Yesus adalah Raja?
Setahun sebelum wabah Covid-19 merebak, jagad media di Indonesia, diramaikan oleh pemberitaan tentang Sunda Empire-Earth Empire. Sunda Empire menganggap dirinya sebagai suatu kekaisaran besar, berada antara langit dan bumi serta asal dari berbagai peradaban di dunia. Rangga Sasana sebagai salah satu petinggi menganggap Sunda Empire sebagai tata pemerintahan dunia yang berciri ekstrateritorial. Pemimpin umumnya, Nasri Banks adalah “King of Kings” di dunia. Sebagian orang Indonesia menganggap Sunda Empire sebagai dagelan belaka. Sebagian lagi menganggap kemunculan Sunda Empire sebagai persoalan serius. Tak butuh waktu lama, para petinggi Sunda Empire ditahan dan dipenjarakan. Mereka dianggap menyebarkan kebohongan dan memunculkan keresahan. Lagipula, membentuk pemerintahan lain dalam suatu negara konstitutif tentu saja merupakan tindakan makar.
Pada hari ini, Gereja merayakan Yesus Kristus Raja Semesta Alam. Secara liturgis, perayaan tersebut menjadi puncak dan penutup dari tahun liturgi lama sekaligus mengawali tahun liturgi baru. Perayaan ini juga hendak menunjukkan bahwa perziarahan Gereja dan umat Kristiani selama satu tahun melalui perayaan-perayaan liturgi akan berpuncak pada Kristus. Ini merupakan simbol bagi ziarah umat Kristiani di dunia yang akan berpuncak pada perjumpaan dengan Kristus. Ketiga bacaan pada hari ini merujuk pada penegasan status Yesus sebagai Raja. Bacaan Injil secara tegas menampilkan pengakuan Yesus bahwa Diri-Nya adalah Raja.
Sebenarnya terdapat ironi tentang pengakuan tersebut. Pengakuan Yesus sebagai Raja terjadi dihadapan pada Pilatus, wakil pemerintahan Romawi di Israel ketika Pilatus bertanya “Jadi Engkau adalah Raja?” Entahlah, apakah Pilatus bertanya secara serius ataupun sekadar ejekan. Jawaban Yesus tidak kalah berbahaya. Jika jawaban itu adalah upaya meloloskan diri dari hukuman, jelas strategi itu salah. Mengaku sebagai Raja di hadapan Pilatus sama saja menyatakan pemberontakan terhadap Kekaisaran Romawi.
Raja mewartakan Kebenaran
Namun, rupanya Kerajaan yang dimaksud Yesus tidak seperti yang dibayangkan Pilatus ataupun orang-orang Yahudi. Kerajaan Kristus bukan berasal dari dunia dan tidak berciri duniawi. Kerajaan Kristus melampaui dunia ini. Lantas, agar dapat menunjukkan kerajaan tersebut, Yesus mesti hadir dalam dunia dan menunjukkannya kepada manusia. Jawaban Yesus mengindikasikan dua poin penting. Pertama, Kerajaan Allah tidak dikaitkan dengan lokasi geografis tertentu. Berbeda dengan kerajaan-kerajaan di dunia, Yesus tidak berorientasi pada upaya penguasaan wilayah. Kedua, Kerajaan Allah yang diwartakan Kristus berkaitan erat dengan nilai-nilai kebenaran. Jika kebenaran memenuhi muka bumi, Kerajaan Allah telah mendapatkan kepenuhannya di muka bumi.
Akan tetapi, apa itu kebenaran? Pertanyaan Pilatus ini menarik perhatian karena justru di hadapan pertanyaan itu Yesus diam. Kiranya, Pilatus tidak bertanya perihal definisi kebenaran. Pilatus bukanlah murid dari suatu kelas filsafat. Sebagai seorang birokrat, Pilatus menanyakan secara politis arti dan maksud dari kebenaran yang dibawa oleh Yesus. Jika Yesus adalah Raja mungkin saja Ia menjadi ancaman bagi kekaisaran Romawi.
Apakah Yesus tidak mengetahui jawaban atas pertanyaan Pilatus? Tentu saja tidak. Penginjil Yohanes menampilkan di sepanjang kitab perihal tugas Yesus mewartakan kebenaran. Jadi, tentu Yesus tahu pasti kebenaran itu. Kebenaran identik dengan pribadi Yesus dan relasi yang Yesus jalin dengan Bapa. Jika orang tinggal dalam Sabda-Nya, melaksanakan Sabda itu, orang akan mengetahui kebenaran tentang dirinya: bahwa manusia berasal dari Allah dan mendapatkan keselamatan melalui Kristus. Kebenaran itu akan memerdekakan manusia (Yoh. 8: 31-32) karena membebaskan manusia dari pertanyaan paling penting yakni asal-usul keberadaannya di dunia dan tujuan hidupnya. Yesus secara tegas menunjukkan bahwa ia adalah jalan kebenaran dan hidup (Yoh. 14:6).
Secara lebih jauh, kebenaran memberikan kepastian pada hidup manusia. Manusia tidak lagi sibuk mencari-cari kebenaran tetapi sibuk mendekatkan diri kepada kebenaran itu. Sikap diam Yesus di hadapan Pilatus hendak menunjukkan bahwa jawaban atas pertanyaan Pilatus bukanlah kata-kata tetapi melalui kehadiran Yesus Sang Kebenaran itu sendiri.
Bahaya Instrumentalisasi Agama
Umat Kristiani memiliki dua tugas utama berhubungan dengan iman akan Yesus Sang Kebenaran Sejati. Pertama, beriman berarti menerima dan meyakini Kristus sebagai kebenaran sejati secara teguh. Kedua, menjalankan ajaran-ajaran yang telah diwariskan oleh Kristus secara militan dan konsekuen. Melalui dua tugas tersebut, umat Kristiani hadir secara khas di dunia. Persis, dengan melaksanakan dua tugas tersebut, umat Kristiani dapat menjadi garam dan terang dunia. Artinya, umat Kristiani dapat menjadi agen perubahan dalam dunia.
Secara praksis, melaksanakan ajaran Kristus bukan tanpa tantangan dan resiko. Konteks dunia saat ini ditandai dengan perkembangan media sosial. Salah satu implikasinya adalah berbagai gagasan dan pandangan hidup berseliweran secara bebas. Bahkan ada yang mirip dengan ajaran iman Kristiani. Hal tersebut pada gilirannya akan membuat semangat umat Kristiani dalam menjalankan perintah Kristus menjadi suam-suam kuku. Agama hanya dianggap sebagai identitas formal tanpa pengenalan yang mendalam terhadap ajaran-ajarannya ataupun tanpa suatu militansi. Ajaran agama bisa saja menjadi “konten” media sosial demi meraih likes dan comment ataupun juga “cuan”.
Penghayatan iman ala kadarnya menjadi jalan bagi instrumentalisasi agama. Agama dijadikan sebagai alat atau instrumen demi mencapai tujuan tertentu yang berlawanan dengan tujuan dari agama. Kritik terhadap instrumentalisasi agama telah dimulai oleh Johann Baptist Metz lebih dari empat puluh tahun lalu. Metz mengeritik kecenderungan orang-orang Katolik kaya di Eropa, khususnya Jerman yang tidak sungguh-sungguh mengamalkan imannya. Mereka menggampangkan urusan agama seperti belarasa dengan sekadar memberi uang kepada orang-orang miskin. Uang menjadi perpanjangan tangan untuk berbagai urusan, termasuk agama. Tanpa perlu berkotor tangan dan membuang waktu, memberi uang adalah jalan terbaik untuk membantu orang yang sedang dalam kesulitan. Uang menjadi “quasi-sakramen” di mana segala tindakan belas kasih dapat terwakilkan oleh uang. Apakah uang bisa merepresentasi urusan agama dalam mewartakan Kebenaran Sejati?
Dalam Homo Sapiens, sejarahwan asal Israel, Yuval Noah Harrari menjelaskan bagaimana uang turut mengubah peradaban dunia. Sebagaimana Karl Marx, Harrari menjelaskan uang sebagai media perantara yang menghubungkan dua komoditas dengan nilai tukar berbeda. Uang membuat kegiatan pasar dan proses pertukaran menjadi efisien dan efektif serta berdampak di segala lini kehidupan manusia. Gereja juga sebagai bagian dari dunia tidak dapat memungkiri peranan uang dalam misi mewartakan Injil. Akan tetapi, sejarah juga menunjukkan bahwa uang juga menjadi sumber malapetaka termasuk dalam Gereja. Skandal simoni dalam tubuh Gereja pada Abad Pertengahan menjadi salah satu alasan dibalik pecahnya Gereja Barat. Korupsi yang merajalela di negara ini juga identik dengan penggelapan uang. Uang seolah-olah mengupas lapisan hasrat manusia dan menampilkan dua hasrat liar, yakni kerakusan dan keserakahan.
Upaya mengimani Kristus secara konsekuen dan militan harus dihadapkan pada kenyataan bahwa manusia begitu dekat dan terikat dengan uang. Agaknya mustahil untuk melepaskan diri dari uang. Jika demikian, siapakah yang menjadi Raja, uang atau Yesus Kristus? Toh, Injil menceritakan perihal pengkhianatan Yudas Iskariot demi tiga puluh keping perak yang akhirnya menghadapkan Yesus pada Pilatus. Namun, uang itu tidak membawa kebahagiaan sejati. Yudas gantung diri ketika akhirnya mengetahui bahwa uang itu membawa penderitaan bagi Gurunya. Perkara relasi iman dan uang telah ditunjukkan sejak awal Kekristenan. Sekarang, pilihannya adalah menjadi Gereja Kristus yang konsekuen pada kebenaran atau menjadi Gereja Yudas Iskariot yang bergelimang uang dengan jalan menjajakan Tuannya sebagai barang dagangan. Pace e Bene