RELEVANSI KISAH SARA DAN HAGAR (KEJADIAN 16 DAN 21) UNTUK MENJALANI KEHIDUPAN DALAM KONTEKS GLOBAL

0
4649

Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

(Ketua Bidang Animasi JPIC OFM Indonesia—Magister Filsafat STF Driyarkara Jakarta)

PENGANTAR

Kisah Sara dan Hagar dalam Kejadian 16 dan 21 dapat dibaca serta ditafsirkan berdasarkan perspektif martabat manusia (human dignity). Terkait hal ini, sebagaimana dialami Sara dan Hagar, emosi mewujud dalam rupa rasa sakit (pain), jijik (disgust), dan kebencian (hatred). Emosi tersebut merupakan akar dehumanisasi (dehumanization). Selain itu, kisah Sara dan Hagar menunjukkan pentingnya mengakui nilai dan makna hidup manusia.

Pada tataran tertentu, kisah Sara dan Hagar menginspirasi manusia dewasa ini yang hidup dalam konteks global untuk meninjau relasi antar suku, ras, agama, dan budaya. Sejauh mana relasi yang dibangun berdaya guna atau menumbuhkan dan mengembangkan kualitas hidup setiap pribadi. Sehingga setiap pribadi mampu melihat yang lain (the other) sebagai subjek, bukan objek.

Para penafsir dari tradisi Kristen, Yahudi, dan Islam mengklaim bahwa kisah Sara dan Hagar adalah milik mereka. Dalam bahasa Ibrani, nama Sara berarti putri (princess). Sedangkan dalam tradisi Islam, Hagar tidak dilihat sebagai budak (slave), melainkan putri yang menikah dengan Abraham. Midrash Yahudi melukiskan Hagar sebagai putri yang memilih menjadi pelayan di rumah Abraham dan Sara.

Harus diakui bahwa kisah Sara dan Hagar sangat menarik, berguna untuk melakukan refleksi moral (moral reflection) dan menunjukkan sifat manusia yang sesungguhnya. Ketika membaca kisah Sara dan Hagar, pembaca serentak membaca dunia serta diri sendiri (reading the own self). Membantu merenungkan realitas dan kualitas pribadi terutama terkait persoalan etika hidup.

SEKILAS TENTANG KISAH SARA DAN HAGAR

Hagar merupakan pribadi yang terjajah (colonized person). Dalam Kejadian 16:4 dikatakan bahwa Abram menghampiri Hagar, lalu mengandunglah perempuan itu. Ketika Hagar tahu, bahwa ia mengandung, maka ia memandang rendah akan nyonyanya itu. Sikap Hagar tersebut membuat Sara tertekan dan tidak berdaya. Karena Sara tidak bisa mengandung dan melahirkan keturunan untuk Abraham. Selain itu, Sara tidak dapat ambil bagian dalam rangka memenuhi perjanjian yang Allah sepakati dengan Abraham.

Sebagaimana dilukiskan dalam Kejadian 16:2, Sara menyampaikan kepada Abraham bahwa ia mandul. Kemandulan tersebut terjadi berdasarkan kehendak Allah, di mana Allah tidak menghendakinya melahirkan seorang anak. Sara menghindari kesalahan dan menegaskan bahwa Allah merupakan penyebab kemandulannya. Kemudian Sara berupaya sedemikian rupa tanpa bantuan Allah untuk memeroleh keturunan. Seharusnya Sara menyampaikan kepada Allah terkait kemandulannya dan terkait keputusannya memilih Hagar sebagai pengganti.

Sara menampilkan diri sebagai pribadi yang menderita dan disakiti oleh Allah. Hal ini terlihat ketika Sara membujuk Abraham dengan halus supaya percaya bahwa Allah harus bertanggung jawab atas kemandulannya. Tindakan Sara tersebut memerlihatkan bahwa ia menempatkan diri sebagai saksi atas tindakan yang dilakukan Allah kepadanya. Bahkan Sara membenarkan tindakannya untuk memeroleh keturunan dengan menggunakan jasa Hagar.

Sara memilih Hagar supaya mengandung dan melahirkan keturunan baginya. Keputusan tersebut juga dimaksudkan untuk menunjukkan kelambanan Allah (God’s inaction). Sara merencanakan bahwa anak yang akan dikandung dan dilahirkan Hagar akan diambil sebagai miliknya. Namun, Sara merasa diremehkan (slighted) oleh Hagar. Hal ini membuat Sara membenci dan memusuhi Hagar. Bahkan Sara menghendaki supaya Hagar menderita dan pergi dari kehidupan keluarganya. Karena keberadaan Hagar di dalam keluarganya merupakan sebuah ancaman.

Berdasarkan narasi kehidupan Hagar, terdapat dua implikasi yang harus dipahami dengan baik. Pertama, Hagar dipilih Allah sebagai pribadi spesial. Hal ini nampak ketika Allah memerlihatkan diri sebanyak dua kali kepada Hagar. Dalam budaya alkitabiah (biblical culture), peristiwa tersebut dilihat sebagai ketidakmungkinan. Karena Hagar adalah seorang pelayan (a servant), seorang perempuan (a woman), dan bukan bagian dari kelompok etnis Abraham.

Peristiwa Allah memerlihatkan diri kepada Hagar menunjukkan bahwa Allah menentang orang-orang yang menjunjung tinggi jenis kelamin, status ekonomi, dan kebangsaan tertentu. Karena orang-orang seperti itu seringkali mengabaikan dan memandang sebelah mata yang lain. Terkait hal ini, Allah menghargai seluruh ciptaan, terutama ciptaan-Nya yang tertindas. Dalam Kitab Suci, Hagar sangat menonjol. Karena Hagar merupakan satu-satunya orang yang memberikan nama kepada dewa (deity) dan yang menerima janji akan mempunyai banyak keturunan.

Kedua, malaikat Allah memberikan arahan kepada Hagar supaya kembali dan merendahkan dirinya di bawah otoritas Sara. Instruksi malaikat Allah tersebut tidak perlu disamakan dengan perlakuan kasar Sara terhadap Hagar. Malaikat Allah menghendaki supaya Hagar memberikan penghormatan kepada Sara yang mempunyai posisi lebih tinggi. Sampai pada akhirya, Hagar memeroleh posisi di antara orang-orang bukan Yahudi. Berdasarkan catatan alkitabiah, kesalehan Hagar melampaui kesalehan orang-orang Ibrani yang hidup sezaman dengannya.

EMOSI SEBAGAI AKAR DEHUMANISASI DALAM HIDUP SARA DAN HAGAR

Kesejahteraan Sara dan Hagar terancam, di mana mereka terhalang untuk mencapai potensi diri yang penuh. Terkait hal ini, kemandulan merupakan ancaman bagi Sara yang hidup di tengah masyarakat yang sangat menghargai kemampuan perempuan untuk melahirkan anak. Sedangkan bagi Hagar, ancaman tersebut terjadi ketika ia hidup dalam situasi dan kondisi terbatas (limited), tidak mempunyai apa pun ketika diusir serta tinggal di hutan belantara (wilderness).

Ancaman yang dialami Sara dan Hagar pada dasarnya sejajar. Sara mandul dan Hagar bersama anaknya kelaparan serta kehausan di tengah hutan belantara. Perlu diketahui bahwa Sara dan Hagar mempunyai latar belakang sosial serta etnis yang berbeda. Namun, keduanya saling berhubungan dan saling memengaruhi.

Emosi dalam bentuk rasa sakit, jijik, dan kebencian menjadi latar belakang dehumanisasi dalam hidup Sara dan Hagar. Terutama ketika Hagar mengandung anak Abraham dan sikapnya yang merendahkan serta menghina Sara. Hal ini membangkitkan niat di dalam diri Sara untuk melukai dan memerlakukan Hagar secara tidak manusiawi. Rasa sakit, jijik, dan kebencian Sara dinarasikan dalam Kejadian 21:10, usirlah hamba perempuan itu beserta anaknya, sebab anak hamba ini tidak akan menjadi ahli waris bersama-sama dengan anakku Ishak.

Sara menyampaikan pernyataan tersebut dengan nada menghina dan bahkan tidak mau menyebut nama Hagar secara eksplisit. Dalam Kejadian 21, Sara melanjutkan perlakuan kejam (abuse) terhadap Hagar dengan menghasut (incites) Abraham. Supaya Hagar dan Ismael diusir dan tinggal di hutan belantara. Sehingga kemungkinan besar Hagar dan Ismael akan meninggal karena lapar serta haus.

EMOSI SEBAGAI AKAR PENGHINAAN, KEKERASAN, DAN PELECEHAN

Tindakan penghinaan, kekerasan, dan pelecehan sebagaimana dilukiskan dalam kisah Sara dan Hagar, berakar pada emosi yang bertumbuh serta berkembang di dalam diri manusia. Terdapat empat penjelasan untuk memahami gagasan tersebut. Pertama, kemarahan, kebencian, dan rasa jijik mengakar di dalam struktur kehidupan manusia. Terkait hal ini, kemandulan Sara berakibat pada rasa sakit dan penderitaan yang dialami Hagar. Sara menggunakan tubuh (body) Hagar untuk memeroleh keturunan.

Selain itu, ketika Ishak bermain dengan Ismael, Sara melihat kehadiran Ismael sebagai ancaman bagi putranya. Ancaman tersebut membuat Sara melihat tubuh yang lain (the bodies of others) sebagai objek yang dibenci (the heted). Sara terluka oleh karena kehadiran yang lain, yaitu Hagar dan Ismael. Hal ini menjadi sebuah pembelajaran, seringkali penderitaan pribadi dan kolektif berakibat pada tindak kekerasan terhadap yang lain.

Kedua, di mana ada kebencian, di situ ada hasrat untuk menundukkan dan menguasai yang lain. Dalam kisah Sara dan Hagar, Sara tidak mampu melahirkan keturunan dan membutuhkan bantuan Hagar. Namun, pada saat yang sama, di mana Sara memerlukan bantuan Hagar, Sara memerlihatkan rasa sakit, jijik, dan kebencian kepada Hagar. Hal ini menegaskan bahwa pada dasarnya emosi bersifat ambivalen, membutuhkan dan sekaligus memusuhi yang lain.

Ketiga, dampak dari emosi yaitu tindakan menciptakan jarak ketika berhadapan dengan yang lain. Emosi yang mengemuka di dalam diri mengakibatkan pengusiran atau penghapusan terhadap segala sesuatu yang tidak dikehendaki dan bertentangan dengan dirinya. Menarik batasan yang tegas antara kita (us) dan mereka (them). Hal ini dimaksudkan untuk meredam kecemasan atau kegelisahan (anxiety). Dalam kisah Sara dan Hagar tindakan tersebut nampak dengan jelas. Hagar melarikan diri dalam rangka menghindarkan dirinya dari situasi dan kondisi penghinaan (contempt). Sedangkan Sara mengusir atau mengeluarkan Hagar dari kehidupan keluarganya.

Keempat, emosi pada dasarnya senantiasa ditujukan kepada orang tertentu. Namun, emosi juga seringkali dialihkan ke suatu kelompok. Dalam kisah Sara dan Hagar, Hagar (orang Mesir) dijadikan Sara (orang Israel) sebagai objek sasaran emosi, cemoohan, dan penghinaan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat batasan atau jarak antara orang Mesir dan orang Israel. Selain itu, relasi antara Sara dan Hagar memerlihatkan proses negosiasi identitas (identity negotiation) dengan latar belakang penderitaan yang dialami orang-orang Israel di Mesir.

Ketika mengalami emosi, seringkali manusia melihat yang lain sebagai imigran (immigrant), orang luar (outsider), dan kotor (dirty). Terkait hal ini, orang Kanaan diidentikkan dengan seksualitas dan amoralitas. Seorang pelacur bernama Rahab dapat dijadikan sebagai contoh. Oleh karena itu, orang Mesir seperti Hagar juga dilihat mempunyai kecenderungan hiperseksualitas dan terlibat dalam pergaulan bebas (promiscuity).

Bahkan Hagar diumpamakan sebagai lemak seekor keledai dan mempertahankan baunya sekalipun apabila terdapat seseorang menuangkan minyak mawar kepadanya. Pada titik tertentu Hagar memutuskan untuk tidak lagi menjalin relasi dengan Abraham. Namun, pada akhirnya Hagar mengambil perempuan Mesir untuk Ismael. Berbagai macam stereotip semacam itu harus didobrak, supaya tidak terjebak di dalam emosi. Sehingga penting untuk menghilangkan emosi dan kebencian dalam rangka melawan dehumanisasi sebagaimana dilukiskan dalam kisah Sara dan Hagar.

DAYA TAHAN HAGAR KETIKA BERHADAPAN DENGAN DEHUMANISASI

Emosi dalam bentuk rasa sakit, jijik, dan kebencian menciptakan dehumanisasi sebagaiamana dialami terutama oleh Hagar. Hagar menjadi budak dan sasaran perlakuan kasar serta pelecehan. Sampai pada akhirnya Hagar diusir dari rumah Abraham dan Sara. Terkait hal ini, seringkali kehidupan tertentu dianggap lebih menyedihkan (grievable) daripada yang lain. Sedangkan kehidupan yang berharga (valuable) diupayakan sedemikian rupa untuk dilindungi.

Kisah Sara dan Hagar sebagaimana dilukiskan dalam Kejadian 16 dan 21 mempunyai fungsi penting untuk memanusiakan Hagar serta mengakui kesedihan dan kehilangannya. Perlu diketahui bahwa penderitaan Hagar dikenali oleh Allah. Terkait hal ini, Hagar merupakan perempuan pertama dalam Alkitab Ibrani yang berjumpa dan berbicara dengan Allah. Selain itu, Hagar menjadi satu-satunya perempuan yang menerima janji garis keturunan yang panjang. Sebagaimana dikatakan Hagar, Allah tampil sebagai Allah yang melihat (El Roeh).

Dalam Kejadian 16, Hagar meratap di tengah hutan belantara dan memprotes penderitaannya sendiri. Karena Hagar tidak dapat melakukan apa pun ketika anaknya kelaparan dan kehausan. Ketika matanya terbuka, Hagar melihat sumur yang merupakan sumber keselamatan (source of salvation). Sumur tersebut menyediakan air yang menunjang kehidupan (life-sustaining).

Hagar dan Ismael menjalani kehidupan yang sulit dan berat di tengah hutan belantara. Namun, mereka menjalaninya dalam kebebasan, tidak ada paksaan dari siapa pun. Penting juga melihat tindakan yang dilakukan Hagar ketika memilih perempuan Mesir untuk Ismael. Hal ini sejatinya dimaksudkan Hagar untuk mengamankan dirinya dan masa depannya. Kisah Hagar dan kehidupannya di luar wilayah Israel berfungsi untuk menerobos rasa muak yang terkait dengan narasi identitas etnis.

RELEVANSI KISAH SARA DAN HAGAR UNTUK MENJALANI KEHIDUPAN DALAM KONTEKS GLOBAL

Hagar diusir dengan anaknya dalam kondisi melarat dan ditakdirkan untuk binasa. Hagar diperlakukan layaknya orang-orang terjajah, dipecat, dirampas, dipermalukan, dan dipaksa untuk hidup dalam situasi yang menyedihkan. Hagar putus asa dan sedih karena putranya kelaparan dan kehausan. Kemudian Hagar berdoa kepada Allah, tidak tahan aku melihat anak itu mati (Kejadian 21:16b).  Doa Hagar didengarkan Allah dan Allah tidak membiarkan anaknya mati. Allah membuka mata Hagar dan menunjukkan sumber air kepadanya. Air yang ditunjukkan oleh Allah mengurangi rasa sakit dan penderitaan yang dialami Hagar. Hal ini merupakan tanda harapan bahwa hidup tidak harus tenggelam di dalam ratapan dan penderitaan.

Kisah Sara dan Hagar berpotensi menjadi ruang untuk merenungkan (contemplating) persoalan etika hidup yang kompleks. Terutama persoalan etika yang timbul dari interaksi dan relasi antar suku, ras, agama, dan budaya. Kisah Sara dan Hagar bukanlah kisah yang membahagiakan. Relasi antara Sara dan Hagar hancur serta berakhir dengan pengusiran Hagar. Selain itu, kisah Sara dan Hagar membantu manusia untuk memahami diri sendiri serta yang lain.

Kisah Sara dan Hagar dapat digunakan untuk mengetahui dampak negatif dari emosi. Karena emosi pada hakikatnya merupakan musuh atau lawan dari belas kasih (compassion). Terkait hal ini, keadilan akan terejawantah apabila setiap pribadi menumbuhkan dan mengembangkan belas kasih. Sesuatu yang menghambat teraktualisasikannya belas kasih adalah rasa malu, kebencian, iri hati, dan jijik. Seringkali sikap-sikap tersebut mencemari relasi yang dibangun dengan yang lain. Manisfestasi paling ekstrim dari sikap-sikap tersebut yaitu yang lain dijadikan objek kebencian dan membuat yang lain mengalami kehancuran (destruction).

Kisah Sara dan Hagar menghimbau para pembaca untuk melawan berbagai macam tindakan yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Sebagai penafsir Kitab Suci, kita dipanggil untuk memperbaiki ketidakadilan dan mengusahakan penafsiran yang dapat memulihkan martabat laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang terluka karena dehumanisasi. Akhirnya, kisah Sara dan Hagar bukanlah cerita antara kita (us) dan orang lain (other), melainkan antara kita (us) dan kita yang lain (another us).

PENUTUP

Berdasarkan kisah Sara dan Hagar, emosi menjadi salah satu penyebab utama dehumanisasi. Realitas dehumanisasi memerlihatkan pentingnya membangun relasi yang sehat dengan yang lain. Untuk mengejawantahkan relasi yang sehat, manusia harus melakukan refleksi moral. Merenungkan realitas dan kualitas pribadi. Memahami diri sendiri dan yang lain. Tidak menundukkan dan menguasai yang lain. Berjuang mengaktualisasikan keadilan dan belas kasih. Menghindari penghinaan, kekerasan, pelecehan, dan iri hati.

SUMBER BACAAN:

BRANCH, R. G. “Sarah.” Dalam T. Desmond Alexander dan David W. Baker. Dictionary of the Old Testament: Pentateuch. USA: InterVarsity Press, 2003, hlm. 733-736.

CLAASSENS, JULIANA. “Just Emotions: Reading the Sarah and Hagar Narrative (Genesis 16, 21) Through the Lens of Human Dignity.” Original Research (5 September 2013), hlm. 1-6.

DREY, PHILIP R. “The Role of Hagar in Genesis 16.” Andrews University Seminary Studies. Vol. 4, No. 2 (2002), hlm. 179-195.

GRIMES, JESSICA. “Reinterpreting Hagar’s Story.” Lectio Difficilior. Vol. 1 (2004), hlm. 1-12.

LUNA, ANIUSKA M. “The Componen of Dehumanization.” Peace and Conflict Studies. Vol. 22, No. 1 (2015), hlm. 18-33.

OKOYE, JAMES C. “Sarah and Hagar: Genesis 16 and 21.” Journal for the Study of the Old Testament. Vol. 32, No. 2 (2007), hlm. 163-175.

OVERLAND, P.B. “Hagar.” Dalam T. Desmond Alexander dan David W. Baker. Dictionary of the Old Testament: Pentateuch. USA: InterVarsity Press, 2003, hlm. 376-379.

REAVES, JAYME R. “Sarah as victim and Perpetrator: Whiteness, Power, and Memory in the Matriarchal Narrative.” Review and Expositor (2018), hlm. 1-17.

SPITZER, TOBA. “Where Do You Come From, And Where Are You Going? Hagar and Sarah Encounter God.” The Reconstructionist (1998), hlm. 8-18.

TEUBAL, SAVINA J. Ancient Sisterhood: The Lost Traditions of Hagar and Sarah. Ohio: Swallow Press, 1997.

Catatan:

Tulisan ini pernah dimuat di dalam GITA SANG SURYA, Vol. 17, No. 3 (Mei-Juni 2022), hlm. 61-65.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

19 + thirteen =