Yesus memandang dan menilai uang
Jeorg Rieger (Teolog), dalam tulisannya yang berjudul ‘Watch the Money’ menggarisbawahi kemajuan ekonomi dewasa ini sebagai sebuah tanda zaman yang mempengaruhi cara pandang dan relasi manusia baik terhadap alam, diri sendiri, sesama dan bahkan dengan Tuhan. Kapitalisme membuat manusia sulit membedakan Allah dan mammon. Bahkan Rieger mengatakan bahwa kapitalisme, melalui pasar-pasar modalnya memberikan pesan-pesan kepada manusia, yang begitu menarik perhatian sekian banyak orang ketimbang pesan-pesan kotbah yang disampaikan pada hari Minggu di Gereja. Agar kita mampu memahami dalam hal mana mammon mengganggu posisi Allah, kita perlu belajar bagaimana memandang ciri-ciri mamon yang seringkali luput dari pandangan kita. Kita perlu membangun sebuah sudut pandang khusus atas kapitalisme yang seringkali luput dari pandangan begitu banyak orang.
Gustavo Gutierres, mengatakan bahwa dalam kisah persembahan janda miskin (Markus 12: 41-44), Yesus tahu bagaimana memandang uang. Yesus memilih tempat khusus, yakni berhadapan dengan peti persembahan untuk memperhatikan orang banyak memasukan uang ke dalam peti itu. Hanya dengan cara pandang itulah yang memungkinkan Yesus untuk memahami perbedaan antara janda miskin dan orang-orang kaya. Gutierres kemudian bertanya, ‘bagaimana jika saat ini para teolog dan juga para pastor duduk di depan pintu Bank Dunia atau di kantor eksekutif pengusaha kaya di Amerika, siapa yang akan mereka jumpai dan apa yang akan mereka lihat? Di sana pasti mereka akan berjumpa dengan orang-orang kaya dengan jumlah uang yang tak terbilang banyaknya. Dalam konteks ini, Yesus memandang dan menilai uang dari perspektif si janda miskin.
Di mata kaum Kapitalis yang dengan logika akumulasi modal yang cepat, uang yang diberikan janda miskin sebesar dua peser satu duit merupakan jumlah yang sangat kecil dan sama sekali tidak berarti apa-apa. Namun di mata Yesus, pemberian janda miskin itu sangatlah dijunjung tinggi dan dipandang sebagai pemberian yang lebih banyak dari semua orang, lantaran ia memberi dari kekuarangan, yaitu seluruh nafkahnya. Persembahan janda miskin melambangkan pemberian diri yang total kepada Allah. Nilai uang amatlah relatif dan bahkan cenderung tidak berarti berhadapan dengan relasi iman si jandi yang begitu tergantung dengan Allah. Uang sama sekali kehilangan maknanya di hadapan si janda yang sungguh menyadari bahwa ia tidak memiliki apalagi di muka bumi ini selain Allah sendiri sebagai satu-satunya andalan dan kekuatan.
Memberi dari Kekurangan
Dari si Janda miskin yang dikisahkan dalam Injil kita dapat belajar beberapa poin berikut:
Pertama, Spiritualitas persembahan. Persembahan adalah sebuah sikap iman yang diwarnai pertama-tama sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas segala hal yang telah dikerjakan Tuhan terhadap kita manusia. Dengan kata lain, persembahan adalah tindakan manusia untuk mengembalikan kepada Tuhan atas segala rahmat, berkat dan cinta yang Tuhan telah berikan kepada manusia. Unsur-unsur yang penting dalam kata persembahan ini adalah syukur, terimakasih, kerelaan dan tulus ikhlas. Dengan pemahaman dan spirit ini, dengan sendirinya, unsur paksa dan terpaksa dihindari, sikap do ut des (saya memberi maka saya menerima) juga disingkirkan. Dalam konteks kehidupan menggereja, ketika orang memberi kolekte, memberi tenaga, waktu, dan seluruh diri untuk kegiatan Gereja, di situ juga kita sedang melakukan kegiatan persembahan. Demikian juga ketika umat berani mengorbankan kepentingan dan kesenangan sendiri demi kegiatan bersama di KUB, Lingkungan, stasi kooordinatorat dan paroki kita juga sedang melakukan persembahan.
Kedua, Memberi dari kekurangan. Semua manusia pasti memiliki kekurangan. Kita semua yang berkumpul di sini juga tidak luput dari kekurangan. Hanya saja kekurangan kita bervariasi dan berbeda; ada yang kekurangan uang, kekurangan waktu, tenaga, kesehatan, kekurangan pengetahuan dalam bidang tertentu, kekurangan pengalaman, dll. Si Janda dipuji oleh Yesus karena ia memberi justru dai kekurangan, bukan dari kelimpahan. Memberi dari kekurangan melambangkan sebuah totalitas pemberian. Dalam kacamata Yesus, memberi dari kekurangan berarti memberikan seluruh nafkah. Totalitas pemberian tidak diukur dari kuantitas (jumlah pemberian) pemberian melainkan dari kualitas pemberian itu sendiri. Kualitas pemberian itu adalah perihal ketulusan dan keikhlasan, sifat sukarela (tanpa rasa dipaksa atau terpaksa). Persis di sini letak nilai persembahan dari tiap pemberian kita.
Ketiga, biarkan hanya Tuhan yang menilai. Persembahan janda miskin begitu berkualitas dalam pandangan Yesus. Cara pandang yang tentu saja amat berbeda dari cara pandang manusia. Sebagaimana yang telah saya katakan di atas, di hadapan kaum kapitalis yang mendewakan akumulasi modal (uang), nilai pemberian janda tersebut amatlah tidak berarti; namun di mata Yesus tidaklah demikian. Dalam konteks memberi persembahan ada dua kecenderungan utama yang muncul, yakni di satu sisi, ada orang yang enggan mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan karena dia menilai diri dan miliknya sangat tidak berarti dan bernilai. Sebaliknya, ada orang yang membangga-banggakan diri dan cenderung menyombongkan diri lantaran ia menilai pemberiannya sangat besar. Kedua kecenderungan di atas sebenarnya dapat diatasi kalau manusia berprinsip bahwa ‘biarkan Tuhan sendiri yang menilai, bukan kita dan juga orang lain’. Tugas kita hanyalah memberi; dan biarkan Tuhan sendiri yang mengukur dan menilai pemberian tersebut.
Keempat, Surat Ibrani yang kita dengar dalam bacaan kedua (Ibr 9:24-28) membantu kita memahami makna persembahan janda miskin itu dengan menegaskan bahwa persembahan yang benar dan sejati dan yang berkenan di hadapan Allah adalah persembahan diri; Yesus telah melakukan itu sekali dan selamanya. Persemabahan yang tepat dan sempurna adalah tatkala seseorang memberikan dirinya secara total kepada Tuhan. Itulah sebabnya tentang si janda Yesus berkata, “janda itu memberi dari kekuarangannya; semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya”. Mari kita mempersembahkan diri kita kepada Tuhan sebagai persembahan yang luhur dan harum mewangi! Pace e bene.
Terima kasih pater Fridus atas pencerahannya. Saya akan belajar memberi persembahan yang benar dan sejati, dan yang berkenan di hadapan Allah yaitu hidupku dan diriku seutuhnya sebagai persembahan yang tulus dan murni.