Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Fenomena di mana banyak orang tidak dapat mengakses dan mengonsumsi makanan yang cukup menunjukkan situasi serta kondisi belum terciptanya pembangunan manusia (human development) integral. Persoalan tersebut berdampak pada hilangnya kepribadian dan martabat manusia (human personhood and dignity). Terkait hal ini, ketahanan pangan (food security) dan kapasitas petani skala kecil untuk memeroleh penghasilan dari pekerjaan mereka terancam.
Benediktus XVI menekankan pentingnya mempromosikan pembangunan pertanian melalui investasi infrastruktur pedesaan, irigasi, transportasi, organisasi pasar, dan pelatihan untuk para petani (Caritas in Veritate, art. 27). Sebagaimana dikemukakan Paus Fransiskus dalam World Food Day 2013, mewujudkan hak asasi manusia atas pangan bukan sekadar persoalan ekonomi dan teknis (technical), tetapi juga dan terutama persoalan etika serta antropologis. Oleh karena itu, semua negara harus mengupayakan ketahanan pangan, menjamin kualitas dan kuantitas pangan. Memastikan hak atas pangan bagi semua orang, terutama orang-orang yang paling tidak beruntung (disadvantaged people) dan menciptakan kebijakan yang tepat dan langkah-langkah efektif.
Persoalan kehilangan pangan merupakan konsekuensi dari sistem yang berpusat pada pasar. Karena pada hakikatnya sistem ekonomi yang eksklusif membunuh manusia dan lingkungan. Sehingga tidak mengherankan apabila pasar bebas (free market) tidak memungkinkan keadilan dan inklusivitas. Dalam Kejadian 2:15 dikatakan, TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Hal ini merupakan undangan bagi manusia untuk mengolah dan memelihara taman dunia (till and keep the garden of the world). Mengolah mengacu pada tindakan bekerja (working), sedangkan memelihara berarti merawat, melindungi, dan melestarikan. Manusia mempunyai hak mengambil sesuatu yang dibutuhkan dari bumi, tetapi ia juga mempunyai kewajiban melindungi bumi dan memastikan kesuburannya untuk generasi mendatang (coming generations).
Paus Fransiskus prihatin dengan menipisnya sumber daya alam dan eksploitasi terhadap bumi yang telah mencapai tingkat maksimum (Laudato Si, art. 23). Hal ini menuntut adanya pola produksi dan konsumsi baru, di mana hasil bumi (the fruits of the earth) dimaksudkan untuk memberi manfaat bagi semua orang. Selain itu, memperhatikan hak-hak dasar masyarakat miskin dan tidak mampu. Menurut Paus Fransiskus, pembangunan yang tidak menghormati dan memajukan hak asasi manusia (human rights), tidak layak untuk dicapai (Laudato Si, art. 93).
Kelaparan Sebagai Persoalan Moral
Hak atas pangan merupakan acuan doktrinal dan tindakan praktis yang diambil Gereja Katolik. Karena Gereja Katolik senantiasa memusatkan perhatian pada persoalan kemiskinan seperti kekurangan makanan. Perjuangan melawan kemiskinan merupakan kasih istimewa Gereja yang diajarkan oleh Yesus. Dalam Matius 25:35-36 dikatakan, sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.
Hak atas pangan mengandung konsekuensi operasional, membentuk mekanisme akuntabilitas untuk mengidentifikasi fenomena rawan pangan (food insecure). Mengevaluasi efektivitas program menjangkau yang paling miskin, menjamin akuntabilitas pemerintah terhadap kebutuhan yang paling rentan (the most vulnerable). Hal ini terkait persoalan tata kelola untuk mencapai ketahanan pangan. Berhadapan dengan persoalan tersebut, Paulus VI menegaskan bahwa orang-orang yang lapar di dunia berseru kepada orang-orang yang diberkati dengan kelimpahan (Populorum Progressio, art. 3). Oleh karena itu, Gereja meminta setiap orang untuk mendengarkan seruan saudaranya dan menjawabnya dengan penuh kasih.
Yohanes Paulus II dalam Message for the 2003 Word Day of Peace menunjukkan kesenjangan yang mengkhawatirkan antara hak baru (new rights) yang dipromosikan di dalam masyarakat maju dan hak asasi manusia (human rights) yang lebih mendasar masih belum terpenuhi. Misalnya, hak atas pangan dan air minum masih jauh dari jaminan serta realisasi. Sedangkan dalam Laudato Si artikel 50, Paus Fransiskus memperlihatkan distribusi yang tidak merata dan sumber daya yang tersedia menciptakan hambatan bagi pembangunan serta pemanfaatan lingkungan berkelanjutan. Selain itu, sepertiga dari makanan yang diproduksi dibuang, dan makanan yang dibuang sejatinya dicuri dari meja orang miskin (the table of the poor).
Fenomena kelaparan yang terjadi di dunia bukanlah persoalan materi atau ekonomi, melainkan persoalan moral (moral problem). Oleh karena itu, Yohanes Paulus II, dalam Redemptor Hominis menegaskan bahwa perkembangan manusia yang otentik memiliki karakter moral. Hal ini mengandaikan rasa hormat yang penuh kepada pribadi manusia. Tetapi juga harus memerhatikan dunia sekitar dan memperhitungkan sifat setiap makhluk serta relasi timbal balik dalam sistem yang teratur.
Pada World Food Day 2007, Benediktus XVI menunjukkan bahwa tidak terpenuhinya hak atas pangan bukan hanya karena sebab alami, tetapi situasi yang dipicu oleh perilaku laki-laki dan perempuan yang mengarah pada kemerosotan standar sosial, ekonomi, dan antropologi. Karena kemiskinan dan konflik berdarah, banyak orang merasa berkewajiban untuk meninggalkan rumah dan mencari dukungan di luar negerinya sendiri.
Hak Atas Pangan adalah Hak Positif
Terkait akses terhadap pangan, dalam Universal Declaration of Human Rights dikatakan bahwa orang berhak atas pangan dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Dalam istilah klasik, hak ini adalah hak negatif (negative right), individu tidak boleh dihalangi dalam usahanya memproduksi atau mengumpulkan makanan. Terkait hal ini, kelaparan merupakan akibat dari konflik kekerasan dan perang yang mengakibatkan makanan dicegah untuk diproduksi.
Hak atas pangan juga merupakan hak positif (positive right). Jika seseorang miskin dan tidak mampu menghasilkan makanan sendiri, maka orang lain dalam masyarakat harus menyediakannya untuk orang tersebut. Posisi yang diwartakan, ditegaskan, dan diambil oleh Gereja Katolik yaitu mengombinasikan antara hak negatif dan hak positif, baik secara konseptual maupun praksis. Gereja Katolik berkomitmen membantu kaum miskin dalam berbagai cara.
Hak negatif terkait dengan pasar dan efisiensinya. Sedangkan hak positif mencakup solidaritas, kesejahteraan negara, dan donor internasional. Mengenai moralitas di balik ketahanan pangan, kebebasan individu (individual freedom) dimaksudkan untuk menopang kebaikan dan tanggung jawab sosial. Dengan kata lain, harus ada keseimbangan antara peluang keuntungan (opportunities for profit) dan solidaritas dasar (basic solidarity).
Hak Atas Pangan adalah Hak Asasi Manusia
Gereja Katolik meyakini dan mengajarkan bahwa setiap pribadi manusia adalah suci (every human person is sacred), diciptakan menurut gambar serta rupa Allah dan ditebus oleh kematian serta kebangkitan Kristus. Selain itu, mereka memiliki martabat yang berasal dari Allah, bukan pencapaiannya sendiri. Yohanes Paulus II, dalam Pacem in Terris artikel 9-10 menunjukkan bahwa setiap pribadi diberkahi dengan akal budi dan kehendak bebas (intelligence and free will). Mereka mempunyai hak dan kewajiban universal serta tidak dapat diganggu gugat. Mempunyai hak untuk hidup, berhak atas keutuhan tubuh dan atas sarana yang diperlukan untuk perkembangan hidup yang layak. Secara khusus terkait makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan medis, istirahat, dan pelayanan sosial.
Setiap orang mempunyai hak untuk hidup dan hak atas dukungan material serta spiritual yang dibutuhkan untuk menghayati eksistensinya sebagai manusia. Hak atas kehidupan yang manusiawi secara logis mengarah pada hak atas makanan yang cukup untuk menopang kehidupan yang bermartabat (life with dignity). Kemiskinan dan kelaparan yang mengurangi kehidupan jutaan orang merupakan ancaman bagi kehidupan serta martabat manusia dan menuntut tanggapan dari setiap orang.
Pada 4 Oktober 2007, Benediktus XVI menyampaikan pesan kepada Director General of the United Nations Food and Agriculture Organization. Benediktus XVI mengingatkan pentingnya hak atas pangan untuk mengejawantahkan hak-hak yang lainnya. Karena segala sesuatu harus dimulai dengan hak dasar untuk hidup (the fundamental right to life). Meskipun upaya yang dilakukan tidak secara signifikan mengurangi jumlah orang-orang yang menderita kelaparan. Hal ini terjadi karena banyak orang cenderung dimotivasi oleh pertimbangan teknis dan ekonomi, melupakan dimensi etis untuk memberi makan yang lapar (feeding the hungry). Oleh karena itu, diperlukan kesadaran melihat pangan sebagai hak universal semua manusia, tanpa pembedaan atau diskriminasi.
Pribadi manusia tidak hanya memiliki dimensi sakral, tetapi juga dimensi sosial. Karena setiap orang hidup dan berkembang dalam komunitas tertentu. Sifat sosial manusia memungkinkan terejawantahnya kebaikan bersama (common good) yang merupakan tujuan dan ukuran penting dalam masyarakat. Cara mengatur, menyusun, dan mengelola masyarakat dalam kaitannya dengan ekonomi, politik, dan pertanian sangat memengaruhi martabat manusia. Hal ini nampak dalam tradisi hukum Barat (Western legal tradition), di mana keadilan memiliki tiga dimensi, yaitu komutatif, distributif, dan sosial.
Keadilan komutatif (commutative justice) menuntut keadilan dalam pola relasi yang dibangun. Hal ini harus dipertimbangkan dan dipahami dalam konteks keadilan distributif (distributive justice) yang mensyaratkan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik menjangkau semua orang. Selanjutnya, keadilan sosial (social justice) menegaskan bahwa semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan berkembang menjadi manusia otentik. Terkait hal ini, ajaran sosial Gereja memusatkan perhatian pada keadilan dan sifat sosial pribadi manusia yang menekankan pentingnya keluarga, komunitas, solidaritas, kerja sama, dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.
Solidaritas di Era Globalisasi Menuntut Hak Atas Pangan
Solidaritas (solidarity) merupakan prinsip ajaran sosial Gereja dan kebajikan (virtue) yang harus diaktualisasikan. Perlu diketahui bahwa manusia hidup di tengah situasi di mana kekuatan ekonomi, modal, dan tenaga kerja melintasi batas-batas nasional yang kemudian menciptakan komunitas internasional. Sehingga manusia mempunyai kewajiban moral (moral obligation) merawat sesama dan ciptaan lainnya.
Sebagai orang beriman, manusia dipanggil untuk peka terhadap fenomena kelaparan yang meluas. Meskipun ada kemungkinan tergoda untuk berpaling dari berbagai macam tantangan. Injil dan tradisi Katolik mengarahkan kita untuk melihat yang lain sebagai saudara dan saudari. Ketergantungan (interdependence) di antara manusia sebagaimana dikemukakan dalam prinsip solidaritas, memungkinkan pengembangan organisasi dan institusi pada tingkat lokal, nasional, dan internasional. Solidaritas dilengkapi dengan prinsip subsidiaritas (subsidiarity) yang mengingatkan kita akan keterbatasan serta tanggung jawab organisasi dan lembaga.
Subsidiaritas memungkinkan inisiatif setiap anggota masyarakat dan menegaskan peran penting dari berbagai struktur. Dalam perspektif Yohanes Paulus II, subsidiaritas menegaskan bahwa sebuah komunitas dari tatanan yang lebih tinggi harus mendukung komunitas dari tatanan yang lebih rendah apabila dibutuhkan dan membantu mengkoordinasikan kegiatan mereka dengan kegiatan masyarakat lainnya dengan tujuan kebaikan bersama. Dalam pertanian, solidaritas dan subsidiaritas mengajak kita untuk mendukung serta mempromosikan pertanian keluarga yang lebih kecil. Hal ini dimaksudkan bukan hanya untuk menghasilkan makanan, tetapi juga untuk menyediakan mata pencaharian bagi keluarga dan membentuk dasar kehidupan masyarakat pedesaan.
Kurangnya solidaritas memperparah fenomena kelaparan. Terkait hal ini, penghapusan kelaparan menjadi syarat utama untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di dunia. Dengan terus-menerus menegaskan kembali prinsip solidaritas, ajaran sosial Gereja menuntut tindakan untuk mewartakan pentingnya kebaikan bersama. Karena pada hakikatnya kita bertanggung jawab untuk semua. Solidaritas juga berarti menuntut tanggung jawab negara-negara berkembang. Secara khusus para pemimpin politik (political leaders) untuk mempromosikan kebijakan perdagangan yang menguntungkan rakyat dan pertukaran teknologi (exchange of technology) untuk meningkatkan pasokan makanan serta kesehatan masyarakat.
Memberantas Kelaparan dan Menggunakan Sumber Daya Secara Bijaksana
Tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menurut United Nations yaitu mengakhiri kelaparan. Terkait hal ini, ketahanan pangan tercapai ketika masyarakat memiliki pangan yang bergizi dan memungkinkan mereka menjalani hidup yang sehat. Tantangan kontemporer adalah menghilangkan fenomena kelaparan dan kekurangan gizi serta obesitas yang mengganggu kesehatan. Kerawanan pangan berarti masyarakat tidak memiliki akses terhadap pangan yang bergizi atau memiliki akses yang terbatas terhadap pangan baik kuantitas maupun kualitasnya.
Ketersediaan pangan di dunia tidak merata dan perlu ada perencanaan strategis untuk memproduksi pangan berkelanjutan yang memenuhi persyaratan ketahanan pangan. Gereja Katolik menentang distribusi makanan global yang tidak adil. Gereja Katolik memahami kerawanan pangan sebagai hambatan serius terhadap hak asasi manusia dan martabat manusia. Paus Fransiskus pernah menegaskan demikian, adalah kenyataan kejam, tidak adil, dan paradoks, di mana ada makanan untuk semua orang, namun tidak semua orang memiliki akses ke sana.
Perlu diketahui bahwa semua ciptaan adalah anugerah (all creation is a gift). Dalam Mazmur 24:1 dikatakan, TUHANlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya. Manusia dipanggil untuk menghormati ciptaan Allah. Memelihara dan mengolah tanah, memanfaatkan air untuk produksi pangan, dan merawat hewan sebagai upaya pengejawantahan penatalayanan. Tindakan penyalahgunaan ciptaan Allah mengkhianati karunia yang Allah berikan kepada kita untuk kebaikan seluruh keluarga manusia.
Ajaran sosial Gereja menampilkan kerangka teoretis, antropologis, dan etika untuk mengidentifikasi dasar fundamental hak atas pangan. Menawarkan sarana untuk memberikan makna dan arah dalam keterlibatan aktif serta komitmen mewujudkannya secara historis. Secara khusus menawarkan model pengembangan hak atas pangan yang dipahami sebagai sesuatu yang bersifat global, inklusif, dan keberlanjutan. Hal ini memungkinkan untuk melawan konsumerisme yang seringkali dipandang sebagai sarana mencapai kebahagiaan (achieve happiness). Kenyataannya konsumerisme mendorong manusia menggunakan produk yang berumur pendek, membuang energi, dan pemborosan barang serta makanan. Terkait ketahanan pangan dan produksi serta distribusi berkelanjutan, ajaran sosial Gereja menawarkan model ekonomi yang melibatkan institusi dan individu. Model ekonomi tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan di semua tingkatan.
Penutup
Pada World Food Day 2021, Paus Fransiskus menegaskan bahwa salah satu tantangan terbesar umat manusia yaitu mengatasi kelaparan (overcoming hunger). Perlu solusi inovatif yang mampu mengubah cara memproduksi dan mengonsumsi makanan untuk kesejahteraan manusia serta bumi. Terkait hal ini, memerangi kerawanan pangan (combat food insecurity) pada dasarnya tidak dapat ditunda. Food and Agricultural Organization pada hari pangan 2021 mengangkat tema Our actions are our future. Better production, better nutrition, a better environment and a better life. Tema tersebut menegaskan perlunya tindakan bersama untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki akses makanan yang memadai dan terjangkau.
Realitas memperlihatkan bahwa lebih dari tiga miliar orang tidak memiliki akses makanan bergizi. Sedangkan di sisi lain, hampir dua miliar orang kelebihan berat badan atau obesitas. Jika kita tidak ingin membahayakan planet dan seluruh populasi, maka perlu tindakan aktif mengupayakan perubahan dan mengatur sistem pangan. Selain itu, gaya hidup (lifestyle) dan praktik konsumsi sehari-hari memengaruhi dinamika global serta lingkungan. Sehingga produsen dan konsumen harus membuat pilihan etis serta berkelanjutan dan meningkatkan kesadaran generasi muda mengenai peran penting mereka membebaskan dunia dari kelaparan.
Fenomena pandemi Covid-19 mengajarkan kepada kita untuk meningkatkan investasi sistem pangan global (global food system). Supaya dapat menangani krisis di masa depan dengan bijaksana dan bertanggung jawab. Memfasilitasi akses produsen skala kecil agar mampu melakukan inovasi, misalnya dalam sektor pertanian pangan (the agri-food sector). Selain itu, memperkuat ketahanan terhadap perubahan iklim (climate change) dan meningkatkan produksi pangan. Akhirnya, perjuangan melawan kelaparan menuntut kita mengatasi logika dingin pasar (the cold logic of the market) yang dengan rakus memusatkan perhatian hanya pada keuntungan ekonomi. Memastikan bahwa hak-hak dasar manusia tidak dirusak atau diabaikan.
Sumber Bacaan:
MCKINNEY, STEPHEN J. “Covid‑19: Food Insecurity, Digital Exclusion and Catholic Schools.” Journal of Religious Education. Vol. 68, No. 3 (2020), hlm. 319-330.
POPE FRANCIS. “Message for World Food Day 2021.” https://www.vatican.va/content/francesco/en/messages/food/documents/papa-francesco_20211015_messaggio-giornata-alimentazione.html. Diakses pada 25 Oktober 2021 pukul 13.44 WIB.
SAMMASSIMO, ANNA. “The Right to Food in the Catholic Social Doctrine.” https://jus.vitaepensiero.it/news-papers-the-right-to-food-in-the-catholic-social-doctrine-4656.html. Diakses pada 3 Oktober 2021 pukul 17.22 WIB.
TAGLE, LUIS ANTONIO G. “The Problem of Food Loss: Challenges from the Catholic Social Teaching and Responses from Caritas.” https://www.caritas.org/wordpress/wp-content/uploads/2016/05/FAOSpeechTagle0516.pdf. Diakses pada 3 Oktober 2021 pukul 17.26 WIB.
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di dalam Majalah GITA SANG SURYA, Vol. 16 No. 5 (September-Oktober 2021).
Mencerahkan kesadaran solidaritas..