CARA PANDANG EVOLUSIONER DAN EKOLOGIS PIERRE TEILHARD DE CHARDIN SERTA THOMAS BERRY

1
2124

Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

(Ketua Bidang Animasi JPIC OFM Indonesia—Magister Filsafat STF Driyarkara Jakarta)

PENGANTAR

Pierre Teilhard de Chardin (1881-1995) dan Thomas Berry (1914-2009) bergulat dengan pertanyaan kritis mengenai pentingnya agama tradisional (traditional religions) dan kosmologinya dalam terang narasi ilmiah tentang alam semesta. Pemikiran mereka meluas ke dalam diskusi terkini mengenai relasi agama dan sains, agama dan evolusi, agama dan ekologi, dan humaniora lingkungan. Terkait hal ini, beberapa abad terakhir banyak pemikir merefleksikan relasi antara kesadaran manusia (human consciousness) dan materi (matter).

Berdasarkan sudut pandang ilmu empiris (the empirical sciences), kehidupan dan kesadaran muncul dari materi yang tidak berdaya (the inert matter) yang menyusun alam semesta. Sedangkan menurut para pemikir religius, kesadaran dicitrakan sebagai sesuatu yang terbentang dari alam ilahi (the divine realm) sampai manusia. Teilhard dan Berry mengambil pendekatan yang berbeda dari posisi agama tradisional serta ilmiah modern. Mereka menawarkan visi holistik dengan menempatkan kesadaran sebagai bagian integral dari alam semesta.

ROH BUMI

Menurut Teilhard, kompleksitas dan kesadaran yang meningkat dari evolusi alam semesta serta bumi dimanifestasikan dalam penampilan manusia yang mencerminkan proses perkembangan tersebut. Terkait hal ini, kapasitas manusia melakukan refleksi tidak jatuh ke dalam proses dari luar, tetapi muncul dari dalam. Karena tidak ingin memisahkan materi dan roh, Teilhard memahami bidang-bidang yang terkait sebagai dinamika yang berbeda, namun saling terhubung serta beroperasi dalam realitas. Oleh karena itu, kompleksitas kesadaran (complexity-consciousness) merupakan sifat yang melekat pada materi sejak awal alam semesta.

Perlu diketahui bahwa materi alam semesta yang beragam dalam proses perubahan evolusioner pada akhirnya ditarik ke depan oleh dinamika roh yang menyatukan. Hal ini akhirnya menjadi roh bumi (the spirit of the earth), di mana kuantum materi secara berturut-turut berevolusi menjadi bola yang mengelilingi planet, yaitu litosfer batuan (the lithosphere of rock), hidrosfer air (the hydrosphere of water), dan biosfer kehidupan (the biosphere of life). Roh bumi kemudian berkembang menjadi kesadaran yang sekarang ditampilkan umat manusia dalam lingkup pemikiran dan noosfer yang mengelilingi dunia. Teilhard mendedikasikan hidup dan karya-karyanya untuk mendorong realisasi aktif manusia dari peran evolusioner mereka dalam kaitannya dengan materi serta roh.

PENCARIAN HIDUP PIERRE TEILHARD DE CHARDIN

Pierre Teilhard de Chardin lahir pada 1 Mei 1881 di Orcines, Prancis Selatan. Teilhard masuk ordo religius Jesuit, di mana ia didorong untuk belajar paleontologi. Selama dua dekade Teilhard berada di Cina dan melakukan perjalanan ke Afrika, India, dan Indonesia untuk mencari bukti fosil (search of fossil evidence). Tidak mengherankan apabila studi tersebut membuatnya mempertanyakan narasi penciptaan dalam Kitab Kejadian. Teilhard melihat suatu tantangan yaitu membawa Kekristenan dan evolusi ke dalam dialog. Jalan menuju relasi tersebut pertama-tama terbangun ke dalam dimensi waktu yang dibuka oleh evolusi.

Teilhard berjuang untuk memperluas ilmu pengetahuan kontemporer di luar penyelidikan analitis, demistifikasi dunia menuju sarana melihat dimensi spiritual (the spiritual dimensions) ruang dan waktu dalam proses evolusi (the evolutionary process). Teilhard meyakini bahwa evolusi adalah gerakan yang unik (unific movement). Oleh karena itu, ia mengidentifikasi pemisahan materi dan roh sebagai persoalan utama dalam memahami kesatuan evolusi. Hal ini terbukti ketika ia mengamati sistem mekanistik, ilmu Cartesian yang memandang materi sebagai sesuatu yang mati dan tidak berdaya (dead and inert). Selain itu, perpecahan juga tampak dalam pandangan dunia keagamaan dualistik (dualistic religious worldview) yang melihat Allah sebagai yang transenden dan terpisah dari materi ciptaan (created matter).

Teilhard berusaha menyatukan penegasan ilmiahnya mengenai dunia materi dengan keyakinannya pada Yang Ilahi (the Divine). Dalam salah satu pertanyaannya yang paling mencolok, ia menyajikan keyakinan pribadinya yang menyatakan imannya di dunia. Sebagaimana dikemukakan Teilhard, “jika, sebagai akibat dari beberapa revolusi interior, saya kehilangan berturut-turut iman saya kepada Kristus, iman saya pada Allah yang pribadi, dan iman saya dalam roh, saya merasa bahwa saya harus terus percaya tidak terkalahkan dunia. Dunia (nilainya, kesempurnaannya, dan kebaikannya)—yang, ketika semua dikatakan dan dilakukan, adalah yang pertama, yang terakhir, dan satu-satunya yang saya yakini. Dengan iman inilah saya hidup.”

Menurut Henri de Lubac, Teilhard pada hakikatnya sedang berbicara dengan para ilmuwan sekuler (secular scientists). Tetapi Teilhard juga berpendapat bahwa penyelidikan ilmiah mengenai evolusi akan mengarah pada pemahaman yang mendalam tentang Kristus kosmik di alam semesta. Teilhard melihat evolusi sebagai proses menuju personalisasi yang lebih besar dan pendalaman roh (deepening of the spirit). Teilhard menciptakan istilah christic sebagai pengalamannya mengenai Kristus kosmik (the cosmic Christ). Hal ini menurut Teilhard terkait transformasi kemahahadiran (the omnipresence of transformation) dalam evolusi yang berpusat pada kompleksitas kesadaran yang menarik materi ke depan.

Sebagaimana diamati oleh para ilmuwan sejak Darwin, alam semesta adalah kosmogenesis, yaitu suatu keadaan perkembangan terus-menerus dari waktu ke waktu. Hal ini sangat kontras dengan dua posisi kosmologis utama dalam agama dan filsafat Barat—penciptaan satu kali dari semua keberadaan seperti yang disajikan dalam Kitab Kejadian, dan degenerasi dari kosmos yang disempurnakan seperti dalam neo-Platonisme klasik. Evolusi menampilkan proses yang dinamis dan mengatur dirinya sendiri dari struktur atom skala kecil hingga struktur galaksi skala besar. Dengan demikian, sebuah kosmologi baru (new cosmology) muncul di abad XX, menggambarkan kemunculan galaksi dan tata surya serta bentuk kehidupan yang kompleks. Dinamika tersebut yang membuat Teilhard bingung ketika ia mencatat bahwa dengan kompleksitas kehidupan yang lebih besar, datanglah kesadaran yang lebih besar sampai refleksi diri muncul pada manusia.

FENOMENOLOGI: SIGNIFIKANSI KOMPLEKSITAS KESADARAN

Teilhard menyajikan narasi lengkap mengenai proses evolusi dalam The Human Phenomenon yang diselesaikan pada 1940. Sintesis komprehensif tersebut pertama kali muncul dalam bahasa Inggris pada 1959 dan terjemahan yang diperbaharui diterbitkan empat puluh tahun kemudian, yaitu pada 1999. Dalam karya tersebut Teilhard menggambarkan evolusi sebagai proses fisik dan psikis, di mana materi memiliki bagian dalam dan bagian luarnya. Terkait hal ini, kesadaran manusia tidak terletak sebagai penyimpangan atau tambahan, tetapi sebagai yang muncul dari proses evolusi.

Teilhard menjelaskan dua jenis energi yang terlibat dalam evolusi, yaitu garis singgung (the tangential) dan jari-jari lingkaran (the radial). Menurut Tielhard, energi garis singgung menghubungkan elemen dengan semua elemen lain dengan urutan yang sama di alam semesta. Sedangkan energi jari-jari lingkaran menarik elemen ke arah kompleksitas dan sentrisitas yang semakin besar. Sebagaimana dikemukakan Teilhard, terdapat prinsip dan kecenderungan mengatur diri sendiri dalam materi yang menghasilkan sistem yang kompleks.

Ambang proses evolusi yang digariskan oleh Teilhard mencakup tiga fase. Pertama, kosmogenesis, yaitu munculnya dunia atom. Kedua, biogenesis di mana kehidupan organik muncul. Ketiga, antropogenesis yang ditandai dengan perkembangan sistem saraf dan otak yang lebih kompleks. Fase ketiga menyiratkan lahirnya pemikiran pada manusia dan untuk pertama kalinya evolusi mampu merefleksikan dirinya sendiri. Manusia menjadi pewaris proses evolusi yang mampu menentukan kemajuan atau kemundurannya lebih lanjut. Selanjutnya, manusia dapat berpartisipasi secara efektif dalam proses evolusi.

Teilhard menyadari bahwa kesadaran kolektif manusia yang muncul di noosfer memiliki potensi besar untuk menciptakan komunitas planet. Oleh karena itu, Teilhard melihat perlunya peningkatan unifikasi, pemusatan, dan spiritualisasi. Unifikasi merupakan kebutuhan untuk mengatasi batas-batas yang memecah belah batas-batas politik, ekonomi, dan budaya. Sedangkan melalui pemusatan, dalam hal ini intensifikasi kesadaran reflektif, mencakup tempat manusia di alam semesta yang terbentang.

Spiritualisasi terkait dengan peningkatan dorongan yang semakin intensif dari proses evolusioner yang menciptakan semangat hidup dalam diri manusia. Sehingga Teilhard melihat pentingnya aktivasi energi manusia untuk berpartisipasi lebih penuh dalam dinamika evolusi. Menurut Teilhard, kreativitas manusia berasal dari dedikasi penuh semangat terhadap pekerjaan yang bermakna (meaningful work) dan penelitian produktif (productive research) yang diinformasikan oleh dimensi kehidupan seni serta budaya yang diperbaharui.

Manusia dewasa ini membuat diri mereka berpengaruh di setiap bagian dunia, di mana tantangannya adalah masuk dengan tepat ke dalam dimensi planet dari narasi alam semesta. Sebagaimana disarankan Thomas Berry dalam menggambarkan pemikiran Teilhard, hal ini membutuhkan peran dimensi ekologis dan sosial yang baru bagi manusia. Peran yang meningkatkan relasi manusia dengan bumi daripada berkontribusi pada kerusakan sistem kehidupan planet (the life-systems of the planet). Karena manusia semakin mengambil alih faktor-faktor biologis yang menentukan pertumbuhan mereka sebagai suatu spesies. Berbagai macam persoalan etika dalam pandangan yang berorientasi pada kemajuan evolusi budaya manusia tidak dipertimbangkan oleh Teilhard. Terkait hal ini, kontribusi Teilhard mengarah pada kesadaran yang lebih besar bahwa ketika manusia menjadi spesies planet dengan kehadiran fisik dan dampak lingkungan yang diakibatkannya, ia juga perlu menjadi spesies planet yang memiliki belas kasih kepada semua bentuk kehidupan.

METAFISIKA: DINAMIKA PERSATUAN

Teilhard menyadari bahwa spekulasinya mengenai sifat inheren alam semesta adalah awal (preliminary). Tetapi yang ia cari adalah pemikiran alam semesta yang akan menuju pusat koherensi dan konvergensi. Pikiran sebagai bentuk gerakan animasi (animated movement) membawa kompleksitas kesadaran. Menurut Teilhard, pusat yang menghidupkan dan memikat seperti itu tidak dapat dipahami secara langsung oleh manusia, tetapi keberadaannya dapat dikemukakan dalam tiga gagasan.

Pertama, ireversibilitas proses evolusi (the irreversibility of the evolutionary process), di mana sekali digerakkan proses tersebut tidak dapat dihentikan. Lebih jauh lagi, harus ada fokus tertinggi ke mana semua bergerak atau akan terjadi keruntuhan. Kedua, polaritas (polarity). Hal ini menyiratkan bahwa gerakan maju memerlukan pusat stabilisasi yang memengaruhi jantung pusaran evolusi. Pusat tersebut independen, tetapi cukup aktif untuk menyebabkan pemusatan yang kompleks dari berbagai lapisan kosmik. Ketiga, kebulatan suara (unanimity). Terdapat energi simpati atau kasih yang menyatukan segalanya dari pusat ke pusat. Tetapi keberadaan kasih akan hilang apabila terfokus pada realitas kolektif yang impersonal. Oleh karena itu, harus ada fokus personalisasi (personalizing focus).

Teilhard menyebut gagasan tersebut sebagai metafisika penyatuan (metaphysics of union), karena ia mengklaim bahwa gagasan paling awal mengenai keberadaan menyarankan penyatuan. Teilhard menggambarkan bentuk aktif menyatukan diri sendiri atau bersatu dengan orang lain dalam persahabatan dan kolaborasi. Sedangkan bentuk pasif merupakan keadaan dipersatukan atau dipersatukan oleh yang lain. Karena menciptakan berarti menyatukan (to create is to unite) dan melalui tindakan Penciptaan, Yang Ilahi menjadi tenggelam dalam kelipatan (the multiple). Hal ini menyiratkan bagi seorang Kristen bahwa ruang lingkup inkarnasi meluas melalui semua ciptaan. Teilhard menganggap metafisikanya terkait dengan misteri Kristen yang esensial seperti Trinitas. Perlu diketahui bahwa Teilhard menyajikan tantangan terhadap penekanan tradisional antroposentris Kristen pada penebusan secara eksklusif untuk manusia dengan memperluas penebusan ke dalam konteks kosmologis.

MISTISISME: PEMUSATAN MANUSIA DALAM EVOLUSI

Mistisisme tradisional dalam agama-agama dunia sering dipahami sebagai pengalaman batin yang menuntut dematerialisasi dan lompatan transenden ke dalam Yang Ilahi. Terkait hal ini, Teilhard menyadari rekonseptualisasi radikal dari perjalanan mistik sebagai jalan masuk ke dalam evolusi, menemukan di sana rasa imanental dari Yang Ilahi. Sebagaimana dikemukakan Teilhard, “ada persekutuan dengan Allah, dan persekutuan dengan bumi, dan persekutuan dengan Allah melalui bumi.”

Teilhard memahami bahwa partisipasi manusia dalam persekutuan tersebut membawa kedalaman misteri. Proses persekutuan bagi Teilhard adalah pemusatan dan konvergensi energi kosmik, planet, dan ilahi dalam diri manusia. Manusia berpusat pada keseluruhan yang bagi Teilhard adalah lingkungan ilahi (divine milieu), bernafas, dan menjadi diri sendiri. Oleh karena itu, Teilhard melihat mistisisme dibutuhkan untuk masa depan sebagai sintesis dari dua arus yang kuat, yaitu evolusi dan kasih manusia. Mencintai evolusi berarti terlibat dalam proses di mana kasih seseorang diuniversalkan, menjadi dinamis, dan disintesis.

Pandangan tersebut tidak hanya mewujudkan kasih antroposentris atau berpusat pada manusia, tetapi kasih untuk dunia pada umumnya. Mistisisme Teilhard diaktifkan dalam penyelidikan ilmiah dan komitmen sosial untuk penelitian serta dalam belas kasih yang komprehensif untuk semua kehidupan. Mistisisme adalah sesuatu selain hanya secara pasif menikmati buah kontemplasi dari keilahian yang transenden. Menurut Teilhard, kasih selalu disintesis dalam pribadi. Melalui kekuatan personalisasi di jantung alam semesta dan individu, semua aktivitas manusia menjadi ekspresi kasih. Terkait hal ini, Teilhard melihat bahwa setiap aktivitas diapresiasi (every activity is amortized).

KONTRIBUSI DAN KETERBATASAN PEMIKIRAN PIERRE TEILHARD DE CHARDIN

Warisan Teilhard mencakup pemahaman mendalam mengenai alam semesta evolusioner yang dapat dipahami bukan hanya sebagai kosmos (cosmos) tetapi juga kosmogenesis (cosmogenesis). Alam semesta yang muncul secara dinamis dapat dilihat sebagai sesuatu yang terhubung secara rumit (intricately connected), bersatu atau pun beragam. Interkonektivitas tersebut mengubah peran manusia. Manusia tidak bisa lagi melihat dirinya sebagai tambahan atau sesuatu yang diciptakan (created) yang terpisah dari keseluruhan.

Manusia lebih tepatnya dipahami sebagai makhluk yang direfleksikan oleh alam semesta dalam kesadaran diri yang sadar (conscious self-awareness). Pendalaman interioritas dalam akal budi dan hati memberi manusia alasan untuk merayakan serta berpartisipasi dalam proses kemunculan alam semesta yang merangkul semua. Implikasi untuk kesadaran akan planet yang sangat besar dan komitmen terhadap kesadaran ekologis dengan demikian sudah menjadi jelas.

Perspektif tersebut mengarah pada pengertian yang halus, di mana bagi Teilhard alam semesta dijalin dengan misteri dan makna (mystery and meaning). Hal ini sangat kontras dengan mereka yang menyarankan secara dogmatis bahwa alam semesta pada dasarnya tidak berarti, di mana evolusi adalah proses acak (random process) dan kemunculan manusia adalah hasil dari kemungkinan murni (pure chance). Selain itu, gagasan tersebut kontras dengan keyakinan para pendukung kreasionisme (creationism) dan Desain Cerdas (Intelligent Design).

Teilhard tidak menggambarkan alam semesta yang berevolusi menjadi ada karena Intelligent Design. Sebaliknya, evolusi menurut Teilhard bergantung pada perpaduan yang rumit antara kekuatan seleksi alam (the force of natural selection) dan kemungkinan mutasi (chance mutation) serta peningkatan kompleksitas dan kesadaran. Hal ini tidak secara otomatis mengarah ke alam semesta teleologis, tetapi alam semesta yang memberikan kepada manusia pengertian yang lebih besar mengenai tujuan dan janji (purpose and promise).

Janji adalah inti dari proses evolusioner yang mengatur dirinya sendiri secara bawaan, daya tarik ke arah mana proses tersebut ditentukan. Berdasarkan wawasan tersebut, Teilhard menyediakan konteks untuk menempatkan tindakan manusia. Konteks harapan ini sangat diperlukan bagi manusia untuk berpartisipasi dengan rasa makna (sense of meaning) yang lebih besar dalam masyarakat, politik, ekonomi, serta dalam pendidikan, penelitian, dan seni. Perhatian utama Teilhard adalah aktivasi energi manusia yang menghasilkan semangat hidup. Keputusasaan eksistensialis yang menyelimuti Eropa di antara dua perang dunia adalah sesuatu yang ingin ia hindari. Menurut Teilhard, semangat manusia perlu dipersatukan dengan semangat bumi untuk kemajuan manusia serta planet.

Thomas Berry mengidentifikasi keterbatasan dan kontribusi pemikiran Teilhard. Berry mengamati bahwa Teilhard mewarisi kepercayaan modern yang sedang berkembang. Hal ini menjelaskan optimismenya sehubungan dengan kemampuan manusia membangun bumi (build the earth) dan penekanannya pada pencapaian teknologi. Refleksi Teilhard yang memuji penelitian ilmiah dan teknologi tidak memperhitungkan implikasi yang dapat mengganggu proses bumi (earth processes), seperti ketika ia menulis mengenai keajaiban tenaga nuklir serta rekayasa genetika dalam Science and Christ (1968).

Seperti kebanyakan orang pada masanya, Teilhard juga dibatasi oleh pemahamannya mengenai agama-agama dunia. Misalnya, ia membahas agama Hindu melalui lensa monisme Upanishad atau Vedantik. Penekanan pada satu fase pemikiran India tersebut tidak mempertimbangkan yang lain, varietas filosofis atau devosi Hindu yang sama pentingnya seperti yoga atau bhakti. Terkait hal ini, Teilhard memiliki sedikit pemahaman tekstual atau antropologis mengenai Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme Tiongkok. Karena hanya sedikit teks dari tradisi-tradisi tersebut yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Barat. Akhirnya, Teilhard memiliki pandangan Barat yang stereotip mengenai tradisi asli sebagai sesuatu yang statis dan kehabisan tenaga (static and exhausted). Sehingga tidak mengherankan apabila Teilhard mengistimewakan Kekristenan sebagai poros utama evolusi daripada menegaskannya sebagai jalan masuk ke dalam refleksi mengenai evolusi.

Terlepas dari keterbatasan tersebut, sesuatu yang muncul dalam setiap pertimbangan kehidupan dan pemikiran Teilhard adalah komitmennya yang teguh pada visi yang menantang banyak nilai serta upaya untuk menyelaraskan kehidupan sains (life of science) dengan visinya mengenai perjalanan agama (religious journey). Teilhard telah memberi kita salah satu dari sedikit sintesis intelektual dan afektif yang memanfaatkan sains serta agama dengan cara yang mendalam dan baru. Visi Teilhard mengenai kemunculan alam semesta dan peran manusia dalam kemunculannya menjadi salah satu kesaksian abadi pemikiran abad XX.

PENCARIAN HIDUP THOMAS BERRY

Thomas Berry lahir pada 9 November 1914 di Greensboro, Carolina Utara-Amerika dan menempuh pendidikan di sekolah menengah serta perguruan tinggi di St. Mary’s Maryland. Berry masuk Ordo Pasionis (Passionist Order) dan menerima gelar doktor dari Universitas Katolik (Catholic University). Ia akhirnya mengajar sejarah agama (the history of religions) di St. John’s University Long Island dan Fordham University di Bronx. Berry mendirikan Riverdale Center for Religious Research di sepanjang Sungai Hadson (Hadson River) di mana ia menjadi tuan rumah berbagai diskursus dan pertemuan selama hampir dua dekade. Berry menghabiskan empat belas tahun terakhir hidupnya di Greensboro bersama keluarga dan teman-temannya. Berdasarkan studinya mengenai agama-agama dunia (world religions), Berry memperluas pencarian hidupnya untuk mengartikulasikan narasi evolusioner, sebuah narasi baru (new story) yang akan menanggapi secara efektif krisis ekologi yang dihadapi planet ini.

Perlu diketahui bahwa untuk memahami pencarian tersebut, akan sangat membantu untuk menyoroti beberapa pengaruh intelektual utama pada kehidupan dan pemikiran Berry. Hal ini memungkinkan kita untuk memahami signifikansi evolusi yang dilihat sebagai sebuah narasi. Oleh karena itu, pertama-tama kita akan membahas studi Berry mengenai sejarah Barat, tradisi Asia, dan agama asli (indigenous religions). Selanjutnya akan ditunjukkan pengaruh penting Teilhard pada pemikiran Berry. Selain itu, akan diuraikan sejumlah gagasan utama mengenai narasi baru sebagaimana dikemukakan Berry.

PERJALANAN INTELEKTUAL THOMAS BERRY DARI SEJARAH MANUSIA KE SEJARAH BUMI

Penting untuk melihat kontribusi Berry pada awalnya sebagai sejarawan budaya (cultural historian) yang minatnya menjangkau Eropa dan Asia. Berry menempuh studi pascasarjana dalam bidang sejarah Barat dan menghabiskan waktu beberapa tahun di Jerman setelah Perang Dunia II. Selain itu, Berry banyak membaca mengenai agama dan sejarah Asia. Berry tinggal di Cina selama satu tahun sebelum Mao berkuasa dan menerbitkan dua buku tentang agama-agama Asia, yaitu Buddhisme (Buddhism) serta Agama-Agama India (Religions of India). Berry juga mempelajari tradisi masyarakat asli (the traditions of indigenous peoples) dan bertemu dengan masyarakat asli di Amerika Utara serta Filipina.

Setelah menjadi sejarawan budaya dan intelektual, Berry beralih menjadi sejarawan bumi (historian of the earth). Berry menggambarkan dirinya bukan sebagai seorang teolog (theologian), tetapi sebagai seorang ahli geologi (geologian). Pergerakan dari sejarah manusia ke sejarah kosmologis adalah sebuah kemajuan yang diperlukan. Berry menyaksikan munculnya peradaban planet multikultural ketika budaya di seluruh dunia saling bersentuhan. Tetapi Berry ingin menjelajahinya lebih jauh ke belakang dalam sejarah bumi dan evolusi alam semesta. Dalam rangka memperluas evolusi Teilhard, Berry bergerak menuju evolusi sebagai narasi epik (epic narrative) yang dapat menginspirasi tindakan manusia. Sehingga pada 1992, Berry bersama Brian Swimme menerbitkan The Universe Story.

SEJARAWAN SEJARAH INTELEKTUAL BARAT

Berry memulai karir akademisnya sebagai sejarawan sejarah Barat (historian of Western history). Tesisnya di Universitas Katolik mengenai filsafat sejarah Giambattista Vico dan diterbitkan pada 1951. Vico menguraikan filosofinya dalam The New Science of the Nature of the Nations yang pertama kali diterbitkan pada 1725 setelah penelitian selama dua puluh tahun. Vico mencoba membangun studi mengenai bangsa-bangsa yang sebanding dengan apa yang telah dilakukan orang lain untuk studi alam. Oleh karena itu, Vico berharap studi sejarah menjadi lebih ilmiah (scientific) dengan berfokus pada dunia institusi dan sebab-akibat manusia.

Pemikiran Vico sangat penting bagi Berry saat ia mengembangkan kritik konstruktif. Berry mengacu pada sejumlah gagasan Vico, yaitu periodisasi sejarah yang luas, gagasan mengenai refleksi barbarisme, dan kebijaksanaan puitis serta imajinasi kreatif yang diperlukan untuk mempertahankan peradaban. Berkenaan dengan periodisasi, Berry mendefinisikan empat zaman dalam sejarah manusia, yaitu suku perdukunan (the tribal shamanic), peradaban tradisional (the traditional civilization), teknologi ilmiah (the scientific technological), dan ekologi atau ecozoic (the ecological or ecozoic).

Berry mengamati bahwa manusia dewasa ini bergerak ke era ecozoic, yang ditandai dengan pemahaman baru mengenai relasi manusia dengan bumi. Meskipun demikian, Berry mengakui bahwa manusia berada dalam periode patologi budaya (cultural pathology) yang parah sehubungan dengan serangan teknologi manusia yang buta namun canggih di bumi. Dengan kata lain, manusia berada dalam periode refleksi barbarisme (barbarism of reflection), periode penyempurnaan berlebihan dari zaman peradaban pada saat yang sama ketika manusia kehilangan kebijaksanaan bumi (lost earth wisdom).

Perlu diketahui bahwa untuk mencabut diri manusia dari patologi budaya keterasingan dan penghancuran bumi, Berry menyuarakan narasi baru mengenai alam semesta. Hal ini dilakukan dengan membangkitkan visi epik dan puitis, di mana ia meyakini manusia mampu menciptakan masa depan yang berkelanjutan (sustainable future). Butuh sekitar tiga dekade baginya untuk mengartikulasikan visi tersebut setelah terinspirasi oleh Vico.

SEJARAWAN PEMIKIRAN DAN AGAMA ASIA

Pada 1948, setelah memeroleh gelar doktor, Berry berangkat ke Cina untuk belajar bahasa dan filsafat Cina. Perlu diketahui bahwa di kapal yang berangkat dari San Francisco ia bertemu dengan Theodore de Bary yang kemudian menjadi salah satu sarjana terkemuka dalam studi Asia. Terkait hal ini, waktu mereka di Tiongkok dipersingkat oleh kemenangan Komunis Mao (Mao’s Communist victory) pada 1949. Setelah mereka kembali ke Amerika Serikat, mereka bekerja sama mendirikan Asian Thought and Religion Seminar di Columbia University.

Berry memulai pengajarannya mengenai agama-agama Asia di Seton Hall (1956-1960) dan St. John’s University (1960-1966). Berry akhirnya pindah ke Fordham University (1966-1979) di mana ia mendirikan program pascasarjana dan memusatkan perhatian pada sejarah agama. Sesuatu yang khas dari pengajaran Berry adalah tidak hanya membahas perkembangan sejarah dari tradisi-tradisi yang dipelajari, tetapi juga mengartikulasikan dinamika spiritual dan signifikansi ekologinya. Jauh sebelum dialog antaragama (interreligious dialogue) muncul, Berry mempelajari teks dan tradisi agama-agama dunia dalam bahasa aslinya. Selama proses tersebut, Berry memeriksa kosmologi dan narasi Penciptaan (Creation) untuk membayangkan kosmologi yang lebih komprehensif dan inklusif.

Tradisi Asia yang paling berpengaruh terhadap pemikiran Berry adalah Konfusianisme. Menurut Berry, Konfusianisme penting karena keprihatinan kosmologinya, minatnya pada pengembangan diri dan pendidikan, dan komitmennya untuk meningkatkan tatanan sosial serta politik. Dalam kosmologi Konfusianisme, Berry mengidentifikasi pemahaman kunci mengenai manusia sebagai mikrokosmos kosmos (microcosm of the cosmos). Sesuatu yang penting di dalam kosmologi ini adalah kelanjutan keberadaan (continuity of being) dan persekutuan antara berbagai tingkat realitas, yaitu kosmik, bumi, dan manusia. Hal ini mirip dengan gagasan Teilhard dan Alfred North Whitehead serta para pemikir proses kontemporer lainnya.

Berry melihat Konfusianisme sebagai tradisi dinamis dan vitalistik dengan implikasi penting bagi filsafat lingkungan dewasa ini. Berry mencatat bahwa terdapat perbedaan antara teori dan praktik dalam persoalan yang terjadi di Cina. Berry mengakui Cina seperti banyak negara lainnya bertanggung jawab atas deforestasi dan penggurunan selama berabad-abad. Lebih jauh lagi, catatan kontemporer Cina mengenai lingkungan masih jauh dari ideal. Meskipun demikian, Berry merasa kerangka kosmologis komprehensif pemikiran Konfusianisme merupakan sumber daya intelektual yang berharga dalam merumuskan kembali kosmologi ekologi kontemporer dengan implikasi bagi etika lingkungan (environmental ethics). Hal ini terjadi di mana Cina dewasa ini berupaya merumuskan sebuah peradaban ekologis (ecological civilization) dengan menggunakan perspektif Konfusianisme.

TRADISI AGAMA ASLI

Selain kemampuan menghargai keragaman dan keunikan agama-agama Asia serta Barat, Berry mempunyai minat dan empati yang hidup terhadap masyarakat asli (indigenous peoples) serta cara hidup budaya mereka. Berry mengajar kursus di Fordham dan Columbia mengenai agama-agama Indian Amerika serta menerbitkan artikel tentang topik tersebut. Berry mendorong mahasiswa pascasarjana untuk menulis disertasi di bidang ini, beberapa diantaranya telah diterbitkan. Sejumlah kelompok masyarakat asli menyambut Berry dengan hangat, termasuk suku-suku di Dataran Utara (Northern Plains), pantai barat laut, dan orang-orang Cree serta Inuit di Kanada timur laut yang telah berjuang melawan proyek pembangkit listrik tenaga air James Bay yang masif. Sedangkan di luar negeri, Berry menghabiskan waktu dengan orang-orang Tboli di Filipina selatan. Berry mendorong mereka untuk sedikit menyentuh teknologi industri dan bergerak penuh ke era ecozoic.

Perlu diketahui bahwa selain melakukan penelitian, menulis, dan mengajar agama untuk penduduk asli Amerika, apresiasi Berry terhadap tradisi asli serta kekayaan kehidupan mitis, simbolis, dan ritual ditingkatkan melalui pertemuannya dengan gagasan Carl Jung serta Mircea Eliade. Dalam kerangka yang lebih besar dari kategori imperatif tersebut, Berry mengartikulasikan perasaan khusus dalam tradisi asli terkait kesucian tanah, musim, dan kehidupan hewan, burung, dan ikan. Berry mengerti bagaimana penduduk asli menghormati ciptaan karena mereka menghormati Sang Pencipta (the Creator). Mereka memiliki rasa hormat yang mendalam untuk semua karunia kehidupan dan ketergantungan manusia pada alam untuk mempertahankan kehidupan (sustain life). Berry mempelajari teknik kuno perdukunan (the ancient techniques of shamanism), termasuk ritual puasa dan doa untuk memanggil kekuatan di alam untuk penyembuhan pribadi (personal healing) serta kekuatan komunal (communal strength).

Berry menyadari bahwa penduduk asli telah mengembangkan kamampuan untuk menggunakan sumber daya tanpa menyalahgunakannya dan menyadari pentingnya hidup berdampingan dengan bumi. Tetapi Berry tidak berasumsi bahwa penduduk asli adalah ahli ekologi (ecologists) yang ideal. Seperti persoalan yang terjadi di Cina, pelanggaran pasti terjadi. Menurut Berry, Konfusianisme dan penduduk asli Amerika tetap menjadi pusat penciptaan pemahaman kosmologis serta spiritualitas ekologis baru untuk zaman kita. Mereka juga memiliki kedekatan dengan bumi sebagai kekuatan yang dinamis dan terbuka yang mengilhami narasi baru.

PENGARUH PIERRE TEILHARD DE CHARDIN TERHADAP NARASI BARU THOMAS BERRY

Ketika merumuskan gagasannya mengenai narasi baru, Berry juga berhutang budi pada pemikiran Teilhard. Berry membaca karya-karya Teilhard pada 1960 setelah The Phenomenon of Man diterbitkan pada 1959. Karya tersebut diterbitkan ulang pada 1999 dengan judul The Human Phenomenon. Sebagaimana dikemukakan Berry, sejak publikasi On the Origin of Species karya Charles Darwin, manusia menjadi sadar bahwa alam semesta tidak hanya sebagai kosmos statis (static cosmos), tetapi sebagai kosmogenesis yang terbuka (unfolding cosmogenesis). Teori evolusi memberikan realisasi yang khas dari perubahan dan perkembangan di alam semesta yang menempatkan manusia dalam cakupan sapuan waktu geologis (sweep of geological time). Menurut Berry, narasi baru merupakan konteks utama untuk memahami luasnya kosmogenesis.

Melalui pemikiran Teilhard, Berry juga memeroleh pemahaman mengenai karakter fisik-psikis dari alam semesta yang terbentang. Hal ini menunjukkan bahwa apabila terdapat kesadaran dalam diri manusia dan apabila manusia berevolusi dari bumi, maka sejak awal beberapa bentuk kesadaran dalam diri manusia atau interioritas hadir dalam proses evolusi. Terkait hal ini, materi bagi Teilhard dan Berry tidak mati, tetapi realitas numinus (numinous reality) yang memiliki dimensi fisik serta spiritual. Sedangkan kesadaran (consciousness) adalah bagian intrinsik dari realitas dan merupakan benang yang menghubungkan semua bentuk kehidupan.

Ketika segala sesuatu berevolusi dari organisme yang lebih sederhana ke organisme yang lebih kompleks, maka kesadaran meningkat (consciousness increases). Pada akhirnya, kesadaran diri muncul dalam tatanan manusia (the human order). Manusia sebagai mamalia yang sangat kompleks dibedakan oleh kapasitas refleksi tersebut. Hal ini memberi manusia peran khusus dalam proses evolusi. Manusia adalah bagian dari (part of) dan tidak terpisahkan dari (not apart from) bumi.

Menurut Teilhard dan Berry, evolusi menyediakan konteks paling komprehensif untuk memahami fenomena manusia dalam kaitannya dengan bentuk kehidupan lain. Hal ini menyiratkan bagi Berry bahwa manusia adalah satu spesies di antara yang lain. Sedangkan sebagai makhluk yang merefleksikan diri, manusia perlu memahami tanggung jawab khusus untuk kelanjutan proses evolusi. Manusia telah mencapai titik di mana ia menyadari bahwa dirinya akan menentukan spesies mana yang bertahan (survive) dan mana yang akan punah (extinct). Karena manusia pada hakikatnya merupakan rekan Pencipta dan harus menyadari perannya dalam perkembangan serta kemunculan bentuk-bentuk kehidupan. Hal ini disebut Berry sebagai Pekerjaan Besar (Great Work), sesuatu yang dapat dilakukan manusia untuk meningkatkan relasi manusia dengan bumi.

Berry mengkritik pandangan Teilhard yang terlalu optimis terkait kemajuan (progress) dan kurang memperhatikan dampak buruk proses industri terhadap ekosistem yang rapuh (fragile ecosystems). Berry menunjukkan bahwa Teilhard adalah pewaris cara berpikir Barat yang melihat manusia mampu mengendalikan alam melalui sains dan teknologi. Selain itu, Berry mengkritisi kurangnya penghargaan Teilhard terhadap agama-agama Asia meskipun ia tinggal lama dan bepergian ke Asia. Keterikatan Teilhard pada wahyu Kekristenan mencerminkan teologi Katolik pada masanya yang tidak mengakui kebenaran dalam agama-agama lain. Hal ini juga memerlihatkan tidak adanya kesempatan untuk berkomunikasi dengan cendekiawan Cina dari agama tradisional Cina selama ia tinggal di Beijing. Mungkin karena kendala bahasa, masa perang, dan kurangnya waktu serta minat karena komitmen ilmiahnya.

Pendekatan Berry jauh lebih inklusif terkait sejarah budaya dan agama, sementara Teilhard berfokus pada geologi serta paleontologi. Kedua pendekatan tersebut muncul bersama dalam buku Berry yang ditulis bersama ahli kosmologi matematika (mathematical cosmologist) Brian Swimme The Universe Story (1992). Karya tersebut mengemukakan narasi evolusi tata surya dan bumi bersama dengan narasi evolusi manusia serta masyarakat dan budaya manusia. Meskipun tidak mengklaim sebagai suatu karya yang definitif dan lengkap, The Universe Story menghadirkan model untuk memaparkan narasi Penciptaan yang umum. Hal ini menandai era baru refleksi diri bagi manusia yang dilukiskan Berry sebagai zaman ekologis (ecological age) atau awal dari zaman ecozoic (ecozoic age).

Ketika memaparkan narasi evolusi, Berry juga berusaha untuk tidak mempertahankan bahasanya secara eksklusif Kristosentris seperti yang dilakukan Teilhard. Hal ini dimaksudkan untuk menarik tidak hanya komunitas Kristen, tetapi juga di luar Kekristenan. Berry menyadari hambatan yang kadang-kadang diciptakan oleh bahasa teologis di luar dunia sekuler. Secara khusus di antara para pencinta lingkungan dan orang-orang dengan komitmen keyakinan yang berbeda. Berry berharap dapat menarik beragam individu yang responsif terhadap perubahan paradigma dalam pandangan dunia yang mulai terbentuk dalam kesadaran manusia. Suatu pergeseran yang melampaui batas-batas agama atau kebangsaan dan membantu menciptakan landasan bersama bagi munculnya komunitas bumi.

ASAL-USUL DAN SIGNIFIKANSI NARASI BARU THOMAS BERRY

Berry menghabiskan sekitar dua puluh tahun untuk mempelajari agama-agama dunia, di mana upaya tersebut dimulai sejak 1948. Selanjutnya pada 1960, Berry mendalami pemikiran Teilhard. Sedangkan pada 1970, gagasan Berry mengenai narasi baru mulai terbentuk, merenungkan berbagai macam persoalan sosial, politik, dan ekonomi yang dihadapi komunitas manusia (the human community). Berry melihat fenomena tersebut sebagai dasar yang komprehensif untuk memelihara relasi timbal balik di antara manusia dan untuk menumbuhkan rasa hormat manusia terhadap bumi di tengah meningkatnya serangan terhadap ekosistem bumi.

Gagasan narasi baru atau kosmologi fungsional (functional cosmology) muncul bukan sebagai pemikiran abstrak, tetapi sebagai tanggapan terhadap penderitaan manusia (the sufferings of humans) di alam semesta di mana mereka melihat diri mereka terasing darinya. Keterasingan tersebut merupakan pengalaman yang secara khusus terjadi di Barat selama bertahun-tahun pascaperang seperti yang diungkapkan dalam filsafat eksistensialis (existentialist philosophy), teologi kematian Allah (the death of God theology), dan teater absurd (the theatre of the absurd). Terkait hal ini, situasi dan kondisi hidup dalam ketidakpuasan, kebosanan, dan keterasingan menyebar ke bagian lain dunia setelah pengaruh budaya Barat dan bangkitnya materialisme yang tidak terkekang.

Narasi baru Berry memberikan penangkal penting untuk kekecewaan dan keputusasaan, terutama mengenai perusakan lingkungan (destruction of the environment). Hal ini menciptakan konteks baru untuk koneksi, tujuan, dan tindakan, memberikan perspektif yang komprehensif untuk mengaktifkan energi manusia yang dibutuhkan untuk perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang positif. Berry pertama kali menerbitkan “Narasi Baru” (New Story) dengan subjudul “Komentar Tentang Asal Usul, Identifikasi dan Transmisi Nilai (Comments of the Origin, Identification and Transmission of Values) pada 1978 sebagai esai awal dari seri Teilhard Studies. Karya tersebut diterbitkan ulang hampir satu dekade kemudian di jurnal Cross Currents dan direvisi untuk diterbitkan dengan judul The Dream of The Earth pada 1988.

Dari Narasi Lama ke Narasi Baru

Berry membuka esainya dengan menegaskan bahwa kami berada di antara narasi (we are in between stories). Sebagaimana dikemukakan Berry, narasi lama “itu membentuk sikap emosional kita, memberi kita tujuan hidup, tindakan yang memberikan energi. Itu menguduskan penderitaan dan pengetahuan terpadu.” Konteks makna yang diberikan oleh narasi lama tidak lagi relevan. Orang-orang beralih ke solipsisme Zaman Baru (New Age solipsism), utopia teknologi, dan fundamentalisme agama sebagai orientasi hidup mereka.

Menurut Berry, tidak satu pun dari arahan tersebut yang pada akhirnya bisa memuaskan. Berry mengenali disfungsionalisme dalam komunitas agama dan ilmiah serta mengusulkan sebuah narasi baru mengenai bagaimana segala sesuatu terjadi, di mana manusia sekarang dan bagaimana masa depan manusia dapat diberi arahan yang berarti. Ketika kehilangan arah, manusia telah kehilangan nilai dan orientasi. Hal ini merupakan kontribusi yang dapat diberikan oleh narasi baru, menyatukan sains dan humaniora.

Perpecahan Sejarah Antara Komunitas Agama dan Ilmiah

Berry melihat Black Death pada abad XIV-XV sebagai peristiwa penting dalam pemikiran Barat ketika agama dan sains mulai terpecah. Di satu sisi muncul komunitas penyelamatan agama (the religious redemption community), sementara di sisi lain muncul komunitas sekuler ilmiah (the scientific secular community). Komunitas agama menerima “penyelamatan” dari dunia tersebut, sedangkan komunitas ilmiah mendorong studi empiris mengenai dunia yang diobjektifikasi.

Ketika Black Death menyebar di Eropa, muncul kebutuhan akan campur tangan kekuatan adikodrati untuk mengurangi kematian yang luar biasa. Karena banyaknya jumlah orang yang meninggal, Kekristenan berpegang pada teologi yang berorientasi pada keselamatan. Ditebus dan diselamatkan dari dunia yang menderita merupakan harapan (hope) yang dipegang oleh orang yang beriman. Perlu diketahui bahwa dibantu dalam penebusan dari penderitaan oleh kuasa penderitaan dan kematian Kristus merupakan tujuan dari pesan Kekristenan.

Sebagaimana diamati Berry, terdapat sesuatu yang hilang dalam fokus eksklusif pada penebusan tersebut. Terkait hal ini, teologi penciptaan (creation theology) dimasukkan ke dalam soteriologi penebusan (redemption soteriology). Berry mengklaim bahwa narasi Kristen kehilangan makna kosmologisnya dengan menegaskan demikian, “doktrin utama dari kredo Kristen, kepercayaan pada prinsip kreatif pribadi, menjadi semakin kurang penting dalam peran fungsionalnya. Kosmologi tidak memiliki arti khusus.”

Komunitas sekuler ilmiah berusaha untuk memperbaiki peristiwa alam dengan mempelajari proses bumi daripada mencari intervensi adikodrati. Langit dan bumi dipelajari dengan bantuan teleskop dan mikroskop. Empirisme ilmiah disejajarkan dengan akal budi para filsuf Pencerahan (Enlightenment) abad XVIII dan artikulasi kemajuan sosiolog dalam masyarakat manusia (human societies). Pemahaman biologis mengenai waktu perkembangan (developmental time) dimulai pada abad XIX dan pada abad XX ditingkatkan oleh eksplorasi astrofisikawan tentang alam semesta yang mengembang (the expanding universe).

Sampai saat ini kesenjangan antara sains dan agama tetap kuat. Sehingga tidak mengherankan apabila di zaman kita sekarang perpecahan antara kreasionis religius (the religious creationist) dan evolusionis ilmiah (the scientific evolutionists) cukup memanas. Di sisi lain, dialog baru juga muncul antara sains dan agama yang berusaha mengatasi dikotomi yang diperburuk oleh revolusi Copernicus serta Darwinian.

Kosmogenesis: Bumi Terungkap dalam Ruang dan Waktu

Penemuan Copernicus mengubah pemahaman kita mengenai orientasi spasial manusia di alam semesta. Bumi tidak lagi dianggap sebagai pusat realitas (the center of reality). Dengan cara yang sama, revolusi Darwinian mengubah pemahaman kita tentang waktu (time). Kesadaran manusia dibangkitkan pada kesadaran bahwa bumi adalah bagian dari urutan perkembangan waktu yang tidak dapat diubah. Kehidupan telah berevolusi dari bentuk yang kurang kompleks ke bentuk yang lebih kompleks.

Menurut Berry, “bumi di semua bagiannya, terutama dalam bentuk kehidupannya, berada dalam keadaan transformasi yang berkelanjutan.” Hal ini merupakan implikasi kunci dari narasi baru. Manusia hidup tidak hanya di dalam kosmos, tetapi juga di dalam kosmogenesis. Gagasan tersebut mencerminkan pengaruh Teilhard pada pemikiran Berry. Tetapi waktu perkembangan masih diserap oleh komunitas manusia dan ditentang oleh kreasionis Kristen (Christian creationists).

Subjektivitas

Sebuah realisasi baru yang radikal dari persekutuan subjektif manusia dengan bumi sekarang mulai dipahami. Sebagaimana dikemukakan Berry, “manusia muncul tidak hanya sebagai penduduk bumi, tetapi juga sebagai manusia duniawi. Pribadi manusia menanggung alam semesta dalam keberadaannya sebagaimana alam semesta menanggung mereka dalam keberadaannya. Keduanya memiliki kehadiran total satu sama lain.” Kehadiran subjektif satu sama lain merupakan salah satu ciri khas dari pemikiran Berry dan mencerminkan pengaruh Teilhard.

Perlu diketahui bahwa di dalam The Divine Milieu, Teilhard menulis mengenai daya tarik interior, di mana “semua elemen alam semesta saling bersentuhan dengan apa yang paling dalam dan tertinggi di dalamnya.” Berry menyarankan pentingnya kesadaran akan dimensi subjektif dari narasi alam semesta tidak dapat diremehkan. Terkait hal ini, Berry menegaskan demikian, “realitas dan nilai aspek numinus subjektif interior dari seluruh tatanan kosmik dihargai sebagai kondisi dasar di mana narasi itu dapat dipercaya.”

Nilai: Diferensiasi, Subjektivitas, dan Persekutuan

Berry menyatakan bahwa untuk mengomunikasikan nilai-nilai dalam kerangka narasi bumi yang baru, diperlukan prinsip-prinsip dasar dari proses alam semesta itu sendiri. Hal ini merupakan kecenderungan asali alam semesta menuju diferensiasi (differentiation), subjektivitas (subjectivity), dan persekutuan (communion). Diferensiasi mengacu pada keragaman dan kekhasan dari segala sesuatu di alam semesta, di mana tidak ada dua hal yang benar-benar sama. Selanjutnya, subjektivitas adalah komponen interior numinus yang ada di semua realitas, juga disebut sebagai kesadaran. Sedangkan persekutuan merupakan kemampuan untuk berhubungan dengan yang lain karena adanya subjektivitas dan perbedaan. Menurut Berry, ketiga prinsip tersebut bisa menjadi dasar dari etika ekologi dan sosial yang lebih komprehensif yang memahami bagaimana komunitas manusia (the human community) bergantung serta berinteraksi dengan komunitas bumi (the earth community).

Keyakinan di Masa Depan

Menurut Berry, perspektif tersebut sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia di bumi. Terkait hal ini, manusia dan bumi akan pergi ke masa depan sebagai peristiwa tunggal yang beraneka ragam atau manusia tidak akan pergi ke masa depan sama sekali. Berry menutup The New History dengan membangkitkan keyakinannya di masa depan meskipun telah terjadi tragedi masa kini.

Demikianlah perjalanan hidup Berry, lahir dari formasi intelektualnya sebagai sejarawan budaya Barat, beralih ke agama-agama Asia, menelaah tradisi asli, dan akhirnya berpuncak pada studi mengenai narasi ilmiah alam semesta. Hal ini merupakan narasi evolusi dengan latar belakang evolusi kosmik (cosmic evolution). Narasi sejarah intelektual dalam kaitannya dengan sejarah bumi (earth history). Selain itu, narasi dari semua sejarah manusia dalam hubungannya dengan sejarah planet (planetary history). Sebuah narasi yang menunggu banyak narasi dan kepercayaan yang semakin dalam akan keindahan serta misteri yang terungkap.

PENUTUP

Tergerak oleh kepedulian terhadap arah masa depan dalam kaitannya dengan relasi manusia dan bumi, Teilhard menulis The Human Phenomenon serta Berry mengembangkan New Story. Tujuan yang ingin dicapai Teilhard dan Berry adalah untuk membangkitkan sumber daya psikis serta spiritual untuk membangun relasi timbal balik manusia dengan bumi dan manusia dengan sesamanya. Teilhard dan Berry percaya bahwa dengan perspektif yang komprehensif mengenai kesadaran manusia mengungkapkan diri di alam semesta serta sejarah bumi, akan muncul kesadaran baru mengenai relasi dan tanggung jawab manusia dalam proses evolusi.

SUMBER BACAAN:

TUCKER, MARY EVELYN DAN JOHN GRIM. “The Evolutionary and Ecological Perspectives of Pierre Teilhard de Chardin and Thomas Berry.” Dalam John Hart (Editor). The Wiley Blackwell Companion to Religion and Ecology. Hoboken: John Wiley & Sons Ltd, 2017, hlm. 394-409.

Catatan:

Tulisan ini pernah dimuat di dalam GITA SANG SURYA, Vol. 17, No. 3 (Mei-Juni 2022), hlm. 76-88.

1 KOMENTAR

  1. Terima kasih sdra Wahyu atas artikel yang bagus dan sangat inspiratif juga menyadarkan saya untuk lebih peduli dalam merawat, melindungi alam ini .

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here