Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Tema masa ciptaan (season of creation) 2021 yaitu “Rumah untuk Semua? Membarui Oikos Allah” (A Home for All? Renewing the Oikos of God). Pemazmur menegaskan demikian, the Earth is the Lord’s and all that is in it. Hal ini menunjukkan bahwa setiap makhluk milik komunitas bumi (Earth community). Selain itu, seluruh komunitas adalah milik Sang Pencipta (Creator). Kata Yunani oikos dapat diartikan sebagai komunitas bumi. Oikos berasal dari kata oikumene yang menggambarkan rumah bersama (common home), milik Allah.
Terdapat relasi integral yang menopang dan memungkinkan kesejahteraan Bumi (wellbeing of the Earth). Terkait hal ini, ekologi (oikologia) melukiskan relasi di antara hewan, tumbuhan, dan mineral yang memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan (balance) komunitas Bumi. Setiap makhluk mempunyai kontribusi pada kesehatan dan ketahanan ekosistem keanekaragaman hayati. Perlu diketahui bahwa relasi yang dibangun manusia mengandung makna ekologis. Pada tataran tertentu relasi ekonomi (oikonomia), sosial, dan politik memengaruhi keseimbangan ciptaan.
Segala sesuatu yang manusia kerjakan, gunakan, dan hasilkan berasal dari Bumi. Kebiasaan manusia mengonsumsi energi dan barang memengaruhi ketahanan sistem planet, kapasitas Bumi memulihkan dirinya sendiri dan mempertahankan kehidupan (sustain life). Relasi ekonomi dan politik berdampak pada manusia dan oikos Allah. Dalam Kejadian 2:15 dikatakan, TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Hal ini mengingatkan manusia bahwa di antara sesama makhluk, Sang Pencipta memberikan panggilan khusus kepada manusia untuk memelihara oikos Allah.
Mempertahankan relasi ekologi, sosial, ekonomi, dan politik yang adil membutuhkan iman, akal budi, dan kebijaksanaan. Iman mengingatkan manusia bahwa dirinya bukanlah penatalayan (stewards) dari ciptaan lainnya, tetapi pemelihara (caretakers) komunitas ciptaan yang dinamis dan hidup. Karena Bumi dan segala isinya merupakan rahmat yang dipercayakan kepada manusia. Manusia dipanggil bukan untuk mendominasi (to dominate), tetapi untuk menjaga (to safeguard). Menjaga kondisi kehidupan dan menciptakan ekonomi, teknologi, dan politik yang berakar pada batas-batas ekologis. Manusia diharapkan memberikan perhatian pada sistem dan proses alam, tradisi yang diwarisi, dan wahyu Allah dalam Firman serta Roh.
Selama berabad-abad manusia (anthropoi) mengatur hidup dan ekonomi berdasarkan logika pasar daripada batas-batas Bumi (the limits of the Earth). Logika palsu tersebut mengeksploitasi oikos Allah dan menjadikan ciptaan lainnya sebagai sarana untuk mencapai tujuan ekonomi serta politik. Eksploitasi tanah, tumbuhan, hewan, dan mineral dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan. Hal ini mengakibatkan hilangnya habitat yang merupakan rumah bagi jutaan spesies. Termasuk manusia yang rumahnya terancam akibat konflik dan kerusakan iklim. Realitas memperlihatkan bahwa manusia yang menjunjung tinggi antroposentrisme mempercepat ketidakstabilan ekologi. Sejatinya kebijaksanaan memungkinkan manusia menemukan jawaban dan jalan untuk membangun ekonomi hijau (green economies) dan sistem politik yang adil serta menopang kehidupan planet dan manusia.
Iman memberikan kepercayaan kepada manusia bahwa Roh Allah senantiasa memperbarui bumi. Dalam perspektif harapan tersebut panggilan baptisan yang diterima manusia membebaskannya untuk kembali ke dalam panggilan untuk menggarap dan memelihara taman Allah (God’s garden). Melalui Kristus, Allah memanggil manusia untuk berpartisipasi memperbarui Bumi, menjaga setiap makhluk, dan mereformasi relasi yang adil di antara semua ciptaan. Oleh karena itu, setiap rumah tangga dan masyarakat harus bertobat serta membentuk sistem politik, sosial, dan ekonomi yang adil serta berkelanjutan. Menghormati batas-batas ekologi yang memberi kehidupan untuk rumah kita bersama. Memastikan semua makhluk menemukan rumah mereka untuk berkembang dan berpartisipasi memperbarui oikos Allah.
SEKILAS TENTANG TEOLOGI
Teologi berasal dari kata Yunani theologia yang berarti wacana tentang Allah. Terkait hal ini, Athanasius melihat theologia sebagai pengetahuan tentang Allah dalam dirinya sendiri (knowledge of God in his own being). Sedangkan Agustinus memahami theologia sebagai pengajaran tentang Keallahan (teaching about the Godhead). Selanjutnya, bagi para Bapa Gereja, teologi (theology) merujuk pada sesuatu yang lebih luas daripada doktrin Gereja. Teologi dimaknai sebagai komunitas iman (community of faith), di mana tidak ada pemisahan antara pengajaran tentang Allah dan pemahaman serta pengalaman tentang Allah. Pada tataran tertentu theologia dapat diartikan sebagai pujian kepada Allah (praise of God).
Melalui para penulis Skolastik dan sejumlah universitas di Eropa, teologi menjadi lebih sistematis, bidang studi serta pengajaran, dan disiplin ilmu. Pada periode modern, teologi digunakan dalam pengertian yang komprehensif, mencakup semua disiplin ilmu seperti Kitab Suci, sejarah Gereja, homiletika, dll. Oleh karena itu, teologi merujuk pada pengajaran tentang Allah dan hubungannya dengan dunia dari penciptaan sampai penyempurnaan, dinyatakan secara teratur serta koheren. Terdapat berbagai macam disiplin dalam teologi, yaitu teologi biblika, historis, sistematis, filosofis, pastoral, praktis, dogmatis, liturgis, dan fundamental. Akhirnya, sebagaimana dikatakan Thomas Aquinas, teologi diajarkan oleh Allah, mengajarkan tentang Allah, dan menuntun kepada Allah.
SEKILAS TENTANG TEOLOGI EKOLOGI
Ekologi bukan sekadar ilmu alam (natural science), mencakup aspek politik, sosial, dan budaya. Ekologi ditandai dengan relasi timbal balik antara manusia dan ciptaan lainnya. Oleh karena itu, diskursus ekologi tidak terbatas pada konservasi alam, tetapi juga keadilan global (global justice). Terkait hal ini, ekonomi pasar mendorong pola konsumsi yang tidak berkelanjutan dan berdampak negatif terhadap masyarakat miskin. Selain itu, penggunaan energi dalam masyarakat industri (industrialized societies) memengaruhi iklim global. Berhadapan dengan persoalan tersebut, para teolog lingkungan menegaskan pentingnya refleksi teologis mengenai ekologi.
Menurut L. White (1907-1987), Kekristenan mengajarkan antroposentrisme, beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi (Kej 1:28). Mereka harus bertanggung jawab atas krisis ekologis (ecological crisis). Para ahli mengakui bahwa argumentasi White seringkali digunakan untuk membenarkan tindakan mengeksploitasi alam. Meskipun demikian, terdapat kemungkinan pembacaan alternatif terhadap Kej 1:28, berorientasi pada prinsip-prinsip keadilan lingkungan (ecojustice principles).
Para teolog ekologi mempunyai fokus minat yang beragam, yaitu tradisional, liberal, radikal, dan ekofeminis. Interpretasi teologi klasik melihat persoalan ekologis berdasarkan kaca mata doktrin penciptaan (doctrine of creation), kristologi, dan pneumatologi. Selain itu, antropologi teologis (theological anthropology) melihat pentingnya pola relasi manusia dengan seluruh tatanan ciptaan dan penderitaan ciptaan lainnya dalam sejarah evolusi. Sedangkan dalam tradisi alkitabiah mengemukakan tradisi kebijaksanaan (wisdom tradition). Bahkan Santo Fransiskus Assisi digunakan dalam refleksi teologi untuk mendorong pendekatan kontemplatif terhadap alam (contemplative approach to the natural world).
Para cendekiawan liberal menekankan reformulasi pendekatan klasik supaya diskursus ekologi menjadi lebih eksplisit di dalam teologi. Mengupayakan interpretasi panteistik, ciptaan dipandang mengandung unsur-unsur ilahi. Dalam perjalanan waktu, para teolog memasukkan aspek sosial dan politik ke dalam refleksi teologi ekologi. Berdasarkan konteks kontemporer, keadilan sosial (social-justice) mendapatkan perhatian. Dengan demikian, teologi ekologi merupakan suatu gerakan yang sangat luas, mencakup berbagai macam diskursus teologi.
Gagasan utama teologi ekologi yaitu bahwa dunia adalah milik Allah (the world belongs to God). TUHANlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya (Mzm 24:1). Selain itu, Allah menjalin relasi secara aktif dengan dunia sebagai Pencipta (Yes 42:5, Yoh 1:1-3, Why 4:11), Penebus (Ef 1:10, Kol 1:20), dan Pemelihara (Mzm 104:27, Kol 1:17, Ibr 1:3). Allah bersukacita di dalam dunia (Ayb 38-39, Mzm 104:4-23) dan mempercayakan kepada manusia untuk memelihara dunia (Kej 1:28, 2:15). Tanggung jawab tersebut digambarkan dalam relasi Israel dengan Tanah Perjanjian (Promised Land). Jika Israel tidak mematuhi perjanjian, maka tanah tersebut akan berbalik melawan dan mendorong mereka ke pengasingan (Ibid, 280). Perlakuan terhadap tanah sangat erat kaitannya dengan perjanjian Allah dengan umat-Nya (Ul 27-30, Yes 40-55).
Hak istimewa dan tugas memelihara ciptaan disebut sebagai pengurus atau penatalayanan (stewardship). Sejumlah orang tidak setuju dengan istilah tersebut, karena menyiratkan posisi sebagai tuan tanah, hierarki feodal, dan sikap arogan. Oleh karena itu, para kritikus menggunakan istilah wali (trustee), rekan kerja (co-worker), dan mitra (partner). Harus diakui bahwa berbagai macam tindakan manusia telah merusak keseimbangan (equilibrium) alam. Terjadi ketidakharmonisan di antara makrokosmos (alam/nature) dan mikrokosmos (tubuh individu/individual bodies).
Berdasarkan sudut pandang tradisional, kerusakan ekologis terkait dengan fenomena kejatuhan dalam Kejadian 3. Kematian yang diperkenalkan melalui ketidaktaatan Adam dapat dipahami sebagai terputusnya relasi manusia dengan Allah. Relasi tersebut dapat dipulihkan melalui penebusan Kristus. Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu. Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkannya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita—oleh kasih karunia kamu diselamatkan (Ef: 2:1, 4-5). Terkait hal ini, manusia dipanggil untuk menjadi imam ciptaan (priests of creation), melanjutkan berkat Allah untuk ciptaan lainnya, dan melestarikan serta memelihara keindahan alam.
Sebuah perikop penting untuk memahami lingkungan yaitu Rm 8:19-22, di mana manusia bertanggung jawab di hadapan Allah atas alam. Selama manusia menolak mengejawantahkan tugas dan tanggung jawab yang diberikan Allah untuk merawat alam, maka tidak akan terjadi relasi harmonis di antara alam dan manusia. Jika manusia menaati Allah, dia akan menjadi sarana untuk memberkati bumi; tetapi dalam keserakahannya yang tidak terpuaskan dan dalam keegoisannya yang picik, dia mencemari dan menghancurkannya. Pemahaman manusia tentang alam harus disertai dimensi teosentris, kepedulian terhadap dunia yang diciptakan dan ditopang oleh Allah, bukan sekadar antroposentris dan biosentris atau ekosentris. Tekait hal ini, penting untuk memperhatikan keadilan lingkungan dan mengecam kejahatan terhadap alam sebagai dosa.
Merujuk pada pemikiran klasik Yunani, physis dan nomos bertentangan. Physis mengacu pada sifat manusia yang umum, konstanta yang hanya menerima penerimaan sederhana. Sedangkan nomos menunjuk pada lingkup praktik moral, sosial, dan politik yang berbeda antarbudaya. Terkait hal ini, dalam pemikiran Yunani alam dibentuk oleh hukum (law). Ajaran alkitabiah mirip dengan yang terakhir, namun berbeda dalam menganggap hukum alam sebagai anugerah Allah. Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri (Rm 2:14).
Pernyataan Allah dalam Kejadian 1:31 bahwa ciptaan sangat baik (very good) menetapkan alam sebagai pemenuhan manusia. Panggilan manusia harus ditemukan dalam menghormati alam (respect for nature) dan pengelolaan tatanannya, bukan mengarahkan diri ke dalam kebebasan yang lebih tinggi (higher freedom). Pada periode modern, polarisasi alam dan roh serta penolakan terhadap sakralitas alam Abad Pertengahan menyebabkan penolakan bahwa tatanan alam mempunyai nilai intrinsik. Pada saat yang sama pemahaman tentang panggilan manusia telah bergeser dari penatalayanan atas suatu tatanan yang diberikan Allah kepada manipulasi teknologi terhadap lingkungan. Nilai-nilai didasarkan pada tujuan yang dipaksakan pada alam semesta oleh kreativitas historis manusia. Padahal dunia alami memiliki martabat intrinsik, tidak boleh diperlakukan hanya sebagai bahan mentah untuk dieksploitasi demi kenyamanan peradaban yang berpikiran teknologis.
BEBERAPA CONTOH REFLEKSI TEOLOGI EKOLOGI
Teologi Ekologi Biblis
Kisah penciptaan yang pertama (Kej 1:1-2) dikaitkan dengan tradisi para imam. Kisah tersebut menggambarkan permulaan dunia dalam beberapa hari berturut-turut oleh Firman Allah. Pada akhir setiap penciptaan, Allah menyatakan bahwa ciptaan tersebut baik (Kej 1:4, 10, 12, 18, 21, 25, 31). Ketika menarasikan kisah penciptaan, tradisi para imam menunjukkan bahwa tanggapan yang tepat terhadap ciptaan yaitu sikap hormat dan pujian, solider terhadap setiap makhluk hidup yang diciptakan Allah.
Catatan dalam tradisi para imam menampilkan relasi Allah, manusia, dan ciptaan lainnya. Secara khusus, manusia mempunyai tanggung jawab merawat ciptaan. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya laki-laki dan perempuan. Allah memberkati mereka dan berfirman, beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi (Kej 1:27-28). Pemahaman terhadap teks kitab Kejadian tersebut harus di baca dengan fokus pada pikiran penulis, konteks sejarah, dan hermeneutika alkitabiah.
Terkait dengan pengajaran ekologi di Gereja, frasa dalam Kitab Suci seperti “takluk” (khabash) dan “kekuasaan” (radah) digunakan untuk mengungkapkan tanggung jawab manusia sebagai wakil Allah terhadap ciptaan lainnya (Mzm 72:8). Karena Gereja tidak menggunakan istilah tersebut untuk melegalkan eksploitasi ciptaan. Yohanes Paulus II menegaskan bahwa berdasarkan kehendak Sang Pencipta, manusia menjalin relasi dengan alam sebagai “guru” dan “penjaga” yang penuh pengertian serta luhur, bukan sebagai “penghisap” dan “perusak”. Oleh karena itu, manusia secara legitim mempunyai tanggung jawab mengelola alam, melindungi, mengembangkan, dan menikmati buahnya.
Kisah penciptaan yang kedua (Kej 2:4b-3:24) berasal dari tradisi yahwis, mendahului tradisi para imam. Penulis dalam tradisi yahwis mengambil mitos budaya lain, menempatkan sejarah keselamatan Allah atas nama Israel dalam parameter yang lebih luas dari sejarah manusia. Tradisi yahwis mengajarkan bahwa Allah menciptakan manusia dari bumi (adamah), Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup. Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu (Kej 2:7, 15).
Tradisi yahwis menggambarkan manusia sebagai pribadi relasional dan mempunyai tanggung jawab memelihara ciptaan. Manusia ditempatkan di taman untuk mengolah dan memeliharanya, tetapi harus tetap tunduk kepada Allah. Dalam Evangelium Vitae, Yohanes Paulus II menafsirkan Kejadian 2:15 sebagai peristiwa di mana manusia dipanggil untuk mengolah dan menjaga taman dunia. Manusia mengemban tanggung jawab melestarikan lingkungan hidup, ciptaan Allah. Tanggung jawab tersebut tidak hanya terkait dengan generasi masa kini, melainkan juga generasi mendatang. Perlu diketahui bahwa persoalan krisis ekologi yang mencakup ruang hidup pelbagai jenis hewan dan bentuk kehidupan lainnya mendapatkan pedoman etis dari Kitab Suci, yaitu memerhatikan nilai kehidupan.
Hermeneutika ekologis dalam kisah penciptaan sebagaimana dilukiskan kitab Kejadian menunjukkan bahwa ciptaan pada dasarnya baik, pemberian Allah yang dipercayakan kepada manusia untuk dijaga dan diolah. Paradigma teologis tersebut menggarisbawahi modus operandi misi keadilan ekologi Gereja. Oleh karena itu, magisterium menekankan tanggung jawab manusia untuk melestarikan alam supaya bermanfaat bagi semua orang. Masifnya krisis ekologi mendorong misi Gereja untuk menumbuhkan kesadaran ekologis, merawat ciptaan Allah.
Teologi Ekologi John Zizioulas
Ketidakadilan sosial secara intrinsik terkait dengan ketidakadilan ekologi. Dengan kata lain, keprihatinan umat manusia tidak dapat dipisahkan dari keprihatinan terhadap bumi. Yohanes Paulus II menegaskan bahwa keseimbangan ekologi tidak tercapai jika kita tidak menangani berbagai macam bentuk kemiskinan struktural yang ada di seluruh dunia.
Dalam perdebatan pemahaman tentang keadilan bagi seluruh ciptaan, Leonardo Boff menegaskan bahwa manusia merupakan bagian integral ciptaan. Oleh karena itu, ketidakadilan sosial berjalan seiring dengan ketidakadilan ekologi. Dengan demikian, manusia harus memperbaiki konsep keadilan ekologi. Karena tanpa keadilan sosial, keadilan ekologi tidak mungkin terwujud, keduanya saling terkait.
Menurut John Zizioulas, identitas manusia sebagai imam ciptaan menunjukkan dimensi relasionalitas. Karena manusia bukan pribadi yang terisolasi, melainkan pribadi dalam persekutuan. Sebagai pribadi relasional, manusia harus bijak dalam menggunakan sumber daya alam yang terbatas.
Manusia harus mengungkapkan kasih terhadap ciptaan lainnya dengan mengusahakan kehidupan yang berkualitas, bukan mencari keuntungan besar dari relasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa manusia harus menjalin relasi dengan alam pertama-tama bukan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, tetapi karena alam membutuhkan pelestarian dan perawatan, memenuhi keberadaannya serta akhirnya memeroleh makna.
Zizioulas menegaskan bahwa peran manusia sebagai mediator ciptaan tidak berakhir dengan kepentingannya sendiri, melainkan harus sampai pada tataran mengasihi ciptaan secara total. Pribadi manusia sebagai imam ciptaan menghasilkan etos ekologis dan dimensi ekologi kultural, di mana perlindungan terhadap alam tidak bertentangan dengan perkembangannya.
Spiritualitas ekologi Zizioulas tidak memisahkan antara ekologi dan keprihatinan sosial. Merujuk pada teologi Zizioulas tentang koinonia, misi Gereja yaitu membangun komunitas yang adil dan berkelanjutan, di mana manusia mencapai penentuan nasib dan integritas ekologi dilestarikan. Menurut Zizioulas, Gereja sebagai koinonia harus sadar dan menegaskan secara kuat bahwa terdapat persekutuan intrinsik antara manusia dan ciptaan lainnya, di mana persekutuan tersebut harus dibawa ke dalam Gereja supaya mendapatkan kepenuhan.
Aktualisasi keadilan ekologi sebagai aspek integral perkembangan manusia tidak dapat mengesampingkan penghormatan terhadap ciptaan yang membentuk dunia alami, orang Yunani kuno menyebutnya kosmos. Dengan demikian, spiritualitas ekologi Zizioulas mengenali kebutuhan seluruh ciptaan serta relasi antara keadilan sosial dan ekologi.
Teologi Ekologi Elizabeth Johnson
Elizabeth Johnson tertarik dengan berbagai macam persoalan ekologi. Ia menggunakan metodologi teologi feminis untuk menghindari interpretasi dualistik dan patriarki ketika mengemukakan gagasan mengenai relasi antara alam, manusia, dan Allah. Menurut Johnson, alam pikiran Barat memandang relasi antara alam, manusia, dan Allah berdasarkan budaya patriarki yang kemudian berdampak pada krisis ekologi. Terkait hal ini, ia menggunakan tradisi kebijaksanaan untuk melihat relasi antara alam, manusia, dan Allah. Pola relasi tersebut disebut Johnson sebagai lingkaran bumi (circle of the earth).
Cara pandang dualisme mendorong manusia terlibat sebagai pelaku terciptanya bencana ekologis (ecological disaster). Berdasarkan cara pandang dualisme, hanya laki-laki yang mempunyai kepenuhan sebagai citra Allah. Sedangkan alam dan perempuan tidak memenuhi kriteria sebagai citra Allah. Selain itu, sikap mengabaikan pneumatologi berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan teologi serta spiritualitas. Melupakan Roh Kudus berarti melupakan misteri keterlibatan Allah dalam sejarah umat manusia.
Berdasarkan kaca mata ekologis, pneumatologi mempunyai tiga fungsi penting. Pertama, Roh Kudus mendasari dan menopang kosmos. Sebagaimana ditegaskan Johnson, Roh Kebijaksanaan bekerja secara kooperatif, teratur, dan bebas. Kedua, Roh Kebijaksanaan memerlihatkan belas kasih Allah bagi dunia dan mendorong manusia untuk peka terhadap penderitaan bumi (suffering earth). Ketiga, Roh Kebijaksanaan menelanjangi cara pandang dualisme yang membuat manusia dan kosmos berselisih. Selain itu, Roh Kebijaksanaan mengajarkan kepada manusia bahwa seluruh alam ciptaan pada hakikatnya suci.
Ketika melihat pola relasi yang dibangun manusia dengan bumi, Johnson menolak posisi manusia sebagai penguasa dan tugasnya terkait penatalayanan (stewardship). Posisi manusia sebagai penguasa menunjukkan cara pandang dualisme dan budaya patriarki. Sedangkan tugas manusia terkait penatalayanan memperlihatkan bahwa manusia bersahabat dengan ciptaan lainnya. Namun, penatalayanan pada dasarnya dilandaskan pada hirarki pemeliharaan (hierarchy of care). Sehingga manusia berada di puncak piramida kekuasaan sekaligus mempunyai kewajiban melindungi dan melestarikan ciptaan lainnya yang lemah serta rentan.
Manusia adalah bagian dari ciptaan lainnya. Oleh karena itu, punahnya spesies tertentu menghambat pertumbuhan dan perkembangan alam ciptaan di bumi. Refleksi teologis mengenai alam, manusia, dan Allah pada hakikatnya terkait dengan integritas moral. Penghancuran ekosistem bumi yang merupakan rumah bagi manusia dan ciptaan lainnya seringkali terjadi karena manusia tidak bisa melepaskan diri dari konsumerisme serta egoisme. Hal ini nampak dalam fenomena eksploitasi bumi dan ketidakadilan terhadap orang miskin, perempuan, dan anak-anak.
Berhadapan dengan berbagai macam persoalan tersebut, manusia harus bertobat dari cara pandang antroposentris dan mengedepankan solidaritas belas kasih (compassionate solidarity) ketika berhadapan dengan sesama serta ciptaan lainnya. Manusia harus melakukan pertobatan karena telah melakukan dosa ekologis (ecological sins) dan menyadari bahwa dirinya serta ciptaan lainnya saling membutuhkan.
Teologi Ekologi Paus Fransiskus
Kesakralan alam semesta sebagai pewahyuan Yang Ilahi selaras dengan gagasan Paus Fransiskus mengenai relasi berdasarkan kegunaan praktis antara manusia dan lingkungan. Hal ini merupakan landasan pertobatan ekologis sebagaimana dinarasikan Paus Fransiskus dalam Laudato Si artikel 216-221. Perlu diketahui bahwa pertobatan ekologis merupakan bentuk penyesalan manusia. Karena manusia telah memerlakukan ciptaan secara keliru. Terkait hal ini, diperlukan kesadaran bahwa seluruh ciptaan merupakan persekutuan universal, saling terkait dan tidak terpisah. Selain itu, Yang Ilahi menciptakan segala sesuatu untuk mengomunikasikan diri-Nya. Dengan demikian, alam semesta berpartisipasi dalam kebaikan-Nya.
Persekutuan universal merupakan perwujudan Yang Ilahi. Oleh karena itu, setiap ciptaan mempunyai nilai dan membawa jejak Yang Ilahi. Terkait hal ini, manusia harus menggunakan paradigma baru dalam memandang ciptaan, di mana setiap ciptaan merupakan subyek, bukan obyek. Jika manusia memandang “yang lain” (Allah, sesama, dan ciptaan lainnya) sebagai subyek, maka persaudaraan dan kekerabatan mudah dibangun. Meskipun relasi dalam masyarakat berbentuk “rantai makanan”, relasi tersebut menggambarkan kesakralan dan pemberian diri, bukan ekspresi dominasi. Melalui pemberian diri, bukan hanya rasa syukur dan hormat yang ditingkatkan, tetapi juga mengajari manusia mengenali batas kewajaran dalam memenuhi kebutuhan. Selain itu, manusia belajar nilai pengorbanan dan kemurahan hati.
Paus Fransiskus dalam Laudato Si artikel 222-227 mengangkat tema sukacita dan kedamaian. Ia mendorong manusia belajar dari tradisi agama, para pendahulu, dan Kitab Suci berkenaan dengan kesederhanaan. Sebagaimana diuraikan dalam Kitab Suci, Yesus menegaskan bahwa di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada (Mat 6:21). Selain itu, manusia harus belajar dari perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh (Luk 12:13-21). Perlu diketahui bahwa Kitab Suci mengajarkan manusia tidak melekat pada harta benda dan menghindari sikap tamak, mensyukuri yang dipunyai serta belajar berkata cukup. Kegagalan menghidupi ajaran Kitab Suci membuat manusia tergoda ketika menghadapi konsumerisme, kebahagiaan semu. Terkait hal ini, gaya hidup konsumtif dibentuk oleh sistem ekonomi yang menempatkan keuntungan di atas segala sesuatu.
Pada dasarnya manusia senantiasa mencari keseimbangan. Namun, putusnya relasi manusia dengan alam digantikan barang hasil perkembangan industri. Oleh karena itu, manusia mencari keseimbangan di antara berbagai macam barang dengan cara mengonsumsi. Perlu diketahui bahwa pemenuhan kebutuhan melalui perilaku konsumtif tidak memberikan rasa damai. Karena rasa damai hanya diperoleh ketika manusia menjalin relasi dengan diri sendiri dan lingkungan. Jika kesadaran tersebut bertumbuh dan berkembang, maka lahir sikap menghargai serta mencintai lingkungan, di mana tanpa lingkungan manusia tidak bisa hidup dan mencapai kebahagiaan serta kedamaian. Untuk mencapai kesadaran tersebut, manusia harus mengambil waktu dan belajar sikap hidup kontemplatif. Memandang segala sesuatu dengan penuh kesadaran dan cinta kasih.
Paus Fransiskus menunjukkan teladan Yesus, yaitu melihat bunga bakung di padang dan burung-burung di langit dan memandang seorang yang cemas dengan rasa penuh belas kasih (Mrk 10:21). Hal ini menunjukkan bahwa Yesus hadir kepada setiap makhluk. Selain itu, Yesus menunjukkan kunci menemukan kedamaian dan keseimbangan, yaitu belas kasih serta rasa syukur. Misalnya, ketika menerima pemberian dari ciptaan lainnya dalam bentuk makanan, manusia harus mengucap syukur kepada Allah sumber kehidupan.
Pada masa lampau, tradisi Kristen melakukan pembiaran perilaku eksploitatif, meyakini bahwa kehidupan sesungguhnya adalah kelak di sorga. Sedangkan kehidupan di dunia dipandang “sementara”. Oleh karena itu, umat Kristen acuh tak acuh terhadap persoalan lingkungan. Selain itu, interpretasi keliru mengenai peran manusia dalam Kitab Suci (Kej 1:28), Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.
Penyebab umat Kristen kehilangan intimasi dengan bumi adalah penekanan pada aspek penebusan dari dunia yang tidak sempurna. Terkait hal ini, kristianitas dipahami sebagai pengalaman penebusan dari godaan yang berasal dari dalam atau pun dari luar diri manusia. Oleh karena itu, manusia yang hidup di bumi seakan-akan berada dalam pencobaan, hidup di dunia namun tidak boleh melekat pada hal-hal duniawi. Hal ini membuat manusia merindukan rumah abadi, yaitu sorga. Dengan demikian, keyakinan bahwa manusia milik dunia sulit diterima. Selain itu, tidak mengherankan apabila persoalan lingkungan kurang mendapat perhatian. Menurut Paus Fransiskus, dunia merupakan tempat kediaman bersama, anugerah Allah yang harus dicintai dan dirawat.
Laudato Si artikel 228-232 membahas cinta pada bidang sipil dan politik. Terkait hal ini, Paus Fransiskus berbicara tentang cinta dalam konteks persaudaraan universal, yaitu pertobatan ekologis dan mempraktikkan ekologi integral dalam kehidupan sehari-hari. Paus Fransiskus meyakini bahwa tindakan manusia mengejawantahkan kepekaan dan berpartisipasi dalam bidang sosial serta politik, membangun dunia menjadi lebih baik. Selain itu, menjalin relasi dengan bumi dan saling mengembangkan (mutually enhancing). Hal ini membutuhkan dukungan manusia untuk mewujudnyatakan berbagai macam program tersebut di bumi. Karena bumi diyakini sebagai kediaman bersama.
Perlu diketahui bahwa Paus Fransiskus mengungkapkan aspek mistis setiap ciptaan, gerakan hati menemukan Allah dalam segala sesuatu. Ia menegaskan bahwa berjumpa dengan Allah tidak berarti lari dari dunia dan menyangkal alam. Hal ini merupakan pernyataan dan sikap rendah hati Gereja, menyempurnakan tugas dan perutusan di dunia. Karena pada masa lampau terdapat kecenderungan melihat bumi sebagai obyek. Oleh karena itu, keterikatan pada dunia menjauhkan manusia dari Yang Ilahi. Namun, ketika belajar memahami spiritualitas bumi, manusia dihantar ke dalam pemahaman yang lebih mendalam akan Sang Pencipta.
Kegagalan manusia memahami aspek rohaniah bumi menunjukkan kurangnya persepsi spiritual. Apabila tradisi spiritual manusia (tradisi Kristen) memahami signifikansi spiritualitas alam semesta dan bumi, manusia menampilkan wajah berbeda. Oleh karena itu, dimensi spiritual harus dihidupkan. Jika direnungkan secara serius dan menerima masukan ilmu pengetahuan, maka kedasyatan peristiwa kelahiran semesta (bumi dan manusia) nampak. Perlu diketahui bahwa kehadiran Allah dalam ciptaan menunjukkan bahwa alam raya merupakan sakramen Allah.
Paus Fransiskus menegaskan bahwa Ekaristi merupakan tindakan kasih kosmik. Terkait hal ini, cinta kasih Allah dalam Ekaristi menyatukan ciptaan kepada Pencipta. Karena Ekaristi merupakan puncak perayaan iman dan syukur atas pemberian diri Allah melalui Yesus Kristus (1Yoh 1:1-3) yang membawa dimensi kosmik. Yesus Kristus hadir dan bersatu dengan Allah sebagai alfa, yaitu ada sejak semula sebelum segala sesuatu. Melalui inkarnasi, manifestasi Allah dalam Yesus Kristus memungkinkan manusia “bersentuhan” dengan-Nya. Sedangkan dalam Ekaristi, manusia secara konkret bersatu dengan Allah ketika menerima tubuh dan darah-Nya.
Allah Tritunggal melalui prinsip-prinsip alam semesta, yaitu keanekaragaman (differentiation), interioritas (interiority), subyektivitas (subjectivity), dan persekutuan (communion), menyediakan model doktrin Kristiani mengenai Trinitas. Sebagaimana dinarasikan dalam Kitab Suci, manusia mempunyai model kekeluargaan, yaitu Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Santo Agustinus menyebutnya sebagai kecerdasan merefleksikan diri sendiri. Selain itu, terdapat model sosial yang digunakan dunia modern, yaitu diri sendiri (self), orang lain (other), dan komunitas (community). Namun, tidak satu pun contoh tersebut mempunyai kualitas khusus dari model kosmologi yang mengemukakan Bapa sebagai prinsip diferensiasi. Putra sebagai ikon Sang Sabda, prinsip artikulasi dunia dalam (inner articulation). Roh Kudus sebagai kekuatan yang mengikat segala sesuatu secara bersama dan merangkul dengan penuh belas kasih. Dengan demikian, Gereja seharusnya tidak mengalami kesulitan ketika memahami alam semesta sebagai komunitas sakral.
Setiap ciptaan pada dasarnya unik. Hal ini dikenal sebagai prinsip keanekaragaman. Bukan hanya keanekaragaman antar makhluk, tetapi dalam makhluk yang sejenis prinsip keanekaragaman tetap ada. Realitas menunjukkan bahwa Allah Bapa (pribadi pertama Tritunggal Mahakudus) hanya bisa digambarkan ketika setiap ciptaan diikutsertakan dalam manifestasi keilahian-Nya. Sedangkan inkarnasi Allah dalam Yesus Kristus merupakan artikulasi interior, hadir sebagai Sabda yang menjadi manusia.
Relasi antara Allah Bapa dan Putra tampak dari pernyataan Yesus, Aku dan Bapa adalah satu (Yoh 10:30). Perlu diketahui bahwa Kristus merupakan yang sulung dari seluruh ciptaan. Hal ini diungkapkan dalam doa-Nya kepada Bapa, supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam kita (Yoh 17:21). Doa tersebut merupakan dasar iman, di mana setiap pribadi membawa anugerah interioritas, karena Allah hadir pada setiap pribadi.
Roh Kudus merupakan kekuatan yang mengikat seluruh ciptaan, bersifat kreatif dan merangkul alam raya dengan belas kasih Ilahi. Oleh karena itu, Roh Kudus adalah perwujudan persatuan universal alam semesta. Sebagaimana ditegaskan Paus Fransiskus, dalam diri manusia hadir dinamika tritunggal, juga dalam kesatuan seluruh alam raya. Terkait hal ini, Maria (Bunda Yesus Kristus) disebut ratu seluruh ciptaan. Karena hati Maria merasakan penderitaan orang miskin yang disalibkan dan makhluk yang dihancurkan manusia. Dengan demikian, relasi manusia dan bumi tergambarkan dalam relasi kita dengan Bunda Maria, menghendaki anak-anaknya mencapai kebahagiaan. Sebagaimana ibu merawat anaknya, bumi merawat manusia dan memberikan kehidupan.
Berdasarkan doktrin tentang Maria, terdapat sejumlah bagian yang menggambarkan Maria serupa dengan bumi. Karena darinya pokok anggur yang benar ditanam dan berbuah melalui karya Roh Kudus. Ketika manusia berinteraksi dengan alam dan mengembangkan rasa mistis terhadap keberadaan bumi, dibutuhkan kedekatan dengan tokoh historis, yaitu Sang Penebus dan ibu-Nya. Pada bagian akhir ensiklik Laudato Si, Paus Fransiskus menegaskan bahwa meskipun manusia akan menuju titik di mana segala sesuatu masuk ke dalam kepenuhan Yang Ilahi (Yerusalem abadi), ia mengingatkan bahwa perjalanan mencari dan menuju Allah merupakan peziarahan bersama seluruh ciptaan. Dengan demikian, meskipun perjuangan harus dilalui, manusia hendaknya mengalaminya dalam sukacita dan penuh pengharapan.
Teologi Ekologi Jawa
Ciri khas dunia dalam budaya Jawa yaitu realitas tidak dibagi dalam berbagai macam bidang yang terpisah-pisah, melainkan dilihat sebagai suatu kesatuan menyeluruh. Selain itu, dunia dalam budaya Jawa bukan suatu pengertian abstrak, melainkan berfungsi sebagai sarana menghadapi persoalan kehidupan. Dengan demikian, jika berbicara dunia dalam budaya Jawa, maka tidak hanya berbicara agama dan mitos. Tetapi juga terkait dengan proses menanam padi, perayaan panen, kehidupan keluarga, seni tari, mistik, dan susunan desa.
Terdapat empat nilai dan makna mengenai dunia dalam budaya Jawa. Pertama, sikap terhadap dunia luar dialami sebagai kesatuan numinus antara alam, masyarakat, dan alam adikodrati. Hal ini dilaksanakan dalam ritus, tanpa refleksi eksplisit pada dimensi batin. Oleh karena itu, sikap tersebut lebih kuat di desa dan dalam lapisan masyarakat yang tidak mengenal sastra. Kedua, penghayatan kekuasaan politik sebagai ungkapan alam numinus. Ketiga, pengalaman keakuan sebagai jalan menuju persatuan dengan yang numinus. Keempat, usaha mencapai pengalaman mistik.
Terkait dengan kesatuan antara alam numinus dan dunia, penghayatan relasi antara masyarakat, alam, dan alam adikodrati dilihat dalam kesatuan yang tidak terpisahkan. Tindakan yang tepat terhadap kesatuan tersebut menentukan keselamatan manusia. Perlu diketahui bahwa lingkungan merupakan lingkup kehidupan masyarakat Jawa sejak kecil. Melalui lingkungan mereka menjalin relasi dengan alam. Irama alamiah seperti siang dan malam, musim hujan dan kering menentukan kehidupan masyarakat Jawa. Dari lingkungan sosial mereka belajar bahwa alam bisa mengancam, tetapi juga memberikan berkat dan ketenangan. Oleh karena itu, seluruh eksistensi masyarakat Jawa tergantung dari alam.
Perlu diketahui bahwa setiap tahap penanaman dan penuaian padi serta berbagai macam tugas sebagai petani dipelajari dalam lingkungan. Dengan demikian, hidup masyarakat Jawa memeroleh keteraturan. Melalui lingkungan mereka belajar menjalin relasi dengan alam, di mana irama alam menjadi iramanya sendiri. Dengan kata lain, mereka belajar tentang segala sesuatu yang harus dikerjakan pada saat yang tepat. Begitu pula dengan kekuatan alam, disadari sebagai peristiwa penting kehidupan. Misalnya kehamilan, kelahiran, kematangan seksual, pernikahan, menjadi tua, dan kematian.
Para petani Jawa menemukan identitas dalam kelompok. Selain itu, melalui kelompok mereka berhadapan dengan alam yang menentukan seluruh hidupnya. Hal ini terungkap dalam pertanian, di mana tingkat kerajinan petani menjadi prasyarat keberhasilan panen. Selain itu, keberhasilan panen juga tergantung dari kekuatan alam, yaitu matahari, hujan, angin, dan hama. Perlu diketahui bahwa bencana alam seperti banjir dan letusan gunung berapi menunjukkan kekuatan alam.
Pergulatan dengan alam membantu masyarakat Jawa meletakkan dasar masyarakat dan kebudayaan. Secara khusus penanaman padi memaksa mereka mengembangkan kerjasama sosial. Penanaman padi mendorong kegiatan yang terarah pada pengendalian kekuatan alam yang ganas. Oleh karena itu, masyarakat Jawa dipacu mengusahakan kerja sama, saling membantu. Selain itu, relasi antardesa harus dipertahankan untuk mengaktualisasikan perdamaian. Terkait hal ini, kecakapan teknis, ketrampilan berorganisasi, pemeliharaan perdamaian sosial, perkembangan kelompok yang selaras, dan keutamaan sosial membentuk watak masyarakat Jawa.
Menurut masyarakat Jawa, alam merupakan sumber rasa aman. Karena alam dilihat sebagai kekuatan yang menentukan keselamatan dan kehancurannya. Oleh karena itu, alam inderawi bagi masyarakat Jawa merupakan ungkapan alam gaib, misteri penguasa yang mengelilinginya. Melalui alam mereka memeroleh eksistensi dan menggantungkan diri. Karena alam adalah ungkapan kekuasaan yang menentukan kehidupannya. Dalam alam mereka mengalami ketergantungan pada kekuasaan adiduniawi, alam gaib. Perlu diketahui bahwa kosmos, kehidupan, benda-benda, dan berbagai macam peristiwa yang terjadi di dunia merupakan suatu kesatuan yang terkoordinasi serta teratur. Kesatuan eksistensi di mana gejala material dan spiritual mempunyai makna melampaui segala sesuatu yang terlihat secara inderawi.
Masyarakat Jawa menegaskan bahwa alam empiris mempunyai kaitan dengan alam metempiris (alam gaib), keduanya saling meresapi. Tidak hanya pengalaman empiris (alam dan sesama manusia), pengalaman iman yang eksplisit ditempatkan dalam dimensi metafisik. Oleh karena itu, pengalaman empiris masyarakat Jawa tidak hanya memuat yang empiris, tetapi juga mencakup alam metempiris. Dengan kata lain, alam empiris senantiasa diresapi alam gaib.
Kepekaan terhadap dimensi gaib dalam dunia empiris diungkapkan melalui berbagai macam cara. Misalnya upacara rakyat di mana mitos kuno dimainkan, mencakup asal-usul suku, keselarasan dan gangguan, perkawinan, kesuburan, dan penanaman padi. Upacara tersebut memberi kesempatan masyarakat ambil bagian dalam pengalaman adikodrati. Hal ini memerlihatkan bahwa kesatuan mistik antara masyarakat dan kosmos terjaga.
Dewasa ini berbagai macam upacara tersebut hampir tidak dikenal lagi. Namun, banyak petani Jawa tetap menghormati Dewi Sri (dewi padi), karena kepadanya masyarakat Jawa menggantungkan diri supaya memeroleh tanah yang subur dan keluarga yang harmonis. Dalam rangka menghormati dewi padi, perempuan Jawa memotong batang padi dengan ani-ani, pisau kecil yang tersembunyi dalam tangan. Perlu diketahui bahwa proses pertumbuhan padi sampai saat ini belum kehilangan sifat religiusnya dan dirayakan dengan slametan.
Masyarakat, alam, dan alam adikodrati dilihat sebagai suatu kesatuan yang terungkap dalam keyakinan bahwa semua peristiwa alam empiris bertalian erat dengan alam metempiris. Masyarakat dan alam berhubungan dengan alam adikodrati. Oleh karena itu, segala sesuatu yang terjadi dalam suatu realitas berkaitan dengan realitas “yang lain”. Dengan demikian, manusia tidak boleh bertindak gegabah, seolah-olah persoalan yang terjadi sebatas dimensi sosial dan alamiah. Hal ini terlihat dalam tindak-tanduk, masyarakat Jawa harus bersikap sedemikian rupa supaya tidak bertentangan dengan roh dan kekuatan halus. Cara mengatasi pertentangan tersebut yaitu belajar dari pengalaman, membedakan sikap yang mendatangkan celaka dan keselamatan (slamet).
Namun, belajar dari pengalaman tidak mencukupi. Masyarakat Jawa harus mengetahui tindakan yang mendatangkan keselamatan dari tradisi dan budaya. Tradisi dan budaya memuat pengalaman bersama generasi pendahulu yang sudah meninggal. Dalam kurun waktu berabad-abad, masyarakat Jawa belajar bertindak dalam keselarasan dengan alam raya dan roh yang menghuninya. Pengalaman tersebut terungkap dalam pelbagai tradisi dan adat-istiadat. Setiap orang yang berpegang pada adat-istiadat merasa aman, terselamatkan dari kekuatan kosmos dan roh tidak perlu ditakuti.
Pola relasi manusia dengan alam harus sampai pada tataran turun ke dalam batin. Semakin turun ke dalam batin, manusia semakin menyadari dasar Ilahi dan persatuan dengan ciptaan lainnya. Menurut masyarakat Jawa, kesadaran bukan hanya suatu pengertian spekulatif, melainkan pengalaman eksistensial tentang dirinya sendiri. Pengalaman tersebut terbuka dalam rasa (rasa). Rasa merupakan kata kunci dalam tradisi dan budaya Jawa. Rasa merupakan kemampuan merasakan berbagai macam dimensi, misalnya rasa jasmani-inderawi, rasa akan kedudukannya dalam suatu interaksi, rasa kesatuan dengan alam semesta, rasa akan penentuan eksistensi oleh takdir, dan rasa akan tindakan yang dilakukan. Selain itu, kata rasa juga bermakna pengertian, misalnya pengertian mengenai tanda. Dalam rasa, realitas dan pengertian membuka diri.
Kesadaran petani Jawa yang mengalami diri dalam keselarasan dengan masyarakat, alam, dan roh terungkap dengan jelas. Selain itu, ahli mistik Jawa menemukan realitas dalam batin yang sebenarnya tidak begitu berbeda dengan pengalaman para petani. Menurut para petani Jawa, ukuran keberhasilan hidup adalah pengalaman slamet, ketenangan batin dan tidak adanya ancaman berupa konflik serta kekacauan. Sedangkan menurut ahli mistik Jawa, ketenteraman hati (katentremaning manah) tercapai dalam rasa tenang. Keduanya meyakini bahwa titik acuan terakhir berupa “keakuan”. Oleh karena itu, para petani mengusahakan keterlindungan dalam lingkungan dan priyayi belajar mengontrol eksistensi diri.
Para petani Jawa menegaskan bahwa nasib terungkap dalam koordinat yang menentukan kerangka kehidupan dan pekerjaannya, yaitu kondisi geografis desa yang meliputi sungai, gunung, dan arah mata angin. Selain itu, juga mencakup kekuatan alam berupa matahari, hujan, letusan gunung berapi, dan gempa bumi. Proses kerjanya ditentukan musim, di mana masa paceklik dan kesejahteraan tergantung dari kekuatan yang tidak berada di bawah kontrolnya. Sedangkan menurut para priyayi, takdir teraktualisasi dalam tatanan hierarkis, kedudukannya dalam masyarakat. Hal ini juga menentukan kehidupan dan kewajibannya.
Dalam antropologi Jawa, manusia bukan penguasa ciptaan, melainkan pribadi yang bersekutu dengan bentuk kehidupan lainnya. Oleh karena itu, konsep komunitas terdiri dari dunia “yang terlihat” (manusia dan ciptaan lainnya) dan “yang tidak terlihat” (leluhur yang sudah meninggal dan Allah). Dengan kata lain, manusia hidup dan menjalin relasi dengan Allah, sesama manusia, dan ciptaan lainnya. Perlu diketahui bahwa identitas manusia berasal dari ontologi relasional tersebut.
Selain itu, manusia menempati posisi di tengah dan berinteraksi secara aktif dengan alam semesta. Gagasan tentang pribadi tersebut menunjukkan bahwa terdapat persekutuan antarsubjek di antara berbagai macam entitas yang membentuk alam semesta. Oleh karena itu, kesejahteraan manusia terkait dengan kesejahteraan ciptaan lainnya. Jika manusia menyalahgunakan alam, maka alam melakukan tindakan serupa kepada manusia. Karena pribadi manusia dan kosmos saling melengkapi, keduanya tidak dapat eksis tanpa terjalinnya relasi.
SINTESIS TEOLOGI EKOLOGI
Perlu adanya perhatian dari komunitas dunia untuk secara serius mengatasi persoalan ekologi. Oleh karena itu, setiap agama mempunyai tugas dan tanggung jawab menyuarakan keprihatinan dan memberikan kontribusi melalui sarana spiritual untuk melindungi lingkungan alam (natural environment). Mempromosikan kesadaran ekologis (ecological consciousness) secara berkelanjutan. Melindungi ciptaan Allah dari kerusakan yang ditimbulkan oleh perilaku manusia terhadap alam. Menyadari bahwa kehidupan manusia didasarkan pada relasi dengan Allah, sesama, dan bumi. Karena seringkali relasi harmonis dengan bumi diabaikan dan manusia meninggikan diri di atas ciptaan lainnya. Memperlakukan ciptaan lainnya sebagai benda material dan sumber kepuasan. Mengeksploitasi ciptaan lainnya tanpa batas, tidak menghormati integritas dan kesucian ciptaan lainnya.
Pada hakikatnya seluruh ciptaan diresapi oleh kehadiran Allah melalui energi ilahi-Nya. Sebagaimana dikatakan Pemazmur, semuanya menyatakan kemuliaan Allah (everything declares God’s glory), di mana manusia memimpin paduan suara pemuliaan kosmik ini kepada Sang Pencipta sebagai imam ciptaan (the priest of creation). Terkait hal ini, krisis ekologi merupakan masalah spiritual. Relasi yang tepat antara manusia dan bumi atau lingkungan alam telah rusak akibat kejatuhan (fall) dan dosa (sin). Oleh karena itu, agama-agama harus mengajarkan gagasan mengenai dosa terhadap lingkungan, dosa ekologis (ecological sin). Harapannya manusia mampu melakukan pertobatan di hadapan realitas kerusakan alam baik sebagai individu atau pun masyarakat.
Putusnya relasi manusia dengan alam disebabkan oleh budaya individualis, mengejar kebahagiaan individu. Sedangkan dosa ekologis disebabkan oleh keserakahan manusia (human greed), mengabaikan kebenaran dasar bahwa kebahagiaan individu tergantung dalam relasi dengan ciptaan lainnya. Perlu diketahui bahwa krisis ekologi berjalan seiring dengan merebaknya ketidakadilan sosial (social injustice). Sehingga dosa ekologis adalah dosa yang tidak hanya terhadap Allah, tetapi juga terhadap sesama dan generasi mendatang (future generations). Jika manusia menghancurkan bumi untuk kepuasan individu, maka ia mewariskan kepada generasi mendatang sebuah dunia yang rusak dan tidak dapat diperbaiki. Dengan demikian, kita harus bertindak secara bertanggung jawab terhadap anak-anak kita dan mereka yang akan menggantikan kita dalam kehidupan ini.
Manusia dituntut melakukan asketisme ekologis (ecological asceticism). Tokoh-tokoh besar dari tradisi asketis Kristen seperti Santo Fransiskus Assisi peka terhadap penderitaan semua makhluk (the suffering of all creatures). Bahkan dalam tradisi monastik Timur para petapa menangisi penderitaan dan kematian ciptaan lainnya. Mereka berupaya sedemikian rupa untuk hidup berdampingan secara damai dan bersahabat dengan binatang buas. Hal ini bukan suatu romantisme. Muncul dari hati yang penuh kasih dan keyakinan bahwa antara alam dan manusia terdapat kesatuan organik serta saling ketergantungan.
Asketisme merupakan gagasan yang tidak menyenangkan untuk manusia dewasa ini yang mengukur kebahagiaan dan kemajuan dengan peningkatan modal serta konsumsi. Tidak realistis mengharapkan masyarakat mengejawantahkan asketisme sebagaimana dilakukan Santo Fransiskus. Tetapi semangat dan etos asketisme harus diadopsi apabila ingin mempertahankan bumi tempat kita hidup. Menahan diri dalam konsumsi sumber daya alam adalah sikap realistis dan cara yang harus ditempuh untuk membatasi pemborosan bahan alam yang sangat besar.
SUMBER BACAAN:
ADRIANOS, LOUK DKK. A Home for All? Renewing the Oikos of God. https://seasonofcreation.org/wp-content/uploads/2021/05/2021-SOC-Full-Guide.pdf. Diakses pada 3 September 2021 pukul 18.12 WIB.
BERRY, R. J. “Ecology.” Dalam Martin Davie dkk (Editor). New Dictionary of Theology Historical and Systematic. London: Inter-Varsity Press, 2016, hlm. 280-282.
DRUMMOND, CELIA DEANE. “Ecotheology.” Dalam Ian A. MCFarland dkk (Editor). The Cambridge Dictionary of Christian Theology. Cambridge: Cambridge University Press, 2011, hlm. 156-157.
O’DONOVAN, O. M. T. DAN R. J. SONG. “Theology of Nature.” Dalam Martin Davie dkk (Editor). New Dictionary of Theology Historical and Systematic. London: Inter-Varsity Press, 2016, hlm. 606-608.
PRASETYO, YOHANES WAHYU. “Dunia dalam Budaya Jawa.” https://jpicofmindonesia.org/2020/08/dunia-dalam-budaya-jawa/. Diakses pada 2 September 2021 pukul 18.25 WIB.
PRASETYO, YOHANES WAHYU. “Landasan Biblis Merawat Ciptaan.” https://jpicofmindonesia.org/2020/08/landasan-biblis-merawat-ciptaan/. Diakses pada 2 September 2021 pukul 19.25 WIB.
PRASETYO, YOHANES WAHYU. “Pendidikan dan Spiritualitas Ekologis dalam Ensiklik Laudato Si.” https://jpicofmindonesia.org/2020/08/pendidikan-dan-spiritualitas-ekologis-menurut-paus-fransiskus-dalam-ensiklik-laudato-si/. Diakses pada 2 September 2021 pukul 18.23 WIB.
PRASETYO, YOHANES WAHYU. “Spiritualitas Ekologi Integral Menurut John Zizioulas.” https://jpicofmindonesia.org/2020/08/spiritualitas-ekologi-integral-menurut-john-zizioulas/. Diakses pada 2 September 2021 pukul 19.03 WIB.
RAKOCZY, SUSAN. “The Theological Vision of Elizabeth A Johnson.” Scriptura. Vol. 98 (2008), hlm. 137-155.
WRIGHT, D. F. “Theology.” Dalam Martin Davie dkk (Editor). New Dictionary of Theology Historical and Systematic. London: Inter-Varsity Press, 2016, hlm. 903-904.
ZIZIOULAS, JOHN. “Pope Francis’ Encyclical Laudato Si’.” Dalam Dietrich Werner dan Elisabeth Jeglitzka (Editor). Eco-Theology, Climate Justice and Food Security: Theological Education and Christian Leadership Development. Geneva: Globethics.net, 2016, hlm. 179-186.
Refleksi mendalam..