Pengantar
Sebuah perintah atau hukum akan berperan efektif dalam mengatur kehidupan manusia atau minimal dalam sebuah komunitas atau institusi amat tergantung dari tiga aspek ini, yakni orang yang memberi perintah, yang menerima perintah, dan isi perintah. Otoritas sang pembuat atau pemerintah amat menentukan apakah perintah itu dilaksanakan atau tidak. Seorang yang tidak memiliki otoritas, tiba-tiba membuat atau memberi perintah, pasti membuat orang lain bertanya: “Siapa sih lu, kok enak aja perintah-perintah gue?” Kualitas orang yang diberi perintah juga tentu amat diperlukan. Kemampuan indera, inteligensi dan kesanggupan lain untuk mendengar dan menjalankan perintah tentu saja sangat dibutuhkan, agar tidak terjadi kesalahpaahaman, lain yang diperintah, lain yang dilaksanakan. Akhirnya, isi perintah amat menentukan bagi terlaksananya perintah tersebut. Perintah untuk melakukan hal-hal yang baik, entah bagi penerima perintah maupun bagi orang lain, tentu amat mudah untuk dijalankan; sebaliknya, perintah untuk melakukan hal-hal buruk membawa dilema, pergulatan dan bahkan penolakan bagi yang menerima perintah tersebut. Isi perintah ini juga menjadi pertimbangan penting dalam menentukan prioritas dalam melaksanakan perintah. Pertanyaa ahli Taurat yang kita dengar dalam Injil hari ini, ‘perintah manakah yang paling utama,’ bisa dimaknai dalam konteks ini.
Ahli Taurat: Pura-pura Tidak Tahu?
Yang bertanya kepada Yesus “Perintah manakah yang paling utama?” adalah seorang ahli Taurat. Ahli Taurat adalah para pakar dalam hukum Taurat yang menerangkan hukum Taurat itu sendiri bagi agama Yahudi. Ahli Taurat bertugas menyusun peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan untuk setiap situasi kehidupan keagamaan Yahudi. Ahli Taurat tersebar di Yudea dan Galilea sebagai guru-guru yang mengajar anak-anak dan orang-orang dewasa mengenai Taurat. Ahli Taurat juga biasa disebut sebagai cendekiawan Yahudi yang dilatih untuk mengembangkan ajaran Taurat, mengajar murid-murid baik melalui lisan maupun tulisan dan menerapkan hukum Taurat dalam lingkungan orang Yahudi. Selain itu, ahli taurat juga mempelajari dan menafsirkan hukum Taurat secara teliti. Ahli Taurat juga memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan menjadi anggota dari Sanhedrin (mahkamah agama) disamping imam besar dan tua-tua orang Yahudi. Sebagai seorang Ahli Taurat, orang tersebut pasti udah tahu betul mana perintah yang utama dalam hukum Taurat. Jelas di sini bahwa motivasi Ahli Taurat itu adalah untuk mencobai Yesus agar menemukan kesalahan Yesus. Ahli Taurat ini berpura-pura tidak tahu untuk mencari kelemahan dan kesalahan orang lain.
Sikap berpura-pura tidak tahu merupakan salah satu mekanisme yang melemahkan penegakkan sebuah perintah atau hukum yang benar dan adil. Seorang terdakwa di pengadilan dengan mudah mengatakan tidak tahu untuk membela diri. Demikian juga yang terjadi dengan saksi; ia akan berpura-pura tidak tahu atau pura-pura tidak mendengar dan melihat demi meluputkan diri atau orang tertentu. Ahli Taurat adalah figur atau contoh orang atau pihak yang menjadikan hukum atau perintah sebagai alat untuk mencari kesalahan orang dan kemudian menghakimi dan dan mengadilinya. Perintah atau hukum dipakai sebagai alat untuk menghancurkan orang lain demi kepentingan pribadi atau golongan. Perintah atau hukum tidak lagi sarana yang mengarahkan orang pada keadilan dan kebaikan.
Sepuluh Perintah Allah: Menjamin Relasi yang Baik degan Allah dan Sesama
Perintah manakah yang paling utama? Perintah yang dimaksud di sini jelas mengacu kepada Sepuluh Perintah Allah (Dekolog) yang diberikan Allah kepada Bangsa Israel melalui Musa. Kesepuluh Perintah Allah itu menjadi pedoman dan hukum yang mengatur kehidupan Bangsa Israel, baik dalam relasi mereka dengan Allah maupun dengan sesama. Perintah-perintah itu diberikan agar bangsa Israel memperoleh hidup yang sempurna. Kesempurnaan itu hanya mungkin dicapai dengan menuruti perintah Allah. Perintah Allah itu tidak lain adalah perintah cinta kasih kepada Allah dan sesama manusia. Santo Bonaventura menempatkan Sepuluh perintah Allah tidak hanya sebagai perintah aturan moral, tetapi juga sebagai komponen dasar hidup Kristiani, karena Kristus memerintahkan manusia untuk menepatinya. Sepuluh Perintah Allah, yang mencakupi relasi manusia dengan Allah dan juga relasi dengan sesama ciptaan merupakan jaminan bagi terwujudnya relasi yang baik, yang adil dan harmonis. Dan hal itu hanya terwujud ketika manusia menepatinya dengan sempurna.
Mengapa harus menepati Sepuluh Perintah Allah? Ada empat alasan yang dikemukakan oleh Bonaventura: Pertama, Otoritas yang memerintah. Yang memerintah adalah Allah; Sang Pencipta, Penyelamat dan sumber kebijaksanaan. Allah sebagai otoritas yang memberi perintah adalah Allah yang menciptakan, bijaksana dalam pemerintahan-Nya, dan mempunyai kuasa untuk menyelamatkan. Kedua, manfaat dari mematuhi perintah Allah. Orang yang mematuhi perintah Allah akan memperoleh tiga hal, yaitu menerima rahmat ilahi, memahami isi Kitab Suci, dan menerima ganjaran surgawi. Ketiga, orang yang tidak menepati perintah Allah akan mendapat hukuman. Hukumannya adalah kehilangan banyak kebajikan dari dirinya, akan masuk dalam kejahatan dan akan mendapat hukuman kekal. Keempat, karakter sempurna dari perintah Allah. Perintah itu dikatakan sempurna karena tidak memberatkan orang yang menghayatinya, karena mengandung nilai kebaikan dan keadilan.
Santo Bonaventura menegaskan bahwa sikap dan perbuatan yang menujukkan cinta kepada Allah meliputi tiga hal, yakni: Pertama, orang dituntut untuk memuji dan menyembah Allah saja. Kedua, orang diperintahkan untuk mengakui Allah sebagai kebenaran sejati, dengan tidak menyebut nama-Nya dengan tidak dengan hormat. Ketiga, orang harus mencintai kebaikan dengan mengkontemplasikan Allah, melakukan amal kasih, dan melakukan keutamaan pada hari Tuhan. Sedangkan kasih kepada sesama diwujudkan dengan mengasihi orang tua, menaruh perhatian pada yang lemah, tersingkir dan teraniaya dan tidak menyakiti sesama baik dengan pikiran, keinginan, perkataan maupun perbuatan. Singkatnya, manusia dilarang melakukan kejahatan dan harus melakukan kebaikan.
Hukum yang Mengedepankan Kebaikan dan Keadilan
Sebagaimana dikatakan Bonaventura di atas, bahwa manusia harus melaksanakan Sepuluh Perintah Allah yang diringkas dalam ‘mengasihi Allah dan sesama karena didalamnya terkandung nilai kebaikan dan keadilan. Di sini amat jelas bahwa Sepuluh Perintah Allah diberikan Allah kepada manusia agar manusia mengalami kebaikan dan keadilan. Orientasi hukum Allah adalah nilai kebaikan dan keadilan. Hukum ada demi melayani kebaikan dan keadilan. Mahfud MD, tentang hukum di Indonesia, pernah berujar demikian: “Hukum di Indonesia tajam ke bawah dan tumpul ke atas.” Hal ini mau menunjukkan betapa tidak adilnya hukum di Indonesia. Bukan kebenaran dan keadilan yang dilayaninya melainkan kekuasaan dan uang. Itulah sebabnya hukum menjadi ladang yang sangat subur bagi bertumbuh kembangnya korupsi. Kita masih ingat kisah Mba Harso dan Nenek Asyani. Keduanya disidang lantaran dituding menebang dan mencuri pohon milik negara. Mbah Harso seorang petani di Gunungkidul Yogyakarta, sedangkan Nenek Asyani adalah warga Dusun Kristal RT 02 RW 03 Desa Jatibanteng Kecamatan Jatibanteng Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Sementara kita juga mendengar kisah para koruptor kelas kakap yang dilindungi hukum dan kalau pun sempat di penjara, mereka menikmati layani penjara khusus yang berfasilitas seperti hotel. Masih banyak contoh lain yang kita dengar dan baca perihal ketidakadilan hukum di negara kita.
Dari keterangan di atas, diperlihatkan kepada kita bahwa nilai kebaikan dan keadilan belum sungguh menjadi nilai utama dalam hukum kita di Indonesia. Bagi kita orang Katolik, yang juga menjadi warga negara, kita dipanggil dalam kapasitas kita masing-masing untuk memperjuangkan demi terwujudnya hukum yang melayani kebaikan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kecuali itu, dalam kapasitas tertentu, kita juga menjadi orang-orang yang membuat hukum atau perintah, hendaknya nilai kebaikan dan keadilan ini menjadi indikator penting bagi hukum dan perintah yang kita berikan. Semakin hukum itu melayani kebaikan dan keadilan, orang akan semakin mengutamakannya untuk ditaati dan diwujudkan; sebaliknya, jika hukum itu tidak baik dan tidak adil, maka orang akan sulit untuk menaatinya; ataupun kalau ditaati itu karena karena keterpaksaan dan ketakutan.
Pace e bene.