Di masa lalu, capat yang dibuat dari anyaman bambu dengan bentuk menyerupai terompet, digunakan oleh orang Manggarai untuk menjebak udang, belut, katak, kepiting dan lain-lain di sungai. Dilengkapi pemberat seperlunya, capat diletakkan di arus deras sore harinya. Ketika malam tiba, belut, udang, kepiting, ikan keluar dari sarang untuk mencari makanan. Ketika melewati arus deras itu dan terbawa arus mereka akan terjebak di capat.
Pagi hari, capat diangkat dan hasil tangkapan semalaman diambil untuk lauk. Begitulah cara orang tua mengasupi kebutuhan gizi keluarga dengan mengambil apa yang disediakan oleh alam, sungai yang bebas sampah plastik dan limpah. Ini adalah salah satu dari banyak cara leluhur Orang Manggarai berburu di sungai.
Kamis, 21 April 2022, di kantor Ekopastoral Fransiskan Pagal-Manggarai-NTT, tujuh pemuda yang adalah aspiran OFM-Pagal membuat capat dengan ukuran yang cukup besar. Rencananya capat ini akan dibawa ke kali kecil di tepi hutan lindung RTK 18, di belakang kantor Ekopastoral Fransiskan Pagal. Ada satu sumur yang digali di tepi kali kecil ini. Ekopastoral Fransiskan menarik air dengan mesin penarik air dari sumur ini untuk air minum dan kebutuhan MCK.
Apakah capat itu akan dipakai untuk menangkap katak, udang, belut dan ikan yang mungkin ada di kali kecil itu? Ceritanya tidaklah demikian. Koordinator Ekopastoral Fransiskan Pagal, Sdr. Johnny Dohut OFM mengatakan “Pagi ini, bertepatan dengan peringatan hari Bumi, 22 April 2022, kami memakai capat ini untuk menangkap sampah. Usai merayakan Ekaristi peringatan Hari Bumi, kami turun ke kali kecil itu untuk menangkap sampah yang selain meracuni semua kehidupan sepanjang kali kecil itu juga mencemari sumber air yang kami pakai di sumur itu.”
Capat Sampah
Aspiran OFM asal Lembawa, Krisantus Ale Ruing (21) mengungkapkan “Siang ini kami berhasil menangkap beragam jenis sampah plastik. Kemasan oli, karung, popok (pampers), dan pembalut berhasil dikumpulkan sepanjang lima puluh meter dari sumur Ekopastoral. Tim menghitung sampah pampers sebanyak 29 buah. Pemungutan sampah dihentikan siang ini karena hujan mengguyur hingga pukul 17.00 WIT.”
Dari mana asal sampah-sampah ini? Jangan pernah latah menuduh bahwa musang dan monyet monyet di seantero hutan ini sudah menghasilkan sampah plastik. Apalagi menuduh anak cucu mereka sudah doyan makan wafer, mie instan, atau bahkan sudah gemar memakai popok (pampers) dan pembalut!
Merujuk penuturan salah satu warga Ruing, dirinya menambahkan: “Selama ini, ada saja warga yang diam-diam datang ke tepi hutan ini dan membuang sampah di jembatan dan lalu hanyut dibawa banjir melewati kali kecil ini. Ada hal yang sangat sadar dilakukan. Orang keluar dari rumahnya saat hari mulai gelap atau siang-siang saat jalanan sepi untuk membuang karung berisi sampah-sampah rumah tangga.”
Tanpa pengawasan ketat dan penegakan aturan, perilaku membuang sampah di hutan dan sungai makin meraja lela. Selain di ruas jalan Pagal-Cibal Timur, juga sepanjang jalan Pagal-Gapong, ada begitu banyak tumpukan sampah.
Tim kami, ungkap Sdr. Johnny Dohut OFM, tidak menemukan seekor kodok pun siang itu. Mungkin mereka sedang mengungsi menghindari sampah-sampah plastik yang dibuang warga. itu.
“Saat ini, kalau saja orang memasang capat di kali kecil ini, jangan bermimpi akan mendapat udang, ikan dan belut. Yang paling banyak ditangkap pasti sampah plastik. Lebih dari itu, RTK 18 sangat penting untuk menopang hidup warga di Pagal. Mencemari hutan dan sungai yang mengalir dari hutan ini sama halnya dengan meracuni diri sendiri dan segala makhluk. Ini tentu saja segi yang sangat memprihatinkan dari peradaban nyampah ini! Orang kelimpungan mengatasi sampah rumah tangga kecilnya sambil menjadikan rumah tangga yang lebih besar, bumi rumah kita bersama sekalian mahluk, sebagai tempat sampah ukuran besar! ”
Mulai dari Rumah Sendiri
Dengan rasa heran Carlos Siga (19), Aspiran asal Riung, Ngada, mengatakan: “Kali kecil ini sudah jauh dari pemukinan tetapi masih saja dijejali sampah. Jangan tanya lagi perihal kali-kali yang dekat pemukiman, lima sepuluh meter dari rumah. Sudah pasti banyak sampahnya.”
Siga berharap agar ada kesadaran bersama untuk tertib mengolah sampah rumah tangga. “Janganlah senaknya membuang sampah di hutan dan di sungai-sungai!”
Harapan senada diungkap Bapak Richardus Barat SS (40) yang juga ambil bagian dalam aksi pagi hingga siang itu. “Membuang sampah pada tempatnya perlu dibiasakan di rumah masing-masing. Setiap keluarga perlu menyiapkan tempat sampah di rumah masing masing dan membiasakan diri untuk memisahkan sampah organik dan non organik. Yang non organik ini harus tahu betul bagaimana menanganinya agar tidak dibuang sembarangan. Selama, ini orang memilih membuang yang non organik ke sungai atau hutan sambil berusaha agar tidak kedapatan.“
Perihal menangani sampah popok, Ibu Lestari (33) berbagi pengalaman, “Popok-popok bayi sebetulnya bisa Dicuci di kloset. Jelly-nya dibuka dan ditaruh di tanaman, pisang atau labu, terutama untuk cadangan air di musim kemarau. Semenrata plastiknya bisa dibakar. Orang di sini banyak yang mau praktis saja. Setelah dipakai, ditaruh di karung, lalu dibuang ke sungai!” )***