PERJUANGAN PENGAKUAN INDIVIDU MENURUT AXEL HONNETH

0
2735

Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

(Ketua Bidang Animasi JPIC OFM Indonesia—Magister Filsafat STF Driyarkara Jakarta)

PENGANTAR

Identitas pribadi (personal identity) sebagaimana dikemukakan Axel Honneth berakar pada psikologi sosial, teori moral, dan antropologi filosofis. Hal ini ia maksudkan untuk menjawab pertanyaan bagaimana orang dapat mengembangkan dan mempertahankan identitas serta rasa diri sebagai makhluk bermoral yang unik dan sosial? Menurut Honneth, individu hanya menjadi diri sendiri melalui relasi pengakuan intersubjektif. Hanya ketika individu menerima pengakuan positif dari orang lain yang mencakup sifat, kedudukan, dan kemampuan. Pengakuan intersubjektif mencirikan relasi orang tua dan anak, para subjek hukum, produsen dan konsumen, para warga negara, laki-laki dan perempuan, para anggota suku dan ras, para anggota organisasi sipil masyarakat, dan para aktor demokrasi.

Individu bergantung pada pengakuan dalam upaya pembangunan dan pemeliharaan identitas, memandang diri sendiri sebagai pribadi yang berbeda serta berharga, dan tuntutan moral untuk diakui serta kewajiban moral mengakui orang lain. Honneth menunjukkan tiga tipologi pengakuan intersubjektif dan peran individu dalam mengembangkan identitas praktis (practical identity). Pertama, kepedulian dan cinta untuk mengembangkan rasa percaya diri. Kedua, hukum dan hak untuk mengembangkan rasa hormat diri. Ketiga, solidaritas untuk mengembangkan rasa harga diri. Terlepas dari tata bahasa moral (moral grammar) yang mendasari relasi interpersonal, harapan individu akan pengakuan sering kali dilanggar melalui pelecehan fisik, penolakan hak, pengucilan, dan penghinaan. Menurut Honneth, realitas tersebut seharusnya memberikan motivasi untuk melakukan perjuangan.

Honneth ingin menghasilkan teori kritis sosial yang akurat, meyakinkan, dan berwawasan luas. Teori kritis sosial tersebut merupakan teori sosial interdisipliner dengan maksud emansipatoris. Mencakup feminisme, kritik teori ras, studi hukum kritis, teori postkolonial, teori queer, dan post-strukturalisme.

HIDUP DAN KARYA-KARYA AXEL HONNETH

Axel Honneth lahir pada 1949 di Essen-Jerman. Selanjutnya, pada 1969 Honneth lulus dari sekolah menengah melalui ujian masuk universitas (abitur). Ia merupakan putra dari pasangan Horst Honneth dan Annemarie Honneth serta dibesarkan dalam lingkungan borjuis. Pada 1960-1970 Honneth terlibat dalam gejolak budaya dan politik. Selain itu, ia aktif dalam gerakan mahasiswa dan partai politik progresif (1969-1974). Honneth mendalami filsafat, sosiologi, dan sastra Jerman serta memperoleh gelar master filsafat di Bochum pada 1974. Pada 1974-1982, ia menempuh studi doktoral di Free University of Berlin.

Pada 1980, Honneth dan Hans Joas menerbitkan Social Action and Human Nature. Buku tersebut menguraikan teori tindakan sosial (theories of social action) yang didasarkan pada ilmu-ilmu sosial dan antropologi filosofis Abad XIX-XX. Perlu diketahui bahwa disertasi doktoral yang diajukannya pada 1983 ditulis di bawah bimbingan Urs Jaeggi. Honneth menguraikan teori kekuasaan (Adorno dan Horkheimer) dan pascastrukturalis Prancis (Foucault). Enam bab dari disertasi tersebut digabungkan dengan tiga bab yang menguraikan teori kekuasaan Habermas. Hasil dari penggabungan ini diterbitkan pada 1985 dengan judul Critique of Power: Reflective Stages in a Critical Social Theory.

Honneth melakukan penelitian di Max Planck Institute (1982-1983), lembaga penelitian yang dipimpin Habermas pada 1971-1983. Lembaga ini memusatkan perhatian pada bidang filsafat, sosiologi, linguistik, psikologi sosial, ekonomi, dan ilmu sosial lainnya. Max Planck Institute memungkinkan Habermas melahirkan magnum opus, yaitu Theory of Communicative Action. Selanjutnya, Honneth menjadi Hochschulasistent di Goethe University Frankfurt dalam bidang filsafat (1983). Pada 1990, ia menyelesaikan Habilitationsschrift yang berjudul Struggle for Recognition.

Honneth menempati posisi sebagai profesor asosiasi (associate professor) dalam bidang filsafat di University of Konstanz (1991-1992). Ketika mengajar filsafat politik di Free University of Berlin pada 1992-1996, ia dipromosikan dan diangkat menjadi profesor penuh (full professor). Pada 1996, Honneth kembali ke Frankfurt dan menempati posisi sebagai profesor bidang filsafat sosial. Selain itu, sejak 2001 ia menjadi direktur Institute for Social Research. Honneth juga menempati posisi sebagai profesor bidang humaniora di Columbia University (2011). Selain itu, ia pernah memberikan kuliah di McGill University, Kyoto University, University of Amsterdam, Boston College, Ecole des Hautes Etudes et Sciences Sociales, Dartmouth College, dan Université de Paris.

AXEL HONNETH DAN SEKOLAH FRANKFURT

Honneth sangat dipengaruhi pemikiran Hegel. Sedangkan Hegel berhutang budi pada pemikiran Kant. Kant dan Hegel ingin membuktikan universalitas cita-cita Pencerahan (Enlightenment) mengenai akal budi, kemajuan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi, solidaritas, dan keadilan. Perlu diketahui bahwa Honneth berkomitmen pada cita-cita tersebut dengan mengkonseptualisasikan dan membenarkannya. Selain itu, Marx, Nietzsche, dan Freud juga mempengaruhi pemikiran Honneth.

Pengaruh Marx nampak ketika Honneth menekankan pentingnya relasi ekonomi politik masyarakat, sifat dan nilai pekerjaan, adanya dominasi berbasis kelas, ketimpangan ekonomi yang masif, dan patologi ideologi kapitalis. Sedangkan pengaruh Nietzsche terhadap Honneth dapat ditelusuri dalam gagasannya mengenai politik interpretasi. Menurut Honneth, perjuangan untuk pengakuan terkait dengan makna, simbol, konsep, dan nilai-nilai yang membentuk tatanan pengakuan masyarakat. Selanjutnya, pengaruh Freud terlihat ketika Honneth menunjukkan peran psikoanalitik dalam teori sosial dan politik mengenai relasi interpersonal dan keluarga serta budaya politik dan interaksi demokratis.

Honneth ingin menghasilkan teori sosial kritis (critical social theory). Selain dipengaruhi Hegel, Marx, Nietzsche, dan Freud, perkembangan serta sifat pemikiran Honneth memperoleh pengaruh dari Sekolah Frankfurt. Generasi pertama Sekolah Frankfurt yang paling menonjol adalah Theodor Adorno (1903-1969), Max Horkheimer (1895-1973), dan Herbert Marcuse (1898-1979). Ketiga tokoh tersebut mengemukakan teori kritis (critical theory) sebagai upaya intelektual yang kemudian dilanjutkan Honneth. Selain itu, Honneth dipengaruhi oleh JĂĽrgen Habermas, generasi kedua Sekolah Frankfurt. Habermas dikenal sebagai intelektual publik, filsuf, dan ahli teori sosio-politik yang sangat berpengaruh.

Menurut Honneth, filsafat sosial (social philosophy) Sekolah Frankfurt mencakup dan melibatkan sejumlah pemikir seperti Rousseau, Hegel, Marx, Nietzsche, Durkheim, Weber, Lukács, Freud, Plessner, Arendt, dan Foucault. Filsafat sosial bertujuan mendiagnosis patologi sosial (social pathologies). Sekolah Frankfurt adalah bentuk khusus dari filsafat sosial yang berfokus pada patologi nalar (reason) atau rasionalitas (rationality). Sebagaimana dikatakan Honneth, kondisi kehidupan masyarakat kapitalis menghasilkan praktik sosial yang mengakibatkan distorsi patologis nalar masyarakat.

Honneth menegaskan bahwa elemen teori kritis seperti analisis masyarakat, diagnosis patologi, dan standar evaluatif harus terhubung dengan kehidupan sosial. Hal ini dimaksudkan untuk memungkinkan kehidupan yang lebih baik, bebas, dan masuk akal. Sebagaimana dikatakan Honneth, pengalaman dapat diidentifikasi sebagai momen nalar sejauh memiliki surplus norma-norma rasional. Varietas berbeda teori kritis nampak dari gagasan Horkheimer mengenai gerakan pekerja, Adorno mengenai pengalaman estetis dan mimesis, Habermas mengenai bahasa dan komunikasi publik, dan Honneth mengenai perjuangan untuk pengakuan dan kebebasan sosial.

Generasi pertama Sekolah Frankfurt seperti Adorno, Horkheimer, dan Marcuse menekankan subjektivitas (subjectivity), sedangkan Habermas serta Honneth beralih dan memberi tekanan pada intersubjektivitas (intersubjectivity). Habermas berfokus pada struktur rasional bahasa, di mana setiap tindak tutur secara simultan memunculkan tiga validitas, yaitu kebenaran, kebenaran moral, dan ketulusan. Honneth mendukung gagasan Habermas dan menegaskan bahwa komunikasi adalah penggerak kemajuan sosial. Terkait hal ini, Habermas memprioritaskan bahasa intersubjektif, sedangkan Honneth menekankan pengakuan intersubjektif.

Menurut Horkheimer, pengetahuan diri manusia masa kini didominasi oleh kepedulian terhadap kondisi kehidupan yang wajar. Melanjutkan gagasan Horkheimer, Honneth melihat teori sosial kritis berakar pada perjuangan sosial untuk pengakuan dan kebebasan sosial. Honneth memusatkan perhatian pada perjuangan feminis terkait keluarga antipatriarki, perjuangan gay dan lesbian untuk persamaan hak hukum, dan perjuangan pekerja untuk kondisi kerja yang layak serta egaliter. Mengubah tatanan pengakuan masyarakat dengan melembagakan praktik intersubjektif yang memungkinkan masyarakat memperoleh pengakuan dan kebebasan. 

SEKILAS TENTANG INTERSUBJEKTIVITAS

Intersubjektivitas terkait upaya individu mengembangkan identitas praktis, rasa diri sebagai makhluk bermoral yang unik dan sosial. Upaya tersebut dimaksudkan supaya individu menyadari bahwa dirinya bertumbuh dan berkembang melalui interaksi sosial. Dalam interaksi sosial, individu dibentuk oleh norma, nilai, prinsip, tujuan, dan kebutuhan. Terkait hal ini, Honneth meyakini bahwa pengakuan intersubjektif (intersubjective recognition) mendasari pertumbuhan praktis dan perkembangan individu.

Teori moral dan sosial Honneth didasarkan pada tesis di mana kepribadian dibentuk secara intersubjektif. Seseorang dimungkinkan menjadi diri sendiri ketika menjalin relasi dengan yang lain. Perjuangan untuk pengakuan (struggle for recognition) sebagaimana dikemukakan Honneth terinspirasi oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), George Herbert Mead (1863-1931), dan Donald Winnicott (1896-1971). Menurut Honneth, ketiga tokoh tersebut memandang individu berjuang untuk memperoleh pengakuan positif berupa karakteristik, kemampuan, dan pencapaian melalui sikap moral, etis, dan interaksi sosial.

Teori komunikatif Habermas mengenai perkembangan individu mempengaruhi pemikiran Honneth. Dalam teori komunikatif, identitas seseorang dibentuk melalui kompetensi komunikatif intersubjektif, proses sosialisasi (socialization) yang dimediasi secara linguistik. Honneth menggeser kehidupan intersubjektif dari bahasa ke sikap praktis pengakuan. Hal ini dilakukan Honneth dengan merujuk pada paradigma Hegel, melalui perjuangan untuk pengakuan individu menemukan subjektivitas otonomnya.

Konsepsi intersubjektivitas Hegel mengenai kepribadian menunjukkan bahwa seseorang menjadi subjek berpikir dan sadar diri apabila menjadi satu dengan yang lain (alter). Oleh karena itu, kapasitas esensial individu tidak dapat dipahami melalui introspeksi subjek tunggal. Dalam teori moral dan politik modern, subjektivitas membentuk individu rasional, egois, dan senantiasa mempertahankan diri. Sebagaimana dikatakan Honneth, Niccolò Machiavelli (1469-1527) meresmikan subjektivitas modern dan Thomas Hobbes (1588-1679) membawa ke dalam bentuk paling murni melalui teori kontrak sosial. Menurut Hobbes, kebenaran tatanan moral dan legitimasi negara seharusnya muncul dari penalaran instrumental serta solipsistik yang identik dengan individu-individu yang saling bermusuhan.

TRILOGI PENGAKUAN INTERSUBJEKTIF

Berdasarkan intersubjektivitas Hegelian, moralitas tumbuh melalui relasi sosial, pengakuan dan penghargaan antarpribadi. Selain itu, identitas individu dibentuk dalam ranah budaya, yaitu institusi, praktik, dan kebiasaan masyarakat. Terkait hal ini, Hegel menunjukkan tiga bentuk pengakuan intersubjektif (intersubjective recognition), yaitu cinta, hukum, dan solidaritas yang membentuk teori pengakuan sosial kritis Honneth. Kategorisasi tersebut juga dapat ditemukan dalam psikologi sosial Mead dan psikodinamika Winnicott.

Rasa Percaya Diri dan Cinta

Cinta penting untuk mengembangkan rasa percaya diri (self-confidence) individu. Menurut Honneth, cinta mengacu pada relasi intim, relasi antara orang tua dan anak yang dibentuk oleh ikatan emosional. Honneth mengusulkan untuk menggunakan teori psikodinamika Winnicott mengenai relasi antara ibu dan bayi sebagai konfirmasi empiris penjelasan Hegel mengenai cinta. Karena cinta merupakan suatu bentuk saling pengakuan, menjadi diri sendiri dalam diri orang lain (being oneself in another).

Teori Sigmund Freud (1856-1939) mengenai psikoseksual tidak secara inheren bersifat intersubjektif, berfokus pada dinamika dorongan batin yang dimiliki anak dan bagaimana dorongan tersebut diekspresikan, dibentuk, dan diarahkan ketika anak tumbuh serta menghadapi situasi baru dalam dunia kehidupan. Pada pertengahan Abad XX, teori relasi objek (object relations theory) berkembang melampaui teori Freud. Teori relasi objek mengedepankan pola timbal balik antara anak yang sedang berkembang dan orang tuanya.

Menurut teori relasi objek, terjadi simbiosis (symbiosis) antara ibu dan bayi. Ibu dan bayi merasakan kebutuhan, keinginan, dan kegembiraan. Individuasi dimungkinkan apabila masing-masing mengakui dan mendukung ekspresi perwujudan, kebutuhan, dan emosional di antara keduanya. Ibu harus memberikan cinta agar bayi memahami dorongan serta emosional jasmaninya sebagai dorongan dan emosionalnya sendiri. Sedangkan bayi harus memberikan keterikatan emosional dengan ibunya. Oleh karena itu, kasih sayang ibu dan bayi dapat digambarkan sebagai sistem pengakuan timbal balik (mutual recognition).

Winnicott melihat sistem intersubjektivitas emosional sebagai proses negosiasi keseimbangan antara sikap pengorbanan diri dan penegasan diri individu. Ketika menjadi dewasa, bayi tumbuh dari tahap ketergantungan mutlak ke tingkat ketergantungan yang lebih rendah. Mengendalikan rasa aslinya dan menyadari bahwa ibu memiliki keberadaan fisik serta emosional yang independen. Ibu juga harus menegaskan kemandirian di hadapan kebutuhan dan keinginan anak.

Hegel menganalisis serangkaian dinamika serupa dalam cinta erotis (erotic love). Perjuangan saling mengakui kekhususan afektif satu sama lain. Dalam relasi seksual yang matang di antara orang dewasa, orang dapat mengetahui dirinya secara emosional sebagai sumber kebutuhan dan keinginan melalui relasi fisik yang penuh kasih. Menurut Honneth, orang tua dan anak mengenal satu sama lain secara timbal balik sebagai makhluk hidup yang membutuhkan secara emosional. Pengakuan dari orang lain diperlukan untuk memahami diri sendiri sebagai individu yang mempunyai kebutuhan dan keinginan.

Honneth meyakini bahwa cinta sangat penting untuk pilar identitas praktis, yaitu rasa percaya diri (self-confidence). Hegel dan Winnicott melihat pengakuan intersubjektif dalam cinta sebagai kondisi yang diperlukan untuk mengembangkan rasa percaya diri. Rasa percaya diri adalah dasar untuk rasa hormat diri (self-respect) dan harga diri (self-esteem), memungkinkan realisasi diri serta interaksi sosial yang lebih luas. Selain itu, cinta penting untuk partisipasi sosial dan politik.

Rasa percaya diri mengacu pada stabilitas dan kontinuitas mengendalikan tubuh, mempercayai diri sendiri, dan menghadapi ledakan emosi. Pengembangan rasa percaya diri dimungkinkan apabila mendapatkan dukungan emosional tanpa syarat dari orang lain. Sebagaimana dikatakan Honneth, ketika semakin yakin akan cinta ibu, anak menjadi percaya pada dirinya sendiri dan memungkinkannya terhindar dari kecemasan (anxiety). Pengakuan timbal balik yang ideal mencakup penciptaan batas dan peniadaan batas yang memungkinkan anak serta ibu membangun stabilitas intersubjektif.

Seseorang tanpa rasa percaya diri tidak memiliki identitas ego. Karena rasa percaya diri merupakan persyaratan dasar untuk relasi praktis dengan diri sendiri. Rasa hormat diri dan harga diri dimungkinkan apabila ada rasa percaya diri. Terkait hal ini, rasa hormat diri dan harga diri penting untuk individu dalam partisipasi kehidupan sosial. Pada tataran tertentu Hegel melihat rasa percaya diri diperlukan untuk politik dan partisipasi sosial. Gagasan tersebut kontras dengan asumsi individualistik tradisional dalam teori kontrak sosial dan liberal, mencari kepentingan sendiri tanpa menaruh perhatian kepada yang lain.

Honneth menganggap pemerkosaan dan penyiksaan sebagai pelanggaran yang disengaja terhadap integritas fisik seseorang. Pelanggaran ekstrem terhadap integritas fisik mengakibatkan rasa percaya diri diserang dari luar. Pelecehan fisik tersebut membuat seseorang merasa kehilangan realitas yang stabil. Menurut Honneth, hilangnya rasa percaya diri mempengaruhi semua urusan praktis dengan subjek lain. Oleh karena itu, penyiksaan dan pemerkosaan adalah bentuk paradigmatik dari ketidakhormatan intersubjektif.

Kekerasan fisik dan gangguan rasa percaya diri menunjukkan kerentanan individu. Karena integritas pribadi setiap orang pada kenyataannya bergantung pada bentuk pengakuan tertentu dari orang lain. Honneth mengusulkan konsep tidak hormat (disrespect) untuk merujuk pada semua pengalaman negatif dari penolakan pengakuan. Pengingkaran hak secara sewenang-wenang adalah bentuk paradigmatik dari rasa tidak hormat. Sedangkan penghinaan dan pencemaran nama baik secara sistematis berhubungan dengan harga diri.

Berdasarkan sudut pandang filsafat moral, rasa tidak hormat merupakan bentuk kesalahan, gangguan terhadap relasi sosial dengan orang lain. Sebagaimana dikatakan Honneth, rasa tidak hormat menunjukkan perilaku ketidakadilan (injustice) yang merugikan subjek dan membatasi kebebasan mereka untuk bertindak. Selain itu, melukai mereka dalam kaitannya dengan pemahaman positif mengenai diri mereka sendiri.

Konsekuensi dari pelanggaran integritas fisik terkait dengan kesejahteraan individu (individual well-being) dan infrastruktur moral yang dibangun dalam relasi pengakuan intersubjektif. Pengakuan mengungkapkan karakter normatif kehidupan sosial seseorang dengan yang lain. Karena pengakuan adalah kebutuhan vital setiap orang, di mana integritas dan identitas pribadi seseorang secara konstitutif bergantung pada perhatian orang lain.

Rasa Hormat Diri dan Hak

Individu memperoleh rasa hormat diri (self-respect) hanya di dalam dan melalui hak-hak individu yang diberikan oleh anggota komunitas hukum. Karena statusnya berada di bawah sistem hukum, seseorang mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan hukum tersebut memungkinkannya memahami dirinya sebagai anggota komunitas penuh, mampu dan bertanggung jawab atas keputusannya sendiri. Ketika diakui sebagai pemegang hak hukum oleh anggota komunitas melalui status hukum, individu memperoleh rasa harga diri, martabat, dan setara dengan yang lain.

Kepercayaan diri diperoleh melalui relasi cinta dan persahabatan. Terkait hal ini, Honneth menegaskan bahwa rasa hormat diri dicapai melalui relasi jarak jauh dan anonim antara anggota komunitas hukum. Berdasarkan status hukum generik dalam komunitas, individu mendapatkan hak hukum. Hak hukum didasarkan pada dua asumsi dasar. Pertama, individu dapat mengendalikan (controlling) perilakunya ketika berhadapan dengan orang lain. Kedua, individu memiliki kewajiban normatif (normative obligations) menghormati orang lain dan mengejawantahkan hukum yang berlaku.

Berdasarkan kedua asumsi tersebut, dapat dikatakan bahwa hukum memperlakukan individu sebagai agen moral otonom. Bersedia dan bertindak berdasarkan pertimbangan rasional serta mempertanggungjawabkan ketika tindakannya mempengaruhi orang lain. Honneth menggunakan analisis Hegel dan Mead mengenai bagaimana hak hukum mengungkapkan penghormatan terhadap otonomi moral individu. Tetapi harus diakui bahwa ketiganya mengembangkan gagasan Immanuel Kant (1724-1804) mengenai moralitas dan hukum (morality and law).

Kant secara khusus menekankan relasi konseptual internal antara cara-cara di mana hukum meminta pertanggungjawaban individu, hak-hak individu, dan cita-cita otonomi moral. Hak-hak hukum modern dalam konsepsi umum adalah suatu cara untuk melembagakan penghargaan yang semestinya dimiliki individu sebagai agen moral yang bebas dan setara serta menghormati otonomi moral setiap individu. Terkait hal ini, rasa hormat diri untuk seseorang dipandang sebagai nilai intrinsik yang tidak tergantikan.

Menurut Honneth, hak merupakan simbol penghormatan sosial yang dipersonalisasi (depersonalized symbols of social respect). Misalnya, seorang terpidana kriminal layak dihormati dan diperlakukan secara bermartabat. Hal ini dilakukan dengan memberikan kepada yang terpidana hak atas proses hukum. Hukum adalah media untuk memastikan penegakan kewajiban terhadap agen moral otonom. Selain itu, hukum mengungkapkan penghormatan kepada semua subjek hukum.

Terdapat dua petunjuk untuk memahami perbedaan antara cinta dan hormat. Pertama, cinta diekspresikan melalui dukungan emosional, sedangkan hormat diekspresikan secara kognitif. Selain itu, cinta melibatkan disposisi afektif, sedangkan hormat terkait pemahaman yang benar terhadap klaim rasional diri sendiri dan orang lain. Kedua, ruang lingkup cinta terbatas pada sekelompok orang, sedangkan ruang lingkup hormat tidak terbatas, mencakup semua warga negara atau subjek hukum.

Uraian di atas hanya dapat diterapkan pada sistem hukum modern, di mana hukum diharapkan memberikan hormat dan melakukannya dengan cara yang sama untuk setiap orang. Dalam sistem hukum pra-modern, setiap orang memperoleh derajat dan jenis hak hukum yang berbeda berdasarkan status sosial (social statuses). Sedangkan dalam sistem modern, norma fundamental adalah perlakuan yang sama bagi semua orang di depan hukum. Sebagaimana dikatakan Kant, seseorang hanya terikat pada norma-norma yang dikehendaki secara universal dari sudut pandang agen moral.

Imperatif kategoris Kant tersebut diwujudkan dalam universalitas hak hukum (the universality of legal rights). Hegel dan Mead mengambil tema tersebut dan memberikannya interpretasi intersubjektif, di mana hukum mengakui berdasarkan sudut pandang harapan dan tanggung jawab yang secara umum berlaku untuk semua. Melalui cara tersebut, setiap individu memperoleh rasa hormat untuk diperlakukan dengan cara yang sama seperti semua anggota masyarakat hukum lainnya.

Menurut Honneth, seseorang dapat sepenuhnya mengembangkan rasa hormat yang sehat apabila ia diberikan pengakuan sosial (social recognition) dan hak hukum penuh dari komunitasnya. Misalnya, saya hanya dapat menyadari martabat saya sebagai sumber nilai moral yang unik dan tidak tergantikan ketika saya dapat memahami diri saya sebagai agen moral otonom, bebas memilih berdasarkan kapasitas rasional saya sendiri. Tetapi untuk memahami diri saya sebagai agen moral otonom, saya harus menganggap diri saya memiliki kewajiban normatif yang melekat pada semua subjek hukum secara universal.

Saya hanya dapat memahami harapan moral dari sudut pandang orang lain yang digeneralisasikan di mana saya dapat melihat diri saya sebagai orang yang terikat secara timbal balik oleh kewajiban yang sama dengan orang lain. Dari perspektif ini, saya juga dapat melihat diri saya sendiri sebagaimana saya melihat orang lain layak mendapatkan perlindungan hukum. Dengan kata lain, dalam memahami sistem kewajiban (the system of obligations), saya juga harus memahami hak-hak hukum yang menjadi hak setiap orang.

Berdasarkan perspektif umum tersebut, saya sekarang dapat memahami diri saya sebagai orang yang berhak (deserving) mendapatkan hak hukum, subjek hukum yang bertanggung jawab secara moral, dan berhak atas diri sendiri. Oleh karena itu, pengembangan rasa hormat terkait dengan bentuk penghargaan sosial yang dilembagakan dalam hak-hak hukum. Seseorang dapat menghormati dirinya sendiri sebagai agen moral apabila ia diakui secara publik sebagai orang yang pantas dihormati secara hukum.

Ketika seseorang secara terbuka menuntut haknya, ia dimungkinkan secara sosial memajukan klaim atas perlakuan yang tepat sebagai agen moral. Pengakuan publik tersebut menjadi dasar rasa hormat diri sebagai agen moral yang status hukumnya setara dengan agen moral lainnya. Karena hak bersifat publik dan efektif secara sosial, setiap orang memiliki pilihan untuk mengajukan klaim hak yang harus diakui orang lain.

Honneth mengidentifikasi dua bentuk paradigmatik dari ketidakhormatan hukum. Pertama, penolakan kepada seseorang (denial to a person) atas beberapa atau semua hak hukum yang diberikan. Kedua, pengecualian langsung dari kedudukan hukum apa pun, yaitu pengucilan hukum (legal ostracism). Ketika seseorang tidak dihargai dengan cara ini, ia tidak dapat menganggap dirinya sebagai agen moral otonom. Hal ini menunjukkan hilangnya perlindungan hak, ketidakaadilan yang melibatkan penghinaan terhadap kemampuan seseorang bertindak dan bertanggung jawab atas konsekuensi tindakan. Selain itu, penolakan hak atau pengucilan hukum menghalangi kapasitas seseorang untuk memahami diri sendiri sebagai subjek hukum yang setara.

Rasa Harga Diri dan Solidaritas

Orang-orang diakui secara positif melalui dukungan emosional cinta, rasa hormat yang diungkapkan melalui hak-hak hukum, dan penghargaan sosial yang diekspresikan dalam relasi solidaritas. Ketiga bentuk pengakuan intersubjektif tersebut memungkinkan individu menyadari bentuk ketiga dari relasi praktis, yaitu rasa harga diri (self-esteem). Terkait hal ini, cinta berkaitan dengan kebutuhan emosional seseorang, sedangkan hak-hak hukum terkait otonomi moral.

Dukungan emosional diarahkan kepada kekhasan seseorang, penghormatan pada universalitas pribadi yang otonom dan bertanggung jawab, dan penghargaan sosial pada individualitas seseorang. Hal ini memungkinkan individu mengembangkan konsepsi praktis mengenai diri mereka sendiri sebagai makhluk bermoral (moral beings). Cinta dan persahabatan dikembangkan dalam kelompok kecil yang akrab. Hak-hak hukum dapat secara potensial diperluas ke seluruh umat manusia. Relasi penghargaan meluas sejauh mereka berbagi nilai-nilai etis subtantif.

Logika penghargaan sosial pada dasarnya berbeda dengan logika hak-hak hukum dan cinta. Hak menghormati kualitas otonomi moral seseorang, sedangkan cinta memberikan dukungan tanpa syarat kepada individu. Terkait hal ini, penghargaan adalah penilaian sosial yang mencakup kemampuan serta prestasi seseorang. Sebagaimana dikatakan Honneth, pengakuan sosial secara konstitutif terkait dengan pengembangan rasa diri (sense-of-self). Oleh karena itu, individu hanya dapat memperoleh rasa harga diri apabila mereka mampu menilai secara positif bakat serta prestasi mereka sendiri dan penghargaan dari orang lain atas prestasi tersebut.

Relasi antara rasa harga diri dan penghargaan normatif dari orang lain terbukti dengan sendirinya. Meskipun demikian, hanya beberapa karakteristik dan pencapaian unik yang layak mendapat evaluasi positif dari orang lain serta diri sendiri. Untuk memahami dan menilai dengan tepat sesuatu yang bernilai, seseorang harus memahami himpunan nilai-nilai sosial (the set of socially current). Terkait hal ini, bentuk tertentu dari relasi praktis dengan diri bergantung pada pengakuan sosial yang hanya dapat disadari oleh seseorang dalam konteks sosial. Karena konteks sosial mampu memberikan suatu bentuk yang memadai dan tepat dari pengakuan intersubjektif (intersubjective recognition).

Objek spesifik dan ruang lingkup penghargaan sosial tergantung pada konteks. Terkait hal ini, dua orang dapat saling menghargai apabila mereka berbagi nilai dan tujuan yang sama yang berfungsi menentukan sesuatu yang pantas atau tidak untuk dihargai. Karena penghargaan mempunyai relasi internal dengan seperangkat makna, nilai, tujuan, dan keterkaitan masyarakat yang kompleks. Honneth secara khusus memusatkan perhatian pada pemahaman budaya mengenai tujuan masyarakat dan relasinya dengan aktivitas sosial yang kooperatif sebagai sesuatu yang penting untuk menetapkan standar penghargaan.

Berdasarkan komunitas nilai (community of value) tersebut, evaluasi dari sifat dan pencapaian konkret individu sangat penting dibuat sesuai dengan kontribusi yang mereka berikan untuk realisasi tujuan sosial bersama. Harga diri dimungkinkan dalam relasi solidaritas di antara orang-orang yang berpartisipasi dalam komunitas yang bernilai dan memajukan tujuan bersama. Perhargaan sosial tidak hanya penting untuk mengintegrasikan individu ke dalam solidaritas relasi sosial yang saling mendukung. Tetapi juga untuk pemahaman praktis individu mengenai dirinya sendiri sebagai anggota komunitas solidaritas.

Bentuk dasar ketidakhormatan yang berhubungan dengan pengakuan harga diri adalah penghinaan budaya (cultural denigration). Secara khusus ketika norma budaya masyarakat tertentu secara sistematis merendahkan cara hidup tertentu. Hal ini terjadi karena individu-individu tersebut tidak dapat menjalin relasi dengan pola realisasi diri yang memiliki nilai dalam masyarakat. Akibatnya, mereka tidak dapat menerima pengakuan positif atas prestasinya yang diorientasikan melalui cara hidup tersebut. Cercaan terhadap kelompok etnis merupakan penghinaan yang merugikan, menghancurkan kemampuan anggota kelompok mengembangkan relasi praktis yang sehat dengan diri sendiri dan pandangan masyarakat luas mengenai konsepsi tujuan serta nilai-nilai masyarakat.

PATOLOGI SOSIAL, KEBEBASAN, DAN PENGAKUAN SOSIAL

Honneth ingin memberikan kritik terhadap kehidupan masyarakat dewasa ini. Kritik tersebut disampaikan dengan menggunakan teori sosial kritis. Selain itu, Honneth secara sistematis mengembangkan filsafat sosial yang berorientasi pada diagnosis patologi sosial kontemporer melalui teori pengakuan. Sebagaimana dikatakan Honneth, tugas utama filsafat sosial adalah mendiagnosis perkembangan sosial.

Ketika Honneth menganggap tata bahasa pengakuan intersubjektif sebagai bagian dari struktur kondisi manusia, peran khusus, harapan, dan bentuk konkret dari pengakuan berubah seiring waktu serta berbeda di setiap lingkungan masyarakat. Misalnya, perubahan besar-besaran terkait peran dan kewajiban laki-laki, perempuan, dan anak-anak dalam keluarga serta definisi keluarga selama dua ratus tahun terakhir. Menurut Honneth, perubahan tersebut harus dipahami sebagai transformasi dalam tatanan masyarakat.

Perubahan besar tersebut juga didorong perjuangan untuk pengakuan oleh aktor dan kelompok sosial, perjuangan yang dimotivasi pengalaman negatif di mana individu serta masyarakat tidak diakui. Mengubah status quo yang tidak mencukupi menuju tatanan pengakuan yang lebih adil. Masyarakat menjadi lebih baik apabila pengakuan mengurangi diskriminasi dan pengucilan. Hal ini disebut Honneth sebagai konsepsi formal kehidupan etis, mengevaluasi berbagai macam gerakan sosial dan politik. Sehingga teori pengakuan memenuhi sejumlah tugas teori sosial kritis, yaitu menggambarkan bagaimana masyarakat terintegrasi, menjelaskan penyebab perubahan sosial, menilai perubahan sosial berdasarkan standar normatif, dan mengarahkan gerakan sosial memajukan proyek emansipasi manusia.

Menurut Honneth, kebebasan sejati adalah kebebasan sosial (social freedom) yang dapat dicapai melalui lembaga-lembaga sosial. Selain itu, kebebasan merupakan nilai terpenting dalam kehidupan modern, nilai yang mengatur semua nilai lainnya. Dalam kebebasan sosial, tindakan individu memperoleh nilai dan tujuan ketika selaras dengan kerja sama dalam kegiatan sosial. Sebagaimana diyakini Hegel dan Honneth, orang dikatakan bebas apabila ia berada di dunia sosial, mengakomodasi peran dan kewajiban sosial.

Kebebasan sosial membentuk dasar pembenaran moral setiap bidang institusional. Praktek-praktek khusus, peran sosial, persahabatan, cinta, keluarga, moralitas, hukum, pembagian kerja, ruang publik politik, dan negara dibenarkan sejauh memfasilitasi serta mendorong terwujudnya kebebasan sosial bagi semua individu. Terkait hal ini, kekurangan dan pencapaian institusi kontemporer serta aspek progresif dan patologis harus didiagnosis dalam kaitannya dengan sejauh mana kebebasan sosial difasilitasi atau dihalangi.

APRESIASI DAN KRITIK

Apresiasi

Teori kritis bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengevaluasi proses sosial serta politik kontemporer yang menghalangi emansipasi manusia. Terkait hal ini, teori sosial kritis Honneth menjunjung tinggi pengakuan timbal balik dan kebebasan sosial. Selain itu, ia mengembangkan psikologi sosial dalam kerangka pemahaman intersubjektif. Honneth juga mengembangkan filsafat moral berdasarkan prinsip pengakuan intersubjektif. Bahkan dalam bidang sosiologi ia menunjukkan relevansi perjuangan sosial untuk memungkinkan pengakuan terhadap individu.

Honneth berhasil membuka kedok patologi masyarakat yang berakar pada kerapuhan dan fragmentasi akal budi (reason). Melacak konflik sosial sehari-hari dalam tindakan penghinaan dan rasa tidak hormat. Honneth menemukan bahwa tuntutan untuk pengakuan sosial berasal dari pengalaman yang menyakitkan seperti politik ketidakadilan, antagonisme sosial, dan konflik budaya. Ia menekankan pentingnya solidaritas, rekonsiliasi, aktualisasi diri, dan realisasi perkembangan ego yang matang. Selain itu, Honneth mengingatkan bahwa relasi individu dengan yang lain berada dalam tegangan antara persekutuan dan pemisahan.

Kritik

Terdapat tiga kritik terkait gagasan Honneth mengenai perjuangan pengakuan individu. Pertama, optimisme antropologis. Antropologi filosofis Honneth terlalu optimis, fokus pada sikap pro-sosial dan afirmatif yang memotivasi individu mengenali orang lain secara afirmatif, dan lalai terhadap sikap anti-sosial, agresif, dan destruktif yang mendorong individu merendahkan serta menyakiti orang lain.

Kedua, individualisme yang kokoh. Gagasan Honneth mengenai perjuangan untuk pengakuan pada dasarnya menyerahkan kepribadian seseorang supaya dinilai orang lain. Tetapi juga menganggap penilaian tersebut sebagai sumber individualitasnya yang unik. Sehingga identitas individu secara fundamental dan konstitutif bergantung pada pengakuan orang lain. Selain itu, individu tidak punya pilihan lain selain memperhatikan sesuatu yang dipikirkan orang lain terhadap dirinya.

Ketiga, menurut Nancy Fraser, secara praktis mengejawantahkan pengakuan saja pada dasarnya tidak bijaksana dan justru mendorong ketidakadilan ekonomi. Karena Fraser meyakini bahwa misrecognition dan maldistribution merupakan dua jenis ketidakadilan yang berbeda dengan faktor penyebab serta dinamika yang berbeda. Oleh karena itu, membutuhkan solusi yang berbeda dan berpotensi mengakibatkan persaingan.

PENUTUP

Honneth tertarik pada proses pembentukan manusia yang dicirikan koeksistensi intersubjektif. Sebagaimana dikatakan Honneth, individu dapat mengidentifikasi dirinya apabila ia memperoleh pengakuan dari pasangan interaksinya. Honneth mendasarkan interpretasinya mengenai pengakuan pada teori intersubjektivitas. Dalam teori kritis tentang masyarakat, Honneth mendefinisikan interaksi sosial sebagai jaringan relasi pengakuan.

Honneth secara khusus mengidentifikasi cinta, hukum, dan solidaritas sebagai prasyarat mendasar pertumbuhan serta perkembangan individu. Sebagai bentuk pengakuan tipikal yang ideal, cinta, hukum, dan solidaritas memungkinkan individu memasuki relasi yang positif, yaitu rasa percaya diri, hormat diri, dan harga diri. Selain itu, cinta, hukum, dan solidaritas dapat digunakan untuk merekonstruksi logika moral mengenai konflik sosial seperti pelecehan fisik, pengucilan sosial, dan degradasi kolektif.

SUMBER BACAAN:

HEIDEGREN, CARL-GÖRAN. “Anthropology, Social Theory, and Politics: Axel Honneth’s Theory of Recognition.” Inquiry. Vol. 45, No. 4 (2002), hlm. 433-446.

KLEIN, REBEKKA A. Sociality as the Human Condition: Anthropology in Economic, Philosophical and Theological Perspective. Penerj. Martina Sitling. Boston: Brill, 2011.

LEMERT, CHARLES C. DAN ANTHONY ELLIOTT. Introduction to Contemporary Social Theory. New York: Routledge, 2014.

ZURN, CHRISTOPHER F. Axel Honneth: A Critical Theory of the Social. Cambridge: Polity Press, 2015.

Catatan:

Tulisan ini pernah dimuat di dalam majalah GITA SANG SURYA, Vol. 17, No. 3 (Mei-Juni 2022), hlm. 41-51.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here