dua hakikat (nature) dalam satu pribadi, Tertulianus terinspirasi dari Kitab Suci khususnya Rom. 1:3 dan Yoh. 1:14. Bdk. Marian Hillar, From Logos to Trinity, hlm. 215.
[61] Konsep “Allah Bapa tidak dapat mengenal derita” menuai banyak pro dan kontra pada masa sesudahnya. Namun penekanan Tertulianus pada ketidakmungkinan Allah untuk menderita bertitik tolak pada transendensi. Bila keseluruhan Allah itu hadir dalam manusia Yesus, transendensi Allah akan hilang. Maka, pemecahannya pada masa Nikea, bahwa ada sebagian unsur keallahan yang tidak berinkarnasi dan dengan demikian membiarkan Allah untuk mentransendenkan kehadiran-Nya dalam manusia Yesus. Bdk. pemahaman mengenai Tertulianus oleh Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, hlm. 70-71.