Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
(Ketua Bidang Animasi JPIC OFM Indonesia—Magister Filsafat STF Driyarkara Jakarta)
Harapan dalam perspektif Kristen dipahami sebagai harapan akan keselamatan (the hope of salvation). Keyakinan tersebut didasarkan pada keyakinan bahwa Allah mempunyai kehendak untuk mengejawantahkan keselamatan universal (universal salvific). Dalam 1 Timotius 2:4 dikatakan, Allah yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memeroleh pengetahuan akan kebenaran. Terkait hal ini, harapan merupakan kebenaran (truth) yang harus dikomunikasikan. Oleh karena itu, Paulus menegaskan demikian, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus (Roma 10:17).
Perlu diketahui bahwa harapan terkait dengan perubahan hidup (change of life). Sebagaimana ditegaskan Benediktus XVI, orang yang berharap diberikan kehidupan baru (Spe Salvi, art. 2). Sehingga terdapat relasi di antara harapan dan eksistensi sejarah. Terkait teologi harapan, Karl Rahner memerlihatkan bahwa kesatuan kodrat dengan rahmat memberikan dasar konsepsi harapan yang mengatasi dikotomi antara pelarian dari dunia (flight from the world) dan imanentisme (immanentism). Karena pada hakikatnya tidak ada persaingan di antara harapan eskatologis dan historis, keduanya disatukan di dalam Allah Tritunggal. Pada tataran tertentu dapat dikatakan bahwa harapan dalam perspektif Kristen berada di antara surga dan sejarah (heaven and history).
CARA PANDANG IGNASIAN RAHNER
Gagasan Rahner mengenai harapan berada di antara fuga mundi dan aktivisme dunia. Terdapat dua pilar yang mendasari pemikiran Rahner, yaitu cara pandang Ignasian dan konsepsi Ignasian Thomistik mengenai kodrat serta rahmat. Rahner mempunyai orientasi positif terhadap dunia yang dipandang bertentangan dengan fuga mundi. Meskipun demikian, Rahner juga mendasarkan kegembiraan di dunia (joy in the world) dalam fuga saeculi. Karena kehidupan Kristen sejatinya terkait dengan kehidupan Allah di luar dunia (the life of God beyond the world). Rahner meyakini bahwa mistisisme Ignasian menjadi dasar kegembiraan di dunia, menjunjung tinggi sentralitas salib dan orientasi terhadap Allah. Sehingga salib dan keduniawian lain (other-worldliness) membentuk imanensi Ignasian.
Kesalehan Ignasian dipahami sebagai keselarasan dengan Yang Tersalib (Crucified One). Dalam tradisi klasik, kesalehan ditempuh melalui kehidupan monastik, pelarian ke padang pasir dan biara. Rahner melihat biarawan sebagai orang yang mengejawantahkan pelarian eksistensial (existential flight) ke padang gurun untuk mencari Allah yang jauh dari dunia (to seek God far from the world). Perlu diketahui bahwa Ignasius Loyola memperluas cita-cita monastik ke dalam kehidupan apostolik. Terkait hal ini, Rahner menggarisbawahi kegembiraan Ignasian di dunia tidak ditemukan dalam reduksi dari transendensi ke imanensi, kekekalan ke waktu (eternity to time), dan Allah ke dunia (God to the world).
Ketaatan Ignasius berorientasi pada Allah yang melampaui dunia, di mana pengetahuan mengenai Allah dapat diturunkan melalui unsur-unsur dunia atau vestigia Dei. Tetapi teologi kodrati tidak dapat membawa manusia mengenal Allah. Hal ini merupakan godaan terbesar manusia, mereduksi Allah ke dalam dunia (reduce God to the world). Rahner melihat bahwa manusia cenderung jatuh ke dalam penyembahan berhala, menjadikan Allah dalam citra manusia. Tetapi wahyu Allah dalam inkarnasi Kristus mengantisipasi kecenderungan tersebut, menarik manusia keluar dari dunianya dan memasukkannya ke dalam kehidupan ilahi (divine life). Pengetahuan mengenai Allah yang dianugerahkan kepada manusia memerlihatkan bahwa manusia merupakan makhluk transenden.
Tindakan Allah yang transenden menyatakan diri-Nya di dunia memungkinkan manusia menemukan sukacita. Terkait hal ini, orang Kristen yang dipanggil untuk meninggalkan dunia demi Allah yang transenden harus meyakini bahwa ia dipanggil untuk menemukan Yang Transenden di dalam dan melalui dunia. Rahner memahami hal ini sebagai keutamaan Ignasian (Ignatian virtue), kesediaan untuk menanggapi panggilan Allah dengan cara apa pun atau kesiapan abadi (perpetual readiness). Dengan kata lain, untuk mencari Allah yang telah mengungkapkan diri dalam sejarah berarti mencari Yang Satu dalam segala hal. Meskipun demikian, sebagaimana ditegaskan Rahner, Ignasius mendekati dunia dari Allah dan bukan Allah dari dunia.
GAGASAN RAHNER MENGENAI KODRAT DAN RAHMAT
Rahner mendefinisikan rahmat sebagai komunikasi diri Allah kepada manusia dalam sejarah dan dalam transendentalitas manusia (human transcendentality). Definisi tersebut menandai perubahan dari teologi neo-Skolastik mengenai kodrat dan rahmat yang mengakibatkan cacat soteriologis (soteriological defects). Rahner melihat tiga persoalan terkait penafsiran neo-Skolastik mengenai rahmat. Pertama, mengecualikan pengetahuan dari doktrin membuat rahmat tidak dapat diakses oleh kesadaran manusia (human consciousness). Rahmat tidak memberikan tanda-tanda kehadirannya dalam kehidupan pribadi manusia. Dengan kata lain, rahmat adalah objek iman yang mutlak berada di luar kesadaran manusia. Hal ini menimbulkan persoalan epistemologis, jika rahmat terletak sepenuhnya di dunia yang tidak dapat dicapai oleh akal budi manusia, maka bagaimana seseorang dapat mengetahuinya?
Kedua, rahmat bertindak sebagai superstruktur (superstructure) yang ditambahkan pada kodrat manusia. Oleh karena itu, rahmat tidak diizinkan untuk meresapi kehidupan manusia, karena rahmat dan kodrat adalah dua entitas yang terpisah. Hal ini menjadi persoalan, apakah rahmat begitu jauh sehingga tidak penting bagi kehidupan manusia? Sehingga manusia nampak pasif, tidak memilih untuk menanggapi Allah dan hanya menghendaki gerakan rahmat. Ketiga, konsepsi neo-Skolastik mengenai rahmat menghadirkan persoalan soteriologis. Pada dasarnya rahmat pengudusan tidak cukup untuk keselamatan. Bagaimana seseorang dapat mencapai keselamatan apabila hanya pemberian (gift) dan bukan pemberi (giver) yang diberikan?
Menurut Rahner, rahmat merupakan kasih Allah yang komunikatif (God’s self-communicative love). Allah yang komunikatif disebut Rahner sebagai Misteri Kudus (Holy Mystery). Misteri Kudus adalah kehadiran Allah yang penuh kasih. Pada tataran tertentu rahmat melukiskan pengalaman transendental kasih Misteri Kudus. Rahmat tersebut diberikan kepada sejarah manusia dan transendentalitas manusia. Dalam sejarah manusia, rahmat dianugerahkan dalam pribadi Yesus Kristus. Terkait hal ini, inkarnasi memiliki tiga arti penting, yaitu prinsip, peristiwa, dan model rahmat.
Inkarnasi disebut prinsip rahmat karena Logos adalah sumber dan perantara rahmat Allah. Oleh karena itu, rahmat pada dasarnya bersifat Kristologis. Sebagaimana dikemukakan Rahner, Yesus Kristus adalah pribadi yang melalui inkarnasi menciptakan tatanan rahmat dan kodrat. Inkarnasi juga merupakan peristiwa kasih Allah yang dicurahkan ke dalam dunia. Akhirnya, inkarnasi adalah model rahmat, karena di dalam Yesus Kristus bersemayam tanggapan afirmatif terhadap penawaran diri Allah. Penerimaan Yesus Kristus atas rahmat Allah menjadi model penerimaan manusia.
Rahner membangun antropologi teologi berdasarkan pribadi manusia sebagai pendengar firman (hearer of the word). Rahner menegaskan bahwa dari wahyu Kristologis (Christological revelation) manusia mengetahui bahwa Allah menyatakan diri-Nya. Terkait hal ini, apakah wahyu Allah merupakan komunikasi diri yang menafsirkan diri sendiri atau apakah manusia ditetapkan sedemikian rupa untuk menerima wahyu Allah? Menurut Rahner, manusia secara ontologis terstruktur sedemikian rupa sehingga memiliki keterbukaan mendasar kepada Allah dan orientasi intrinsik terhadap rahmat.
Rahmat yang Allah berikan dalam sejarah manusia dan transendentalitas manusia dimaksudkan untuk keselamatan, kesatuan dengan Allah (union with God). Rahner mengikuti uraian soteriologi Irenaeus yang memandang keselamatan sebagai rekapitulasi (recapitulation) ciptaan, bukan hanya sebagai penebusan dosa. Oleh karena itu, keselamatan dipahami sebagai theosis—keilahian (divinization). Rahmat yang tidak diciptakan yang diberikan dalam bentuk persembahan—eksistensial adikodrati—adalah karunia Allah sendiri, yaitu Roh Kudus. Hal ini memungkinkan adanya yang ilahi dalam diri manusia. Selain itu, realitas tersebut merupakan subjektivitas sejati manusia yang diciptakan menurut gambar Allah (the image of God). Ketika manerima rahmat Allah, manusia meraih kemanusiaannya yang utuh. Manusia dimanusiakan sepenuhnya hanya karena tanggapan terhadap rahmat.
Terdapat dua aspek antropologis dalam pemikiran Rahner yang bergantung pada konsepsinya mengenai kodrat dan rahmat, yaitu kesatuan roh dan materi serta pengalaman akan Allah dan pengalaman akan diri sendiri. Berdasarkan perspektif iman Kristen, roh dan materi pada akhirnya bersatu dalam asal-usul, sejarah, dan tujuannya. Materi dan roh muncul dari sumber yang sama, di mana Allah merupakan landasan universal. Allah bukan hanya dasar kesatuan, tetapi kesatuan mutlak itu sendiri. Selain itu, Allah sebagai kesatuan transenden yang murni, ada sebelum dualitas roh dan materi. Karena tidak ada spiritualitas manusia tanpa materialitas sebagai kondisi kemungkinannya, roh dan materi disatukan dalam sejarah. Kesatuan tersebut secara intrinsik historis, berkembang dan mencapai puncaknya dalam kebebasan manusia (human freedom) dan penerimaan historis atas rahmat.
Konsepsi Rahner mengenai kodrat dan rahmat memengaruhi pemahamannya mengenai relasi individu dengan Allah. Manusia adalah penghubung kodrat dan rahmat. Sebagai subjek terbatas yang membawa transendensi menuju Yang Mahatinggi, manusia tetap berada dalam relasi yang tidak terpisahkan dengan Allah. Terkait hal ini, teologi kodrat dan rahmat Rahner menunjukkan cara pandang sakramental Katolik yang kuat.
GAGASAN THOMISME KLASIK MENGENAI HARAPAN
Rahner merupakan pewaris teologi Thomas Aquinas. Terkait hal ini, Thomas mengikuti Aristoteles dalam mengklasifikasikan kebajikan sebagai kebiasaan-kebiasaan baik (good habits). Perlu diketahui bahwa seluruh tujuan kebajikan teologis yang merupakan rahmat mengarahkan manusia menuju kebahagiaan adikodrati (supernatural happiness). Menurut Thomas, kebajikan teologis (theological vietues) mengarahkan manusia pada kebahagiaan adikodrati dengan cara yang sama seperti kecenderungan kodrati manusia diarahkan pada tujuan adikodrati. Kecenderungan kodrati (natural inclination) sesuai dengan akal budi sejauh ia cenderung ke arah yang baik. Tetapi kebajikan teologis masih diperlukan supaya akal budi dapat mencapai prinsip-prinsip adikodrati tertentu yang dipegang melalui cahaya Ilahi (Divine light).
Kebajikan teologis mengarahkan kehendak (will) menuju tujuan adikodratinya sebagai sesuatu yang dapat dicapai (as something attainable) yaitu harapan (hope) dan menuju kesatuan spiritual tertentu (a certain spiritual union) yang berkaitan dengan kasih (love). Menurut Thomas, hanya kasih yang merupakan kebajikan teologis yang sempurna. Sedangkan iman dan harapan tetap tidak sempurna, karena iman tidak dapat melihat (see) objeknya dan harapan gagal untuk memilikinya. Oleh karena itu, harapan bagi Thomas adalah tindakan mencari Allah untuk kebahagiaan masa depan (future bliss). Namun, ketika kebahagiaan masa depan akan kesatuan spiritual diwujudkan dalam kasih, harapan tidak diperlukan lagi. Dalam arti tertentu, harapan adalah kebajikan paradigmatik kehidupan duniawi.
Josef Pieper (filsuf Thomis klasik) memfokuskan refleksinya pada pemahaman mengenai kehidupan Kristen sebagai status viatoris dan pribadi manusia sebagai homo viator. Menjadi seorang viator berarti sedang dalam perjalanan (one on the way). Status viatoris bertentangan dengan status comprehensoris atau Beatific Vision di mana seseorang telah memahami, mencakup, dan tiba. Sebagaimana dikatakan Pieper, status viatoris menunjukkan tidak adanya pemenuhan dan orientasi menuju pemenuhan. Terkait hal ini, status viatoris dihapuskan dalam Beatific Vision di mana makhluk tidak bisa lagi bergerak menuju kehampaan dan orientasi kodratinya dengan harapan benar-benar terpenuhi melalui kasih.
Menurut Pieper, jalan manusia menuju kematian sebagai tujuan, bukan sebagai makna. Manusia berada di antara ada dan tidak ada. Kedekatan manusia dengan ketiadaan adalah sesuatu yang nyata, dan manusia yang sama didasarkan pada keberadaan absolut (absolute being). Homo viator tidak tergantung pada jurang ketiadaan (the abyss of nothingness), tetapi bergerak menuju keberadaan dan menjauh dari ketiadaan, mengarah pada relasi dan bukan pemusnahan.
Pieper meyakini bahwa status viator adalah hakikat pribadi manusia yang diatur oleh temporalitas. Terkait hal ini, kebajikan teologis dari harapan adalah berbalik dengan teguh menuju pemenuhan sejati kodrat manusia, yaitu Allah. Harapan ditandai dengan kesabaran dan keyakinan, tetapi tidak pernah dengan kepastian (certainty). Menurut Pieper, harapan juga terkait dengan kemurahan hati (magnanimity) dan kerendahan hati (humility). Kemurahan hati adalah tempat keberanian dan keyakinan dalam kemungkinan tertinggi dari sifat manusia. Sedangkan kerendahan hati sesuai dengan pandangan yang benar mengenai diri sendiri di hadapan Allah. Oleh karena itu, kerendahan hati tidak bertentangan dengan kemurahan hati. Kerendahan hati menawarkan batas harapan (limit to hope), sedangkan kemurahan hati adalah perpanjangannya.
GAGASAN RAHNER MENGENAI HARAPAN
Rahner meyakini tujuan akhir pribadi manusia dalam Allah. Masa depan atau utopia seperti yang dibayangkan Rahner menandai puncak perjuangan manusia. Perjuangan tersebut menggarisbawahi ketegangan antara realitas saat ini dan kebahagiaan masa depan di dalam Allah. Utopia, masa depan, dan telos menggoyahkan keberadaan manusia saat ini dengan menunjukkan bahwa realitas saat ini sebenarnya bersifat sementara. Eksistensi manusia tidak stabil dan tidak aman. Manusia tidak dapat menerima dengan nyaman bahwa ia tidak berasal dari dirinya sendiri, bergantung pada realitas lain, dan menuju suatu tujuan yang tidak dapat ditentukan. Manusia ingin menjadi agen bebas, tetapi tidak terbukti dengan sendirinya. Rahner mengingatkan bahwa realitas sejati (true reality) adalah Allah itu sendiri. Oleh karena itu, harapan adalah sikap kepercayaan bahkan dalam kemungkinan (contingency).
Terkait relasi antara realitas saat ini dan utopia, Rahner memusatkan perhatian pada signifikansi historis. Menurut Rahner, harapan adikodrati mendasari sejarah manusia dan harapan historis. Harapan pada Allah yang mendasari sejarah memaksa orang Kristen untuk berada di dunia dan bertanggung jawab atas dunia. Terkait hal ini, Allah tidak boleh direduksi menjadi sekadar kemegahan yang dengannya manusia meninggikan realitas dirinya sendiri. Sebagaimana diyakini Rahner, surga yang menjadi tujuan hidup manusia didasarkan pada kehidupan duniawi, di mana kehidupan kekal mengesahkan kehidupan historis. Tetapi kehidupan sebagai kesatuan dengan Allah adalah sesuatu yang diberikan oleh Allah dan tidak diraih melalui usaha manusia.
Menurut Rahner, manusia senantiasa berada dalam peziarahan. Manusia selalu menghadapi risiko melarikan diri dari khayalan idealis palsu atau melarikan diri ke dalam harapan duniawi murni. Penerimaan terhadap ketegangan tersebut persis seperti arti dari berharap. Karena harapan ditopang oleh rahmat dan melaluinya manusia mencapai Allah yang merupakan tujuan akhir hidupnya.
Rahner merenungkan keputusasaan (despair) dan kemungkinan dalam kehidupan manusia yang tidak terhindarkan. Kehidupan manusia ditandai dengan sukacita oleh telos pemenuhannya di dalam Allah. Selain itu, kehidupan manusia juga ditandai dengan keterbatasan, dosa, dan kematian. Terlepas dari keterbatasan dan dosa, Rahner mendorong berjuang untuk sejarah kehidupan manusia dengan penuh sukacita. Karena harapan dalam perspektif Kristen akan menghasilkan sukacita dan keyakinan akan Roh.
KRITIK JOHANN BAPTIST METZ TERHADAP RAHNER
Tujuan utama teologi Johann Baptist Metz yaitu mengartikulasikan teologi fundamental praktis. Metz mengklaim bahwa teologi politik (political theology) masuk ke dalam ranah pascametafisik dan pascatransendental, menolak idealisme Kantian dan abstraksi pribadi manusia dari sejarah. Menolak artikulasi teologis yang memisahkan praksis dari subjektivitas. Selain itu, menolak teologi transendental-eksistensial dan personalis. Metz mengadopsi situasi historis sebagai titik tolak teologinya, yaitu dunia yang dialami oleh subjek dan dimediasi oleh masyarakat.
Metz percaya bahwa Kekristenan abad XX mengalami krisis identitas yang dipicu oleh sekularisasi. Sebagaimana dikemukakan Metz, metafisika tradisional Kekristenan tidak lagi relevan mengingat adanya penolakan terhadap yang kudus (rejection of the holy) yang menjadi ciri khas masyarakat modern. Metz melihat adanya elemen yang hilang dalam teologi kontemporer, yaitu pemahaman otentik mengenai dunia. Teologi Katolik tradisional telah mempertahankan cara pandang yang kosmosentris, bukan antroposentris yang memusatkan perhatian pada kodrat dari sejarah yang konkret. Dalam cara pandang kosmosentris, dunia ada di dalam pikiran Allah dan dunia mengandung jejak Allah (the imprint of God). Terkait hal ini, cara pandang pascapencerahan menyajikan dunia berdasarkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan tindakan manusia. Sebuah dunia di mana manusia tidak lagi menemukan vestigia Dei, tetapi tanda-tanda aktivitasnya sendiri.
Mengingat kehidupan manusia di tengah dunia sekuler, Metz percaya bahwa teologi Kristen menempatkan keunggulan pada masa depan historis. Dunia dipahami dalam istilah baru (new) dan tidak pernah ada (never-having-been) di masa depan. Masa depan pribadi manusia menunjukkan sikap aktif terhadap dunia. Oleh karena itu, masa depan tidak memaksakan pada pribadi manusia. Tetapi sebagai sejarah, masa depan diciptakan oleh pribadi manusia. Menurut Metz, seruan doktrin penciptaan-inkarnasi surut dan secara intrinsik menghilang. Sedangkan eskatologi yang mendasari dunia sebagai sejarah dan keunggulan masa depan yang mengarah ke dalam teologi politik muncul ke permukaan.
Kritik utama Metz terhadap teologi Rahner mengambil bentuk moderat dan ekstrim. Bentuk moderat mengkritik generalisasi Rahner tentang pengalaman manusia yang tidak menghadapi sejarah dengan caranya sendiri (does not confront history on its own terms). Antropologi metafisik Rahner gagal mengambil sejarah penderitaan manusia, karena mengklaim bahwa pribadi manusia selalu sudah diberikan pemenuhan. Sehingga keselamatan selalu sudah diberikan kepada transendentalitas manusia dan sejarah melemahkan pengungkapan sejarah yang sebenarnya. Hal ini membuat keputusan dan tidakan manusia tidak perlu terperangkap dalam cakrawala transenden.
Metz menegaskan bahwa sejarah dan subjek manusia terlalu dispiritualisasi dalam teologi Rahner. Hal ini pada hakikatnya melarang Allah atau manusia untuk terlibat dalam tataran duniawi. Metz juga memberikan kritik terhadap Kristologi Rahner. Gagasan Rahner mengenai keselamatan tetap tidak jelas, karena Rahner gagal menggali karakter keberbedaan antara Allah dan dunia (God and the world). Untuk terlibat secara serius dalam konteks sekularisasi dan pluralisme, seseorang harus menerima perbedaan (difference) esensial antara Allah dan dunia. Iman harus terbuka terhadap realitas yang tidak absolut, tidak ilahi dari dunia.
Menurut Metz, teologi transendental Rahner menghentikan Kekristenan dengan desakannya pada privatisasi dan personalisme. Ketika seseorang mempertimbangkan dunia dengan caranya sendiri, maka ia harus mengakui sifat intersubjektif intrinsik dari pribadi manusia. Hal ini pada gilirannya menunjukkan perlunya suatu teologi politik yang muncul dari narasi yang merupakan satu-satunya bentuk artikulasi teologis yang memadai. Selain itu, Metz tidak melihat tempat nyata bagi Kristologi otentik dalam sistem teologi Rahner. Karena Rahner menekankan kebebasan hanya sebagai penegasan atau negasi dari kehadiran Allah yang sudah diberikan.
Secara ekstrem, Metz menuduh Rahner menghadirkan tautologi idealis. Menurut Metz, sejarah dan kontradiksinya menghilang dalam teologi transendental. Sedangkan sejarah hanya menjadi prasyarat kategoris untuk memahami manusia sebagai transendensi absolut. Perlu diketahui bahwa kritik yang disampaikan Metz terhadap Rahner tidak sepenuhnya memadai. Metz mendekati teologi dari mentalitas oposisi dialektis (mentality of dialectical opposition). Sedangkan Rahner menggunakan metode yang lebih sintetik (synthetic).
Metz mengklaim bahwa konsep sejarah Rahner mengkategorikan “belum” (not yet) masa depan dalam “sudah” (already), meremehkan tindakan dan pengalaman historis manusia. Metz menegaskan bahwa satu-satunya cara untuk menghormati penderitaan saat ini adalah dengan menggunakan gagasan alkitabiah mengenai janji (promise) seperti yang dinyatakan dalam narasi Kitab Suci. Tampaknya Metz salah menafsirkan Rahner dan Kitab Suci. Rahner berbicara mengenai antisipasi pribadi manusia, bukan kepemilikan dari tujuan transendentalnya. Selain itu, pemahaman alkitabiah mengenai perjanjian mencakup konsep relasi perjanjian yang langgeng.
Perkembangan eksistensi adikodrati Rahner dapat diterima di samping pemahaman alkitabiah mengenai kasih Allah yang kekal di tengah penderitaan. Menurut Rahner, rahmat Allah hadir bersama dengan pribadi manusia di tengah dunia. Terkait hal ini, permulaan (the beginning) tidak seperti akhir, karena permulaan adalah tawaran rahmat. Sedangkan akhir (the end) adalah tanggapan dan penyempurnaan dari tawaran rahmat, penyatuan Allah dan pribadi manusia yang memiliki implikasi nyata bagi dunia.
Pendapat Metz bahwa Rahner gagal mengenali perbedaan nyata antara Allah dan manusia serta transendensi dan sejarah tidak didukung oleh teologi Rahner. Rahner tidak meruntuhkan ciptaan menjadi Allah. Menurut Rahner, dalam penciptaan Allah memunculkan yang lain. Sedangkan dalam mengkomunikasikan diri-Nya, Allah mendekat dengan membentuk yang lain. Hal ini memerlihatkan bahwa subjek selalu mempertahankan alteritasnya (retains her alterity). Manusia adalah roh sejarah dan transendensi yang terbatas. Sedangkan Allah adalah esensi yang murni dan tidak terbatas.
Menurut Metz, karena pribadi manusia dirohanikan, ia tidak lagi membutuhkan harapan eskatologis. Terkait hal ini, Rahner mendefinisikan subjektivitas secara tepat sebagai pengalaman kemungkinan (the experience of contingency). Oleh karena itu, seluruh teologi Rahner mengartikulasikan apa yang mungkin (articulates what is possible). Seseorang tidak dapat mengetahui dengan kepastian mutlak, tetapi seseorang dapat berharap.
Rahner menyarankan bahwa Allah selalu ditegaskan, bahkan dalam tindakan eksplisit. Rahner juga mengklaim bahwa sejarah bergerak menuju tujuan transenden dan karena kebaikan mengalahkan kejahatan. Hanya ada satu telos dan itu adalah Allah. Jika Allah pada dasarnya tidak dapat dibandingkan, maka Allah dapat merangkul semua ciptaan dan sejarahnya, supaya tidak ada batasan yang dikenakan pada ketidakterbatasan Allah (God limitlessness). Allah dapat merangkul sejarah, bukan oleh kehendak ekstrinsik yang dipaksakan oleh ciptaan, tetapi dari kehendak internal Allah sendiri.
Allah mengelilingi semua sejarah dan mewujudkannya. Oleh karena itu, cakrawala transendental tidak dapat dihindari, karena jika ada tempat yang melampaui atau lolos dari cakrawala ini, maka Allah bukanlah Allah. Selanjutnya, Rahner menunjuk kematian sebagai gangguan dari narasi teleologis Thomistik. Dengan demikian, sejarah hanya akan mencapai akhir transendental kolektifnya melalui pengalaman kematian individu-pribadi.
Keselamatan menurut Metz tidak dibentuk sekali dan untuk selamanya oleh penawaran historis dan penerimaan rahmat yang sudah berlaku di dalam Yesus Kristus. Sebaliknya, setiap hari dibentuk oleh setiap orang untuk meniru Kristus. Sedangkan menurut Rahner, keselamatan adalah pelaksanaan kebebasan subjektif dalam sejarah untuk menyelesaikan apa yang telah dilakukan tidak dapat ditarik kembali di dalam Kristus.
Secara keseluruhan, Metz gagal mengenali konsepsi harapan Rahner. Metz menolak definisi harapan dalam kebebasan yang hanya terdiri dari penegasan atau penolakan terhadap Allah. Jika Rahner mendefinisikan harapan hanya sebagai persetujuan verbal, maka kritik Metz akan dibenarkan. Tetapi bagi Rahner, harapan memungkinkan individu untuk menghadapi semua pengalaman manusia. Harapan memungkinkan pribadi manusia menghadapi seluruh kisah sejarah manusia dan menempatkan dirinya di belakang setiap tindakan.
SUMBER BACAAN:
Murdoch, Jessica. “Between Heaven and History: Rahner on Hope”. New Blackfriars. Vol. 95, No. 1057 (Mei 2014), hlm. 263-284.
CATATAN: Tulisan ini pernah dimuat di dalam majalah GITA SANG SURYA, Vol. 17, No. 1 (Januari-Februari 2022), hlm. 44-50.