Yesus dan Kerajaan Allah
Yesus bersabda dalam Injil hari ini: “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah menjadi hamba untuk semua. Sebab Anak Manusia pun datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani…” (Mrk. 10: 43-45) Melalui Sabda ini Yesus mengajarkan para muridnya perihal hakekat kerasulan, kepemimpinan, dan kekuasaan adalah menjadi seorang pelayan dan hamba. Yesus, dalam hidupnya, mewujudkan secara konkret apa yang diajarkanya untuk menjadi pelayan dan hamba. Meskipun Allah, Ia telah mengosongkan diri-Nya dan menjadi hamba demi menyelamatkan manusia. Sebagai Tuhan dan guru, Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya. Itu Ia lakukan sebagai wujud nyata kasih dan keteladanan yang Yesus wariskan kepada para murid. Radikalitas figur pelayan dan hamba diperlihatkan Yesus di Salib, yang mana Ia mengorbankan diri-Nya demi keselamatan manusia.
Kerajaan Allah dikaitkan pertama-tama dengan figur Yesus (Luk 11:20; Mat 12: 28; Luk 17:21). Yesus datang ke dunia demi Perwujudan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah tidak lain dipahami sebagai situasi di mana Allah yang menjadi Raja; Allah menjadi semua dalam semua. Karena Allah yang meraja, maka di sana akan terjadi damai, keadilan, sukacita, kelimpahan, dan kepenuhan. Seluruh peristiwa dan aktivitas Yesus adalah manifestasi nyata dari Kerajaan Allah, dan hal itu tidak hanya menyentuh aspek spiritual dari seseorang sebagai pribadi tetapi juga keseluruhan realitas hidup manusia. Ada hal menarik yang dapat kita baca dalam Injil adalah bawah pewartaan Yesus pertama-tama dialamatkan kepada masyarakat akar rumput, orang-orang yang diabaikan dan disingkirkan baik secara religious, ekonmi, sosial maupun budaya. Dalam memproklamasikan tugas perutusan-Nya, Ia memperkenalkan diri sebagai Dia yang diurapi oleh Roh untuk mewartakan kabar baik bagi orang miskin, memberitakan pembebasan bagi yang tertawan, penglihatan bagi yang buta dan mewartakan Tahun rahmat Tuhan (Lk 4: 16-19). Yesus mewartakan Kerajaan Allah dengan Sabda-Nya, tanda-tanda dan kesaksian hidup yang nyata; melalui contoh dan teladan hidup nyata dalam perjumpaan dengan orang dan situasi nyata pula. Inti Kerajaan Allah adalah keselamatan, sebagai anugerah Allah, dan pembebasan dari segala sesuatu yang menindas manusia, terutama dosa dan kejahatan.
Namun, mengapa Kerajaan Allah belum dapat terwujud? Menurut Yesus, Kerajaan Allah tidak terwujud karena ibadat Bait Allah dan struktur hirarkisnya yang merupakan struktur kekuasaan yang melanggengkan ketidakadilan dan penindasan. Bait Allah telah menjadi tempat pemerasan yang dilakukan oleh para pedagang dan pelaku bisnis. Itulah Sebabnya Yesus Ke Yerusalem. Yesus mengusir para pedagang di bait Allah dan berdebat dengan orang-orang Yahudi. Bait Allah menjadi pusat perbedaan sosial dan ketidakadilan yang diselubungi oleh legitimasi religius. Yesus dengan marah berkata: “Rumah-Ku adalah rumah doa, tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun (Luk. 19:46)
Gereja Melayani Siapa?
Gereja hadir di dunia dan meneruskan tugas perutusan Yesus demi Kerajaan Allah. Kehadiran Yesus Kristus dalam Gereja dijamin oleh janji-janji-Nya untuk terus-menerus menyertai Gereja sampai akhir zaman (bdk. Mat 28:20). Gereja yang setia pada tugas perutusannya adalah Gereja yang memiliki komitmen dan keberanian untuk menegakkan Kerajaan Allah di dunia, kerajaan keadilan, damai sejahtera, dan keutuhan. Tentu saja perutusan itu tidak mudah, terutama di tengah dunia saat ini yang cenderung mengabaikan dan bahkan menolak nilai-nilai yang diwartakan Gereja. Tidak ada pilihan lain dan kompromi bagi Gereja dalam mewujudkan tugas perutusan ini. Jika setia mengikuti Yesus Sang Pemimpin, Gereja harus berani melewati jalan salib. Jalan Salib adalah jalan keselamatan, jalan kasih, jalan pengosongan diri, jalan perendahan diri dan jalan keberpihakkan terhadap orang-orang tersalib zaman ini. Hingga saat ini, Gereja tetap mengakui dengan lantang bahwa hakikat kekuasaan dan kepemimpinan dalam Gereja katolik adalah untuk menjadi pelayan dan hamba. Namun pertanyaan penting yang harus dijawab adalah: Gereja melayani siapa? Gereja menjadi hamba siapa?
Gereja diutus untuk mewartakan Injil Kerajaan Allah kepada segala bangsa dan bahkan segala makhluk (Mat. 28: 19; Mrk. 16:15). Tugas pewarataan dan pelayanan Gereja begitu universal cirinya yang mencakupi segala bangsa dan segala makhluk. Ciri universalitas Kerajaan Allah yang dibawah Yesus sangat jelas. Keberpihakkan Yesus terhadap orang-orang miskin dan tersingkirkan tidak mengabaikan ciri universalitas tersebut, sebaliknya justru mau menegakkannya. Kemiskinan dan penindasan atas dasar apapun menunjukkan belum universalnya perwujudan Kerajaan Allah tersebut. Dengan berpihak dan memperbaiki situasi kemiskinan dan penindasan, Yesus mengembalikan mereka untuk mencicipi Kerajaan Allah bersama semua manusia dan ciptaan lain.
Apakah Gereja, dalam reksa pastoralnya menempuh jalan yang sama seperti yang ditunjukkan Yesus, Sang kepalanya? Apakah Gereja telah mengupayakan perwujudan aspek universalitas Kerajaan Allah yang dibawahnya? Atau sebaliknya, jangan-jangan Gereja hanya melayani kepentingan orang dan kelompok tertentu saja dan mengabaikan yang lain? Mengutamakan pelayanan terhadap mereka yang ‘berkuasa’ dan ‘beruang’ dan berdalilh dengan aneka macam alasan untuk melayani umat-umat yang miskin. Apakah Gereja sunguh-sungguh memilki kepedulian dan keberpihakkan terhadap umat yang miskin, yang sakit dan yang menjadi korban ketidakadilan? Barangkali ibadah Gereja saat ini sudah seperti ibadah Bait Allah yang dikritik dan dilawan oleh Yesus karena menciptakan struktur hirarkis yang melanggengkan ketidakadilan dan penindasan; dan yang menjadikan Bait Allah sebagai sarana bisnis dan sarang penyamun? Gereja dipanggil untuk menjadi pelayan dan hamba Kerajaan Allah, bukan melayani penguasa, pengusaha dan uang!
Paus Fransiskus sebagai Teladan Pemimpin yang melayani
Gereja Katolik sangat bersyukur karena dianugerhi seorang Paus Fransiskus, yang dalam kata-kata dan tindakannya memperlihatkan figur seorang pemimpin yang melayani dan bahkan mau menjadi hamba. Banyak kisah menarik yang dapat kita dengar dan baca tentang hal tersebut. Konon dikisahkan bahwa ketika menjadi Uskup Agung dan Kardinal Buenos Aires Brasil, ia berkomitmen untuk melayani para imamnya. Ia memasak untuk para imam; ia berusaha agar mudah dihubungi dan dijumpai oleh para imamnya; bahkan ia menyediakan waktu satu jam setiap pagi untuk berkomunikasi dengan para imamnya via telepon.
Ketika seorang gadis kecil bertanya ‘apakah dia bercita-cita menjadi Paus?’ Paus Fransiskus menjawab: “Tidak, saya tidak ingin menjadi Paus.” Menjadi Paus baginya merupakan panggilan Allah, bukan karena kehendaknya sendiri. Di hadapan para Kardinal yang telah memilihnya menjadi Paus, ia berkata; “Saya adalah orang berdosa, namun saya percaya pada kerahiman dan kemurahan Tuhan kita Yesus Kristus, dan saya menerima semangat pertobatan.”
Pada hari Raya Santo Yosef, 19 Maret 2013 di mana ia menerima cincin kepausan dan pallium yang menandakan kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik, dan dalam perayaan itu Sembilan (9) Kardinal mewakili seluruh Gereja menyatakan ketaatan terhadap Paus, Paus Fansiskus berkata: “Hendaknya kita tidak lupa bahwa kuasa yang sesungguhnya adalah melayani yang berpuncak pada salib. Kita harus belajar pada pelayanan yang merendah, konkret dan penuh iman yang diwarikan Santo Yosef, dan sama seperti Yosef, kita harus membuka lebar lengan kita untuk melindungi umat Allah dan merangkul mereka penuh kelembutan, khususnya mereka yang miskin dan terpinggirkan.” Menjadi seorang pelayan yang rendah hati, sederhana, konkret dan penuh iman, bagi Paus bukan hanya kata-kata belaka; ia sungguh melaksanakan itu dalam tindakan nyata.
Paus Fransiskus menggantikan takhta khusus (biasa dipakai Paus untuk duduk tatkala ada pertemuan dengan para pemimpin agama dan diplomat) dengan kursi yang biasa dan dengan posisi duduk yang sejajar. Dalam homili misa harian pada 21 Mei 2013, Paus Fransiskus berkata: “Kekuasaan yang sesungguhnya merupakan pelayanan. Sama seperti Yesus, yang tidak datang untuk dilayani, melainkan untuk melayani. Pelayanannya berpuncak pada Salib. Ia merendahkan diri-Nya sampai mati, mati di Salib demi kita, demi melayani dan menyelamatkan kita. Dengan jalan inilah Gereja berjalan maju. Bagi orang Kristiani, menjadi seorang pemimpin dan terkemuka berarti harus merendahkan diri. Tanpa memahami kebijaksaan ini, kita tidak akan pernah sanggup memahami apa maksud Yesus tentang kekuasaan.”
Dalam kunjungannya ke Irak pada 5 Maret 2021 Paus Fransiskus mengajak dan menghimbau kepada para para uskup, imam dan biawawan/i demikian: “Kita tahu bahwa dalam pelayanan kita juga mengandung tugas administratif, namun itu tidak berarti kita harus menghabiskan waktu dalam rapat-rapat atau hanya duduk di belakang meja. Sangatlah penting untuk berada di tengah kawanan gembalaan kita dan memberikan kehadiran dan pendampingan kepada umat di kota-kota dan di desa-desa. Saya memikirkan mereka yang berisiko dilupakan: kaum muda, kaum lanjut usia, orang-orang sakit dan kaum miskin. Ketika kita melayani sesama dengan pemberian diri yang utuh, seperti yang kalian lakukan, dengan semangat belaskasih, kerendahan hati dan kebaikan, dengan cinta, sesungguhnya kita sedang melayani Yesus, seperti yang telah Dia katakan (bdk. Mat. 25:40). Dengan melayani Yesus dalam diri orang lain, kita menemukan kebahagiaan yang sejati. Jadilah gembala-gembala, pelayan-pelayan umat dan bukan administrator publik maupun klerus fungsionaris. Selalu bersama dengan umat Allah, jangan pernah memisahkan diri seolah-olah kalian adalah kelas sosial yang lebih tinggi.
Lenardo Boff mengatakan dalam bukunya ‘Francis of Rome & Francis of Assisi’ bahwa kunci yang memampukan Paus Fransiskus menjadi seorang pemimpin yang melayani dan menjadi hamba adalah kerendahan hati dan kemiskinan. Paus Fransiskus menemukan dalam Yesus dan juga dalam santo Fransikus semangat pengosongan diri (kenosis) yang membuat mereka merendahkan diri dan menjadi miskin. Semangat kerendahan dan kemiskinan membuat Yesus dan Fransikus mengalami kesatuan dan kedekatan yang total dengan Allah. Kedekatan dengan Allah itulah memampukan mereka untuk selalu mencari dan melayani kehendak Allah yang menyelamatkan. Paus Fransiskus menjadi seorang pemimpin yang mau pergi keluar untuk berjumpa dan berdialog dengan siapapun tanpa dibatasi oleh sekat, agama, suku maupun golongan. Ia mendekati dan mengkritisi para ekonom yang seringkali membangun ekonomi yang tidak adil dan memarginalkan begitu banyak orang. Paus Fransiskus adalah seorang pemimpin dan pelayan yang begitu berpihak terhadap mereka yang miskin, kaum marginal dan tersingkir (masyarakat adat, orang miskin, kaum migran dan pengungsi, kaum perempuan, dll). Semoga kita semua dapat belajar dari Paus fransiskus untuk menjadi pemimpin yang rendah hati dan melayani. Pace e bene.