Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Manusia mengupayakan dan memberi makan untuk tubuh (body) serta jiwa (soul). Terkait hal ini, makanan menjadi bagian dari kebiasaan dan ritus (customs and rites). Oleh karena itu, nenek moyang kita mengisi dan mewarnai hidup dengan rasa (flavor), berjumpa serta mengelilingi meja makan yang memungkinkan terjadinya perayaan makan bersama. Perlu diketahui bahwa makan bukan sekadar untuk mengenyangkan rasa lapar di perut, tetapi juga untuk mengenyangkan rasa lapar akan roh (spirit). Pada tataran tertentu penting untuk memadukan tindakan makan dengan kasih yang dimanifestasikan dalam tindakan berbagi dan perjamuan Ekaristi. Melalui Ekaristi, kita dapat merasakan perjamuan kudus abadi (the holy everlasting supper) yang melibatkan seluruh dimensi kemanusiaan, fisik dan spiritual (physical and spiritual).
Meja makan adalah meja harapan (hope) dan kasih (charity/caritas), di mana harapan yang besar harus disertai dengan kasih yang besar. Perlu disadari bahwa dalam diri manusia terdapat kebaikan dan kerakusan (goodness and gluttony). Kebaikan memelihara diri manusia, sedangkan kerakusan menghancurkannya. Sehingga manusia diharapkan tidak mengubah momen sakral makan menjadi kesenangan kerakusan belaka, meninggalkan dimensi persekutuan dengan yang lain. Tindakan makan diharapkan memicu kasih dan dialog, menyentuh hati setiap orang serta menopang tubuh dan jiwa. Karena dalam harmoni manusia akan mencapai persekutuan dan perjamuan universal yang kudus (the holy universal supper).
Pada hakikatnya makanan penting untuk kehidupan manusia. Menampilkan keterkaitan kompleks antara diri sendiri dan yang lain, nafsu makan dan pencernaan, etika dan politik, alam dan budaya, dan penciptaan serta keilahian. Tersedianya makanan untuk manusia memerlihatkan kebaikan Allah yang melimpah dan senantiasa memberikan diri dalam kasih, kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Dinamika penciptaan adalah perjamuan kosmik (cosmic banquet) yang menunjukkan pemeliharaan Allah (God’s nurturing). Sedangkan inkarnasi merupakan kelanjutan tindakan kasih Allah dengan cara mengosongkan diri-Nya. Selanjutnya, melalui Ekaristi Allah memberikan diri secara radikal kepada manusia. Dapat dikatakan bahwa makan dalam perspektif teologi ingin mengemukakan relasi di antara Allah, manusia, dan ciptaan lainnya.
Makan, Makanan, dan Ekaristi
Menurut Claude Fischler, tidak ada yang lebih penting dan intim daripada makan, tanpa makanan manusia binasa. Semua organisme hidup (living organisms) perlu makan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup mereka. Hal ini masuk ke dalam siklus kehidupan organik mikro dan makro. Selain itu, makan adalah tanda utama (primal mark) dan tindakan kehidupan (act of life) yang memungkinkan perjamuan kosmik yang agung. Ketika makan, manusia benar-benar intim (intimate) dengan makanan dan mendekatkannya secara fisik dengan tubuh, bibir, dan mulut. Makanan yang dicerna meyusup ke dalam tubuh dengan berbagai aroma, tekstur, dan rasa. Makanan masuk ke dalam tubuh melalui proses metabolisme kompleks yang mengubah makanan tersebut menjadi kalori, vitamin, dan protein. Deane W. Curtin menegaskan bahwa tubuh manusia secara harfiah adalah makanan yang diubah menjadi daging, urat, darah, dan tulang.
Makan dapat menghidupkan tubuh, tetapi juga dapat membuatnya sakit dan bahkan menyebabkan kematian. Selain membawa perubahan fisiologis atau biologis, makan merupakan sarana transformasi psikologis, afektif, dan spiritual. Bahkan makan makanan tertentu dapat memicu suasana hati tertentu, menyalakan emosi, dan membangkitkan ingatan. Sebuah hidangan dapat membawa kenangan (memories) akan keluarga, rumah, negara, dan pengalaman masa lalu. Selain itu, makan dapat menimbulkan nafsu dan keinginan erotis. Membangkitkan erotisme dan perasaan yang penuh gairah. Meskipun demikian, makanan bukan sekadar bahan bakar eros, tetapi pengalaman spiritual tertinggi (the highest spiritual experience) akan kasih Allah dan kasih manusia (human love).
Relasi analog antara makan dan kesadaran akan kasih atau kehendak Allah dapat dilihat dalam tradisi Islam, misalnya puasa pada bulan Ramadhan. Sedangkan bagi orang Kristen, makanan dipandang sebagai ekspresi agape. Karena makan menjadi sarana tidak hanya untuk perubahan fisik dan emosional, tetapi juga transformasi spiritual (spiritual transformation), misalnya perayaan Ekaristi. Sehingga tidak berlebihan ketika memandang makan dan makanan dalam perspektif theology of food sebagai locus theologicus. Oleh karena itu, panggilan teologi adalah “menjadi makanan” (become alimentation). Sebuah teologi yang tidak hanya peduli tentang makanan, tetapi juga sebuah teologi yang diimpikan sebagai “makanan”.
Ludwig Feuerbach menegaskan bahwa kita adalah apa yang kita makan (we are what we eat). Hal ini mempertegas gagasan tentang makanan yang memengaruhi dinamika transformasi yang terjadi baik pada makanan maupun mereka yang memakannya. Selain itu, makanan merupakan sistem komunikasi, jaringan serta sistem pemaknaan. Menurut Roland Barthes, makanan bukan hanya kumpulan produk yang dapat digunakan untuk studi statistik. Tetapi merupakan sebuah sistem komunikasi (a system of communication), tata bahasa yang mencakup keragaman warna, tekstur, bau, dan rasa. Ketika berbicara tentang masakan, seperti halnya bahasa, mengandung kosakata (bahan-bahan) yang diatur menurut aturan tata bahasa (resep yang memberi makna pada bahan dan mengubahnya menjadi masakan), sintaksis (menu dan urutan hidangan), dan retorika (aturan sosial).
Sebagaimana dikemukakan Lévi-Strauss, untuk mengetahui siapa diri kita, kita dapat melihatnya memalui pola makan dan memasak. Dinamika makan dan memasak memberitahukan sistem penanda (systems of signification) kepada kita. Seperti analisis bahasa mengungkapkan struktur dasar makna, dinamika makan dan memasak memberitahukan sesuatu mengenai struktur pikiran manusia. Menurut Mary Douglas, cara kita mengkategorikan makanan tidak boleh dilihat secara terpisah, karena semua kategori mencerminkan yang lain. Sesuatu yang terjadi dalam jamuan makan keluarga mencerminkan berbagai wacana dan narasi yang saling berinteraksi seperti persiapan serta penyajian makanan, pola makan, aturan, peran sosial dan gender, dan keyakinan agama. Selain itu, keluarga mencerminkan dan menampilkan mikrokosmis nilai-nilai budaya serta masyarakat yang lebih besar.
Makanan bukan “hanya makanan” (just food). Karena makanan memungkinkan dan memberikan kesadaran untuk mengambil bagian dalam perjamuan Ekaristi. Masakan adalah tentang mengubah bahan menjadi hidangan yang dibuat dengan tujuan memelihara (nurturing) dan memberikan kegembiraan (joy) bagi jiwa serta tubuh. Masakan menerjemahkan tanda-tanda kuliner seperti resep dan tradisi, kemudian menyajikannya dalam bentuk makanan. Masakan juga berbicara mengenai campuran antara bahan, tradisi, masyarakat, waktu, dan ruang. Terkait hal ini, teologi dianalogikan dengan masakan yang menempatkan kita di tengah-tengah campuran bahan-bahan yang kompleks seperti tradisi, doktrin, kepercayaan, pengalaman pribadi dan komunal, dan ruang perantara manusia dengan Allah. Seperti masakan, teologi harus menjadi kerajinan yang halus, estetis, dan membawa kebaikan bersama. Sehingga orang dapat dengan tulus mengucapkan, O taste and see how good is the Lord.
Makanan terkait erat dengan Ekaristi. Vitalitas dan keintimanan makan makanan diitensifkan oleh tindakan makan di meja Ekaristi. Ekaristi merupakan tindakan makan yang vital dan intim, di mana Allah mengosongkan diri serta mengurangi rasa lapar umat manusia. Berdasarkan perspektif “makanan”, Ekaristi adalah rahmat par excellence, tindakan mengubah rasa lapar menjadi kenyang dan individualisme menjadi perayaan komunal, di mana manusia serta ciptaan lainnya terlibat dalam perjamuan ilahi (divine banquet). Ekaristi juga merupakan perwujudan kegembiraan antara Allah dan ciptaan, transendensi dan imanensi, kata dan tindakan, keinginan dan kepuasan, dan eros serta agape. Refleksi mengenai makanan menyoroti dimensi ketergantungan di antara semua organisme hidup.
Memberi makan orang yang membutuhkan menunjukkan gerakan menanggapi rasa lapar orang lain. Menciptakan ruang komunal yang disertai dengan sikap keramahan, misalnya menawarkan makanan kepada yang lain. Dalam ruang tersebut terjadi dinamika memberi, menerima, rasa syukur, dan persahabatan. Terkait hal ini, Ekaristi mengungkapkan pola relasional intrinsik. Melalui Ekaristi, Allah menawarkan keramahan (hospitality) dengan menjadi makanan dan tinggal bersama dengan yang lain. Ekaristi memungkinkan situasi dan kondisi di mana kelaparan fisik serta rohani tidak akan ada lagi. Terlepas dari penolakan dan ketidakpedulian manusia, pemberian diri Allah yang berulang-ulang melalui Ekaristi menarasikan kisah harapan dalam kasih ilahi yang dimaksudkan untuk dipeluk dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, Ekaristi menarasikan perjamuan eskatologis (eschatological banquet) yang selamanya terbuka sebagai misteri.
Manusia Hidup Melalui Pengorbanan
Melalui kasih karunia Allah kita dapat belajar menjalani kehidupan dengan penuh syukur. Terkait hal ini, pola makan kita seringkali mengakibatkan perlakuan kejam terhadap hewan, degradasi tanah, dan memberikan beban yang tidak adil pada orang-orang yang tidak memiliki makanan. Oleh karena itu, melalui tindakan makan kita dapat mengenali karakter dasar kehidupan kita. Kita makan untuk tetap hidup, tetapi kita harus membunuh dan mengorbankan yang lain apabila ingin makan. Makan adalah pengingat akan kematian yang lain. Dengan kata lain, kehidupan yang kita jalani memerlukan kematian kehidupan yang lain, kita hidup melalui pengorbanan (we live through sacrifice). Sedangkan melalui Ekaristi, kenangan akan penderitaan, kematian, dan kebangkitan Kristus, manusia diperdamaikan dengan kefanaannya. Ketika didamaikan, manusia mempunyai harapan untuk bersatu dengan Allah dan ciptaan lainnya.
Seberapa banyak manusia makan, akan tetap mati dan kembali ke tanah tempat ia berasal dan tempat makan sehari-hari. Makan dan makanan paling baik dipahami dalam kaitannya dengan kehidupan Allah Tritunggal. Secara khusus mengenai pemberian dan pengorbanan, keramahtamahan dan persekutuan, dan perhatian serta perayaan. Teologi trinitas (trinitarian theology) menegaskan bahwa semua realitas adalah persekutuan (communion), saling memberi dan menerima rahmat. Para teolog menggambarkannya sebagai perichoresis, di mana tidak ada sesuatu pun dalam ciptaan yang ada dengan sendirinya. Setiap ciptaan ditandai kebutuhan untuk menerima karunia pemeliharaan (the gifts of nurture). Terinspirasi oleh Kristus dan diberdayakan oleh Roh Kudus, manusia mempunyai kesempatan untuk mengubah rumahnya menjadi tempat keramahtamahan serta pemeliharaan bagi yang lain. Sehingga makan adalah gerakan berbagi dan menyambut, memberi ruang bagi yang lain.
Tindakan makan merupakan ajakan untuk bergerak secara bertanggung jawab dan penuh rasa syukur. Hal ini juga dimaksudkan sebagai panggilan untuk berkomunikasi dengan kehidupan ilahi yang dimanifestasikan dalam setiap makanan yang kita makan. Keyakinan tersebut sulit diterima oleh orang-orang yang meyakini bahwa makanan sekadar nutrisi. Mereka memandang makanan sebagai bahan bakar (fuel), menjaga tubuh seperti mesin yang bekerja pada tingkat optimal. Meskipun makanan tertentu terasa lebih enak, seharusnya kita hening sejenak untuk mengucap syukur sebelum makan. Kebiasaan tersebut berguna untuk mengendalikan budaya di mana makanan dipandang sekadar sebagai produk manufaktur yang kita kendalikan (manufactured product that we control).
Manusia dapat jatuh ke dalam godaan dengan melihat makanan sekadar sebagai nutrisi, tidak menyadari anugerah Allah yang dimanifestasikan didalamnya. Bahkan manusia bisa melupakan bahwa makanan adalah salah satu sarana dari Allah untuk mengungkapkan pemeliharaan ilahi (divine provision). Dalam Mazmur 104:10-15 dikatakan, Engkau yang melepas mata-mata air ke dalam lembah-lembah, mengalir di antara gunung-gunung, memberi minum segala binatang di padang, memuaskan haus keledai-keledai hutan; di dekatnya diam burung-burung di udara, bersiul dari antara daun-daunan. Engkau yang memberi minum gunung-gunung dari kamar-kamar loteng-Mu, bumi kenyang dari buah pekerjaan-Mu. Engkau yang menumbuhkan rumput bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan untuk diusahakan manusia, yang mengeluarkan makanan dari dalam tanah dan anggur yang menyukakan hati manusia, yang membuat muka berseri karena minyak, dan makanan yang menyegarkan hati manusia.
Dalam masyarakat industri maju, kecepatan, kenyamanan, dan harga murah menjadi karakteristik yang paling dihargai dalam mengonsumsi makanan. Tidak mengherankan apabila makan tidak lagi dipikirkan dan tidak bertanggung jawab terhadapnya. Terkait makanan, yang diperhatikan hanya penampilan, ketersediaan, dan harga. Berdasarkan perspektif ekonomi global, makanan merupakan komoditas yang sama seperti komoditas lainnya. Manusia memusatkan perhatian pada upaya melayani kebutuhan bisnis untuk memeroleh keuntungan, keinginan konsumen akan harga murah, dan usaha politik untuk mendapatkan kekuasaan. Sehingga makanan tidak lagi berbicara sebagai anugerah Allah. Makan tidak lagi menjadi kesempatan di mana kita mengalami rasa memiliki, tanggung jawab, dan rasa syukur. Padahal makanan adalah pemberian Allah yang diberikan kepada semua ciptaan untuk tujuan pemeliharaan, berbagi, dan merayakan kehidupan.
Penutup
Pemahaman manusia mengenai makanan telah dibuat dangkal oleh narasi modern menjadi komoditas. Hal ini ditandai dengan intervensi logika pasar dan mesin ke dalam tindakan makan. Sehingga manusia tidak mempunyai pemahaman spiritual terhadap makanan. Oleh karena itu, harus diupayakan suatu perbaikan dengan latihan spiritual (spiritual exercise). Perlu diketahui bahwa makan, baik secara kiasan atau pun secara harfiah, berakar dan terkait dengan tanah serta kebun. Kebun merupakan tempat di mana orang mulai melihat, mencium, mendengar, menyentuh, dan merasakan keanggotaan serta tanggung jawab. Berkebun yang ideal seharusnya diilhami dan dibentuk oleh pemahaman mengenai Allah serta Kristus sebagai tukang kebun (gardeners) yang memelihara dan merawat dunia.
Makan berarti masuk secara intim ke dalam kehidupan orang lain, berpartisipasi dalam pertumbuhan kehidupan (the growth of life) dan juga kematiannya. Persoalan terkait makan dan makanan muncul karena orang tidak mampu atau tidak mau menerima tanggung jawab pada tataran ekologi, ekonomi, dan fisiologis. Fenomena tersebut nampak dengan adanya degradasi ekosistem dan lahan pertanian serta ketidakadilan dan kehancuran perjanjian perdagangan internasional serta ekonomi konsumen. Oleh karena itu, manusia harus melakukan pembaruan hidup melalui persembahan diri dan pelayanan. Terkait hal ini, Ekaristi menyembuhkan keberdosaan dan memungkinkan cara hidup komunal yang berpartisipasi dalam kehidupan Allah Tritunggal. Ketika menerima Kristus dalam Ekaristi sebagai roti hidup (bread of life), manusia mengalami transformasi dan kebangkitan yang sejati, berlimpah, dan kekal. Menghormati dan meningkatkan kehidupan, menciptakan budaya melayani, keramahtamahan, dan kebersamaan.
Sumber Bacaan:
MONTOYA, ANGEL F. MÉNDEZ. Theology of Food: Eating and the Eucharist. Malden: John Wiley & Son, 2009.
WIRZBA, NORMAN. Food and Faith: A Theology of Eating. Cambridge: Cambridge University Press, 2011.
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di dalam majalah GITA SANG SURYA, Vol. 16, No. 5 (September-Oktober 2021), hlm. 80-84.
Menikmati Santapan denngan penuh kesadaran..