Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

(Ketua Bidang Animasi JPIC OFM Indonesia—Magister Filsafat STF Driyarkara Jakarta)

PENGANTAR

Sri Aurobindo mempunyai tiga keyakinan yang ia sadari dan pegang teguh sepanjang hidupnya. Pertama, kebajikan, bakat, pendidikan, pengetahuan, dan kekayaan yang dimiliki manusia pada dasarnya adalah milik Yang Ilahi. Kedua, manusia mempunyai hasrat untuk mengetahui dan menuntut bukti keberadaan Yang Ilahi. Ketiga, masyarakat memandang negara sebatas objek yang tidak bergerak. Oleh karena itu, negara diidentikkan dengan dataran, ladang, hutan, gunung, dan sungai. Terkait hal ini, Aurobindo memandang negara sebagai ibu (mother), tempat di mana ia dilahirkan dan mengemban misi agung, yaitu menghadapi dan menyelesaikan berbagai macam persoalan.

HIDUP DAN KARYA-KARYA SRI AUROBINDO

Sri Aurobindo lahir di Calcutta-India pada 15 Agustus 1872. Aurobindo merupakan anak dari Krishnadhan Ghose dan Swarnalata Devi. Kata Sri secara tradisional digunakan sebagai tanda penghormatan (mark of respect). Sedangkan Aurobindo dalam bahasa Sanskerta berarti teratai (lotus), simbol kesadaran ilahi (divine consciousness). Ia menerima pendidikan dasar di sekolah biara (convent school) yang diperuntukkan bagi anak-anak Eropa. Pada 1879, Aurobindo dibawa oleh ayahnya ke Inggris untuk menempuh pendidikan di Manchester dan Sint Paul’s School London. Selanjutnya pada 1889, ia mulai belajar di King’s College Cambridge.

Sejak kecil Aurobindo mempunyai kegemaran menulis. Minat tersebut dikembangkan ketika ia belajar di Manchester (1879-1884). Karya pertama Aurobindo berupa kumpulan puisi Songs to Myrtilla (1895). Sedangkan karya terakhirnya berjudul Savitri (1950). Aurobindo banyak menulis mengenai Yoga, budaya, dan sosiologi. Ia mengusulkan kosmologi baru (new cosmology) dan metafisika baru (new metaphysics) dalam Life Divine. Melalui karya tersebut Aurobindo merevolusi konsepsi psikologi dan memberikan pendasaran baru.

Aurobindo merumuskan pendekatan baru mengenai sosiologi dalam The Human Cycle. Ia menunjukkan melalui sistem pemikiran sosial dan politik masa lampau serta saat ini mengenai pentingnya sikap spiritual sebagai landasan tatanan sosial (social order). Pendekatan tersebut ia perluas dalam bidang politik internasional dalam The Ideal of Human Unity. Terkait pendidikan, Aurobindo mendorong pertumbuhan kesadaran integral setiap peserta didik. Perlu diketahui bahwa dalam The Synthesis of Yoga ia menguraikan semua sistem Yoga.

The Secret of the Vedas, The Essays on the Gita, dan sejumlah tulisan mengenai Upanishad yang dikerjakan Aurobindo, membuka cara baru mempelajari teks-teks India kuno. Selain itu, ia menawarkan cara menafsirkan budaya India dalam The Foundations of Indian Culture. Sedangkan dalam The Future Poetry, Aurobindo menyusun teori sastra. Harus diakui bahwa karya-karyanya memberikan kekuatan bagi para pembaca untuk melakukan tindakan dan transformasi diri. Ia juga meyakini peranan pendidikan dalam rangka mencapai kesempurnaan. Setelah menjalani dinamika kehidupan dan menghasilkan berbagai macam karya, Aurobindo meninggal pada 5 Desember 1950 di Puducherry-India.

SEKILAS TENTANG FILSAFAT YOGA

Yoga berasal dari kata yuj yang berarti mengikat dan menggabungkan. Perlu diketahui bahwa di India kata yoga digunakan sebagai sinonim untuk praktik keagamaan (religious practice) dan sistem filsafat (system of philosophy). Yoga yang dikenal oleh sebagian besar orang Barat adalah Hatha Yoga yang terdiri dari latihan tubuh. Menurut Patanjali, yoga merupakan upaya metodis untuk mencapai kesempurnaan (perfection) melalui pengendalian fisik dan psikis. Ia meyakini bahwa keselamatan dapat dicapai dengan cara hidup disiplin.

Sistem yoga menerima psikologi dan metafisika Sāmkhya. Namun, sistem yoga jauh lebih teistik daripada Sāmkhya. Terkait hal ini, ego berbeda dari diri dan bergantung pada pengalaman dunia. Ego ditandai dengan kegelisahan dan rasa tidak puas. Selain itu, ego tunduk pada lima penderitaan, yaitu ketidaktahuan (ignorance), identifikasi yang tidak tepat terhadap tubuh dan jiwa, kemelekatan (attachment), kebencian (hatred), dan ketakutan akan kematian (the dread of death).

Sistem yoga menjunjung tinggi disiplin praktis, latihan spiritual dan mengendalikan keinginan. Oleh karena itu, yoga memberikan delapan metode, yaitu pantang, ketaatan, mengatur sikap tubuh, mengendalikan pernapasan, mengatur indera supaya pikiran tenang, memfokuskan pikiran pada objek tertentu, kontemplasi, dan konsentrasi. Melalui praktik yoga seseorang akan memperoleh ketenangan spiritual (spiritual calm), kebajikan moral (moral virtue), dan kebebasan spiritual (spiritual freedom).

PENCARIAN SPIRITUAL DAN PEMIKIRAN FILOSOFIS SRI AUROBINDO

Terdapat tiga persoalan mendasar yang mengarahkan pencarian spiritual dan pemikiran filosofis Aurobindo. Pertama, paradoks kehidupan bangsa India. Aurobindo menghormati keluhuran visi kebenaran (truth-vision) yang dicapai orang bijak kuno India. Hal ini terkait upaya selama berabad-abad mengatur kehidupan masyarakat supaya selaras dengan nilai-nilai spiritual tertinggi (the highest spiritual values). Pada tataran tertentu dapat dikatakan bahwa spiritualitas (spirituality) merupakan kunci utama peradaban India. Namun, mengapa India tertinggal dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan sains? Apakah spiritualitas menyebabkan India mengalami keterbelakangan?

Kedua, pertentangan antara mistisisme dan tindakan (mysticism and action), pembebasan penuh (complete liberation) dan pengetahuan diri (self-knowledge) serta keberadaan fisik aktif (active physical existence) dan partisipasi sosial (social participation). Sri Ramakrishna menegaskan bahwa Narendra atau Swami Vivekananda dikatakan bertindak untuk kebaikan orang lain apabila ia tidak menyadari identitas spiritualnya. Ketika ia menyadari identitas spiritualnya, ia akan menyerahkan tubuhnya (give up the body).

Gagasan tersebut selaras dengan pandangan Vedantik tradisional mengenai tubuh yang dilihat sebagai sesuatu yang tidak nyata (unreal) dan identifikasi terhadap tubuh dinilai sebagai ketidaktahuan utama (primal ignorance). Selama orang terpelajar tidak melepaskan identifikasi tubuh yang tidak nyata, tidak akan ada diskursus mengenai emansipasi, meskipun ia memahami filsafat Vedanta. Kemudian muncul pertanyaan, apakah ada dikotomi antara tubuh dan diri (the body and the self)? Apakah realisasi diri tertinggi (supreme self-realization) tidak selaras dengan partisipasi aktif di dunia? Apakah keberadaan fisik manusia di dunia sekadar ilusi (illusion)?

Ketiga, kepedulian terhadap masa depan peradaban manusia. Aurobindo tidak hanya tertarik terhadap eksistensi India sebagai bangsa (nation), tetapi juga terhadap eksistensi seluruh umat manusia dalam dinamika sejarah (the dynamic of history). Sejak awal peradaban, orang-orang yang berkuasa dalam sejarah merasakan kebutuhan untuk mempersatukan umat manusia (unifying the human race). Kebutuhan untuk membentuk tatanan dunia (world-order) berdasarkan suku, ras, dan bangsa yang beragam. Namun, apakah hal ini dapat dilakukan secara konsisten dengan mengakui nilai intrinsik, martabat, dan kebebasan manusia? Apakah persatuan dunia dapat dicapai secara konsisten berdasarkan hak untuk menentukan nasib sendiri dari setiap kelompok etnis, bahasa, dan budaya yang beragam? Apa prinsip pemersatu yang paling utama?

KESENJANGAN ANTARA KEBIJAKSANAAN ROHANI DAN KEMAJUAN SOSIAL

Ketika merenungkan persoalan pertama, Aurobindo meneliti kitab suci kuno yang paling otoritatif di India, yaitu Weda, Upanisad, dan Gītā. Ia menemukan bahwa spiritualitas asli India kuno yang disebutnya sebagai Ādi Vedānta meneguhkan dunia (world-affirming) dan memasukkan kehidupan masyarakat ke dalam berbagai macam aspek. Hal ini memungkinkan dikembangkannya skema kehidupan yang seimbang dan mencakup semuanya. Sehingga alam semesta ditegaskan sebagai manifestasi kegembiraan (manifestation of delight). Menurut Aurobindo, melalui kegembiraan segala sesuatu dilahirkan, ada dan tumbuh (exist and grow). Sehingga gagasan Śamhkara-Vedānta mengenai hidup sebagai mimpi atau mimpi buruk (life as a dream or nightmare) dan bayangan atau fantasi yang tidak nyata (phantasmagoria) terhindar dari pikiran para penafsir kuno tradisi India.

Cita-cita pembebasan pada zaman Weda kuno dimaksudkan bukan sebagai pelepasan dari siklus kelahiran dan kematian (the cycle of birth and death), tetapi sebagai pembebasan dari belenggu keegoisan dan ketidaktahuan (the bonds of ignorance and selfishness). Terkait hal ini, nilai tertinggi yang ditekankan adalah kelahiran atau manifestasi kemuliaan ilahi (manifestation of divine glory) dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, para resi Veda memanjatkan doa dan memberikan korban persembahan kepada dewa. Secara spiritual, tindakan tersebut dimaksudkan untuk mengubah kehidupan manusia di bumi menjadi lebih baik. Sebagaimana dikatakan Aurobindo, melalui pujian dan persembahan yang diberikan kepada para dewa, manusia dilahirkan serta diciptakan kembali.

Pada periode Abad Pertengahan, sikap optimis-afirmatif terhadap kehidupan digantikan oleh kecenderungan yang meniadakan kehidupan (life negating tendency). Ketika intuisi dan pengalaman integral menyerah pada analisis intelektual, hal ini memicu para pertapa menuju ketenangan monastik (monastic quietism) dan menjauh dari tugas sosial-politik serta organisasi nasional. Sejarah menunjukkan bahwa pada waktu itu terjadi penaklukkan politik India yang panjang di bawah penjajahan asing. Berhadapan dengan situasi dan kondisi tersebut, para pertapa menjunjung tinggi doktrin mengenai ketidakrealitaan dunia (the unreality of the world).

Aurobindo yang merupakan salah satu pelopor kemerdekaan India, menumbuhkan dan mengembangkan filosofi hidup untuk menegaskan kembali realitas dunia dari sudut pandang kebermaknaan tindakan sosial-politik. Terkait filosofi hidup, ia memasukkan perspektif evolusioner dari Barat modern ke dalam mistik tradisional India. Aurobindo memperlihatkan struktur evolusi proses dunia secara logis berdasarkan konsep energi kreatif yang melekat dalam realitas tertinggi (ultimate reality).

Alam semesta dalam struktur esensialnya adalah nyata (real), nyata dilihat bukan dari sudut pandang ketidaktahuan (ignorance), tetapi dari perspektif pengetahuan tertinggi (supreme knowledge). Terkait hal ini, alam semesta merupakan ekspresi energi murni (śakti) dan keberadaan murni (sat, Śiva, purusa). Sedangkan Brahman sebagai landasan tertinggi alam semesta adalah kesatuan yang tidak terpisahkan dari keberadaan murni dan energi murni (pure existence and pure energy). Perlu diketahui bahwa keberadaan dan energi merupakan pusat kesadaran integral (integral awareness) Brahman yang merupakan landasan filsafat integral Aurobindo.

Filsafat Sāmkhya di India memisahkan keberadaan murni dari energi dan mengacu pada dualisme roh dan alam (purusa dan prakrti). Vedānta Śamkara juga memisahkan keduanya dan menegaskan bahwa energi kosmik adalah energi ketidaktahuan (avidyā) serta tidak nyata (unreal) dari sudut pandang keberadaan pancaran diri murni (purusa, Brahman). Ketika memisahkan keberadaan dari energi, Śamkara dan Śamkara Vedānta memvisualisasikan cita-cita kehidupan spiritual tertinggi sebagai pembebasan dari dunia, berdiam dalam diri yang bahagia, dan melepaskan diri dari kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.

Aurobindo memasukkan gagasan integralnya ke dalam struktur Brahman dalam terminologi spiritual-metafisik tradisi India. Ia menafsirkan landasan tertinggi alam semesta (Brahman) sebagai Pribadi Tertinggi (Purusottama) yang memperoleh rahmat melalui energi kreatif yang tidak terbatas (infinite creative energy). Aurobindo menegaskan bahwa Pribadi Tertinggi (Supreme Person) merupakan kesatuan antara kesempurnaan yang tidak berubah dan tidak dapat diubah (aksara purusa) serta roh dunia yang selalu berubah dan berkembang (ksara purusa).

Aurobindo menafsirkan Yang Mahatinggi (Supreme Being) sebagai yang tidak dapat ditentukan (nirguna) dan yang menentukan (saguna). Karena Yang Mahatinggi pada hakikatnya tidak berwujud, tidak terlukiskan, dan secara kekal dimanifestasikan sebagai kebahagiaan, kesadaran, dan keberadaan yang tidak terbatas (saccidānanda). Pribadi Tertinggi mengungkapkan eksistensi-Nya yang tidak terbatas dalam tatanan dunia (lokas). Sebagaimana dikatakan Aurobindo, Pribadi Tertinggi adalah Penguasa Alam Semesta (Īśvara) yang menghendaki, mengatur, dan memiliki dunia.

Aurobindo meyakini bahwa dalam Pribadi Tertinggi, keberadaan dan energi yang tidak terbatas dapat disatukan. Karena Pribadi Tertinggi (Purusottama) adalah realitas substantif yang dirahmati dengan energi kreatif tanpa batas dan segala sesuatu berada di bawah kendali-Nya. Selain itu, Pribadi Tertinggi mempunyai karakter maha baik, maha kuasa, maha bijak, dan maha kasih. Hal ini berguna sebagai sumber inspirasi dan acuan tindakan manusia.

DIKOTOMI TUBUH DAN DIRI

Persoalan kedua terkait dengan relasi antara tubuh dan diri (ātman). Dalam filsafat India dan psikologi Yoga tidak ditemukan dualisme kodrati (natural) dan adikodrati (supernatural). Perlu diketahui bahwa kodrati dan adikodrati merupakan dua cara berada yang berbeda. Tetapi dalam metafisika India, kodrati dan adikodrati dipahami sebagai dua tingkat manifestasi energi kreatif yang sama (prakrti, śakti, māyā). Menurut Aurobindo, keduanya dibedakan sebagai Alam yang lebih rendah dan yang lebih tinggi, tetapi keduanya adalah manifestasi dari Alam yang sama.

René Desecartes mewariskan kepada filsafat Eropa dualisme absolut antara akal budi dan materi (mind and matter) yang menimbulkan persoalan relasi antara jiwa serta tubuh. Persoalan tersebut tidak ada dalam filsafat India yang menempatkan jiwa dan tubuh sebagai hasil evolusi dari energi kreatif Alam yang sama. Tetapi metafisika India telah lama dilanda dualisme yang sangat halus, yaitu dualisme Roh dan Alam (Spirit and Nature) atau kesadaran yang tidak berbentuk dan energi yang memproyeksikan bentuk (purusa dan prakrti, ātman dan māyā, Brahman dan śakti).

Roh adalah kesadaran murni tanpa bentuk, sempurna selamanya, mandiri, tidak berubah, dan tidak dapat diubah. Energi yang memproyeksikan drama kosmik adalah energi ketidaktahuan (Samkara-Vedānta) atau energi alam yang secara eksistensial terpisah dari Roh (Sāmkhya). Oleh karena itu, ketika seseorang mencapai realisasi penuh dari Roh atau Diri, ia mengalami tubuhnya sebagai beban, entitas asing atau bukan diri (anatman).

Meskipun tubuh dan jiwa adalah sesuatu yang asing serta tidak nyata, seseorang dapat terus hidup dan bertindak seolah-olah itu adalah bagian dari keberadaannya sendiri. Meskipun dunia ini tidak nyata, seseorang dapat terus berperilaku seolah-olah itu nyata. Seperti seorang aktor di atas panggung yang tampil seolah-olah peran panggungnya adalah peran di dunia nyata. Ketika ketidaktahuan dalam bentuk khayalan dilenyapkan, Diri yang terbebaskan menyerahkan tubuh dan menjadi sungguh-sungguh menyatu dengan kesadaran abadi yang murni dan tidak dapat berubah.

Menurut pandangan integral Aurobindo, tidak ada dikotomi antara Diri dan struktur tubuh serta pikiran. Tubuh dan jiwa merupakan hasil dari energi (prakrti), tetapi energi dalam analisis tertinggi adalah energi Diri atau Roh itu sendiri. Pada tahap evolusi, tubuh dan jiwa merupakan bentuk Roh yang tidak sempurna. Tetapi melalui terang dan kekuatan kesadaran kebenaran adikodrati (vijnāna, rta-cit), keberadaan total psiko-fisik orang tersebut dapat diubah menjadi gambaran dan bentuk Roh yang sempurna. Menurut Aurobindo, jiwa dapat turun ke dalam kegelapan keberadaan fisik tanpa kehilangan kekuatan penuh tindakannya. Hal ini menunjukkan letak potensi terdalam manusia. Kesadaran akan potensi tersebut akan menghilangkan keterasingan mistik manusia yang telah dibebaskan dari struktur jiwa dan tubuh.

Aktualisasi potensi adikodrati manusia merupakan tujuan akhir dari yoga Aurobindo. Transformasi adikodrati pribadi manusia dianggap penting untuk merekonstruksi masyarakat berdasarkan prinsip persatuan dalam keragaman (unity in diversity), damai dengan keadilan (peace with justice), dan kasih dengan kebebasan (love with freedom). Perlu diketahui bahwa akal budi manusia pada hakikatnya merupakan prinsip dikotomis (the principle of dichotomous). Akibatnya, akal budi dapat berpikir untuk membangun persatuan hanya dengan membekap kebebasan (smothering freedom).

Ketika menganalisis kepribadian manusia, Aurobindo memperkenalkan berbagai macam perbedaan metafisik yang halus. Misalnya, ia membedakan antara Diri individu yang abadi, tidak dapat binasa, dan transenden (Jīvātman) dan pengada psikis yang terus berkembang (caitya purusa). Mengikuti metafisika tradisional India, Aurobindo membedakan antara organisme fisik kasar dan tubuh halus (sūksma deha) yang terdiri dari energi kehidupan, akal budi, organ indera, intelek, ego, dan pengada psikis (antarātman). Diri individu yang dirahmati dengan tubuh halus mampu terlepas dari organisme fisik. Setelah meninggalkan tubuh fisik kasar pada saat kematian, ia mendiami alam kesadaran halus berdasarkan karman masa lalunya sampai siap untuk bereinkarnasi di alam fisik untuk melanjutkan evolusinya lebih lanjut.

PERSOALAN KESATUAN MANUSIA

Persoalan ketiga yang mendorong pemikiran Aurobindo adalah masa depan manusia dan kebutuhan akan penyatuan seluruh umat manusia (the unification of all mankind). Dalam sejarah perjalanan hidup manusia, berbagai macam prinsip pemersatu telah dicoba untuk membawa ke dalam tatanan dunia yang harmonis (harmonious world-order) yang terdiri dari ras dan bangsa yang beragam. Perlu diketahui bahwa para diktator besar dunia mempunyai impian untuk mempersatukan umat manusia di bawah bendera satu kerajaan (the banner of one empire). Namun, pembangunan kekaisaran melalui kekerasan dan dominasi imperialistik berujung pada kesia-siaan. Karena kebutuhan manusia akan kebebasan tidak kalah fundamental dengan kebutuhan akan persatuan. Terkait hal ini, kekerasan yang disertai penindasan kebebasan melanggengkan keberadaan rezim diktator.

Upaya untuk mempersatukan umat manusia juga dilakukan melalui agama. Setiap agama besar dunia mempunyai impian untuk menaklukkan dan menyatukan umat manusia di bawah naungan Yang Ilahi berdasarkan keyakinan mereka sendiri. Hal ini ditempuh melalui pertobatan (conversion) dan persuasi yang penuh kasih (loving persuasion). Tetapi harus diakui bahwa pluralisme iman tertanam dalam jiwa manusia. Terkait hal ini, penegasan dogmatis dari satu agama sebagai kebenaran absolut dan upaya menghancurkan agama lainnya menciptakan permusuhan, bukan persatuan. Menurut Aurobindo, kehidupan spiritual yang otentik seharusnya mengacu pada kebebasan dan variasi dalam ekspresi diri serta sarana perkembangannya.

Pada periode modern, agama telah digantikan oleh ideologi politik (political ideology). Sebagaimana dikatakan Albert Camus, politik adalah agama zaman modern (politics is the religion of the modern age). Ideologi politik bersaing seperti kapitalisme dan komunisme, demokrasi dan kediktatoran, dan sosialisme serta anarki yang berjuang sedemikian rupa untuk memperebutkan pikiran dan hati rakyat (the minds and hearts of the peoples). Setiap ideologi mempunyai keinginan atau tekad untuk membangun komunitas internasional yang damai di bawah naungan Weltanschauung-nya sendiri.

Seperti agama, ideologi politik hanyalah gambaran manusia tidak sempurna yang memperjuangkan kebenaran absolut. Oleh karena itu, tidak ada yang bisa mengklaim validitas absolut. Dengan kata lain, setiap ideologi politik hanya dapat menikmati validitas atau kebenaran relatif, tergantung pada kondisi sosial-politik dan budaya yang berlaku di negara tertentu. Sehingga setiap negara atau bangsa memiliki kebebasan untuk memilih sistem sosial-politiknya sendiri dengan mempertimbangkan kebutuhan dasar nasionalnya.

Aurobindo menyadari bahaya yang melekat pada pendekatan teknologis dan organisatoris. Namun, ia bukan pribadi yang pesimis atau optimis sentimental. Optimisme Aurobindo berasal dari gagasannya mengenai dinamika evolusi dan keyakinannya akan potensi spiritual manusia. Ia menegaskan bahwa dewasa ini umat manusia berdiri di ambang tingkat kesadaran baru yang lebih tinggi. Tetapi akal budi rasional hanyalah mode operasi inferior dari kekuatan kesadaran yang lebih tinggi, kesadaran integral yang merangkul semua divisi sebagai ekspresi Yang Ilahi. Hanya atas dasar kesadaran integral, konflik internasional, ras, ideologi, dan kepentingan nasional dapat diubah menjadi kebaikan kolektif seluruh umat manusia.

Gagasan Aurobindo mengenai yoga terletak pada kerja sama secara sadar yang diupayakan manusia melalui energi kreatif menuju transformasi integral. Transformasi integral tersebut menandai munculnya manusia integral sebagai kekuatan yang efektif untuk menjawab berbagai macam persoalan yang ada di dunia. Selain itu, untuk memenuhi impian umat manusia terkait persatuan dunia. Sehingga negarawan dan politisi yang berupaya mengatur urusan dunia harus menjadi manusia integral. Persatuan antara kekuatan politik (political power) dan kebijaksanaan integral (integral wisdom) akan menjadi kenyataan apabila umat manusia naik sampai pada tingkat kesadaran integral.

APRESIASI TERHADAP PEMIKIRAN FILOSOFIS SRI AUROBINDO

Aurobindo memberikan kontribusi bagi pemikiran filosofis modern terkait gagasan integralnya. Ia menekankan kesatuan antara keberadaan dan energi (existence and energy) yang tidak terpisahkan (Brahman dan śakti). Terkait hal ini, Alam (Nature) adalah hakikat Roh (Spirit), dan Roh adalah roh Alam (the spirit of Nature). Perlu diketahui bahwa kesadaran akan keberadaan murni (pure existence) merupakan sumber kedamaian dan ketenangan diri. Kesadaran akan energi Brahman mendorong manusia untuk bertindak dan berpartisipasi dalam kemajuan evolusioner Alam dan dalam pengungkapan sejarah yang kreatif.

Aurobindo menekankan kesatuan esensial keberadaan manusia. Berbagai macam aspek kepribadian manusia seperti fisik, naluri, rasional, dan spiritual adalah ekspresi energi fundamental dinamisme kreatif dari Diri. Selain itu, dikotomi antara Alam dan Roh, materi dan akal budi, kodrati dan adikodrati diselesaikan Aurobindo dalam dinamika kreatif Diri. Seseorang yang telah mencapai kesadaran diri dan kesadaran Brahman, tidak perlu merasa terasing dari tubuh serta jiwanya.

KRITIK TERHADAP PEMIKIRAN FILOSOFIS SRI AUROBINDO

Berdasarkan uraian di atas, apakah substansi spiritual (spiritual substance) dan realitas tertinggi (ultimate reality) yang tidak terbatas dapat diterapkan dalam kehidupan manusia yang terbatas? Menurut Eliot Deutsch, jika menggunakan sudut pandang filosofis yang ketat, maka gagasan mengenai Pribadi Tertinggi pada hakikatnya merupakan hipotesis spekulatif yang tidak dapat diverifikasi, postulat metafisik yang melampaui pengalaman. Terkait hal ini, periode modern yang ditandai dengan bertumbuh dan berkembangnya sains memungkinkan manusia mengalami kematangan intelektual (intellectual maturity).

Manusia modern yang mengalami kematangan intelektual tidak memerlukan hipotesis teologis atau metafisik yang tidak dapat diverifikasi seperti Allah, Pribadi Tertinggi, Yang Mutlak, Roh, dan Penguasa Ilahi untuk mendamaikan realitas dunia dengan komitmen yang kuat pada nilai-nilai spiritual tertinggi seperti kasih, pengabdian pada kebenaran, layanan sosial tanpa pamrih, dan dedikasi total untuk kesejahteraan kosmik. Selain itu, berdasarkan perspektif filosofis yang ketat, doktrin reinkarnasi adalah hipotesis metafisik yang sangat kontroversial.

RELEVANSI PEMIKIRAN FILOSOFIS SRI AUROBINDO UNTUK KEHIDUPAN MASYARAKAT INDONESIA

Bangsa Indonesia terdiri dari masyarakat yang mempunyai latar belakang suku, agama, bahasa, dan budaya yang beragam. Oleh karena itu, di tengah kemajemukan, seringkali terjadi berbagai macam persoalan. Misalnya, memandang suku dan budaya tertentu lebih baik dan paling unggul apabila dibandingkan dengan suku serta budaya lainnya. Menilai ajaran agama tertentu lebih benar, sedangkan agama lainnya dianggap kafir dan harus dibinasakan. Sehingga mereka bisa melakukan segala sesuatu termasuk kejahatan dengan mengatasnamakan agama. Selain itu, sampai saat ini sistem pemerintahan diwarnai tindakan korupsi. Bahkan fenomena perampasan terhadap ruang hidup masyarakat belum diatasi dengan baik. Dengan demikian, aktivitas pertambangan dan pembabatan hutan dari hari ke hari semakin gencar dilakukan.

Berhadapan dengan berbagai macam persoalan tersebut, sejumlah gagasan filosofis Aurobindo relevan untuk meminimalisir persoalan yang terjadi. Pertama, meningkatkan kualitas pendidikan, tindakan yang baik dan benar, dan transformasi diri di tengah masyarakat. Kedua, mengajarkan dan melatih pengendalian diri, menjunjung tinggi kebajikan moral, dan menempuh cara hidup disiplin. Ketiga, mempromosikan pentingnya melepaskan diri dari belenggu keegoisan dan ketidaktauan atau kebodohan. Menghindari semangat meniadakan kehidupan dan mengejawantahkan pentingnya kebermaknaan tindakan sosial-politik. Selain itu, menjalin relasi dengan yang lain berdasarkan nilai dan makna kasih.

Keempat, menghidupi nilai dan makna persatuan dalam keragaman, damai, keadilan, dan kebebasan di tengah masyarakat. Kelima, menyadari berbagai macam dampak negatif dari kekerasan, dominasi imperialistik, dan pemerintahan diktator. Menghindari penegasan dogmatis dari satu agama sebagai kebenaran absolut dan upaya menghancurkan agama lainnya. Akhirnya, supaya masyarakat Indonesia sungguh-sungguh bersatu dan tidak terpecah belah, setiap anggota masyarakat harus mempunyai kesadaran integral dan meyakini pentingnya tindakan yang didasarkan pada kebaikan bersama.

PENUTUP

Menurut Aurobindo, tidak tepat apabila mengatakan bahwa dunia tempat di mana manusia menjalani kehidupan diwarnai dikotomi antara Alam dan Roh. Karena di dalam dunia dimungkinkan gerakan evolusioner dan pertumbuhan serta perkembangan yang melampaui kekuatan yang memecah belah. Selain itu, eksistensi manusia bukanlah dikotomi materi dan akal budi atau dualisme tubuh dan jiwa. Tetapi persatuan di antara tubuh, akal budi, dan jiwa. Sehingga pembebasan diri dari ketidaktahuan tidak perlu mengasingkannya dari partisipasi dalam kemajuan evolusi dunia.

Kekuatan pemersatu utama dalam memenuhi impian untuk membentuk tatanan dunia yang bersatu dapat ditemukan dalam kesadaran integral. Semakin banyak manusia yang mempunyai kesadaran integral, maka semakin banyak manusia yang bersedia mengemban tanggung jawab. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk tatanan dunia yang diwarnai kebenaran, kasih, keadilan, perdamaian, dan kebebasan.

SUMBER BACAAN:

CHAUDHURI, HARIDAS. “The Philosophy and Yoga of Sri Aurobindo.” Philosophy East and West, Vol. 22, No. 1 (Januari 1972), hlm. 5-14.

DEUTSCH, ELIOT. Advaita Vedānta: A Philosophical Reconstruction. Honolulu: East-West Center Press, 1969.

KLOSTERMAIER, KLAUS K. Hinduism: A Beginner’s Guide. Oxford: Oneworld Publications, 2007.

MCDERMOTT, ROBERT A. “The Experiential Basis of Sri Aurobindo’s Integral Yoga.” Philosophy East and West. Vol. 22, No. 1 (Januari 1972), hlm. 15-23.

RADHAKRISHNAN, SARVEPALLI DAN CHARLES A. MOORE. A Source Book in Indian Philosophy. Princeton: Princeton University Press, 1957.

RAINA, M. K. “Profiles of Famous Educators Sri Aurobindo (1872-1950).” Prospects, Vol. XXXII, No. 3 (September 2002), hlm. 373-383.

CATATAN: Tulisan ini pernah dimuat di dalam majalah GITA SANG SURYA, Vol. 17, No. 2 (Maret-April 2022), hlm. 65-72.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here