Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

(Ketua Bidang Animasi JPIC OFM Indonesia—Magister Filsafat STF Driyarkara Jakarta)

Krisis lingkungan merupakan salah satu persoalan moral yang dihadapi manusia dewasa ini. Selain itu, krisis lingkungan menjadi topik perdebatan sengit di antara para politisi, ekonom, ilmuwan, pemerhati lingkungan sekuler, dan pemimpin agama. Mereka dengan lantang menegaskan bahwa planet menghadapi krisis lingkungan (the planet is facing an environmental crisis). Persoalan tersebut harus ditanggapi dengan serius, di mana seseorang tidak perlu menjadi ahli atau ilmuwan untuk menyadari krisis lingkungan. Karena manusia pada umumnya mengalami situasi dan kondisi krisis lingkungan, misalnya pemanasan global, polusi, dan bencana alam.

Krisis lingkungan menjadi persoalan serius, sehingga semua orang yang berkepentingan seperti ekolog, teolog, ilmuwan, pengusaha, pembuat kebijakan, dan ekonom harus menjadikannya sebagai agenda mendesak (urgent agenda) untuk membuat diskusi, perencanaan, dan tindakan. Semua orang yang berkehendak baik harus terlibat secara aktif dalam mencegah kerusakan ekologis (the ecological demages) yang menghancurkan manusia. Krisis lingkungan yang mencakup perubahan iklim, pemanasan global, hujan asam, penipisan lapisan ozon, penggurunan, penggundulan hutan, polusi udara, tanah, dan air mengancam keberadaan makhluk hidup serta kehidupan manusia di bumi.

Menurut para ilmuwan, krisis lingkungan dimulai pada awal abad XIX, di mana emisi gas rumah kaca menyebabkan perubahan iklim. Pada 1960, sejumlah ilmuwan menegaskan bahwa efek pemanasan dari gas karbon dioksida meningkat dan aktivitas manusia menjadi penyebabnya. Selanjutnya, pada 1962, Rachel Carson dalam Silent Spring menunjukkan bahwa pestisida sintetis memengaruhi lingkungan. Selain itu, Carson menuduh industri kimia menyebarkan disinformasi dan menggunakan pestisida dalam jumlah besar. Pestisida tersebut merusak lingkungan dan mengancam sistem ekologi. Perlu diketahui bahwa persoalan berbahaya tersebut pada waktu itu diabakian. Hal ini menjadi persoalan moral, karena kurangnya kesadaran untuk bertanggung jawab terhadap keberlanjutan lingkungan.

Pada 1967, Lynn White menerbitkan artikel di majalah Science dengan judul Akar Sejarah Krisis Ekologis Kita (The Historical Roots of Our Ecological Crisis) yang kemudian menjadi persoalan teologis. Dalam artikel tersebut, White menuduh Kekristenan mengembangkan sikap arogan terhadap alam dan melihat keberadaan alam untuk melayani umat manusia (to serve mankind). Oleh karena itu, Kekristenan menanggung beban rasa bersalah yang besar atas krisis ekologis kita saat ini. Dengan kata lain, Kekristenan tidak ramah terhadap lingkungan dan melakukan tindak kejahatan terhadap alam (crime against nature). White melihat persoalan tersebut terkait perintah dalam Kejadian 1:28, beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi. Terkait hal ini, White menyimpulkan bahwa agama Kristen bersifat antroposentris (anthropocentric), tidak ramah terhadap lingkungan.

GAGASAN MENGENAI EKOLOGI SETELAH KONSILI VATIKAN II

Yohanes Paulus II

Yohanes Paulus II memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi Ajaran Sosial Katolik (Catholic Social Teaching) mengenai isu-isu ekologi. Terkait hal ini, Sollicitudo Rei Socialis merupakan ensiklik Yohanes Paulus II yang secara eksplisit membahas persoalan lingkungan. Mengkaji relasi antara ekologi dengan martabat manusia dan perlindungan alam dengan moralitas pribadi. Yohanes Paulus II mengingatkan batas sumber daya yang tersedia dan kebutuhan untuk menghormati integritas serta siklus alam. Segala sesuatu yang ada di dunia ini memiliki batas dan manusia harus belajar untuk hidup dalam batas (to live in limits). Sollicitudo Rei Socialis mengidentifikasi tiga pedoman moral, yaitu penghormatan terhadap lingkungan, pelestarian sumber daya alam terutama sumber daya yang tidak terbarukan, dan pengendalian pencemaran.

Pada Hari Perdamaian Dunia (World Day Peace) 1990, Yohanes Paulus II menegaskan bahwa terdapat kesadaran di mana perdamaian dunia terancam tidak hanya oleh perlombaan senjata, konflik regional, dan ketidakadilan di antara orang-orang serta bangsa, tetapi juga oleh kurangnya rasa hormat terhadap alam, penjarahan sumber daya alam dan penurunan kualitas hidup yang progresif. Kerusakan alam semakin meningkat, misalnya penipisan lapisan ozon, limbah industri, hujan asam, efek gas rumah kaca, erosi tanah, penggundulan hutan tanpa batas, dan perusakan sumber daya. Oleh karena itu, Gereja dan lembaga keagamaan, organisasi non-pemerintah dan pemerintah, dan semua anggota masyarakat mempunyai tanggung jawab moral mengatasi krisis lingkungan.

Pada 1991, Yohanes Paulus II dalam Centesimus Annus mengemukakan demikian, bumi merupakan pemberian Allah untuk kelangsungan hidup manusia, tetapi bumi tidak menghasilkan buahnya tanpa tanggapan manusia terhadap pemberian Allah, yaitu berupa kerja (work). Melalui kerja dengan menggunakan kecerdasan dan kebebasan, manusia menjadikan bumi rumah yang layak (fitting home). Terkait hal ini, persoalan lingkungan dan konsumerisme adalah persoalan moral yang memengaruhi kehidupan masyarakat. Menurut Yohanes Paulus II, manusia tidak dapat menggunakan bumi secara sewenang-wenang, menundukkan bumi tanpa mengendalikan kehendaknya sendiri. 

Benediktus XVI

Benediktus XVI dalam Caritas in Veritate mengatakan, lingkungan adalah anugerah Allah bagi semua orang dan dalam pemanfaatannya, manusia memiliki tanggung jawab moral terhadap orang miskin (the poor), generasi mendatang, dan umat manusia secara keseluruhan. Manusia harus menghormatinya dan menggunakannya secara bertanggung jawab. Namun terdapat bahaya yang harus diwaspadai di mana melihat alam lebih penting daripada manusia, posisi tersebut mengarah pada sikap neopaganisme atau panteisme baru. Karena biosentrisme bukan jawaban untuk menyelesaikan krisis lingkungan, sehingga harus ditumbuhkan kesadaran bahwa ciptaan atau alam adalah anugerah Allah bagi umat manusia (the natural world is God’s gift to humanity).

Benediktus XVI juga membahas persoalan energi, di mana masyarakat internasional memiliki tugas mendesak untuk menemukan sarana kelembagaan yang mengatur eksploitasi sumber daya yang tidak terbarukan, yang melibatkan negara-negara miskin dalam prosesnya, merencanakan bersama untuk masa depan. Selain itu, pengawasan yang bertanggung jawab atas alam, melindunginya, menikmati buahnya, dan mengolahnya dengan cara baru. Tanggung jawab manusia yang tepat adalah kunci untuk menjaga lingkungan. Sehingga perlu perubahan mental yang efektif yang dapat mengarah pada gaya hidup baru (new life-styles). Manusia dapat hidup secara ekologis ketika mereka menjalani kehidupan yang sederhana. Melakukan pertobatan hati dan pikiran yang mengarah pada gaya hidup yang lebih adil. 

Paus Fransiskus

Paus Fransiskus menunjukkan fakta bahwa orang-orang termiskin di dunia adalah mereka yang paling terkena dampak degradasi lingkungan seperti pemanasan global, perubahan iklim, penggurunan, polusi, kekeringan, dan kekurangan air. Selanjutnya, pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2013, Paus Fransiskus berbicara mengenai konsumerisme dan budaya sampah. Manusia dipanggil tidak hanya untuk menghormati lingkungan alam, tetapi juga menunjukkan rasa hormat dan solidaritas dengan semua anggota keluarga manusia. Kebanyakan orang dan masyarakat saat ini mengkonsumsi sumber daya secara sembrono dan tanpa memperhatikan konsekuensinya bagi orang lain, ciptaan lainnya, dan planet.

Bentuk konsumsi hari ini dan budaya sampah (culture of waste) mengarah pada pemborosan sumber daya serta tidak menghormati tidak hanya sumber daya bumi, tetapi juga kehidupan manusia. Dalam hal makanan, Paus Fransiskus mengecam bahwa membuang makanan seperti mencuri makanan dari meja orang miskin, orang lapar (the hungry). Paus Fransiskus ingin orang-orang diilhami dengan semangat solidaritas untuk berbagi makanan dan sumber daya lainnya untuk kebutuhan orang miskin. Solidaritas paling baik dicontohkan dan ditunjukkan dengan berbagi (sharing).

Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium menegaskan demikian, lingkungan yang tidak berdaya di hadapan kepentingan pasar yang didewakan (the interests of a deified market) harus dilindungi. Terkait hal ini, manusia bukan hanya penerima manfaat, tetapi juga pelayan makhluk lainnya. Meskipun demikian, sering kali manusia didorong oleh keserakahan, arogansi kekuasaan, kepemilikan, manipulasi, dan eksploitasi. Oleh karena itu, manusia tidak melestarikan alam, tidak menghormatinya atau menganggapnya sebagai anugerah yang harus dijaga untuk melayani sesama dan generasi mendatang. Dengan demikian, Gereja perlu menemukan cara yang tepat untuk menangani krisis lingkungan, memfasilitasi ilmu pengetahuan terbaik dan niat baik semua orang.

Katekismus Gereja Katolik

Katekismus Gereja Katolik (The Catechism of the Catholic Church) juga memberikan kontribusi penting bagi kepedulian lingkungan, terutama nomor 2401 sampai 2418 membawa dimensi moral dan religius yang penting untuk masalah ekologi serta tanggung jawab terhadap ciptaan. Dalam sepuluh perintah Allah, perintah ketujuh mengatakan, jangan mencuri (thou shall not steal). Perintah tersebut melarang mengambil milik dan barang milik orang lain serta memerintahkan untuk menghormati segala sesuatu yang ada di dunia. Tujuan dari kekayaan bumi adalah untuk seluruh umat manusia dan makhluk lainnya, sehingga harus digunakan secara bijak oleh semua. Dibagi secara adil, sesuai dengan keadilan dan kasih. Perintah ini juga mempromosikan praktik keadilan dan kasih dalam pengelolaan kekayaan bumi serta hasil kerja manusia.

Katekismus Gereja Katolik dalam konteks perintah ketujuh, secara khusus nomor 2415-2418, membahas nilai penghormatan terhadap keutuhan seluruh ciptaan, tidak hanya hewan dan tumbuhan, tetapi juga semua makhluk tak hidup. Dalam menggunakan sumber daya mineral, manusia harus berhati-hati serta bijaksana agar tidak merusak lingkungan. Manusia dikaruniai rahmat dan kekuatan untuk merawat serta menjaga alam dan semua makhluk hidup lainnya. Dengan kata lain, kehadiran manusia harus sampai pada tataran melayani sebagai penatalayan yang baik. Terkait hewan, terdapat instruksi yang diberikan bahwa hewan dapat digunakan untuk makanan dan pakaian, tetapi tidak boleh disalahgunakan serta diperlakukan dengan kejam. Selain itu, mereka harus diperlakukan dengan hormat, belas kasihan, dan simpati, karena mereka adalah penolong manusia.

PERKEMBANGAN GAGASAN MENGENAI EKOLOGI

Kekristenan pada periode awal memandang dunia sebagai “yang terbatas” dan kemungkinan bertahan hidup dapat dicapai dengan merujuknya kepada Pencipta. Selain itu, dunia merupakan “peristiwa”, bukan “proses” yang dapat menjelaskan diri sendiri, tetapi dihasilkan penyebab lain. Terkait hal ini, tugas dan tanggung jawab moral manusia yaitu mengarahkan dunia kepada Sang Pencipta. Selanjutnya, pada periode Abad Pertengahan, Agustinus dan Boethius mendefinisikan manusia sebagai pribadi yang mempunyai akal budi. Manusia dipisahkan dari alam, tidak hanya sebagai “yang lebih tinggi”, tetapi sebagai ciptaan yang “paling penting”. Sebagaimana dikemukakan Agustinus, Kerajaan Allah tidak menyediakan tempat bagi alam, karena Kerajaan Allah terdiri dari kelangsungan hidup makhluk spiritual. Sedangkan pada periode modern, teologi mendapat tekanan dari ilmu alam dan biologi yang menuntut peninjauan ulang teologi tradisional. Hal ini memacu kesadaran Gereja untuk mulai memikirkan penggunaan ilmu biologi dan alam dalam kaitannya dengan tradisi Kristen untuk mengatasi krisis lingkungan.

Sebelum Konsili Vatikan II, Gereja lambat mengenali dan menanggapi gawatnya krisis ekologis. Mereka belum berbicara secara langsung mengenai degradasi lingkungan global (the global environmental degradation). Seiring berjalannya waktu, isi dan frekuensi ajaran Gereja tentang lingkungan secara bertahap meningkat. Meskipun demikian, harus diakui bahwa para pemimpin Gereja tidak banyak berbicara mengenai topik tersebut dan pesan yang mereka sampaikan tidak sampai ke masyarakat luas. Terkait hal ini, setelah Konsili Vatikan II dan secara khusus dalam dua dekade terakhir, fokus Gereja pada isu-isu lingkungan meningkat secara signifikan.

Gereja tidak bisa tinggal diam berhadapan dengan persoalan ekologi yang mengancam kelangsungan hidup seluruh keluarga manusia dan makhluk hidup lainnya. Gereja saat ini sangat prihatin atas bencana ekologis dan para korbannya. Dokumen-dokumen Gereja semakin mengungkapkan perhatian yang kuat terhadap kesejahteraan sistem ekologi (the well-being of the ecological system). Menanggapi krisis lingkungan yang mendesak, dokumen-dokumen Kepausan setelah Konsili Vatikan II, surat-surat Pastoral Konferensi Wali Gereja, dan berbagai macam dokumen lainnya membahas topik ekologi. Hal ini menuntut suatu upaya untuk mengenalkannya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Magisterium Gereja menunjukkan keprihatinan yang berkembang mengenai isu-isu ekologis setelah Konsili Vatikan II. Secara khusus Yohanes Paulus II, Benediktus XVI, dan Paus Fransiskus menyuarakan keprihatinan mendalam atas kehancuran ciptaan (the destruction of creation) dan mengimbau untuk mengembangkan kesadaran akan tanggung jawab moral terhadap alam dan perlindungannya. Mereka membuat berbagai macam seruan serius terkait komitmen yang lebih dalam untuk merawat ciptaan dan menghormati ekologi manusia serta semua bentuk kehidupan. Yohanes Paulus II berbicara mengenai krisis lingkungan terutama masalah polusi dan pemanasan global. Benediktus XVI melangkah lebih jauh dalam mempromosikan pemeliharaan lingkungan sebagai topik moral atau etika yang penting. Mendesak untuk melindungi lingkungan alam demi generasi mendatang. Paus Fransiskus meneladan Santo Fransiskus Assisi, orang yang miskin, damai, dan mencintai serta melindungi ciptaan.

Pada 1971, Paulus VI dalam Octogesima Adveniens mengatakan demikian, manusia tiba-tiba menjadi sadar bahwa dengan eksploitasi alam, ia beresiko menghancurkannya dan pada gilirannya menjadi korban degradasi ini. Selanjutnya, pada 1979, Yohanes Paulus II dalam Redemptor Hominis mengungkapkan keprihatinannya terkait meningkatnya eksploitasi bumi bersama dengan perkembangan teknologi yang mengabaikan etika ekologis (the ignores ecological ethics). Menurut Yohanes Paulus II, makna esensial martabat (kingship) dan kekuasaan (dominion) manusia atas ciptaan lainnya harus diubah menjadi relasi kekerabatan (kinship) serta kepedulian (caring).

Pada Hari Perdamaian Dunia (World Day of Peace) 1990, Yohanes Paulus II menegaskan bahwa kepedulian terhadap lingkungan harus menjadi agenda dialog ekumenis dan lintas agama. Sedangkan dalam Centesimus Annus, Yohanes Paulus II mengatakan demikian, adalah kehendak Pencipta bahwa manusia harus memperlakukan alam bukan sebagai penghisap yang kejam (ruthless exploiter), tetapi sebagai pengelola yang cerdas dan bertanggung jawab. Selain itu, manusia harus mengakui bahwa tanpa lingkungan atau dunia yang diciptakan (created world), mereka tidak akan hidup. Sehingga manusia mempunyai tanggung jawab merawat ciptaan sebagaimana mereka merawat diri mereka sendiri dan kelangsungan hidup mereka.

Pada 2009, Benediktus XVI dalam Caritas in Veritate menyebut manusia sebagai pelayan bumi yang bertanggung jawab (human beings as responsible stewards of the earth), yaitu melindunginya, menikmati buahnya, dan mengolahnya dengan cara baru. Peduli terhadap lingkungan demi generasi mendatang, karena lingkungan yang sehat adalah salah satu warisan terbaik yang dapat diwariskan oleh generasi sekarang kepada generasi mendatang. Terkait hal ini, Paus Fransiskus sering berbicara mengenai ekologi manusia (human ecology) dalam kaitannya dengan ekologi lingkungan (the environmental ecology). Manusia melindungi lingkungan dan pada gilirannya lingkungan melindungi manusia. Terjadi relasi saling membutuhkan untuk perawatan, perlindungan, bertahan hidup, dan hidup dengan baik.

Pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World Environment Day) 2013, Paus Fransiskus berbicara mengenai semangat solidaritas (spirit of solidarity) yang didasarkan pada tanggung jawab moral kita bersama untuk bumi dan untuk semua saudara serta saudari kita dalam keluarga umat manusia. Solidaritas tersebut harus dipromosikan di atas konsumerisme (consumerism) dan budaya sampah (culture of waste). Sedangkan pada Minggu Paskah (Easter Sunday) 2013, Paus Fransiskus berkata demikian, marilah kita menjadi saluran yang melaluinya Allah dapat mengairi bumi, melindungi semua ciptaan dan membuat keadilan serta perdamaian berkembang. Kemudian dalam Evangelii Gaudium Paus Fransiskus menegaskan bahwa manusia bukan hanya penerima manfaat (beneficiaries), tetapi juga pelayan makhluk lain. Karena perkembangan manusia dan ekologi berjalan beriringan, keduanya tidak dapat dipisahkan.

Paus Fransiskus dalam Laudato Si menekankan pertobatan ekologis, suatu bentuk penyesalan manusia. Karena manusia telah memperlakukan ciptaan secara keliru. Sehingga diperlukan kesadaran bahwa seluruh ciptaan merupakan persekutuan universal. Selain itu, Yang Ilahi menciptakan segala sesuatu untuk mengkomunikasikan diri-Nya. Paus Fransiskus juga menegaskan pentingnya hidup dalam sukacita dan kedamaian, belajar dari tradisi agama, para pendahulu, dan Kitab Suci berkenaan dengan kesederhanaan. Kegagalan menghidupi ajaran Kitab Suci membuat manusia tergoda ketika menghadapi konsumerisme, kebahagiaan semu. Akhirnya, Paus Fransiskus juga berbicara mengenai cinta dalam konteks persaudaraan universal, yaitu mempraktikkan ekologi integral dalam kehidupan sehari-hari.

IMPLIKASI MORAL

Berdasarkan uraian di atas, terdapat lima implikasi moral. Pertama, aktivitas manusia yang berkuasa tanpa batas atas bumi mengakibatkan krisis lingkungan. Harus diakui bahwa eksploitasi alam bukan hal baru, hasil dari proses sejarah dan budaya yang panjang. Era modern telah menunjukkan peningkatan kapasitas manusia mengintervensi alam. Sehingga penaklukkan dan eksploitasi sumber daya telah menjadi dominan. Oleh karena itu, kebebasan eksploitasi yang sewenang-wenang dan mementingkan diri sendiri harus diubah dengan mengejawantahkan tanggung jawab moral merawat lingkungan. Mengingat situasi kontemporer semakin buruk apabila dibandingkan dengan periode sebelumnya.

Kedua, penting untuk melindungi keanekaragaman hayati yang merupakan kekayaan bagi seluruh umat manusia. Upaya melestarikan keanekaragaman hayati dan sumber-sumber alam untuk generasi mendatang harus dilakukan oleh individu, negara, dan komunitas internasional. Tanggung jawab moral terhadap lingkungan juga harus menemukan ekspresi yang memadai pada tingkat yuridis. Selain itu, menyadari bahwa sumber daya alam terbatas dan sejumlah sumber daya alam tidak dapat diperbarui. Sehingga terdapat kewajiban mendesak untuk mempertimbangkan kembali cara penggunaan kekayaan alam. Untuk mencapai target tersebut, semua pelaku kegiatan ekonomi harus menghormati lingkungan dan peduli dengan menjaga lingkungan.

Ketiga, relasi antara aktivitas manusia dan perubahan iklim harus dipantau secara tepat serta terus-menerus dalam perspektif ilmiah, politik, dan yuridis di tingkat nasional serta internasional. Alam harus dilindungi dan mengingatkan para pelaku kegiatan industri untuk mengembangkan rasa tanggung jawab. Terkait hal ini, gagasan mengenai kebaikan bersama mengandung arti bahwa segala sesuatu yang ada di bumi dimaksudkan untuk semua manusia, termasuk generasi mendatang. Sehingga lingkungan membutuhkan perawatan yang tepat dan perlindungan yang memadai dari pemerintah serta masyarakat.

Keempat, masyarakat adat adalah salah satu korban yang paling terkena dampak krisis ekologis. Orang-orang termiskin dari negara-negara termiskin memang paling menderita akibat dampak negatif perubahan iklim dan degradasi lingkungan. Krisis lingkungan dan kemiskinan terkait dengan serangkaian penyebab yang kompleks serta dramatis yang dapat diselesaikan dengan prinsip tujuan universal kekayaan alam, menawarkan orientasi moral dan budaya yang mendasar. Mengupayakan gaya hidup baru yang mendukung kebaikan bersama dan keberlanjutan. Mengejawantahkan sikap hormat, kesederhanaan, dan disiplin diri baik di tingkat individu maupun sosial untuk melindungi ciptaan.

Kelima, pendekatan Gereja terhadap krisis lingkungan saat ini perlu mempertimbangkan ajaran Kitab Suci dalam tradisi Kristen yang merupakan sumber utama teologi. Kitab Suci memberikan pedoman yang berharga dan penting untuk mengupayakan cara yang tepat untuk memahami makna penatalayanan terhadap ciptaan Allah. Kitab Suci menunjukkan arti dan perhatian utama serta tujuan penciptaan. Selain itu, Kitab Suci memberikan visi yang dapat membentuk dan memandu tindakan manusia untuk memajukan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan.

PENUTUP

Peran manusia di bumi adalah menjadi pemelihara yang bertanggung jawab bagi semua makhluk. Manusia diciptakan dan dipanggil oleh Allah untuk menjadi penatalayan (stewards) dan melayani seluruh ciptaan. Semua makhluk hidup, termasuk manusia, bergantung pada Allah dan seluruh ciptaan dipanggil untuk bergabung serta memuji-Nya. Dalam hal ini, Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI menekankan keutuhan ciptaan serta perlindungan dan pemeliharaan lingkungan. Mereka menegaskan pentingnya kepedulian yang tulus terhadap kaum miskin dan generasi mendatang. Terkait hal ini, terdapat tiga gagasan yang dapat dipelajari, yaitu prinsip kebaikan bersama, subsidiaritas, dan solidaritas.

Prinsip subsidiaritas merupakan penghormatan terhadap martabat manusia dalam kaitannya dengan lingkungan hidup. Kemudian prinsip solidaritas mendorong manusia untuk mencintai sesama, terutama yang miskin, dan keberpihakan terhadap yang miskin (preferential option for the poor) meluas ke dunia yang diciptakan, karena manusia serta ekologi saling terkait erat. Dengan cara yang sama, Paus Fransiskus menekankan relasi antara perlindungan manusia (the protection of people) dan perlindungan lingkungan (the protection of the environment). Paus Fransiskus sangat prihatin dengan bumi yang dieksploitasi dan orang-orang yang terpinggirkan yang paling menderita dari dampak perubahan iklim serta degradasi lingkungan. Sehingga penting untuk menghormati dan melindungi lingkungan alam dan hidup dalam solidaritas dengan semua anggota keluarga manusia.

Manusia harus terlibat secara konsisten dalam melindungi dan menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan alam. Selain itu, harmoni alam dan harmoni dengan ciptaan juga harus menjadi perhatian. Memperlakukan alam dengan hormat dan tidak menyalahgunakannya. Hal ini membutuhkan strategi seperti pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang meliputi kecukupan, konsistensi, dan efesiensi. Harapannya dapat mencapai keberlanjutan di tingkat ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sehingga kebajikan kehati-hatian, kerendahan hati, dan kesederhanaan merupakan elemen penting dalam mengejawantahkan etika lingkungan (environmental ethics). Kebajikan harus memandu keputusan dan perilaku manusia sehari-hari. Sehingga manusia dapat hidup dengan rasa hormat terhadap lingkungan alam. Akhirnya, sebagai orang Kristen, kita harus mendedikasikan diri sepenuhnya untuk melestarikan dan menyelamatkan lingkungan.

SUMBER BACAAN:

REH, PAUL THU. Post Vatican II Teaching on Environmental Stewardship. Lisboa: Universidade CatĂłlica Portuguesa, 2015.

CATATAN: Tulisan ini pernah dimuat di dalam majalah GITA SANG SURYA, Vol. 17, No. 2 (Maret-April 2022), hlm. 23-29.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here