Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
PENGANTAR
Seni pada hakikatnya terkait dengan pencerapan dan pengalaman indrawi. Pada periode Yunani Kuno, seni bersifat kosmosentris, di mana alam menjadi acuan refleksi. Selanjutnya, pada Abad Pertengahan, seni diwarnai cara pandang teosentris, Allah ditempatkan sebagai pusat segala sesuatu. Sedangkan pada era modern, manusia menjadi titik pusat seni. Akhirnya, pada Abad XX-XXI, seni didominasi dengan pertumbuhan dan perkembangan simulasi digital.
Perlu diketahui bahwa seni identik dengan memproduksi sesuatu, mempunyai pengaruh pada kehidupan manusia, dan mengandung dimensi etis serta estetis. Selain itu, seni dipandang sebagai simbol Yang Ilahi, berhubungan dengan realitas transenden, dan membawa ketenangan. Dalam rangka menciptakan suatu karya seni, sejumlah seniman mengambil inspirasi dari alam, mempresentasikan tiruan realitas. Bahkan seni dinilai mengandung logika simbolis dan menjadi media untuk memahami dunia.
KETIDAKSEPAKATAN PARA FILSUF TERKAIT HAKIKAT SENI
Menurut Raymond Firth (antropolog), pada umumnya kegiatan ekonomi dipandang sebagai kebutuhan (necessity), sedangkan aktivitas seni dilihat sebagai kemewahan (luxury). Berdasarkan perspektif empiris, universalitas seni menyatu dalam kehidupan sosial manusia. Periode sepuluh ribu tahun yang lalu atau zaman paleolitik, manusia membuat lukisan dan patung di gua-gua. Sejumlah karya tersebut dilestarikan dan membuat para seniman modern kagum.
Seni mewarnai perjalanan hidup manusia sepanjang sejarah. Oleh karena itu, tidak ada yang namanya orang primitif (primitive peoples). Pada 1990, Monsieur Jean Clottes (pakar seni prasejarah) meneliti lukisan Zaman Batu (Stone-Age) di gua Lascaux-Prancis. Clottes melihat lukisan kuda berhadapan dengan badak. Lukisan tersebut membuatnya kagum, tersentuh, dan meneteskan air mata. Ia menyaksikan lukisan yang merupakan karya agung dunia (the world’s great masterpieces). Kesaksian Clottes memicu pertanyaan teologis dan filosofis terkait daya tarik universal seni dan kemampuan seni berbicara di ranah publik.
Universalitas seni tidak membantu para filsuf mencapai kesepakatan mengenai sifat intrinsik seni. Platon, Aristoteles, Hegel, Kant, Clive Bell, dan Morris Wetz berupaya mendefinisikan seni. Namun, definisi yang mereka sampaikan belum diterima secara universal. Bahkan para filsuf modern membantah Platon yang mendefinisikan seni sebagai imitasi (imitation). Terkait hal ini, Mark Rothko dan Yves Klein yang menyajikan lukisan dalam bentuk bidang warna dan tidak meniru objek apa pun memperoleh penghargaan pada abad XX.
Para filsuf meyakini, jika kualitas yang sama untuk semua karya seni ditemukan, maka persoalan utama estetika terselesaikan. Menurut Clive Bell, teori seni dikatakan memadai apabila mampu mengidentifikasi kualitas esensial karya seni. Mampu membedakan karya seni dari objek lainnya. Perlu diketahui bahwa pendekatan esensialis melahirkan definisi yang beragam. Kant memandang seni sebagai tujuan tanpa tujuan (purposiveness without purpose). Sedangkan Benedetto Croce melihat seni sebagai intuisi. Clive Bell menilai seni sebagai bentuk signifikan (significant form). Susan Langer mengaitkan seni dengan perasaan simbolis (symbolic feeling).
Definisi seni yang disampaikan para filsuf memiliki kritik dan pendukung. Teori seni para filsuf seperti formalisme, voluntarisme, emosionalisme, intelektualisme, intuisionisme, dan organisme bertemu dalam upaya untuk menunjukkan karakteristik seni. Mereka saling mengklaim bahwa teori seni yang dikemukakannya paling benar. Kegagalan mencapai kesepakatan mengenai hakikat seni berdampak pada ketidaksepakatan terkait proses mengkategorikan sesuatu sebagai seni.
Nicholas Wolterstorff menyebut musik, drama, sastra, gambar visual, balet, tari modern, film, dan pahat sebagai seni. Sedangkan Kristeller mengkategorikan arsitektur sebagai seni, namun Wolterstorff menolaknya. Selanjutnya, drama, sastra, dan tari modern tidak masuk ke dalam kategori seni Kristeller. Terkait hal ini, Gordon Graham memandang arsitektur sebagai seni. Akhirnya, R.G. Collingwood secara kategoris mengecualikan kerajinan dari karya seni (works of art).
ALLAH SEBAGAI SENIMAN TERTINGGI
Teologi Kristen harus terlibat aktif, kreatif, dan kritis dalam perdebatan filosofis mengenai seni. Namun, refleksi Kristiani terkait seni mempunyai titik tolak yang berbeda. Dalam tradisi Kristen, refleksi tentang seni terkait dengan relasi antara Allah dan manusia. Allah dipandang sebagai Pencipta dunia (the Creator of the world). Dalam Kej 1:1 dikatakan, pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Iman Kristen meyakini bahwa sebelum Allah menciptakan dunia, tidak ada yang lain kecuali Allah dan dunia diciptakan dari ketiadaan (ex nihilo). Allah tidak menggunakan bahan yang sudah ada untuk menciptakan dunia. Allah hanya berfirman dan dunia menjadi ada. Origenes (abad III) dan Bonaventura (abad XIII) menggambarkan Allah sebagai Seniman Tertinggi (Supreme Artist) serta dunia sebagai karya-Nya.
Menurut Hans Urs von Balthasar (teolog Katolik Roma), keindahan dunia mencerminkan keindahan Allah. Sedangkan Gerard Manley (penyair) meyakini bahwa keindahan dunia yang diciptakan Allah memperlihatkan kecemerlangan dan kemegahan Pencipta. Oleh karena itu, keindahan merupakan atribut utama dari ciptaan Allah. Origenes menggunakan metafora gambar Allah (imago Dei) untuk menyebut manusia dan ciptaan lainnya. Karena dunia mencerminkan kemuliaan Pencipta. Sebagai imago Dei, ciptaan merupakan sakramen, jendela menuju yang ilahi (a window to the divine). Sebagaimana dikatakan Simone Weil (penulis Kristen Prancis), keindahan dunia merupakan senyuman lembut Kristus bagi umat-Nya. Kristus hadir dalam keindahan universal dan tinggal di dalam jiwa manusia.
Doktrin penciptaan mempunyai implikasi pada teologi seni. Tradisi Kristen mengajarkan bahwa dunia yang diciptakan Allah dicirikan oleh keteraturan (order) dan mempunyai tujuan (purpose). Sehingga eksistensi dunia tidak sembarangan, di mana ciptaan sejak awal dijiwai dengan makna. Sehingga William Blake (penyair Inggris) yang menyatakan bahwa dunia sebagai padang gurun tandus yang kehilangan signifikansi apabila imajinasi manusia tidak memberi makna padanya, harus dipertanyakan dan dikritisi.
Berdasarkan perspektif teologi Kristen, gagasan mengenai imajinasi manusia yang mengubah alam (nature) yang tandus menjadi budaya (culture) yang bermakna dan menjadi tempat tinggal manusia pada dasarnya keliru. Upaya manusia membuat dunia menjadi lebih artistik, membutuhkan kreativitas dan imajinasi. Kreativitas dan imajinasi tersebut tidak bekerja secara ex nihilo, keluar dari ruang hampa (out of a vacuum). Sebagaimana dikemukakan Trevor Hart, upaya manusia masuk ke dalam aktivitas, pertama-tama ia harus memiliki keterbukaan untuk mendengarkan dan belajar dari alam. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan keteraturan yang sudah ada sejak awal penciptaan dan mengetahui batas-batas tindakan di dunia.
Kreativitas manusia dimungkinkan karena ia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1:26-27). Dorothy Sayers menegaskan bahwa manusia pada hakikatnya bersifat ilahi (divine). Keilahian manusia tersebut dimungkinkan oleh Allah. Terkait hal ini, karakteristik umum dari Allah dan manusia yaitu kehendak dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu. Dalam Kej 1:28 dikatakan, beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi. Tetapi perintah tersebut tidak dimaksudkan sebagai afirmasi untuk mengeksploitasi alam. Manusia diminta untuk mengejawantahkan penatalayanan sebagaimana dikehendaki Allah.
MENCARI DAN MENEMUKAN MAKNA MELALUI SENI
Kemampuan manusia dalam bidang seni merupakan ekspresi fundamental dari pencarian makna (quest for meaning) dan transendensi diri (self-transcendence). Karena diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah, manusia mampu membangun relasi dengan Allah, sesama, dan ciptaan lainnya. Menurut Paul Jewett (teolog), manusia tidak mengalami keterbatasan (finitude) seperti hewan. Berbeda dengan hewan, manusia mempunyai keterbukaan terhadap dunia (openness to the world) dan memungkinkannya menemukan cakrawala makna terluas.
Secara eksplisit dan implisit, seni memungkinkan makna yang merupakan ekspresi manusia yang paling hakiki. Selain itu, seni mampu berbicara lintas waktu dan budaya. Perlu diketahui bahwa seni merupakan bentuk keterikatan manusia dengan lingkungannya. Sehingga setiap karya seni mengandung dimensi sosial dan politik. Seni juga dapat dipahami sebagai proyeksi dunia (world projection). Bahkan seni dilihat sebagai upaya menghadirkan dunia yang pada dasarnya berbeda dengan dunia nyata, dunia yang diciptakan oleh imajinasi manusia.
Para seniman seperti novelis, komposer, dan pelukis memproyeksikan dunia (world) dalam karya seninya yang berbeda dengan dunia nyata. Meskipun terdapat korespondensi antara dunia yang digambarkan dan dunia nyata, tetapi kedua dunia tersebut pada hakikatnya berbeda. Ketika menciptakan dunia imajiner melalui karya seni, seniman sebenarnya membuat klaim mengenai realitas dunia. Misalnya, dalam The Ass and the Grasshopper Aesop menciptakan dunia imajiner yang melukiskan seekor keledai berbicara dengan belalang.
Manusia adalah makhluk religius dan diciptakan untuk senantiasa menjalin relasi dengan Allah. Terkait hal ini, setiap karya seni mempunyai dimensi religius dan spiritual. Sehingga karya seni menyuarakan kedalaman (sounding the depths), ekspresi religiusitas manusia. Sebagaimana dikatakan Richard Viladesu, seni mengejawantahkan situasi spiritual (spiritual situation) budaya tertentu. Bahkan Paul Tillich meyakini bahwa seni mempunyai kemampuan lebih tinggi dalam melukiskan situasi spiritual suatu budaya apabila dibandingkan dengan sains dan filsafat. Karena seni tidak dibebani oleh pertimbangan objektif.
MEMULIAKAN ALLAH MELALUI SENI
Tujuan seni menjadi perdebatan di antara para filsuf. Pada peradaban manusia paling awal, seni (art) sebagaimana dikenali manusia dewasa ini tidak ada. Namun, tidak bisa disangkal bahwa pada waktu itu manusia menciptakan gambar dan ornamen yang sangat indah. Perlu diketahui bahwa mereka tidak memandang karyanya sebagaimana dipahami orang-orang modern. Patung dan lukisan yang diciptakan tidak mereka nilai sebagai komoditas serta sarana rekreasi. Sedangkan dewasa ini karya seni diapresiasi dalam pameran yang diselenggarakan di museum dan galeri seni. Dalam budaya kuno, seni terkait dengan praktik dan adat-istiadat budaya.
Menurut kaum puritan, seni direndahkan apabila terdapat tujuan lain selain sesuatu yang melekat padanya. Sehingga muncul slogan seni untuk seni (art for art’s sake). Karen Stone menegaskan bahwa seni menjawab persoalan dan memenuhi kebutuhan serta tujuan yang tidak terbatas. Namun, seni tidak diarahkan pada satu tujuan, tetapi melayani berbagai macam tujuan. Dalam perspektif teologi Kristen, seni dimaksudkan untuk memuliakan Allah (glorify God). Seniman memuliakan Allah dengan meniru karya Sang Pencipta. Oleh karena itu, tujuan seni bukan untuk pemuliaan diri (self-glorification). Terkait hal ini, umat Kristen harus mengecualikan diri dari slogan “seni untuk seni” yang mementingkan diri sendiri.
Sebagaimana dikemukakan Philip Graham Ryken, seni yang dilihat hanya untuk kepentingan diri sendiri dan mengabaikan tujuan yang lebih tinggi akan jatuh ke dalam penyembahan berhala (idolatrous). Hal ini dapat dihindari apabila seniman mengakui bahwa kemampuan artistiknya merupakan hadiah dari Allah (gift from God) dan secara konsisten memuliakan Allah melalui karya seninya. Seni yang memuliakan Allah harus mencakup tiga kategori, yaitu keindahan, kebenaran, dan kebaikan.
Ketika manusia mengagumi keindahan tatanan dunia berarti ia mengagumi keindahan ilahi (divine beauty). Sehingga manusia tidak akan pernah puas apabila melihat keindahan dari jauh. Sebagaimana dikatakan C.S. Lewis, kami tidak ingin hanya melihat keindahan. Kami menginginkan sesuatu yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, supaya kami sungguh-sungguh menyatu dengan keindahan. Menerima dan ambil bagian dalam keindahan. Terkait hal ini, Plotinus (penulis mistik abad VI) mengatakan bahwa kata Yunani kalon (indah, halus, dan baik) terkait dengan kalein (memanggil).
Keindahan sejati selalu diiringi dengan kebenaran dan kebaikan. Ketika keindahan diupayakan dengan mengorbankan kebenaran akan mengakibatkan sentimentalitas. Karena keindahan senantiasa disatukan dengan kebenaran supaya tidak menjadi idealisasi realitas belaka. Keindahan yang berbicara kebenaran pada hakikatnya tidak menyangkal dan menyinggung segala sesuatu. Oleh karena itu, seni bukan suatu komoditas, tetapi ikon yang harus dihormati. Seni sejati membawa manusia pada kesadaran akan tatanan moral dan spiritual. Jika manusia tidak mengupayakan keindahan secara sadar, maka ia akan jatuh ke dalam kesenangan semu yang membuatnya mengalami kecanduan dan penodaan.
Meskipun sulit untuk berbicara moralitas dalam seni, namun keindahan tidak bisa dilepaskan dari kebaikan. Perlu diketahui bahwa seni dan karya manusia lainnya tidak bebas nilai (is not value-free). Salah satu cara untuk berbicara mengenai moralitas seni yaitu dengan mengajukan pertanyaan. Bagaimana seni melayani manusia? Bagaimana seni memanusiakan manusia? Menurut Richard Harries, ketika kebaikan, kebenaran, dan keindahan digabungkan, manusia akan mengalami kemuliaan (glory). Sedangkan ketika kebaikan yang tidak terbatas, kebenaran total, dan keindahan yang agung digabungkan ke tingkat tertinggi, manusia akan mengalami kemuliaan ilahi (divine glory). Seni yang berbicara kebenaran untuk kebaikan mencerminkan kemegahan ilahi dan membawa kemuliaan bagi Allah.
PENUTUP
Para filsuf belum mencapi kesepakatan dalam rangka menunjukkan hakikat seni. Mereka saling mengklaim bahwa definisi seni yang disampaikannya paling benar. Berhadapan dengan persoalan tersebut, teologi Kristen menunjukkan bahwa refleksi mengenai seni terkait relasi antara manusia dan Allah. Manusia diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah. Allah dipandang sebagai Seniman Tertinggi yang menciptakan dunia dari ketiadaan. Sebagai imago Dei, manusia diminta untuk mengejawantahkan penatalayanan sebagaimana dikehendaki Allah. Supaya keteraturan dunia terjaga dengan baik.
Setiap karya seni mengandung sifat religius dan spiritual. Hal ini terjadi karena manusia yang terlibat dalam bidang seni diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah. Selain itu, melalui seni manusia akan menemukan makna hidup dan mencapai transendensi diri. Dalam teologi Kristen, seni dimaksudkan untuk memuliakan Allah, bukan memuliakan diri sendiri. Seni yang memuliakan Allah harus mencakup keindahan, kebaikan, dan kebenaran. Hal ini dimaksudkan supaya manusia tidak jatuh ke dalam penyembahan berhala, sentimentalitas, dan kesenangan semu.
SUMBER BACAAN:
CHIA, ROLAND. “Sounding the Depths: Towards a Theology of Art.” Church & Society in Asia Today. Vol. 14, No. 2 (Agustus 2011), hlm. 71-80.
GREEN, F. PRATT. “Art and Theology.” The Expository Times. Vol. 79, No. 8 (1968), hlm. 240.
KARIM, ANA. “Visual Faith: Art, Theology, and Worship in Dialogue.” Interpretation A Journal of Bible and Theology. Vol. 56, No. 4 (Oktober 2002), hlm. 450.
CATATAN:
Tulisan ini pernah dimuat di dalam majalah ROHANI, Nomor 06, Tahun ke-68 (Juni 2021), hlm. 53-57.
Semua seni menuntun kembali ke asalnya.
Artikel mencerahkan.