Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

(Ketua Bidang Animasi JPIC OFM Indonesia–Magister Filsafat STF Driyarkara Jakarta)

Perlu diketahui bahwa moral sosial terkait dengan gerakan pembebasan manusia secara integral, di mana emansipasi dan solidaritas dipandang sebagai fondasi moral yang memungkinkan pembebasan. Berdasarkan perspektif tersebut, teologi pembebasan dapat dipahami sebagai refleksi yang didasarkan pada pengalaman keterlibatan atau praksis pembebasan. Praksis dan refleksi pembebasan merupakan sumber, tujuan, kriteria, dan legitimasi teologisnya. Hal ini merupakan pilihan metodologi dalam berteologi yang menjunjung tinggi universalitas kasih Kristiani, kasih kepada musuh, dan tidak menghalalkan segala cara demi tujuan. Sehingga teologi pembebasan sejak lahirnya memiliki dimensi moral, mengimplementasikan nilai-nilai moral dalam kehidupan manusia, dan membebaskan orang miskin serta tertindas.

SEKILAS TENTANG TEOLOGI PEMBEBASAN

Terdapat asumsi yang mengemukakan bahwa teologi pembebasan (liberation theology) merupakan Marxisme (Marxism). Bahkan teologi pembebasan dinilai mempunyai tujuan politik tertentu. Asumsi tersebut tidak tepat, karena keberadaan teologi pembebasan tidak tergantung pada Marxisme. Meskipun terdapat kesamaan di antara teologi politik dan Marxisme terkait epistemologi (epistemology) serta komitmen pada sejarah manusia (commitment to human history).

Teologi pembebasan memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan teologi kontekstual (contextual theology), di mana keterlibatan dalam bentuk aksi serta refleksi memeroleh penekanan. Hal ini disebut sebagai metode siklus pastoral (pastoral cycle) dan dasar epistemologi yang terdapat di dalam praktik. Oleh karena itu, teologi pembebasan mempunyai komitmen terhadap realitas perubahan sosial dalam sejarah (social change within history) dan membawa kehidupan di mana ada kematian (bringing life where there is death).

Teologi pembebasan memungkinkan seseorang meletakkan jarinya pada denyut nadi dunia yang penuh penderitaan, kematian, tragedi, dan ketidakadilan. Sehingga ajaran Kristus mengenai keberpihakan kepada orang-orang yang membutuhkan dan rentan menjadi dasar argumentasi teologis. Dengan kata lain, pemahaman teologis teologi pembebasan didasarkan pada komitmen dan tindakan. Hal ini merupakan suatu bentuk teologi kontekstual, di mana pengalaman di tengah dunia memungkinkan seseorang menjadi murid Kristus yang sejati.

Teologi pembebasan menjadi salah satu gerakan paling signifikan dalam teologi Kristen. Selama satu dekade teologi pembebasan mendominasi cakrawala intelektual para teolog di universitas dan seminari di seluruh dunia. Teologi pembebasan muncul di Amerika Latin, di mana pengalaman penindasan dan kerentanan atau marginalisasi memicu refleksi berkelanjutan pada tradisi Kristen. Perhatian terhadap kesejahteraan manusia (human well-being) dan misi Gereja untuk memerdekakan manusia merangkul para teolog mengejawantahkan praktis komitmen Kristen. Hal ini dimungkinkan melalui dialog antara tradisi Kristen, teori sosial, dan pemahaman akan situasi serta kondisi kaum miskin dan terpinggirkan yang mengarah pada tindakan untuk mencapai perubahan.

Teologi pembebasan memikat hati para teolog dan orang-orang yang mempelajari peran agama dalam masyarakat kontemporer. Penekanan teologi pembebasan pada dimensi politik misi Gereja dalam situasi kemiskinan menjadikannya relevan dan aktual pada akhir abad XX. Selain itu, teologi pembebasan menawarkan kebaruan nilai dalam cara pandang populer. Pada tataran tertentu teologi pembebasan menekankan kehidupan doa dan komitmen kepada sesama sebagai konteks yang diperlukan untuk memahami serta mengenal Allah.

Pertumbuhan dan perkembangan teologi pembebasan terjadi di Amerika Latin, di mana pada waktu itu muncul gerakan serupa di Afrika, Asia, Eropa, dan Amerika Utara. Meskipun demikian, tidak semuanya disebut sebagai teologi pembebasan. Terkait hal ini, teologi kontekstual adalah istilah yang banyak digunakan untuk menunjuk pada refleksi teologis yang secara eksplisit mengeksplorasi dialog antara konteks sosial, Kitab Suci, dan tradisi. Perlu diketahui bahwa terdapat serangkaian benang merah atau perspektif yang sama yang menghubungkan para teolog di Asia, Amerika Latin, dan Afrika Selatan.

Berdasarkan uraian di atas, teologi pembebasan mempunyai sejumlah ciri. Pertama, berakar pada pengalaman kemiskinan. Kedua, menggunakan teks Kitab Suci yang interpretasinya terkait dengan pengalaman yang ditemukan. Ketiga, berakar kuat di Brasil dan memeroleh pengaruh dari praktik pastoral Gereja Katolik Roma. Keempat, merenungkan Kitab Suci dan bergabung dalam proyek-proyek bersama untuk kesejahteraan manusia di bidang kesehatan dan pendidikan. Kelima, menjunjung tinggi kemanusiaan. Akhirnya, Kitab Suci dan tradisi teologis (theological tradition) menjadi sumber inspirasi yang meneguhkan di tengah situasi penindasan serta perampasan.

TEOLOGI DAN PENGALAMAN

Teologi pembebasan bergumul di tengah realitas kematian banyak orang karena ketidakadilan. Refleksi teologis para teolog pembebasan dalam rupa buku dan artikel dimungkinkan melalui pengalaman mereka. Upaya perjuangan untuk kelangsungan hidup jutaan orang yang terkait ajaran sosial Katolik mendorong para imam dan religius memikirkan kembali panggilan profetis mereka. Mereka harus belajar dari orang miskin (the poor), di mana ratusan ribu petani diusir dari tanah pertanian keluarga selama beberapa generasi. Hal ini terjadi karena kebijakan pemerintah untuk menumbuhkan ekonomi dan membayar utang luar negeri. Dalam situasi dan kondisi tersebut teologi pembebasan bertumbuh serta berkembang. Fenomena tersebut juga membedakan teologi pembebasan dengan teologi yang berkembang di akademi-akademi Amerika Utara dan Eropa.

Gustavo Gutiérrez menegaskan bahwa pertanyaan yang harus diajukan di Amerika Latin bukanlah bagaimana berbicara tentang Allah di dunia yang sudah dewasa, melainkan bagaimana mewartakan Allah sebagai Bapa di dunia yang tidak manusiawi. Pertanyaan serupa diajukan pada periode awal kehadiran Kekristenan di Amerika Selatan oleh Bartolomé de las Casas yang menangani penduduk asli yang tertindas. Sebagai seorang imam muda ia tertarik pada teks Pengkhotbah 34:21-27. Terkait hal ini, ia mengritik ketidakadilan sistem ekonomi dan upaya mengeksploitasi masyarakat adat (exploited indigenous people).

Teologi pembebasan dikerjakan di tengah kota-kota kumuh, perjuangan tanah, kelompok-kelompok yang tertindas dan terhina, dan daerah-daerah yang berkekurangan. Perlu diketahui bahwa Jon Sobrino selama bertahun-tahun bekerja di Amerika Tengah yang dilanda perang. Sobrino mengemukakan bahwa agenda teologi Eropa lebih tertarik untuk memikirkan dan menjelaskan kebenaran iman (the truth of faith). Sedangkan bagi para teolog pembebasan, iman berjalan pararel dengan kehidupan nyata dan berada dalam hubungan dialektis dengannya.

Berdasarkan perspektif teologi pembebasan, makna iman dan ajaran bersinar di tengah upaya meringankan kondisi masyarakat dunia yang sengsara. Komitmen kepada orang miskin menjadi konteks refleksi teologi pembebasan. Sehingga pemahaman mengenai Allah dan dunia dipandang sebagai anugerah kasih karunia serta upaya pelayanan kepada saudara dan saudari Kristus yang paling hina.

ORIENTASI ETIS DAN INTELEKTUAL TEOLOGI PEMBEBASAN

Teologi pembebasan bukan sekadar kumpulan informasi khusus yang khas. Meskipun perspektif tersebut menghasilkan suatu pendekatan terhadap bagian-bagian dari tradisi Kristen yang diabaikan atau disangkal. Teologi pembebasan memerlihatkan cara baru dalam berteologi. Disebut baru dalam arti bahwa teologi pembebasan kontras dengan banyak teologi yang muncul dalam dua abad terakhir. Berbagai macam teologi bertumbuh dan berkembang di universitas atau seminari dengan prioritas ditempatkan pada wacana intelektual yang terlepas dari kehidupan sehari-hari. Dalam banyak hal, teologi pembebasan kembali ke dalam metode teologis (theological method) pada zaman yang lebih awal. Ketika ibadah, pelayanan kepada kemanusiaan, dan refleksi teologis terintegrasi.

Komitmen terhadap kaum miskin dan terpinggirkan menentukan eksistensi teologi pembebasan. Solidaritas terhadap kaum miskin dan rentan adalah lingkungan yang diperlukan untuk merangsang aktivitas intelektual. Pengalaman tersebut tidak dapat dikomunikasikan secara memadai kecuali dengan berkomitmen dan mengambil langkah solidaritas serta tindakan.

Teologi pembebasan adalah suatu cara, disiplin, dan latihan, bukan sekadar kumpulan informasi. Hal ini memiliki kesejajaran dengan teks-teks klasik spiritualitas Kristen Barat. Misalnya, latihan rohani Ignatius Loyola. Ketika seseorang benar-benar menggunakannya dan bukan hanya membacanya, signifikansi serta fungsi latihan rohani menjadi jelas. Sesuatu yang ditawarkan di dalamnya adalah sarana reorientasi intelektual dan etis. Demikian pula keterlibatan dengan teks-teks teologi pembebasan menawarkan pemahaman tentang Allah dalam komitmen kepada orang miskin dan terpinggirkan.

Kekuatan teologi pembebasan tidak terletak pada ide-ide yang menarik atau orisinalitas informasi yang disampaikan. Sebaliknya, proses bergulat dengan teks-teks teologi pembebasan secara eksplisit dimulai dari situasi penindasan dan kerentanan. Karena mengakar dengan konteks dan pengalaman tertentu, teologi pembebasan menjadi sesuatu yang tidak mudah bagi mereka yang ingin menulis tentangnya. Upaya memeroleh pemahaman yang tepat mengenai teologi pembebasan menuntut sesuatu yang lebih dari sekadar apresiasi intelektual (intellectual appreciation). Pemahaman lebih dari sekadar latihan pikiran, terbuka terhadap transformasi perspektif dan melaluinya seseorang melihat Kerajaan Allah (see the Kingdom of God).

TEOLOGI PEMBEBASAN, GEREJA, DAN KOMUNITAS BASIS GEREJAWI

Pertemuan para uskup Amerika Latin di Medellín dan Puebla secara eksplisit mengemukakan keberpihakan terhadap kaum miskin. Hal ini ditegaskan kembali pada konferensi para uskup Amerika Latin di Santo Domingo, menawarkan dasar pemikiran bagi orang-orang Kristen yang berkomitmen meringankan beban orang miskin. Melihat tugas mereka sebagai bagian integral dari panggilan Gereja untuk evangelisasi. Bekerja berdasarkan keputusan episkopal internasional dan nasional, para teolog pembebasan menanggapi realitas kemiskinan, kondisi hidup yang mengerikan, kekurangan gizi, dan perawatan kesehatan yang tidak memadai.

Perlu diketahui bahwa dalam Gereja Katolik Roma, uskup diosesan mempunyai wewenang sedemikian rupa yang membuat gerakan akar rumput tidak memeroleh dukungan episkopal. Sedangkan di keuskupan-keuskupan di mana uskup diosesan mendukung, wewenang tersebut digunakan untuk mendorong keuskupan ke arah progresif. Keadaan khusus Gereja di Brasil menawarkan konteks perkembangan teologi pembebasan. Meskipun terdapat kecenderungan posisi yang kurang progresif dari Konferensi Waligereja Brasil dalam beberapa tahun terakhir dan menjamurnya Gereja Protestan.

Teologi pembebasan berakar pada Komunitas Basis Gerejawi (Base Ecclesial Communities). Komunitas Basis Gerejawi adalah komponen penting dari panggung politik dan Gereja kontemporer, secara khusus di Brasil, di mana sulit untuk memisahkan antara Gereja populer (popular Church) serta arus utama Katolik. Terjadi ketegangan di keuskupan-keuskupan di mana simpati terhadap Komunitas Basis Gerejawi kurang. Tetapi Katolik Brasil dicirikan oleh penerimaan terhadap Komunitas Basis Gerejawi dan peran sentral mereka sebagai Gereja kontemporer di Brasil. Hal ini merupakan dukungan episkopal majelis Komunitas Basis Gerejawi reguler. Sebuah agenda Gerejawi sedang ditetapkan untuk usaha interpretatif yang didasarkan pada perjuangan jutaan orang untuk memeroleh pengakuan dan keadilan (recognition and justice).

Orang-orang tertindas menjadi sarana di mana perspektif ilahi tentang keberadaan manusia ditawarkan. Mereka adalah orang-orang sederhana yang mempunyai identitas kebijaksanaan ilahi (the identity of the divine wisdom). Dalam Matius 11:25 dikatakan, Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil.

Kaum tertindas mempertanyakan asumsi mengenai karakter relasi manusia, baik lokal atau pun internasional di tengah dunia yang penuh dengan penderitaan dan ketidakadilan. Para teolog teolog pembebasan menegaskan bahwa Allah yang disalibkan digunakan sebagai kriteria refleksi teologis, eksegesis, alkitabiah, dan kehidupan Gereja. Sedangkan melalui orang miskin Gereja dapat belajar mengenai kebenaran dan arah serta misinya. Selain itu, penting untuk memastikan bahwa Gereja sungguh-sungguh menjadi tempat di mana Allah dapat ditemukan.

TEOLOGI PEMBEBASAN DAN KITAB SUCI

Perlu diketahui bahwa di antara kelompok-kelompok akar rumput (grassroots groups), Kitab Suci menjadi sarana untuk mengeksplorasi isu-isu kontemporer. Dengan kata lain, tradisi alkitabiah menjadi basis pemikiran, menawarkan suatu cara yang dengannya kesulitan-kesulitan yang ada dapat diatasi dalam kehidupan sebagai orang beriman dan berkomunitas. Terkait hal ini, pembacaan Kitab Suci berfungsi untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan iman serta relasi individu dengan Allah. Sedangkan komunitas berfungsi untuk menghindari pembacaan religius individualis yang sempit.

Pengalaman kemiskinan dan penindasan adalah “teks” yang sama pentingnya dengan Kitab Suci. Sabda Allah dapat ditemukan dalam dialektika antara memori sastra umat Allah dan kisah dunia kontemporer. Penekanannya bukan pada makna teks itu sendiri, melainkan pada makna teks itu bagi orang-orang yang membacanya. Dengan melakukan itu, orang-orang menunjukkan betapa pentingnya Kitab Suci dan relevansinya untuk kehidupan.

TANGGAPAN TERHADAP TEOLOGI PEMBEBASAN

Teologi Amerika Latin yang mengikuti jejak studi Gutiérrez pada awal 1970 membuahkan perkembangan sekaligus tanggapan. Terdapat perhatian yang lebih besar terhadap gender, ras, dan kemiskinan sebagai sesuatu yang perlu diperhitungkan dalam teologi pembebasan. Selain itu, perwakilan Katolik Roma dari perspektif liberal berdialog dengan teologi Katolik dan menilai upaya mereka sebagai suatu bentuk kontinuitas dalam dialog dengan Magisterium Gereja. Terkait hal ini, Kongregasi untuk Ajaran Iman (Congregation for the Doctrine of the Faith) mempunyai perbedaan pendapat selama bertahun-tahun dengan beberapa teolog Amerika Latin.

Kontribusi para teolog pembebasan merupakan bagian kecil dari perdebatan panjang dalam Kekristenan mengenai sikap dan tanggapan yang tepat terhadap kaum miskin serta rentan dan relasi Gereja dengan kekuatan politik. Teologi pembebasan muncul di kalangan Katolik Roma sebagai penerapan Magisterium terkait keberpihakan terhadap orang miskin. Para teolog pembebasan menjadi jembatan antara orang miskin dan Magisterium bersama dengan kebijaksanaan sekuler yang berkontribusi pada refleksi teologis. Namun, pada tataran tertentu para teolog pembebasan mempunyai komitmen yang jelas kepada orang miskin daripada menjadi perantara teologis yang netral.

Penilaian Gereja Katolik Roma terhadap teologi pembebasan tidak sepenuhnya negatif. Berbeda dengan nada yang disampaikan Libertatis Nuntius dari Kongregasi Ajaran Iman, anggota Komisi Biblika Kepausan (Pontifical Biblical Commision) memasukkan penilaian yang lebih positif terhadap teologi pembebasan. Meskipun demikian, Komisi Biblika Kepausan konsentrasi pada teks-teks naratif dan profetik dalam teologi pembebasan yang menyoroti situasi penindasan serta yang mengilhami praksis yang mengarah pada perubahan sosial (social change).

Sementara mengakui bahwa eksegesis tidak bisa netral, Komisi Biblika Kepausan melihat bahaya bahwa para teolog pembebasam berat sebelah. Selain itu, para teolog pembebasan terlibat dalam aksi sosial dan politik yang bukan tugas utama penafsir. Selanjutnya, penggunaan analisis Marxis mengenai realitas sosial sebagai kerangka acuan untuk membaca Kitab Suci dipertanyakan. Para teolog pembebasan meyakini bahwa interpretasi liberal dan feminis mengemukakan pendekatan kontekstual (contextual approaches). Hal ini menimbulkan kesan seolah-olah pendekatan interpretatif seperti historis kritis tidak kontekstual. Meskipun demikian, Komisi Biblika Kepausan menganggap metode historis memiliki posisi istimewa dalam hermeneutika alkitabiah.

Terdapat beragam tanggapan terhadap teologi pembebasan di akademi-akademi Eropa. Meskipun ada kekaguman dari para teolog Selatan (Southern) terhadap para teolog Utara (Northern), ada kekhawatiran tertentu terhadap teologi pembebasan Utara. Komitmen terbuka dan keterlibatan praktis teologi pembebasan dapat membuatnya menjadi sasaran kritik dari mereka yang menyukai bentuk refleksi teologis yang lebih terpisah serta tidak memihak. Para teolog pembebasan bersikeras bahwa semua teologi pasti kontekstual dan dikondisikan oleh lingkungan serta aktivitas di mana para teolog terlibat.

Pembacaan yang dilakukan secara terbuka dari para teolog pembebasan memerlihatkan dengan jelas dari mana mereka mendekati teks. Hal ini menimbulkan tantangan bagi orang-orang yang secara ideologis lebih cepat berpuas diri. Tidak adanya keberpihakan dalam bacaan akademis seharusnya tidak menjamin tidak adanya kepentingan yang dipertaruhkan. Orang-orang yang terlibat dalam teologi akademis perlu memeriksa hati nurani dan bertanya pada diri sendiri seberapa jauh teologi yang diupayakan menghembuskan semangat objektivitas. Oleh karena itu, penting untuk belajar menjadi bagian dari komunitas interpretasi dan berkomitmen untuk orang miskin, di mana keprihatinan akademis berkontribusi pada tantangan zaman yang semakin individualistis serta kurang memiliki perhatian global (global concern).

Penekanan pada pengalaman sehari-hari dan fenomena ketidakadilan merupakan bagian penting dari pengetahuan mengenai Allah yang bertumbuh serta berkembang dalam teologi akar rumput (grassroots theology) Eropa dan menjadi basis teologi pembebasan. Para ahli tidak memiliki posisi istimewa dalam pemahaman mengenai Allah, karena ada penekanan pada pemahaman bahwa orang miskin merupakan penafsir firman Allah (interpreters of the word of God).

Perspektif liberal memiliki silsilah yang panjang dalam teologi Kristen. Gerrard Winstanley (penulis Inggris abad XVI) menegaskan bahwa pedagang akan berbicara melalui pengalaman mengenai hal-hal yang telah mereka lihat dalam Allah, sedangkan imam yang terpelajar akan diremehkan. Hal ini memerlihatkan bahwa prioritas diberikan kepada dorongan batin yang berasal dari pengalaman kemiskinan dan kerentanan yang menawarkan pandangan mengenai pikiran Allah (the mind of God). Kitab Suci kemudian bertindak sebagai konfirmasi pengetahuan intuitif mengenai Allah.

Seperti dalam banyak gerakan radikal dalam Kekristenan, ada penekanan pada imanensi Allah dalam diri orang-orang miskin. Sedangkan dalam tulisan-tulisan radikal pemahaman reformasi mengenai jalan-jalan Allah (the ways of God) cenderung dilihat secara individualis. Berdasarkan surat Paulus kepada Jemaat Galatia, makna Kitab Suci dan tradisi disubordinasikan pada pengalaman Roh. Terkait hal ini, dalam Komunitas Basis Gerejawi di Amerika Latin, pengalaman dipandang sebagai teks (text) layaknya Kitab Suci dan tradisi dibaca serta tanda-tanda zaman (signs of the times) ditafsirkan.

Posisi para teolog pembebasan yang bervariasi memerlihatkan kecenderungan dan pengaruh tertentu. Kehadiran Allah dalam diri orang miskin, penekanan pada tindakan daripada kepercayaan, harapan akan pemerintahan Allah di bumi, dan ketergantungan pada model tindakan-refleksi. Teologi pembebasan didasarkan pada kontemplasi Allah dalam Kristus yang menderita yang kehadirannya tersembunyi dalam diri orang miskin. Seseorang dapat membandingkan komitmen Gutiérrez dengan pengalaman hidup Ayub. Dalam Ayub 42:5 dikatakan, hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.

MASA DEPAN TEOLOGI PEMBEBASAN

Isu-isu yang menjadi perhatian para teolog pembebasan saat ini lebih inklusif dan meluas ke ranah ras, gender, agama, dan lingkungan. Prinsip-prinsip dasar teologi pembebasan telah diterima secara luas di banyak bagian Gereja Katolik. Setelah bertumbuh dan berkembang di Dunia Ketiga (Third World), prinsip-prinsip dasar teologi pembebasan didirikan dengan kokoh di Dunia Pertama (First World), lembaga pendidikan tinggi, kehidupan Gereja akar rumput, dan kelompok-kelompok yang bekerja untuk keadilan serta perdamaian.

Harus diakui bahwa para teolog Dunia Pertama menerima teologi pembebasan secara lambat. Hal ini terjadi karena tidak banyak kursus teologi pembebasan di universitas-universitas. Tetapi prinsip-prinsip dasar teologi pembebasan, perhatian terhadap konteks, dan perspektif khas kaum terpinggirkan merupakan ciri khas teologi modern. Terkait hal ini, kajian biblika dan teologi modern berada dalam pusaran hermeneutis. Sangat disayangkan apabila teologi dan eksegesis Eropa serta Amerika Utara tidak membiarkan dirinya dipengaruhi oleh arus penafsiran yang sedang berbuah baik di Gereja atau pun akademi di Dunia Ketiga.

Selama beberapa tahun terakhir di banyak negara Amerika Latin, secara khusus Brasil, telah terjadi serentetan pengangkatan di tingkat episkopal yang menyebabkan uskup progresif diganti dengan uskup konservatif atau pindah ke keuskupan pinggiran. Hal ini memerlihatkan pergeseran keseimbangan kekuasaan dari gaya progresif yang seringkali dinilai kontroversial secara politis. Situasi dan kondisi tersebut memerlihatkan terjadinya krisis di dalam Gereja akar rumput (Church at the grassroots), terutama perannya yang begitu nyata di tengah penindasan. Meskipun demikian, Gereja akar rumput sebagai umat Allah tetap terlibat seperti biasanya. Ribuan laki-laki dan perempuan berjuang di tengah-tengah kesulitan serta ketidakadilan. Mereka yakin bahwa iman mereka menguatkan dan memungkinkan untuk terlibat dalam aktivitas menghadapi yang berkuasa dan berjuang untuk kondisi yang lebih baik bagi diri mereka sendiri serta orang-orang miskin.

Sebagaimana dikemukakan Jon Sobrino, banyak orang terus mengatakan bahwa teologi pembebasan sudah ketinggalan zaman. Kemiskinan meningkat di Dunia Ketiga, kesenjangan antara negara kaya dan miskin melebar, dan terjadi perang di banyak tempat. Budaya hilang melalui pemaksaan budaya komersial asing (foreign commercial cultures). Tangisan orang-orang yang tertindas semakin keras. Siapa pun yang tidak memahami ini belum memahami satu kata pun dari teologi pembebasan. Terkait hal ini, apa yang dilakukan teologi berhadapan dengan fakta mendasar tersebut? Bagaimana teologi dapat menyebut dirinya Kristen (Christian) apabila ia mengabaikan penyaliban seluruh manusia (the crucifixion of whole people) dan kebutuhan mereka akan kebangkitan? Oleh karena itu, upaya refleksi teologi pembebasan dan praksis pembebasan harus terus dilakukan demi kasih akan Allah serta sesama.

SUMBER BACAAN

ROWLAND, CHRISTOPHER. “Foreword to the Second Edition”. Dalam Christopher Rowland (Editor). The Cambridge Companion to Liberation Theology. Cambridge: Cambridge University Press, 2007, hlm. xiii-xvi.

ROWLAND, CHRISTOPHER. “Preface to the First Edition”. Dalam Christopher Rowland (Editor). The Cambridge Companion to Liberation Theology. Cambridge: Cambridge University Press, 2007, hlm. xv-xvii.

ROWLAND, CHRISTOPHER. “Introduction: The Theology of Liberation”. Dalam Christopher Rowland (Editor). The Cambridge Companion to Liberation Theology. Cambridge: Cambridge University Press, 2007, hlm. 1-16.

CATATAN: Tulisan ini pernah dimuat di dalam malajah GITA SANG SURYA, Vol. 17, No. 1 (Januari-Februari 2022), hlm. 62-68.

1 KOMENTAR

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here