Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
(Ketua Bidang Animasi JPIC OFM Indonesia—Magister Filsafat STF Driyarkara Jakarta)
Kapan warga negara memiliki kewajiban moral (moral duty) mematuhi pemerintah dan mendukung institusi masyarakat? Pertanyaan tersebut merupakan inti filsafat politik. John Rawls (1921–2002) menanggapi pertanyaan tersebut dengan mengemukakan gagasan mengenai keadilan sebagai fairness dalam A Theory of Justice (1971). Selanjutnya, ketika muncul pertanyaan, bagaimana hak, kewajiban, manfaat, dan beban kerja didistribusikan, cita-cita kebebasan (freedom) dan kesetaraan (equality) bertentangan satu sama lain. Dalam politik domestik, konflik tersebut mengacu pada tegangan di antara kebebasan individu dan kesejahteraan universal. Terkait hal ini, Rawls mendamaikan kebebasan dan kesetaraan melalui teori keadilan.
Kaspersky Internet Security Crack
Terdapat tiga gagasan dalam teori keadilan Rawls. Pertama, mengasumsikan karakteristik tertentu yang menjadi karakter masyarakat bebas (free societies) dan bagaimana masyarakat serta manusia dipahami. Rawls meyakini orang-orang dengan keyakinan berbeda menyetujui prinsip-prinsip penyelesaian konflik akibat distribusi institusi sosial. Kedua, mengacu pada tradisi teori kontrak (contract theory tradition) dalam filsafat politik, persetujuan diperlukan untuk pelaksanaan kekuasaan negara. Ketiga, prinsip-prinsip dalam rangka mengejawantahkan keadilan diharapkan didukung warga negara. Gagasan utama prinsip-prinsip tersebut yaitu hak politik dan sipil harus dilindungi. Selain itu, kemampuan dan upaya individu dijamin memiliki kesempatan yang sama. Terkait hal ini, kelompok sosial yang paling dirugikan harus diperhitungkan dalam distribusi manfaat ekonomi.
Teori keadilan Rawls merupakan alternatif dari utilitarianisme yang dominan di kalangan filsuf dan pemikir politik sejak pertengahan abad XVIII. Politisi, ekonom, dan filsuf moral seperti Adam Smith (1723-1790), Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill (1806-1873), dan Henry Sidgwick (1838-1900) menganjurkan utilitarianisme. Mereka menegaskan prinsip maksimalisasi kesejahteraan (welfare maximization), di mana seseorang bertindak sedemikian rupa untuk mencapai utilitas sebesar mungkin dengan mempertimbangkan semua pemangku kepentingan (stakeholders). Kesejahteraan yang dipahami sebagai kebahagiaan merupakan yang utama, sedangkan distribusi kesejahteraan di antara pihak-pihak terkait tidak memiliki arti esensial. Dalam perspektif utilitarianisme, membiarkan seseorang menderita dianggap tepat apabila diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Rawls menyangkal pandangan tersebut dan mengklaim bahwa individu memiliki hak yang tidak dapat dikorbankan untuk orang lain dalam rangka mendapatkan lebih banyak manfaat.
Karya Rawls A Theory of Justice merupakan kontribusi dalam filsafat politik (political philosophy) yang menarik perhatian pada abad XX. Karya tersebut merevolusi filsafat moral (moral philosophy) dan para kritikus Rawls menyatakan bahwa para filsuf politik harus menimba inspirasi darinya atau menjelaskan mengapa mereka memilih tidak belajar darinya. Namun, A Theory of Justice tidak luput dari kritik dan Rawls menanggapi berbagai macam kritik sejak karya tersebut diterbitkan. Rawls memodifikasi dan menjelaskan teorinya supaya publik mendapat penjelasan yang lebih baik. Hal ini nampak ketika Rawls menerbitkan Political Liberalism (1993), di mana ia mengembangkan pemikirannya. Sedangkan Justice as Fairness (2001) merupakan karya Rawls yang menguraikan teori keadilan secara lebih padat.
KONTEKS SOSIAL DAN HISTORIS
John Rawls lahir di Maryland-Amerika Serikat pada 1921. Dalam kurun waktu tiga tahun, Rawls menjalankan dinas militer Perang Dunia II. Selain itu, ia mengabdikan seluruh hidupnya mendalami filsafat. Rawls menerima gelar doktor filsafat dari Princeton University (1950) dan mengajar di kampus tersebut serta Cornell University (1962) sebelum ia ditawari jabatan guru besar dalam bidang filsafat dari Harvard University. Rawls mengerjakan A Theory of Justice selama dua puluh tahun. Karya tersebut mencerminkan karakteristik filsafat analitik (analytical philosophy), analisis konseptual dan argumen yang rinci.
Filsafat politik meningkatkan pemahaman tentang bagaimana seharusnya suatu masyarakat. Rawls menekankan bahwa pemahaman tersebut memiliki tujuan praktis membantu menyelesaikan konflik di antara anggota masyarakat. Rawls dilahirkan dan dibesarkan di Amerika bagian Selatan, di mana ia merasakan situasi dan kondisi masyarakat mengalami penderitaan karena tidak mampu menjawab pertanyaan bagaimana masyarakat yang adil mengatur distribusi manfaat dan beban kerja di antara anggota. Rawls mendedikasikan hidupnya untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Karya Rawls A Theory of Justice mempunyai pengaruh luas. Karena ia menggali dan mengambil manfaat dari wawasan para pemikir sebelumnya. Menurut Rawls, jika ingin belajar dari orang lain, maka harus menafsirkannya dengan cara terbaik. Oleh karena itu, wawasan sejarah diperlukan untuk menempatkan berbagai macam teori secara adil dan belajar dari cara pandang orang lain. Ketika para pemikir terdengar naif, seringkali karena interpretasi terhadap mereka salah. Realitas tersebut membuat Rawls bertanya, apa konteks historis suatu karya? Apa yang menjadi perhatiannya? Pilihan apa yang mereka anggap mungkin? Banyak kritikus A Theory of Justice gagal mengajukan pertanyaan seperti itu terhadap teori keadilan Rawls.
Pada pertengahan abad XX, Amerika ditandai konflik politik. Gerakan Hak Sipil (The Civil Rights Movement) 1950-1960 mengajukan pertanyaan mengenai kehidupan sosial dan pemerintahan di Amerika. Peran negara dalam Perang Vietnam memusatkan perhatian publik pada legitimasi pemerintah. Terkait hal ini, apa hak moral otoritas politik meminta anggota masyarakat mematuhi peraturan? Menurut Rawls, legitimasi merupakan pertanyaan tentang keadilan, yaitu bagaimana hak dan manfaat didistribusikan di antara masyarakat. Dalam demokrasi, tatanan hukum dan politik publik harus menjamin kesetaraan politik (political equality). Tetapi keadaan masyarakat Afrika dan Amerika memperlihatkan bahwa hak sipil yang setara secara formal tidak mampu mencegah diskriminasi rasial (racial discrimination). Perlindungan hukum yang tidak memadai dan peluang ekonomi serta politik yang terbatas membuat kelompok minoritas tertindas. Pada saat yang sama, tuntutan kesetaraan ekonomi dan sosial mengancam kemakmuran serta kebebasan kelompok mayoritas.
SEKILAS TENTANG KEADILAN
Keadilan dapat dipahami sebagai situasi dan kondisi di mana setiap orang mendapatkan apa yang menjadi haknya. Terdapat berbagai macam pandangan mengenai keadilan. Pertama, keadilan formal (formal justice) adalah penerapan prinsip tidak memihak dan konsisten. Kedua, keadilan substantif (substantive justice) terkait dengan hak, yaitu apa yang dapat dituntut secara sah oleh individu satu sama lain atau apa yang dapat mereka tuntut secara sah dari pemerintah. Ketiga, keadilan retributif (retributive justice) menyangkut kapan dan mengapa hukuman dibenarkan. Perdebatan terus berlanjut mengenai apakah hukuman dibenarkan sebagai pembalasan atas kesalahan. Mereka yang menekankan retribusi sebagai pembenaran hukuman percaya bahwa manusia memiliki kehendak bebas, sedangkan mereka yang menekankan pencegahan menerima determinisme. Keempat, keadilan korektif (corrective justice) terkait dengan keadilan tuntutan ganti rugi perdata. Kelima, keadilan komutatif (commutative justice) menyangkut keadilan upah, harga, dan pertukaran. Keenam, keadilan distributif (distributive justice) terkait dengan keadilan distribusi sumber daya.
Keadilan komutatif dan keadilan distributif saling berkaitan, karena upah masyarakat terkait dengan berapa banyak sumber daya yang mereka miliki. Dalam filsafat modern, perdebatan tentang upah dan harga yang adil dibayangi pertanyaan, apa yang dimaksud dengan distribusi sumber daya yang adil? Misalnya, Karl Marx (1818-1883) menganjurkan distribusi sumber daya sesuai kebutuhan. Sedangkan yang lain menganjurkan distribusi dengan cara apa pun yang memaksimalkan utilitas jangka panjang. Selain itu, ada yang berpendapat bahwa distribusi disebut adil apabila menguntungkan semua orang. Yang lain lagi berpendapat bahwa distribusi yang adil adalah hasil dari pasar bebas. Sejak Aristoteles (384-322 SM), keadilan diidentikkan dengan mematuhi hukum dan memperlakukan setiap orang dengan adil. Tetapi apabila hukum adalah (is) dan keadilan bukan (not) masalah kesepakatan, maka keadilan tidak dapat diidentikkan dengan mematuhi hukum. Literatur positivisme hukum (legal positivism) dan teori hukum alam (natural law theory) mengandung perdebatan mengenai batasan moral tentang kesepakatan yang dianggap sebagai hukum.
PRINSIP KEADILAN DISTRIBUTIF
Perlu diketahui bahwa pertanyaan mengenai kapan warga negara memiliki kewajiban moral mematuhi institusi sosial yang dipelihara otoritas negara, Rawls melihatnya berdasarkan perspektif masalah keadilan. Secara khusus tentang dampak ketika institusi melakukan distribusi barang-barang primer sosial (social primary goods). Terkait hal ini, prinsip keadilan distributif (principles of distributive justice) membenarkan persyaratan distribusi khusus untuk institusi dasar masyarakat (the basic institutions of society) dengan asumsi mereka mengejawantahkan dua pokok gagasan. Pertama, prinsip kebebasan (principle of liberty), di mana setiap orang memiliki hak yang sama yang tidak dapat dicabut. Mencakup hak sipil dan politik, misalnya hak memilih, kebebasan berbicara dan beragama, dan hak atas perlindungan yang sama di bawah hukum.
Kedua, prinsip ketimpangan sosial dan ekonomi (the principle of social and economic inequalities). Prinsip kedua terdiri dari dua kondisi perbedaan sosial dan ekonomi yang dapat terjadi secara berkelanjutan. Rawls menyebut dua kondisi tersebut sebagai dua prinsip yang berbeda. (1) Prinsip kesempatan yang sama (the principle of equal opportunity). Kesenjangan sosial dan ekonomi dikaitkan dengan posisi sosial, misalnya pekerjaan serta karier dapat diakses semua orang. (2) Prinsip perbedaan (difference principle). Ketimpangan sosial dan ekonomi dibenarkan apabila menguntungkan anggota masyarakat yang paling tidak beruntung.
Dalam masyarakat yang mengejawantahkan prinsip-prinsip di atas, prinsip kebebasan diprioritaskan, di mana institusi sosial tidak boleh mempromosikan kesempatan yang sama atau membiarkan ketidaksetaraan ekonomi dengan melanggar hak dasar dan kebebasan orang lain. Demikian pula dengan prinsip kesetaraan kesempatan menang atas prinsip perbedaan, di mana kesetaraan kesempatan tidak dapat dikorbankan untuk meningkatkan pendapatan dan kekayaan yang paling miskin. Prinsip perbedaan memungkinkan ketidaksetaraan ekonomi antara orang-orang dalam posisi yang berbeda. Sehingga prinsip-prinsip di atas tidak dapat dengan mudah diambil untuk membenarkan kebijakan liberalisasi ekonomi maupun kebijakan sosial demokrat.
Prinsip-prinsip di atas ditujukan untuk institusi yang ada secara berkelanjutan dan membentuk preferensi serta aspirasi penduduk. Rawls tidak mengklaim bahwa prinsip-prinsip tersebut berlaku sebagai strategi meningkatkan aturan yang tidak adil. Misalnya, tidak dibenarkan bahwa lebih penting memastikan hak politik daripada menghapus ketidaksetaraan ekonomi dalam masyarakat. Pertanyaan penting tentang perbaikan yang tepat dari aturan yang tidak adil berada di luar cakupan prinsip-prinsip tersebut, karena prinsip-prinsip tersebut dimaksudkan untuk diterapkan pada aturan yang sudah ada.
KONSEPSI MASYARAKAT DAN INDIVIDU
Bagaimana teori keadilan sebagai fairness membenarkan prinsip-prinsip sebagaimana diuraikan di atas untuk mengejawantahkan institusi sosial yang adil (fair social institutions)? Rawls tidak menurunkan prinsip-prinsip tersebut dari prinsip yang lebih mendasar. Menurut Rawls, prinsip-prinsip tersebut lebih masuk akal daripada prinsip utilitarian. Banyak argumen menentang kebijakan yang tidak memuaskan. Bahwa prinsip keadilan tertentu berpihak pada kelompok sosial tertentu dianggap tidak adil. Terkait hal ini, peran prinsip keadilan distributif menilai apakah diskriminasi terjadi. Keragaman agama dan norma dalam masyarakat menghalangi prinsip-prinsip yang diusulkan, misalnya mempromosikan keyakinan tertentu atau mendorong sikap atau kemampuan tertentu. Prinsip-prinsip tidak bisa dikemukakan karena pandangan hidup tertentu, meskipun memiliki nilai intrinsik (intrinsic value).
Langkah pertama dalam teori keadilan Rawls terdiri dari dua keyakinan dasar yang ia yakini sebagai pusat masyarakat demokratis, yaitu pemahaman khusus tentang komunitas (particular understanding of community) dan konsepsi anggota komunitas (conception of community members). Ia menyarankan masyarakat dipahami sebagai sistem kerja sama di antara anggota yang bebas dan setara. Rawls membedakan dirinya dari utilitarian yang melihat masyarakat sebagai sarana mempromosikan kesejahteraan secara keseluruhan dan banyak filsuf moral berpendapat bahwa masyarakat harus mempromosikan cita-cita tertentu.
Keadilan sebagai fairness berfokus pada subjek yang terbatas, konsekuensi distributif dari institusi sosial dasar seperti hukum, struktur ekonomi, pengaturan pajak, dan struktur keluarga. Teori keadilan tersebut secara eksklusif terkait dengan bagaimana institusi memenuhi distribusi manfaat dan beban kerja di antara anggota masyarakat. Rawls percaya bahwa pertanyaan tersebut secara praktis relevan, penting, dan sulit dijawab. Untuk memperjelas dan memahami teori keadilan Rawls, penting melihat pandangannya tentang masyarakat dan individu serta relasi antara keduanya. Dua aspek dalam masyarakat menyulitkan untuk menyepakati kriteria distribusi, yaitu kita dibentuk oleh institusi (we are shaped by the institutions) dan kita memiliki keyakinan nilai yang berbeda (we have different beliefs of value).
Institusi sosial mempengaruhi kondisi dan nilai kehidupan. Selain itu, institusi sosial adalah buatan manusia, bukan sesuatu yang alami. David Hume (1711-1776) memberikan komentar tentang kecerdasan sosial (social artifices) yang dilakukan dengan rencana dan tujuan tertentu. Institusi tersebut berada di bawah kendali manusia dan memungkinkan untuk diubah. Meskipun demikian, perubahan institusi yang direncanakan seringkali gagal. Tetapi adanya kesempatan untuk perubahan, masih masuk akal untuk bertanya bagaimana seharusnya institusi sosial. Filsafat politik memperhatikan isu-isu seperti itu sejak Platon (427-347 SM).
Rawls menjawab varian tertentu dari pertanyaan tersebut dan memperhatikan struktur sosial dasar (the basic social structure). Kita pada hakikatnya dipengaruhi lingkungan sosial, karena kita adalah makhluk sosial (social beings). Sistem hukum, ekonomi pasar, perpajakan, dan struktur keluarga menciptakan hak serta kewajiban yang membuat seseorang terikat pada peran yang berbeda. Pengaturan tersebut menghargai kemampuan dan jenis pekerjaan serta memberikan pedoman tentang bagaimana hasil kerja didistribusikan. Institusi mempengaruhi kita secara fundamental, sehingga kita tidak memiliki alasan independen membahas bagaimana institusi mendistribusikan manfaat dan beban kerja. Institusi memberikan pengaruh dalam tiga cara, yaitu melalui distribusi manfaat, melalui harapan yang diciptakan di antara kita untuk manfaat masa depan, dan mempengaruhi nilai yang kita lekatkan pada manfaat dan beban kerja.
Institusi mempengaruhi distribusi manfaat dan beban kerja. Kita dilahirkan di tempat tertentu dalam masyarakat dan peluang kita dalam hidup ditentukan institusi sosial dasar yang mempengaruhi kemampuan kita mencapai posisi sosial. Selain itu, kita membentuk harapan berdasarkan institusi. Institusi menghargai kemampuan tertentu dan sejumlah pekerjaan serta memberikan pedoman tentang bagaimana hasil kerja didistribusikan. Di bawah pengaturan yang stabil, mereka yang memegang pekerjaan atau posisi sosial tertentu diberi imbalan yang sesuai. Sehingga memberi kepada semua sesuai jasa atau usaha (give to all according to merit or effort) tidak memberikan jawaban atas pertanyaan tentang kriteria apa yang harus diterapkan pada institusi yang menentukan harapan warga negara yang pada gilirannya menentukan sesuatu yang pantas diterima individu.
Institusi sangat mempengaruhi harapan dan nilai kita. Institusi mencirikan penilaian kita tentang manfaat dan beban kerja yang diberikan. Institusi membentuk kita sejak awal, sehingga sulit membayangkan bahwa kita memiliki seperangkat nilai atau kepentingan asali (original) yang berkembang di hadapan institusi. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa pertanyaan tentang legitimasi normatif penting, yaitu bagaimana seharusnya institusi sosial mendistribusikan manfaat dan beban kerja, termasuk bagaimana alokasi, harapan, dan nilai terjadi.
Institusi memiliki dampak luar biasa pada warga, sehingga sulit menemukan jawaban yang beralasan atas pertanyaan tentang bagaimana kekuasaan dijalankan. Karena kelenturan kita, institusi sosial tidak memberi apa yang kita harapkan. Korespondensi antara harapan dan distribusi dapat dicapai dengan memastikan bahwa distribusi yang adil memenuhi persyaratan. Tetapi apabila kita tidak dapat berdiskursus berdasarkan harapan kita, ada beberapa petunjuk untuk menentukan bagaimana manfaat dan beban kerja didistribusikan. Salah satu kemungkinannya adalah membangun konsepsi tentang kehidupan yang baik (the good life), tetapi hal ini menjadi problematis karena pluralitas konsepsi tentang kehidupan yang baik.
Menurut Rawls, masyarakat dengan kebebasan beragama (freedom of religion) dan kebebasan berekspresi (freedom of expression) memiliki keragaman keyakinan. Selain itu, Rawls meyakini bahwa apabila kekuasaan negara digunakan untuk menekan kepercayaan tertentu, anggota masyarakat yang reflektif dan bermoral tidak setuju tentang kodrat manusia (human nature) serta kehidupan yang baik. Sehingga kita tidak dapat menggunakan sesuatu yang disengketakan dari kepercayaan sebagai dasar mengevaluasi institusi. Tantangan tambahan dengan asumsi keragaman konsepsi kebaikan yaitu masyarakat yang tertata dengan baik harus stabil. Meskipun warga negara memiliki keyakinan yang beragam, rasa keadilan anggota harus dikembangkan dan dipertahankan, sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan institusi sosial.
STRATEGI ARGUMEN KEADILAN
Rawls mengacu pada tradisi kontrak sosial dalam filsafat politik. Tradisi tersebut menganggap aturan masyarakat sebagai aturan yang diharapkan mendapat persetujuan di antara semua pihak yang terlibat. Selain itu, tradisi tersebut menekankan supaya semua orang bertindak sesuai dengan aturan (act in accordance with such rules). Serangkaian aturan yang memuaskan atau sesuai adalah aturan yang disetujui semua orang yang berkepentingan.
Pemerintah meminta kita mengikuti hukum negara (the laws of the land), terikat untuk patuh. Terkait hal ini, apakah institusi menghormati kebebasan dan kesetaraan individu? Dalam kondisi tertentu kita dapat menganggap aturan tersebut menghormati kita sebagai individu yang bebas dan setara, di mana kita terikat secara moral oleh norma. Struktur sosial dasar menghormati kebebasan dan kesetaraan individu apabila skema tersebut dijadikan subjek persetujuan sukarela semua pihak yang terkait. Namun, aturan tidak sah apabila individu menjadi lebih buruk daripada ketika ia berada di bawah alternatif yang ditentukan. Menurut John Locke (1632-1704), garis dasar tersebut adalah keadaan alami tanpa institusi sosial (natural state without social institutions). Locke meyakini otokrasi absolut (absolute autocracy) lebih buruk daripada keadaan alami, sehingga aturan tersebut tidak memiliki hak moral untuk dipatuhi.
Tradisi tersebut menafsirkan norma kesetaraan (the norm of the equality) semua manusia dengan cara tertentu. Semua pihak yang berkepentingan diperhitungkan secara setara dalam arti bahwa aturan dan institusi masyarakat dipertahankan terhadap semua. Serangkaian aturan yang memuaskan atau sesuai adalah aturan yang diikuti oleh setiap orang yang berkepentingan, di mana kita menerimanya terlepas dari pihak mana pun yang terkait dengan kita.
Rawls memilih pendekatan yang diilhami oleh kontrak sosial. Ia mengusulkan bahwa masyarakat yang adil harus memenuhi kriteria distribusi yang dipilih oleh partai-partai dengan pijakan yang bebas dan setara. Ketika kriteria masuk akal (reasonable), mereka tidak menghadapi keberatan terhadapnya. Sehingga kita berelasi satu sama lain dengan bebas dan setara bahkan ketika kita dipaksa menyerah pada institusi sosial. Hal ini merupakan ide di balik saran Rawls bahwa kita harus memahami keadilan sebagai fairness.
Rawls mengajukan gagasan mengenai institusi sosial yang dianggap sebagai keseluruhan. Terkait hal ini, dasar perbandingan untuk menilai kelebihan atau kekurangan seseorang bukan dari keadaan alamiah (natural state). Meskipun institusi sosial adalah buatan (artificial), tidak masuk akal menilai diri kita sebagai yang ada di luar norma, ikatan, dan peran tempat kita dilahirkan. Sebaliknya, Rawls membandingkan prinsip-prinsip alternatif untuk menilai struktur sosial dasar.
Rawls mengusulkan sarana untuk mempermudah melihat bagaimana kita dapat membenarkan dan memberi peringkat pada aturan tersebut dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip keadilan. Kita dapat membayangkan negosiasi awal posisi asali (original position), di mana semua pihak menyepakati prinsip-prinsip untuk menilai apakah institusi sosial adil. Hal ini sesuai dengan interpretasi kontrak sosial tentang kesetaraan dan kebebasan sebagai persetujuan umum (general consent). Para pihak yang terkait berargumentasi di balik selubung ketidaktahuan (veil of ignorance) dalam memilih prinsip-prinsip keadilan.
Dalam posisi asali para pihak yang terkait mengetahui bahwa institusi sosial mempengaruhi kehidupan mereka. Meskipun setiap orang memiliki filosofi hidup yang ingin mereka promosikan, mereka tidak mengetahui keyakinan khusus apa yang mereka miliki. Oleh karena itu, tidak ada yang akan menganjurkan distribusi manfaat tertentu untuk mempromosikan keyakinan tertentu. Juga tidak akan ada yang berpendapat bahwa institusi sosial harus mendukung bakat tertentu seperti kemampuan belajar dan kewirausahaan, karena tidak ada yang mengetahui apakah mereka memiliki karakteristik seperti itu.
Menurut Rawls, posisi sosial yang paling dirugikan akan diberikan bobot yang menentukan dalam pilihan prinsip keadilan. Hal ini diungkapkan dalam gagasan bahwa para pihak yang terkait memikirkan hal terburuk yang bisa terjadi pada mereka. Dalam ketidaktahuan tentang bagaimana masing-masing berakhir di tangga sosial (social ladder), mereka memastikan bahwa yang terburuk adalah yang berkecukupan (the worst off are as well off as possible). Prinsip Rawls lebih disukai daripada prinsip utilitarianisme untuk memaksimalkan utilitas, karena yang terakhir memungkinkan individu dikorbankan untuk kepentingan orang lain.
Menurut Rawls, pilihan hipotetis dalam posisi asali relevan untuk menentukan prinsip-prinsip keadilan. Dalam posisi tersebut, partai-partai memilih prinsip Rawls daripada utilitarianisme. Prinsip Rawls memastikan bahwa setiap orang, bahkan yang paling tidak beruntung, menerima barang-barang sosial. Pilihan posisi asali merupakan upaya menemukan prinsip-prinsip yang disetujui secara umum dan menghindari kebijakan yang ditentang sebagian orang. Keluhan datang dari orang-orang yang paling tidak beruntung. Mereka yang mendapatkan sedikit barang-barang primer sosial memiliki keberatan terhadap distribusi yang tidak merata, terutama ketika memperhitungkan bahwa barang-barang tersebut dihasilkan melalui kolaborasi dan ketika menyadari dampak besar distribusi yang tidak merata terhadap standar hidup masyarakat yang kurang beruntung (the living standards of the disadvantaged).
Supaya pendekatan tersebut berhasil, penting memilih di antara prinsip-prinsip yang bersaing berdasarkan keberatan yang masuk akal terhadap aturan sehubungan dengan dampak aturan terhadap individu. Argumen normatif dalam tradisi tersebut membutuhkan komparabilitas antara individu dalam kaitannya dengan konsekuensi yang relevan dengan aturan, yaitu mendefinisikan praktik institusi sosial (define the practices of social institutions). Namun, faktor-faktor yang disebutkan di atas membuat sulit menyepakati prinsip-prinsip keadilan, di mana topiknya menyangkut institusi sosial yang mempengaruhi rencana kehidupan, pluralitas konsepsi tentang kebaikan, dan kelenturan preferensi kita. Faktor-faktor tersebut membatasi dampak pada individu yang memberikan dasar argumen yang mendukung dan menentang prinsip-prinsip keadilan. Kini berbagai teori keadilan distributif memiliki persepsi yang berbeda tentang manfaat yang seharusnya diatur, kepentingan para pihak yang berkepentingan, dan bagaimana kepentingan diperhitungkan.
Rawls harus menjelaskan manfaat dan beban kerja yang harus diatur oleh prinsip keadilan. Pilihan tersebut dibuat dengan mempertimbangkan berbagai kendala yang disebutkan di atas dan berdasarkan kebutuhan menentang serta mendukung prinsip-prinsip tersebut. Dengan demikian, hanya dampak yang dapat dideteksi yang disebabkan institusi sosial yang dapat diperhitungkan atau bertentangan dengan penilaian prinsip-prinsip yang berbeda untuk institusi. Selain itu, manfaat dan beban kerja memiliki dampak yang kurang lebih sama. Rawls membutuhkan teori kepentingan yang relevan yang diharapkan menghasilkan kesepakatan umum. Besar kecilnya manfaat dan beban kerja yang ditimbulkan berbagai pihak terkait harus sebanding.
Kewajaran dan Rasionalitas
Keadilan sebagai fairness menegaskan bahwa dua kepentingan adalah yang terpenting (two interest are paramount). Ketika sampai pada persoalan keadilan distributif, ia percaya bahwa kita dapat menerapkan kesepakatan di mana individu memiliki dua kemampuan. Pertama, rasa keadilan (sense of justice). Kita memiliki kemampuan memahami, menerapkan, dan tunduk pada prinsip serta aturan yang kita anggap adil. Rasa keadilan berarti bahwa kita tidak memberikan kepada diri kita sendiri tujuan-tujuan yang tidak adil yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan yang kita anggap tepat. Terkait hal ini, premis tersebut jelas normatif. Oleh karena itu, teori keadilan tidak membenarkan pertimbangan moral dari kepentingan pribadi.
Kedua, rasional (rational). Kita memiliki kemampuan membentuk opini tentang kehidupan yang baik dalam kemungkinan yang dibayangkan. Kita mencoba mempromosikan atau mencapai tujuan tersebut, sendiri atau bekerja sama dengan orang lain. Dalam teori keadilan Rawls, hanya konsekuensi dari dua kepentingan tersebut yang dianggap sebagai dasar yang relevan untuk argumen tentang prinsip-prinsip keadilan. Tentu saja kita memiliki banyak keterampilan dan minat penting lainnya serta banyak diantaranya mungkin lebih penting bagi kita masing-masing. Tetapi hanya argumen yang berkaitan dengan dampak distributif pada kedua kemampuan tersebut yang menurut Rawls kita dapat mengejawantahkan konsensus.
Barang-Barang Primer Sosial
Mengingat kelenturan kita dan pluralitas konsepsi tentang kebaikan, sulit menemukan manfaat dan beban kerja yang sesuai yang distribusinya akan dinilai. Rawls memperkenalkan barang-barang sosial primer (social primary goods) sebagai tanggapan terhadap berbagai macam tantangan. Manfaat adalah hak dan kebebasan politik dan sipil, kekuasaan dan posisi formal dan pekerjaan, pendapatan dan kekayaan, dan dasar sosial dari harga diri (self-respect).
Barang-barang primer sosial adalah kondisi dan aset sosial di bawah kendali institusi yang diperlukan untuk mengembangkan dan menggunakan keterampilan serta untuk mempromosikan konsepsi tentang kehidupan yang baik. Distribusi barang-barang tersebut muncul sebagai klaim yang dibenarkan. Kita dapat memahami barang-barang primer sosial sebagai otoritas yang dilembagakan. Manfaat, misalnya pendapatan (income) dalam bentuk uang (money)—memberi orang kekuatan hukum menentukan tindakan orang lain di bidang tertentu. Tetapi, manfaat seperti uang—hanya ada sejauh potongan-potongan kertas diterima sebagai alat pembayaran yang sah oleh aktor-aktor sosial lainnya. Hal ini berarti bahwa manfaat hanya ada apabila aturan diikuti dan hasil yang ditentukan mengikuti. Distribusi barang-barang primer sosial melalui institusi dasar masyarakat supaya sesuai dengan insentif dan harapan yang diciptakan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga semua mendapatkan bagian yang sama dari barang-barang tersebut dari secara berkelanjutan. Hal ini tercermin dalam prinsip keadilan distributif, keadilan sebagai fairness.
KESEIMBANGAN REFLEKTIF
Dalam etika normatif (normative ethics) seseorang memperdebatkan jawaban spesifik atas pertanyaan tentang bagaimana kita harus bertindak, apa kehidupan yang baik itu, dan masyarakat seperti apa yang seharusnya kita miliki. Karya Rawls A Theory of Justice merupakan sumbangan berharga bagi filsafat moral (moral philosophy). Beberapa filsuf di Eropa dan di dunia berbahasa Inggris banyak berkontribusi menjawab pertanyaan normatif. Misalnya, pendukung positivisme logis mengklarifikasi konsep dan merefleksikan bagaimana kita dapat membenarkan keyakinan kita serta memiliki keyakinan tertentu. Filsuf moral dalam tradisi analitik tidak mengambil posisi pada pertanyaan normatif, melainkan membahas isu-isu meta-etika (meta-ethical). Mereka menganalisis ekspresi etis dan mendiskusikan apakah klaim etis dapat dikatakan benar atau salah atau hanya mengungkapkan perasaan. Terkait hal ini, A Theory of Justice membantu menjawab pertanyaan penting dan menarik tersebut.
Para filsuf sering berpikir bahwa keyakinan kita tentang apa yang benar dan salah dalam situasi tertentu hanya didasarkan pada prinsip moral yang lebih umum tentang apa yang baik dan benar. Misalnya, berbohong atau menyalahgunakan atau mengeksploitasi orang lain adalah salah. Tetapi bagaimana prinsip-prinsip tersebut pada gilirannya dapat dibenarkan? Menurut Rawls, berbagai dugaan dan persepsi teori normatif saling membenarkan satu sama lain ketika kita mengaturnya sebagai premis dan kesimpulan secara sistematis dan jelas. Premis dan kesimpulan saling membenarkan dalam keseimbangan reflektif (reflective equilibrium). Pertimbangan-pertimbangan yang kita miliki tentang situasi tertentu membantu membenarkan prinsip yang lebih umum dari bawah (from below). Misalnya, perbudakan salah karena melanggar prinsip keadilan dan martabat yang setara. Terkait hal ini, prinsip-prinsip umum yang kita patuhi pada gilirannya membenarkan penilaian tertentu dari atas (from above) dengan menunjukkan bahwa prinsip-prinsip tersebut selaras dengan banyak persepsi individu dan reaksi etis yang kita miliki.
Pertimbangan strategi Rawls dimaksudkan memperjelas kondisi di mana orang memiliki kewajiban moral mendukung institusi masyarakat. Ia memastikan apakah institusi tersebut sesuai dengan nilai-nilai dan cita-cita di mana masyarakat punya alasan untuk mendukungnya. Rawls mencari pembenaran dari berbagai norma dan aturan yang kita alami sebagai sesuatu yang mengikat. Misalnya, nilai-nilai abstrak (kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas), perintah dan larangan dari pemerintah, dan penilaian kita tentang apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang tidak tepat. Ia kemudian menjelaskan norma-norma dan nilai-nilai serta menempatkannya bersama-sama sebagai rantai yang koheren dari premis dan kesimpulan. Dengan demikian, Rawls berusaha menentukan apakah mereka dibenarkan atau apakah mereka perlu disesuaikan mengingat premis dan konsekuensinya. Misalnya, hak sipil dan politik dalam suatu negara yang menghormati supremasi hukum menekankan cita-cita kebebasan dari pelanggaran dan pelaksanaan kekuasaan yang sewenang-wenang. Hak-hak tersebut membatasi kekuasaan hukum (legal power) dan menuntut pemerintah disahkan oleh hukum.
Kesetaraan dinyatakan dalam proses yang semestinya dan dalam prosedur pengambilan keputusan yang setara serta demokratis. Skema kesejahteraan mengungkapkan solidaritas, di mana tidak seorang pun boleh dibiarkan tanpa dukungan. Institusi sosial harus memastikan kondisi kehidupan yang layak bagi mereka yang paling tidak beruntung. Hal ini menuntut upaya menentukan norma-norma dan nilai-nilai dalam berbagai bidang kehidupan pada tingkat konkret dan abstrak serta mengikatnya bersama-sama sebagai sebuah teori, keseluruhan premis dan kesimpulan yang konsisten. Teori normatif memiliki perangkat tersebut sebagai bidang penelitiannya. Cara memahami dasar-dasar etika tersebut bukan sesuatu yang baru bagi Rawls. Kontribusi Rawls terutama mengatur dan mengadvokasi bentuk pembenaran.
Willard Van Orman Quine (1908-2000), kolega Rawls di Harvard, mengklaim sudut pandang yang lebih umum, di mana semua persepsi kita, tidak hanya dalam etika, hanya dapat dibenarkan oleh fakta bahwa mereka adalah bagian dari keseluruhan sistem yang sesuai dengan pengalaman kita. Dalam hal ini, Rawls tidak mengambil posisi dan tidak berargumen bahwa teori keadilannya benar. Ia hanya mengatakan bahwa teori tersebut adalah teori yang dapat diterima dalam filsafat politik. Selain itu, teori tersebut menjelaskan keyakinan moral kita dengan lebih baik daripada utilitarianisme.
KEBAIKAN BERSAMA
Kebaikan bersama (common good) bersifat internal dan terkait dengan relasi sosial. Dalam komunitas, kebaikan bersama dipahami sebagai penalaran praktis (practical reasoning), mendorong dinamika hidup berdampingan dan pembentukan relasi politik serta sosial di antara warga negara. Kita dapat berbicara tentang kebaikan bersama dalam bahasa keadilan, kebebasan, keamanan, ketertiban, moralitas, kebahagiaan, kesejahteraan individu, kemakmuran, dan kemajuan. Dari periode Yunani kuno sampai pemikiran Kristen, kebaikan bersama ditafsirkan sebagai landasan pengujian (testing ground). Tidak hanya mengukur legitimasi formal, tetapi juga kebaikan intrinsik pemerintahan. Oleh karena itu, kebaikan bersama dipandang sebagai kategori etis dan politis.
Pada paruh kedua abad XX, gagasan mengenai kebaikan bersama ditemukan melalui karya para cendekiawan yang tertarik pada tradisi Kristen dan filsafat klasik. Terkait hal ini, terjadi perselisihan dengan tradisi liberal, mencegah kebangkitan kebaikan bersama sebagai unsur dasar filsafat kontemporer. Ciri khas liberalisme adalah pengakuan pluralisme etis, agama, dan filosofis masyarakat. Penyebaran toleransi agama dan politik sebagai unsur dasar, memungkinkan koeksistensi serta kerja sama dalam komunitas plural. Tradisi liberal menganggap pluralisme dan praktik toleransi sulit didamaikan dengan gagasan kebaikan bersama. Karena kebaikan bersama bergantung pada ikatan sosial yang kuat (solid social bond).
Perpecahan antara etika dan politik terkait dengan krisis (crisis) konsep kebaikan bersama serta degradasi dalam konteks kontemporer filosofis liberal. Penemuan kembali konsep kebaikan bersama dimungkinkan melalui ide moralitas. Moralitas dipahami sebagai ruang kebaikan bersama yang mencakup kehidupan kolektif dan publik warga negara, di dalamnya terdapat sistem kerja sama di antara aturan, praktik, dan kebajikan. Menurut Rawls, kebaikan bersama merupakan situasi dan kondisi di mana setiap warga negara memiliki keadilan.
Gagasan Rawls mengenai kebaikan bersama dicirikan oleh kepentingan yang dapat diterima secara terbuka para anggota komunitas serta secara intrinsik dihargai berdasarkan status mereka sebagai warga negara yang berkomitmen menghormati prinsip-prinsip moralitas publik (the principles of public morality). Status tersebut lebih diutamakan daripada status dan afiliasi lain yang menjadi ciri identitas individu sebagai pribadi. Sehingga warga negara memiliki kewajiban relasional (relational obligation) menjaga kepentingan yang terkait dengan posisi kewarganegaraan yang setara (position of equal citizenship) yang dimiliki semua orang. Kepentingan tersebut terkait dengan penghormatan dan perlindungan prinsip-prinsip keadilan serta institusi. Akhirnya status kewarganegaraan yang setara dan pengakuan timbal balik sangat penting.
Rawls menekankan konsepsi kehidupan sosial (conception of social life), di mana setiap orang memiliki kewajiban memastikan bahwa kondisi sosial dasar berlaku. Diskusi, musyawarah, dan tindakan warga negara dengan tujuan kebaikan bersama memungkinkan terejawantahnya prinsip timbal balik serta persahabatan sipil yang mengarahkan setiap orang memberi dan menerima keadilan serta pertimbangan bersama. Setiap individu memainkan peran dalam dinamika kolektif, mewujudkan konsepsi pribadi mereka tentang kebaikan bersama. Sehingga segala sesuatu tidak boleh dilihat secara eksklusif sebagai milik pribadi, tetapi dibagikan dalam rangka membentuk tubuh sosial (social body). Harapannya warga negara merasakan kebahagiaan dan kebanggan serta menyadari kodrat mereka yang sama atau serasi (realize their common or matching nature).
Keadilan merupakan kerangka dasar untuk kebaikan bersama, membuka pintu bagi nilai-nilai dan konsep-konsep yang lain. Harus diingat bahwa sejak 1971, masyarakat mengalami perubahan yang luar biasa. Hal ini nampak melalui revolusi teknologi dan kapitalisme global, pengawasan dan saling ketergantungan, demokrasi digital dan populisme, dan migrasi serta perubahan iklim. Kemudian muncul pertanyaan, apakah masuk akal berbicara tentang kebaikan bersama di dunia yang terglobalisasi, di mana kerangka acuan tradisional (keluarga, kota, dan negara bagian) secara bertahap kehilangan kepentingan? Jika demikian, maka mengingat saling ketergantungan semakin besar antara berbagai wilayah di dunia dan orang-orang yang mendiaminya, apakah tidak perlu untuk merangkul perspektif universal (universal perspective) tentang kebaikan bersama? Namun, apakah perspektif universal tidak membuat konsep tersebut tidak bermakna? Pemikiran bahwa kebaikan bersama mengacu pada polis di dunia kuno atau bangsa (nation) di dunia modern tidak lagi masuk akal di era globalisasi, di mana berbagai macam persoalan membutuhkan penanganan dan visi global. Misalnya persoalan lingkungan dan pandemi Covid-19.
APA YANG BARU DARI TEORI KEADILAN JOHN RAWLS?
Rawls dalam Justice as Fairness membahas beberapa pokok gagasan di mana ia mengubah pandangannya dan mengklarifikasi sejumlah hal yang disalahpahami para kritikus. Misalnya, penggunaan prinsip maximin dan apakah teori tersebut dapat mengkritik peran gender yang menindas (oppressive gender roles). Sedangkan dalam Political Liberalism Rawls menguraikan bagaimana masyarakat dengan keragaman etika dapat bersikap adil dan mempertahankan dukungan secara berkelanjutan—sehingga memiliki legitimasi normatif dan sosial. Kemudian muncul pertanyaan, apakah ada alasan untuk percaya bahwa warga negara dengan konsepsi yang beragam tentang kebaikan mendukung prinsip keadilan Rawls dan struktur dasar yang adil secara berkelanjutan? Menurut Rawls, refleksi filosofis berdasarkan kontribusinya penting untuk memastikan stabilitas atau keberlanjutan tersebut. Penjelasan umum mengapa institusi layak mendapatkan dukungan dapat memberi semua orang alasan untuk mendukung aturan yang adil (fair arrangements) dan meyakinkan setiap warga negara bahwa yang lain berpikir dan melakukan yang sama. Pembenaran tersebut didasarkan pada asumsi di mana kita harus mengejawantahkan konsensus.
Rawls menekankan bahwa teori tersebut politis (political). Hal ini tidak dimaksudkan sebagai teori moral atau teori filosofis yang komprehensif tentang manusia dan masyarakat pada umumnya. Sebaliknya, teori tersebut hanya berlaku untuk institusi sosial tertentu, di mana prinsip dan asumsi tidak diklaim benar, melainkan secara pragmatis berguna untuk mencapai konsensus. Dalam Justice as Fairness Rawls menjelaskan bahwa teori tersebut dibenarkan oleh keseimbangan reflektif. Ia tidak hanya menahan diri untuk tidak menegaskan bahwa premis-premis tersebut adalah definisi yang jelas atau benar. Rawls juga menekankan bahwa teori tersebut mengacu pada konsepsi tertentu tentang semua orang sebagai sama dan pada masyarakat sebagai sistem kerja sama antara warga negara yang bebas dan setara, dua keyakinan yang ia temukan ditegaskan dalam budaya politik Barat. Ia membiarkannya terbuka, apakah konsepsi tersebut ada dan dibagikan secara luas di seluruh dunia serta dalam arti apa hal ini penting untuk penerapan teori keadilan. Rawls mengeksplorasi implikasi internasional dari teori tersebut dalam The Law of Peoples (1999), prinsip-prinsip hak asasi manusia internasional (international human rights) yang mengatur kebijakan luar negeri negara-negara liberal.
KRITIK TERHADAP TEORI KEADILAN JOHN RAWLS
Teori keadilan Rawls bagian dari tradisi analitik, menekankan argumentasi yang cermat dan klaim pembenaran. Kekuatan tradisi analitik yaitu terbuka terhadap kritik, mudah mengidentifikasi premis-premis yang diperdebatkan, kelemahan dan kesalahan. Banyak kritikus tidak mencatat bahwa Rawls menjawab pertanyaan yang sangat terbatas. Teori keadilan Rawls tidak menanggapi semua tantangan etika dan politik. Prinsip-prinsip yang ia usulkan dimaksudkan untuk diterapkan pada institusi dasar masyarakat. Selain itu, prinsip-prinsip tersebut tidak selalu berlaku untuk masalah distribusi lainnya, misalnya distribusi layanan kesehatan dan kekayaan antargenerasi. Pertanyaan terkait tanggung jawab terhadap negara berkembang tidak terjawab oleh Rawls sampai ia membahas norma-norma kebijakan luar negeri dalam The Law of Peoples. Teori hak asasi manusia yang ia kemukakan dalam karya tersebut juga banyak dikritik.
Prinsip keadilan tidak dapat diterapkan secara langsung ketika memutuskan bagaimana kita harus bertindak dalam situasi tertentu. Prinsip-prinsip tersebut dimaksudkan untuk diterapkan pada masyarakat yang tertata dengan baik. Bagaimana institusi sosial harus memperbaiki ketidakadilan di masa lalu dan apa yang harus dilakukan ketika hidup di bawah aturan yang tidak adil merupakan masalah penting yang tidak dibahas Rawls, misalnya diskusi tentang pembangkangan sipil (civil disobedience). Teori keadilan Rawls tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut tanpa pengembangan lebih lanjut. Rawls membatasi ruang lingkup penerapan prinsip-prinsip tersebut pada masyarakat di bawah kondisi yang menguntungkan (favourable conditions). Ia berasumsi bahwa ada cukup basis ekonomi untuk menjamin kebebasan politik dan sipil serta untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Pernyataan bahwa teori keadilan Rawls tidak memberikan jawaban atas semua pertanyaan tentu saja bukan keberatan yang berbobot, karena sebagian dari pendekatannya masih bermanfaat. Tetapi dengan demikian topik tulisan Rawls cukup sempit. Terkait hal ini, banyak keberatan yang diarahkan ke teori keadilan Rawls. Rawls menganggap pembagian keuntungan yang adil diperlukan untuk negara yang sah. Oleh karena itu, konflik kepentingan menjadi fokus pandangan Rawls tentang masyarakat. Beberapa kritikus berpendapat bahwa hal ini didasarkan pada konsepsi yang salah tentang kodrat manusia, karena masyarakat yang baik seharusnya didasarkan pada kasih (love) dan pengorbanan diri (self-sacrifice).
Seseorang dapat mengkritik teori keadilan Rawls karena berfokus pada institusi sosial dan mengabaikan praktik lain. Terkait hal ini, terdapat tiga kritik yang disampaikan kepada Rawls. Pertama, tidak jelas di mana harus menarik garis atau benang merah dalam teori keadilan Rawls. Menurut Douglass North (1920-2015), terdapat transisi ke budaya (culture) yang dipahami sebagai aturan institusi informal. Institusi yang dimaksud adalah institusi yang mempengaruhi individu secara fundamental. Kedua, institusi sosial memungkinkan praktik berbeda dengan dampak distribusi yang berbeda. Penelitian Robert Putnam tentang Italia menarik, di mana pengaturan demokrasi dan ekonomi bekerja lebih baik di Utara daripada di Selatan. Menurut Putnam, jaringan lembaga swadaya masyarakat lokal seharusnya meningkatkan kemampuan warga memikirkan kepentingan bersama, bukan kesejahteraan mereka sendiri. Sikap tersebut mengarah pada peningkatan kepercayaan dan akibatnya ke institusi sosial yang lebih baik. Sampai batas tertentu, temuan tersebut konsisten dengan teori keadilan Rawls bahkan apabila temuan menunjukkan batasan yang jelas dalam penerapan teori. Misalnya, seseorang dapat bertanya, apakah masuk akal percaya bahwa keadilan sebagai fairness dapat distabilkan seperti yang dibayangkan Rawls—terlepas dari jaringan antarpribadi yang ada. Ketiga, beberapa kritikus berpendapat bahwa pendekatan Rawls mengabaikan pelanggaran yang terjadi di ruang pribadi (private). Teori keadilan Rawls telah ditafsirkan di mana pembagian kerja dalam keluarga atau pasar tenaga kerja yang terpisah bukanlah persoalan keadilan.
Ahli teori politik lainnya tidak setuju dengan beberapa istilah yang digunakan Rawls. Terkait hal ini, kesetaraan dan kebebasan dapat diekspresikan dengan cara selain melalui perspektif kontrak sosial. Bahkan apabila teori kontrak dipertahankan, tidak harus bahwa cita-cita kesetaraan mensyaratkan negara netral. Beberapa orang berpendapat bahwa institusi sosial harus mempertimbangkan perbedaan pendapat tentang apa yang baik dan mempromosikan pandangan yang dimiliki mayoritas anggota serta menyelesaikan konflik di antara sejumlah pihak berdasarkan visi tersebut. Sedangkan menurut mereka yang percaya bahwa aktivitas politik memiliki nilai intrinsik (intrinsic value), cita-cita orang yang aktif secara politik dapat dibenarkan sebagai premis teori masyarakat yang adil (a theory of a just society). Selain itu, faktor-faktor lain harus dianggap relevan sebagai alasan untuk prinsip-prinsip keadilan.
Kritikus lainnya masih menerima formulasi Rawls tentang posisi asali. Tetapi, mereka memberikan catatan bahwa sejumlah pihak lebih memilih prinsip-prinsip lain daripada yang ditawarkan Rawls. Teori normatif alternatif memberikan jawaban berbeda tentang kepentingan seseorang yang harus ditekankan, manfaat apa yang harus dipastikan, dan prinsip-prinsip alokasi barang-barang tersebut harus dipenuhi institusi secara berkelanjutan. Argumen untuk berbagai kebijakan menunjukkan nilai barang tersebut untuk kepentingan tertentu. Tantangan utama pilihan tersebut adalah menghadapi fakta bahwa institusi sosial mempengaruhi preferensi dan nilai-nilai kita. Asumsi Rawls tentang kepentingan warga negara dikritik dari pandangan bahwa kemampuan dan sikap lain harus menentukan dalam pilihan prinsip keadilan. Misalnya, minoritas mengklaim hak kelompok untuk melindungi budaya mereka sendiri. Perkembangan yang menarik dari tradisi politik liberal adalah menentukan bagaimana minat tersebut diungkapkan dan ditimbang dengan cara menggali wawasan Rawls.
Amartya Sen mengkritik teori Rawls karena mengabaikan perbedaan pribadi. Warga negara yang menuntut (demanding), seperti penyandang disabilitas atau kebutuhan kesehatan khusus (special health needs) harus memperoleh lebih banyak manfaat untuk mencapai kesempatan yang sama dalam bertindak. Selain itu, kebutuhan bervariasi seperti umur panjang, iklim, pekerjaan dll tidak ditangkap oleh teori keadilan Rawls. Oleh karena itu, Sen mengkritik fokus pada barang-barang primer sosial sebagai fetisistik (fetishistic). Barang-barang tersebut dipahami sebagai ungkapan manfaat, tetapi mengabaikan bahwa manfaat merupakan relasi antara individu dan barang. Barang-barang primer sosial dianggap sebagai sarana mencapai sesuatu. Terkait hal ini, Sen percaya bahwa orang harus fokus pada apa artinya manfaat, yaitu fungsi (functions) dan kemungkinan (possibilities).
Menurut Sen, klaim individu tidak boleh dievaluasi berdasarkan sumber daya atau barang utama apa yang mereka gunakan, tetapi atas dasar kebebasan apa yang mereka miliki untuk memilih kehidupan yang memiliki alasan untuk dihargai. Minat tersebut menangkap variasi pribadi dalam memanfaatkan sumber daya dan bagaimana kita memilih menggunakan peluang tersebut. Rawls menanggapi kritik tersebut dalam Justice as Fairness. Beberapa ekonom mengkritik penggunaan ketidakpastian (uncertainty) dan ketidaktahuan (ignorance) Rawls sebagai argumen strategi maximin untuk pilihan antara prinsip-prinsip di posisi asali, di mana yang kurang beruntung menentukan. Menurut John Charles Harsanyi (1920-2000), ketidakpastian menyarankan strategi maksimal bagi individu apabila seseorang ingin menghindari risiko. Sebagai tanggapan, Thomas Michael Scanlon menunjukkan bahwa argumen keadilan sebagai fairness dapat dipertahankan. Situasi kontrak ditentukan sedemikian rupa untuk dipilih oleh pemilih yang mementingkan diri sendiri di bawah selubung ketidaktahuan, tetapi dengan menanyakan apa yang tidak dapat ditentang secara wajar, terlepas dari posisi sosial seseorang.
KONTRIBUSI TEORI KEADILAN JOHN RAWLS
Teori etika membantu mengingatkan kita untuk membawa ketertiban dan kohesi di antara keyakinan moral yang berbeda, sehingga membantu menyelesaikan konflik praktis (practical conflicts). Pembenaran dengan keseimbangan reflektif adalah wawasan penting yang dapat diterapkan pada teori etika. Teori-teori lain yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan lain menggunakan bagian-bagian dari teori keadilan Rawls. Misalnya, banyak yang menganggap gagasan tentang posisi asali sebagai sarana yang bermanfaat untuk mengatasi masalah moral lainnya.
Teori keadilan sebagai fairness tidak menyangkal utilitarianisme atau teori politik lainnya. Namun, teori keadilan Rawls merupakan upaya menyeluruh dan sistematis untuk memecahkan masalah kebijakan. Keseimbangan reflektif dan konsensus menunjukkan bagaimana nilai-nilai dapat dibenarkan, bahkan dalam masyarakat dengan keyakinan beragam. Sehingga kita dapat memperlakukan satu sama lain sebagai manusia bebas dan setara, terlepas dari semua perbedaan.
PENUTUP
Rawls merupakan filsuf Amerika yang dikenal luas sebagai filsuf politik terkemuka abad XX. Karya Rawls A Theory of Justice adalah salah satu teks utama dalam filsafat politik. Dalam Political Liberalism Rawls merevisi teorinya, membuat konsepsinya tentang keadilan lebih sesuai dengan pluralisme liberal (liberal pluralism), tetapi membiarkan inti konsepsinya tetap utuh. Merujuk pada tradisi kotrak sosial liberal dan demokratis Locke, Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), dan Immanuel Kant (1724-1804), Rawls berpendapat bahwa prinsip-prinsip keadilan yang masuk akal yaitu semua orang menerima dan menyetujui posisi yang adil. Rawls mengambil kesepakatan yang adil menjadi situasi di mana setiap orang ditempatkan sederajat dan tidak memihak. Dalam posisi asali, setiap orang berada dalam selubung ketidaktahuan. Selubung ketidaktahuan mengharuskan individu mengesampingkan pengetahuan mereka mengenai fakta tentang diri mereka sendiri dan masyarakat. Termasuk pengetahuan mereka tentang bakat, kekayaan, posisi sosial, pandangan agama dan filosofi, dan konsepsi nilai tertentu. Menurut Rawls, posisi asali setiap orang menolak pandangan utilitarianisme, perfeksionisme, dan intuisionis. Sebaliknya, mereka dengan suara bulat menyetujui keadilan sebagai fairness.
Keadilan sebagai fairness terdiri dari dua prinsip yang berlaku untuk menentukan konstitusi politik masyarakat, ekonomi, dan struktur dasarnya. Pertama, prinsip dasar kebebasan yang sama (the principle of equal basic liberties) mengatakan bahwa kebebasan tertentu adalah fundamental dan harus setara. Hal ini mencakup kebebasan hati nurani, kebebasan berpikir, kebebasan berserikat, kebebasan politik, kebebasan kependudukan, dan hak memelihara supremasi hukum. Tidak seperti kebebasan lainnya, kebebasan dasar dibatasi untuk melindungi kebebasan dasar itu sendiri, bukan demi kebebasan mempromosikan kesejahteraan yang lebih besar.
Kedua, prinsip perbedaan (the difference principle) mendefinisikan ketidaksetaraan yang diizinkan dalam kekayaan, pendapatan, kekuasaan, dan posisi. Terkait hal ini, posisi sosial harus terbuka bagi semua orang untuk bersaing dalam hal kesetaraan kesempatan yang adil. Selain itu, prinsip perbedaan mengatakan bahwa perbedaan dalam kekayaan, pendapatan, dan kekuatan sosial serta ekonomi diperbolehkan apabila perbedaan tersebut secara maksimal menguntungkan anggota masyarakat yang paling tidak beruntung. Sehingga masyarakat mengatur ekonominya untuk mendistribusikan pendapatan, kekayaan, dan kekuatan ekonomi untuk membuat kelas yang paling tidak diuntungkan menjadi lebih baik.
Menurut Rawls, dengan menggabungkan dua prinsip keadilan, masyarakat yang adil memaksimalkan nilai bagi yang paling tidak diuntungkan dari kebebasan dasar yang sama yang dimiliki semua orang. Masyarakat adil diatur konstitusi demokratis yang melindungi kebebasan dasar dan kesempatan yang sama yang adil serta memberikan kepada warga negara hak yang sama efektifnya untuk berpartisipasi dalam proses politik yang demokratis. Secara ekonomi masyarakat yang adil menggabungkan sistem pasar yang dimodifikasi yang secara luas mendistribusikan pendapatan, kekayaan, dan kekuatan ekonomi.
Perlu diketahui bahwa dalam Political Liberalism, Rawls mengemukakan prinsip legitimasi liberal (the liberal principle of legitimacy) dan gagasan nalar publik (the idea of public reason). Hukum masyarakat liberal adalah sah dan karenanya layak dihormati apabila dibenarkan dalam kerangka alasan yang dapat diterima serta responsif terhadap kepentingan fundamental, warga negara yang bebas dan setara. Hal ini mengesampingkan hukum yang tidak sah yang hanya dapat dibenarkan oleh doktrin agama, filosofis, dan moral. Dalam The Law of Peoples, Rawls menunjukkan bahwa masyarakat liberal memiliki kewajiban menghormati integritas masyarakat non-liberal, menghormati hak asasi manusia dan mengejar konsepsi keadilan yang menguntungkan semua anggota masyarakat. Menurut Rawls, masyarakat yang lebih beruntung memiliki kewajiban membantu masyarakat yang terbebani (burdened societies). Sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar dan mandiri secara ekonomi.
SUMBER BACAAN:
FOLLESDAL, ANDREAS. “John Rawls’ Theory of Justice as Fairness”. Dalam Guttorm Fløistad (Editor). Philosophy of Justice. New York: Springer, 2015, hlm. 311-328.
FREEMAN, SAMUEL. “Rawls, John (1921–2002)”. Dalam Robert Audi (Editor). The Cambridge Dictionary of Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press, 2015, hlm. 905-906.
HOOKER, BRAD W. “Justice”. Dalam Robert Audi (Editor). The Cambridge Dictionary of Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press, 2015, hlm. 547.
LUPPI, ROBERTO. “John Rawls and the Common Good: An Introduction”. Dalam Roberto Luppi (Editor). John Rawls and the Common Good. New York: Routledge, 2022, hlm. 1-13.
PROUDFOOT, MICHAEL DAN A. R. LACEY. The Routledge Dictionary of Philosophy. New York: Routledge, 2010, hlm. 208 dan 339.
CATATAN:
Tulisan ini pernah dimuat di dalam majalah GITA SANG SURYA, Vol. 17, No. 4 (Juli-Agustus 2022), hlm. 2-16.