Pengantar
Sabda Yesus di atas, bagi kaum kapitalis yang yang begitu terobsesi dengan akumulasi modal (uang dan harta) amat tidak masuk akal. Kaum kapitalis bisa saja berceletuk: ‘kami yang bekerja keras, membanting tulang untuk mendapatkan harta kekayaan, enak aja disuruh beri kepada orang miskin.’ Sebab yang dipikirkan kaum kapitalis hanyalah keuntungan dan akumulasi modal. Sementara bagi orang miskin, kata-kata Yesus ini dapat dilihat dari dua sisi: di satu sisi, ini adalah ‘kabar gembira’; sebab Yesus memberi keberpihakkan dan perhatian kepada mereka dan mengajak manusia juga untuk memberi perhatian dan kasih kepada mereka. Terlebih lagi mereka yang senang disebut miskin agar mendapat bantuan ‘beras miskin (Raskin)’ dan ‘Bantun Langsung Tunai’ (BLT). Namun di sisi lain, sabda Yesus itu dapat menjadi cambuk yang mudah-mudahan dapat membangunkan kesadaran orang miskin agar mereka tidak membiarkan diri mereka hanya sebagai objek belasihan orang; seolah-olah kemiskinan membuat mereka menjadi pihak yang patut dikasihani, dengan menerima bantuan dan uluran tangan dari orang lain. Mereka adalah subjek atas hidup dan sejarah mereka sendiri. Sebab kemiskinan tidak hanya akibat kelalain, kelemahan atau kemalasan mereka semata, melainkan ada sebuah sistem dan mekanisme yang memiskinkan mereka. Situasi itu oleh Ajaran Sosial Gereja dan Teologi Pembebasan sebagai struktur-struktur dosa yang tidak adil dan memarginalkan. Fenomena di atas menghantar kita pada dua tema penting yang mendapat perhatian besar dalam Ajaran Sosial Gereja Katolik yaitu tentang ‘harta milik’ dan ‘kemiskinan’.
Harta Milik Pribadi yang Berciri Sosial
Gereja mengakui dengan tegas perihal harta milik pribadi yang diperoleh dengan kerja seseorang dan pada saat yang sama menekankan perihal dimensi sosial dari harta milik demi kepentingan bersama dan terutama demi orang-orang miskin. Tentang hal ini Paus Leo XIII (1891) dalam Rerum Novarum berkata: “Bukan hanya wajarlah bagi manusia mempunyai miliknya sendiri, itu bahkan dibutuhkan untuk hidup manusiawi. Dan kalau ditanyakan ‘bagaimana milik itu harus digunakan? Gereja tanpa ragu menjawab: harta milik itu bukan hanya untuk kepentingan sendiri, melainkan juga demi kepentingan semua orang. Ada kewajiban untuk meringankan beban kaum miskin dengan memberi sedekah (Luk 11:14); Kewajiban itu bukan didasakan pada prinsip keadilan, melainkan prinsip cintakasih” (RN 20 &21). Demikian juga Paus Pius X melalui Quadragesmo Anno (1931) menegaskan kembali hal itu dengan membedakan dua sifat utama dari milik pribadi yakni sifat individual dan sifat sosial atau umum (No.45-46). Selanjutnya, Konsili Vatikan II melalui Gaudium et Spes menyerukan agar Kemajuan ekonomi harus melayani manusia karena itu kemajuan ekonomi harus dinikmati semua warga, sehingga tidak boleh menjadi privilese segelintir orang saja. Kehidupan ekonomi harus melayani kebutuhan manusia agar semua orang mendapatkan kesempatan untuk hidup wajar: penduduk di dunia berkembang, para petani dan buruh; sebab Allah menetapkan bumi dan segala isinya supaya bermanfaat bagi semua orang, sehingga semua orang dalam keadaan wajar harus punya akses kepada kekayaan dan harta. Harta milik itu punya fungsi sosial, orang miskin harus dibantu bukan dalam arti memberi dari kelimpahan tetapi dilandasi kesadaran akan haknya atas kekayaan dan harta milik (GS 69).
Seirama dengan para penduhulunya, Paus Paulus VI dalam Populorum Progresio mengemukakan bahwa penggunaan atau pemanfaatan hak milik tidak boleh merugikan orang lain atau tanpa peduli kepada kebutuhan orang lain. “Tidak seorangpun boleh memperoleh bagi dirinya kelebihan harta milik melulu untuk digunakannya secara pribadi, bila sesama kekurangan hal-hal yang mutlak perlu bagi hidupnya” (PP 24). Akhirnya, Paus Yohanes Pulus II dalam Sollicitudo Rei Socialis, (1987) menegaskan lagi: “Hak atas harta milik pribadi itu sah dan perlu. Namun, harta milik pribadi sebenarnya terikat pada ‘kewajiban sosial’ dalam arti harta milik pribadi itu mempunyai fungsi sosial, yang didasarkan dan dibenarkan oleh prinsip bahwa harta benda diperuntukan bagi semua orang” (SRS 42).
Sabda Yesus, “Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerjaan Allah”, menjadi kenyataan tatkala uang atau harta menghalangi orang untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Uang dan kekayaan dapat menjadi halangan jika hanya memenuhi hasrat egoistis dan tidak peduli dengan sesama yang miskin dan menderita. Uang dan harta akan menjadi penghalang masuk Kerajaan Allah apabila uang dan kekayaan itu diperoleh melalui jalan ketidakadilan, seperti memeras para buruh dan oran-orang miskin.
Keberpihakkan pada Orang Miskin
Preferential for the poor atau Option for the Poor merupakan tema yang cukup sentral dalam Ajaran Sosial Gereja. Donal Dorr (1992), melalui bukunnya Option for the Poor, memakai konsep Option for the poor untuk menyebut Ajaran sosial Gereja. Lebih lanjut Dorr mengatakan bahwa ada tiga (3) elemen penting yang termaktub dalam opsi atau keberpihakkan Gereja pada orang miskin: Pertama, mau menunjukkan komitmen Gereja dalam mengkampanyekan keadilan struktural dalam masyarakat dan untuk melawan segala bentuk penindasan dan eksploitasi. Kedua, ada sebuah keyakinan bahwa yang harus menjadi agen perubahan adalah kaum miskin atau kaum marginal itu sendiri. Perubahan itu harus datang dari bawah, dari mereka sendiri. Gereja dan pihak lain hanya mendukung dan memberdayakan. Ketiga, ada sebuah komitmen dari Gereja sendiri untuk membuat dirinya semakin adil dan berpartisipatif. Kaum miskin dan kaum marginal, atas dasar martabat mereka, perlu didengarkan oleh Gereja dalam mengambil kebijakan.
Dari sekian banyak Ajaran sosial Gereja, Solicitudo Rei Socialis Paus Yohanes Paulus II lah yang paling banyak dan secara eksplisit berbicara tentang kemiskinan. Berikut ini beberapa poin penting perihal kemiskinan yang disajikan dalam dokumen ini:
Kemiskinan: Akibat struktur-struktur dosa
Sollicitudo Rei Socialis (SRS) memandang dosa sebagai ketidaksetiaan manusia terhadap kehendak dan hukum Allah sebagaimana yang terdapat dalam Sepuluh Perintah (Dekalog). Ketidakpatuhan terhadap Allah mengundang murka Allah dan melukai sesama. Struktur-struktur dosa berakar dalam dosa pribadi; yakni tindakan-tindakan konkret manusia yang membentuk struktur. Struktur-struktur itu makin kuat serta meluas, dan menjadi sumber dosa-dosa lain, dan demikianlah mempengaruhi perilaku orang (SRS 35). Stuktur-struktur dosa itu kemudian melahirkan pribadi-pribadi yang egios (cinta diri), serakah, haus kekuasaan yang seringkali mengorbankan orang lain.
Dalam konteks ini, kemiskinan tidak hanya dilihat sebagai sebagai nasib buruk akibat kemalasan atau keterbatas pribadi lainnya seperti sakit, cacat, dll, melainkan karena struktur-struktur entah sosial, politik dan ekonomi yang menyebabkan orang tidak berdaya. Dalam konteks ini, istilah yang tepat bukan lah kemiskinan melainkan ‘pemiskinan’. Ada sebuah sistem, sebuah mekanisme yang terstruktur dan masif yang memiskinkan. Model Pembangunan yang melayani kepentingan para pengusaha dan penguasa, menyingkirkan orang miskin dari akses hidup yang layak dan bermartabat.
Pertoabatan dan Solidaritas: Transormasi untuk mengatasi Struktur Dosa
Untuk mengatasi struktur dosa yang memiskinkan, SRS menejankan pentingnya pertobatan. Pertobatan merupakan sebuah proses transformasi, mengubah pikiran dan hati menuju sebuah cara berada baru yang lebih mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan umum. Perubahan itu pertama-tama dengan mengalahkan egoisme dan keserakahan untuk lebih mencurahkan perhatian pada kepentingan orang lain. Hal penting yang harus dilakukan dalam rangka pertobatan ialah perlunya kesadaran akan hubungan timbal-balik antara manusia dan antara bangsa. Kenyataan menunjukkan bahwa orang-orang di pelbagai Kawasan dunia merasa terkena secara pribadi oleh perbuatan tidak adil dan pelanggaran hak-hak manusiawi yang terjadi di negara-negara jauh yang mungkin tidak pernah akan mereka kunjungai.
Kesadaran akan hubungan timbal balik itu di pihak lain akan melahirkan sebuah sikap solidaritas. Solidaritas itu bukanlah perasaan belaskasihan yang samar-samar atau rasa sedih yang dangkal atas nasib buruk sekian banyak orang miskin dan menderita, melainkan sebagai sebuah tekad yang teguh dan tabah untuk membaktikan diri pada kesejahteraan umum. Solidaritas itu lahir dari kesadaran bahwa pihak harus merasa bertanggungjawab atas kesejahteraan semua pihak. Komitmen terhadap kesejahteraan sesama disertai kesediaan menurut Injil untuk “kehilangan diri sendiri” demi sesama, bukan untuk menghisap dan menindasnya demi keuntungan sendiri” (SRS 38).
Gereja yang Berpihak Pada Kaum Miskin
Kitab Suci memberikan pendasaran yang sangat kuat bagi keberpihakkan pada orang miskin. Kitab Suci menceritakan bahwa Allah mendengarkan jeritan kaum miskin. Allah melindungi kaum miskin. Allah berpihak pada kaum miskin. Yesus, Putera Allah, memilih menjadi sama dengan kaum miskin dan menderita untuk membawa kabar gembira dan pembebasan kepada mereka yang miskin dan terbelenggu. Yesus mewartakan Kerajaan Allah, Kerajaan cinta dan persaudaraan, pembebasan (Luk 4:16-30).
Dengan berpijak kepada Yesus, Sang Tuhan dan Kepalanya, solidaritas dan keberpihakkan kepada mereka yang miskin dan tertindas merupakan mandat yang harus dijalankan Gereja dengan penuh bakti. Para teolog pembebasan menegaskan bahwa Gereja bukan hanya sekedar Gereja ‘untuk’ orang miskin (tertindas, terbelenggu,tiada hak untuk menjadi manusia, kekeurangan sarana menjadi manusia dan sebagainya), melainkan Gereja yang miskin.
Kemiskinan sebagai sebuah realitas negatif akibat dosa (Pribadi dan strukutur) yang membutuhkan upaya pembebasan melalui pertobatan dan solidaritas yang didasari kasih merupakan sebuah keharusan. Gereja (Orang Katolik) yang mengimani Allah yang penuh kasih, yang solider dan berpihak kepada orang miskin dan menderita harus mampu mempertanggungjawabkan imannya itu melalui solidaritas dan perjuangan bagi mereka yang miskin agar mereka mendapatkan kehidupan yang layak dan bermartabat. Perjumpaan konkret dan pastoral pemberdayaan terhadap orang miskin merupakan pilihan di antara begitu banyak opsi yang dapat dilakukan bagi orang miskin.
Seruan para teolog agar Gereja Katolik menampilkan wajah sebagai Gereja yang miskin barangkali merupakan sebuah imperatif yang mendesak sebagai bagian pertobatan Gereja sendiri. Gereja yang miskin adalah Gereja yang mau belajar dari orang miskin perihal ketergantungan yang total kepada Allah yang menisbikan ketergantungan pada kekayaan dan kekuasaan. Gereja yang miskin adalah Gereja Kristus; yang meskipun Allah, Ia merendahkan diri serendah-rendah-Nya demi menggapai dan menyelamatkan manusia. Gereja yang miskin adalah Gereja yang mampu berjalan bersama Yesus melewati lorong-lorong gelap untuk menjumpai, mendengarkan dan mengalami sendiri penderitaan orang-orang miskin yang menjadi korban ketidakakadilan. Sebab hanya dengan menjadi Gereja yang miskin, kita pantas dan layak untuk menagih janji dan berseru kepada Yesus: “Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikuti Engkau”; dan kita juga pantas dan layak untuk menerima jawaban Yesus: “Sungguh Aku berkata kepadamu, barangsiapa , karena Injil, meninggalkan rumah, saudara-saudari… ia akan menerima kembali seratus kali lipat... dan di masa datang menerima hidup yang kekal” (Mrk 10: 28-30).