Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
(Ketua Bidang Animasi JPIC OFM Indonesia—Magister Filsafat STF Driyarkara Jakarta)
PENGANTAR
Pemikiran Mensius mengenai persahabatan (friendship) memberi makna sosial dalam upaya menjalin relasi dengan yang lain. Ia mewarisi budaya persahabatan Konfusianisme, mempromosikan relasi interpersonal, dan menjaga stabilitas serta kerukunan masyarakat. Mensius merupakan filsuf, pemikir, politikus, pendidik, dan salah satu perwakilan penting dari Konfusianisme. Selama berabad-abad pemikirannya memiliki dampak besar pada politik tradisional Tiongkok, ekonomi, pendidikan, dan filsafat. Mensius mengemukakan lima etika (five ethics), prinsip dasar kehidupan sosial masyarakat, yaitu relasi interpersonal antara kaisar dan menteri, ayah dan anak, saudara laki-laki, pasangan, dan sahabat.
Sejak Dinasti Zhou Barat (Western Zhou Dynasty), relasi interpersonal menjadi bagian struktur sosial yang menghubungkan politik dan etika patriarki. Pada waktu itu, persahabatan dipandang sebagai identitas yang dikaitkan dengan relasi keturunan patriarki. Sehingga sahabat (friend) mengacu pada relasi harmonis di antara orang-orang dari ras yang sama. Berhadapan dengan situasi dan kondisi tersebut, Mensius memperluas dimensi emosional persahabatan dan mempromosikan tanggung jawab sosial persahabatan.
SEKILAS TENTANG MENSIUS
Nama asli Mensius adalah Meng Ke dan ia hidup pada periode 380-300 SM. Para murid Mensius menyebutnya sebagai Guru Meng (Master Meng) atau Mengzi. Mensius dipandang sebagai salah satu guru Konfusianisme yang paling terkenal. Pada 320 SM, ia memperbaharui upaya aktif Konfusius dan meminta para penguasa era Warring States (453-221 SM) menerima Dao Konfusianisme serta mereformasi dunia. Mensius mengembara ke berbagai tempat untuk menjumpai para penguasa supaya mereka menerapkan pola pemerintahan Konfusianisme. Pada 314 SM ia menjadi penasihat tinggi raja Qi. Dalam perjalanan waktu, Mensius kecewa karena Qi melancarkan perang untuk menaklukkan negara besar seperti Yan. Hal ini membuatnya mengundurkan diri dan menjalani masa pensiun di negara asalnya sebagai guru.
PERSAHABATAN MENURUT MENSIUS
Mensius menegaskan, bersahabatlah dengan Tao, perlakukan orang dengan sopan. Dengan kata lain, orang harus mengikuti aturan tertentu ketika menjalin persahabatan. Dalam Konfusianisme pra-Qin, Tao adalah inkarnasi dan kumpulan kebaikan, tujuan akhir serta standar nilai tertinggi aktivitas ideologis. Bersahabatlah dengan Tao (make friends with Tao) memperlihatkan bahwa komunikasi antarsahabat tidak boleh dipisahkan dari praktik kebaikan dan standar tertinggi. Oleh karena itu, dalam visi Mensius, bersahabat bukan sekadar kegiatan interpersonal berdasarkan peristiwa atau kehendak bebas. Tetapi mengandung kemajuan pencapaian individu dan persyaratan yang melekat pada aturan moral sosial.
Menurut Mensius, sahabat memiliki seperangkat hak dan kewajiban sesuai status sosial serta identitas mereka dalam relasinya dengan yang lain. Sehingga Tao antarsahabat perlu memelihara kesadaran moral individu dan disiplin diri. Dalam konteks persahabatan, Tao berasal dari belas kasih (compassion) dan diwujudkan dalam tanpa tiga prasangka (without three presumptions), persahabatan dengan kebajikannya (friendship with his virtue), dapat dipercaya dalam persahabatan (trustworthiness in friendship), dan persahabatan dengan kebaikan (friendship with kindness). Oleh karena itu, bersahabat dengan Tao memungkinkan keadilan dan menjadi inti sistem ideologis Mensius.
Wan Zhang (murid terbaik Mensius) pernah bertanya kepadanya mengenai cara bersahabat. Menurut Mensius, ketika bersahabat seseorang tidak boleh mendasarkannya pada usia, kedudukan, dan kekuatan yang dimiliki. Mensius menekankan kesetaraan dan kemurnian persahabatan serta kemandirian kedua belah pihak. Dalam pandangan Mensius, ketika memilih sahabat, seseorang harus fokus pada karakternya, bukan kondisi eksternalnya. Setelah mengajukan premis bersahabat tanpa tiga praduga, Mensius mengusulkan kebajikan (virtue) sebagai kriteria ketika memilih sahabat.
Mensius memberikan contoh persahabatan antara Meng Xianzi (seorang menteri) dan Fei Huigong (raja negara kecil). Mereka dalam posisi kaya dan tinggi, dikagumi serta dilayani banyak orang. Tetapi mereka senantiasa bersahabat dengan siapa pun yang memiliki kebajikan mulia. Terkait hal ini, Mensius menjunjung tinggi kebajikan dan keadilan serta menekankan pentingnya tinggal dalam kebajikan serta kebenaran. Selanjutya Mensius melihat prinsip dapat dipercaya dalam persahabatan sebagai landasan ketika mengupayakan suatu persahabatan. Kepercayaan antarsahabat merupakan nilai sosial yang tinggi dalam relasi interpersonal.
Mensius menekankan pentingnya membangun relasi sosial yang luas. Menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan untuk mewujudnyatakan komunikasi di antara para sahabat. Harapannya relasi sosial tersebut menembus batasan geografis dan kota serta meluas ke dalam komunikasi antarpribadi. Sebagaimana dikatakan Mensius, kepercayaan dalam persahabatan adalah keadaan menepati janji dan perasaan tulus di antara subjek komunikasi interpersonal.
Ketika kepercayaan antarsahabat terbentuk, persahabatan di antara mereka tidak mudah dipatahkan. Dalam menjalin persahabatan, kepercayaan muncul dari pemahaman dan penghargaan orang-orang yang berpikiran sama. Hal ini berdampak besar pada persahabatan yang stabil dan bertahan lama. Kepercayaan dalam persahabatan tidak hanya menonjolkan semangat moral persahabatan, tetapi juga membantu mencapai konsensus kepercayaan dalam masyarakat sosial dan mempromosikan tujuan umum serta integritas sosial.
Mensius percaya bahwa sahabat harus saling belajar dan mendorong satu sama lain untuk mencapai karakter terbaik. Dalam Konfusianisme pra-Qin, sahabat memiliki fungsi menumbuhkan kebaikan hati (cultivating kindheartedness). Berdasarkan fungsi tersebut, Mensius mengedepankan syarat persahabatan dengan kebaikan dan mendorong seseorang untuk kebaikan sebagai landasan komunikasi antarsahabat. Manusia yang baik berarti manusia yang berbudi luhur. Sebagaimana dikatakan Mensius, pembentukan dan pemeliharaan persahabatan berasal dari penghargaan individu serta kerinduan akan akhlak mulia.
Premis dari persahabatan dengan kebaikan yaitu individu yang mengejar kesempurnaan karakter akan bersahabat dengan orang-orang yang bermoral tinggi. Mereka akan memiliki tujuan, minat, dan resonansi emosional yang sama. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa seringkali terdapat perbedaan-perbedaan tertentu di antara subjek-subjek komunikasi. Oleh karena itu, Mensius mendorong seseorang untuk berbuat kebaikan yang merupakan cara bersahabat, bergaul, melengkapi kognisi individu, meningkatkan penanaman moral, dan menumbuhkan kebaikan hati. Akhirnya, dalam situasi ideal individu dapat mewujudkan nilai pribadi menjadi nilai sosial ketika bersahabat dengan orang-orang baik.
PENGARUH DAN RELEVANSI GAGASAN MENSIUS MENGENAI PERSAHABATAN
Pemikiran Mensius mengenai persahabatan memiliki pengaruh besar. Dimulai dari Dinasti Han, sahabat dari jalan yang sama (friends of the same path) menjadi konsep dasar persahabatan Dinasti Han. Selain itu, pemikiran Mensius mengenai bersahabat dengan Tao secara bertahap menjadi konsensus para cendekiawan. Bahkan sejak Dinasti Tang, mereka yang berkuasa mengangkat integritas ke tingkat pemerintahan negara, di mana integritas dipandang sebagai fondasi negara dan kembalinya rakyat. Sejak saat itu, pemikiran Mensius tentang persahabatan menjadi salah satu ideologi sistem politik Tiongkok Kuno.
Satu abad kemudian Plato membuat diskusi filosofis mengenai persahabatan dalam bukunya Lysis. Namun, karena pengaruh peradaban modern, etika komunikatif yang dibangun para filsuf Timur dan Barat Kuno menerima dampak yang sangat besar. Secara khusus dalam komunikasi interpersonal yang semakin mengglobal dan beragam, di mana aktivitas interpersonal utilitarian mengasingkan esensi persahabatan, merongrong kriterianya, mengaburkan prinsipnya, dan mengacaukan pola persahabatan. Misalnya, fenomena kekerasan seksual di sejumlah kampus yang ada di Indonesia.
Sulistyowati Irianto (dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia) dalam kolom opini KOMPAS 26 Maret 2021 yang berjudul Kekerasan Seksual di Kampus menunjukkan data bahwa kasus kekerasan seksual di kampus sejak 2019 terdapat 174 kasus di 79 kampus di 29 Provinsi. Pelakunya dosen, mahasiswa, staf, tokoh agama di kampus, dokter klinik di kampus, dan warga lain. Peristiwa kekerasan seksual tersebut tejadi di dalam dan di luar kampus, seperti lokasi KKN, tempat magang, dan acara kemahasiswaan. Korban 96 persen mahasiswi, 20 persen tidak melapor dan 50 persen tidak menceritakan kepada siapa pun. Kasus yang tidak dilaporkan tenggelam dalam gunung es. Kasus kekerasan di kampus juga bersembunyi dalam kekerasan berbasis gender siber (KBGS) karena pelaku melakukannya secara digital.
Laporan KBGS ke Komnas Perempuan naik dari 241 kasus (2019) ke 940 kasus (2020). Laporan KBGS dari lembaga layanan juga naik dari 126 kasus (2019) ke 510 kasus (2020). Kekerasan seksual di kampus terkonfirmasi dari laporan Komnas Perempuan tentang kekerasan terhadap perempuan (KTP) di ranah komunitas atau publik, yaitu 21 persen atau 1731 kasus (2021). Paling banyak memang kekerasan seksual, yaitu 55 persen atau 962 kasus. Terdiri dari pemerkosaan (229 kasus), pelecehan seksual (181 kasus), pencabulan (166 kasus), dan sisanya percobaan pemerkosaan. Sementara 79 persen KTP di ranah privat, seperti kekerasan dalam rumah tangga (49 persen), kekerasan masa pacaran (20 persen), dan sisanya kekerasan dari bekas suami serta pacar dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
Berhadapan dengan persoalan kekerasan seksual di kampus, pemikiran Mensius mengenai bersahabat dengan Tao, tanpa tiga prasangka, persahabatan dengan kebajikannya, dapat dipercaya dalam persahabatan, dan mendorong seseorang untuk kebaikan pada dasarnya sangat relevan. Pemikiran Mensius tidak hanya mempromosikan dan mewarisi budaya persahabatan Konfusianisme. Tetapi juga memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai persahabatan dan pola relasi, supaya kekerasan seksual di kampus dapat ditanggulangi. Mensius mengingatkan pentingnya membangun relasi interpersonal yang harmonis dan ramah, melaluinya kerukunan di tengah masyarakat dimungkinkan.
PENUTUP
Sejak Dinasti Zhou, kesadaran patriarki mulai merambah setiap tingkat relasi sosial. Mensius ingin mengatur relasi antarmanusia dengan membangun sistem etika dan moral. Dalam pemikiran Mensius mengenai persahabatan, ketika menjalin persahabatan atau relasi dengan yang lain, kita harus berpegang pada gagasan bersahabat dengan Tao. Persahabatan tidak boleh dibangun atas dasar usia, kedudukan, dan kekuasaan. Hal ini dimaksudkan supaya kita sampai pada tataran tanpa tiga praduga.
Ketika memilih sabahat, kita harus mendasarkannya pada kriteria persahabatan dengan kebajikannya. Demikian pula apabila kita berinteraksi dengan sahabat, kita harus menggunakan prinsip dapat dipercaya dalam persahabatan. Saat bergaul dengan sahabat, kita harus baik dan mendorong seseorang untuk berbuat baik, menasihati serta membimbing para sahabat. Dengan demikian, pemikiran Mensius mengenai persahabatan memiliki nilai praktis dan makna yang luas, termasuk untuk menanggulangi fenomena kekerasan seksual di kampus.
SUMBER BACAAN:
IRIANTO, SULISTYOWATI. “Kekerasan Seksual di Kampus.” KOMPAS (26 Maret 2021), hlm. 6.
LAMBERT, ANDREW. “Impartiality, Close Friendship and the Confucian Tradition.” Comparative Philosophy. Vol. 8, No. 1 (2017), hlm. 205-228.
LU, XIUFEN. “Rethinking Confucian Friendship.” An International Journal of the Philosophical Traditions of the East. Vol. 20, No. 3 (2010), hlm. 225-245.
MENCIUS. The Life and Teachings of Mencius: The Chinese Classics Vol. 2. Penerj. James Legge. London: N. Trübner, 1875.
MULLIS, ERIC C. “Confucius and Aristotle on the Goods of Friendship.” Dao. Vol. 9 (2010), hlm. 391-405.
TAN, SOR-HOON. “The Concept of Yi in the Mencius and Problems of Distributive Justice.” Australian Journal of Philosophy. Vol 92, No. 3 (2014), hlm. 489-505.
YAXIN, CUI DAN YU NA. “On Mencius’ Thoughts of Friendship.” Education and Humanities Research. Vol. 497 (2020), hlm. 197-200.
YU-LAN, FUNG. Short History of Chinese Philosophy. New York: The Macmillan Company, 1966.
CATATAN: Tulisan ini pernah dimuat di dalam majalah GITA SANG SURYA, Vol. 17, No. 1 (Januari-Februari 2022), hlm. 33-36.