Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
(Ketua Bidang Animasi JPIC OFM Indonesia—Magister Filsafat STF Driyarkara Jakarta)
PENGANTAR
Teori moral Jürgen Habermas dikenal dengan nama etika diskursus (discourse ethics). Namun, penamaan tersebut tidak tepat, mengingat perkembangan posisi Habermas sejak pertama kali mengemukakan etika diskursus pada 1983. Para filsuf memahami etika secara luas, setara dengan teori moral dan studi normatif mengenai praktik moral. Terkait hal ini, etika diskursus merupakan salah satu dari teori tersebut. Perlu diketahui bahwa Habermas menggunakan kata etis (ethical) dalam arti sempit, merujuk pada persoalan pemenuhan pribadi dan penentuan nasib politik. Hal ini dibedakan Habermas dari pertanyaan mengenai moral yang benar dan yang salah.
Perbedaan tersebut memiliki anteseden dalam alam pikiran Jerman yang menolak gagasan Aristoteles (384-322 SM) menggabungkan antara kebajikan moral dan kebahagiaan. Terkait hal ini, Immanuel Kant (1724-1804) menegaskan, moralitas berkaitan dengan kewajiban yang mengikat tanpa syarat pada semua agen rasional. Sedangkan konstituen kebahagiaan bervariasi pada setiap orang, waktu, dan budaya. Dewasa ini, perbedaan mendasar antara moralitas dan etika muncul sebagai perbedaan antara yang benar (right) dan yang baik (good) atau keadilan (justice) dan kehidupan yang baik (the good life). Dalam konteks pembedaan tersebut, etika diskursus lebih tepat disebut sebagai teori diskursus moralitas (discourse theory of morality) atau teori keadilan (theory of justice).
Terdapat dua konsep kunci yang melandasi teori moralitas diskursus Habermas. Pertama, etika diskursus mengandaikan konsepsi tertentu dari domain moral (moral domain) yang berbeda dari alasan praktis. Kedua, Habermas pertama kali mengemukakan etika diskursus sebagai kognitivisme metaetika (metaethical cognitivism), tanggapan terhadap skeptisisme moral. Inti dari tanggapan tersebut terletak pada konsepsi pembenaran moral yang dijabarkan dalam dua prinsip, yaitu prinsip diskursus dan prinsip universal. Kedua prinsip tersebut bersifat neo-Kantian yang menandai etika diskursus mempunyai ciri deontologis, imparsialis, proseduralis, dan dialogis.
Meskipun prinsip universal menyajikan model konsensus moral yang ideal, Habermas berpendapat bahwa model tersebut mampu memandu diskursus moral. Untuk memahami klaim tersebut, harus memeriksa konsep hati nurani (conscience), penerapan (application), dan motivasi (motivation) yang mengarah pada psikologi moral serta teori hukum Habermas. Habermas secara tegas membedakan moralitas dari pertanyaan mengenai hidup yang baik. Namun, bukan berarti Habermas tidak menyadari pentingnya gagasan tradisional seperti berkembang (flourishing), kesejahteraan (well-being), dan kebaikan bersama (common good).
SEKILAS TENTANG JÜRGEN HABERMAS
Jürgen Habermas adalah filsuf Jerman dan salah satu ahli teori sosial terpenting di dunia. Selain itu, Habermas merupakan pewaris dan pendiri Mazhab Frankfurt bersama Max Horkheimer (1895-1973) serta Theodor Adorno (1903-1969). Pemikiran Habermas memengaruhi ilmu sosial dan humaniora. Sehingga Habermas dikenal sebagai pribadi yang tekun dan setia menjalani kehidupan intelektual. Karya-karyanya dipublikasikan secara rutin di surat kabar dan terlibat dalam dialog publik dengan Jacques Derrida, Michel Foucault, Richard Rorty, dan Kardinal Ratzinger (Paus Benediktus XVI). Pemikiran Habermas sangat sistematis dan mampu membuat sintesis dengan sempurna. Menyatukan konsep-konsep sosiologi, teori Marxis, dan filsafat kontinental serta analitik. Oleh karena itu, karya-karya Habermas menantang dan menarik untuk dibaca serta didiskusikan.
Habermas lahir pada 1929 di Düsseldorf dan dibesarkan di kota Gummersbach. Ayah Habermas adalah seorang direktur perdagangan dan industri. Setelah Perang Dunia II, Habermas belajar di Göttingen, Zürich, dan Bonn. Pada waktu itu Habermas menyaksikan kengerian dan kekejaman Nazi. Habermas terkejut ketika melihat sejumlah akademisi terlibat dan mendukung rezim Nazi. Oleh karena itu, Habermas secara kritis menyuarakan kengerian dan kekejaman Nazi. Bahkan Habermas terlibat aktif dalam gerakan anti nuklir pada 1950 dan protes mahasiswa pada 1960. Setelah menyelesaikan Habilitationsschrift di Marburg pada 1964, Habermas diangkat sebagai profesor sosiologi dan filsafat di Institute for Social Research Frankfurt meneruskan Horkheimer. Pada 1971-1982, Habermas menjadi direktur Max Planck Institute. Setelah pensiun pada 1994, Habermas menggunakan waktu yang ada untuk menulis dan mengajar di Universitas Northwestern, New York’s School for Social Research, dan Universitas Stony Brook.
Selama lima puluh tahun terakhir, Habermas menghasilkan banyak buku. Pengaruh Habermas paling jelas terlihat dalam teori kritis dan filsafat sosial-politik. Karya Habermas yang paling terkenal yaitu Theory of Communicative Action, di mana ia menyajikan rumusan komprehensif mengenai masyarakat, modernitas, dan rasionalitas yang menjadi dasar pemikirannya mengenai teori moral, politik, dan hukum. Selain itu, Habermas menulis The Structural Transformation of the Public Sphere (1962), Knowledge and Human Interests (1971), The Philosophical Discourse of Modernity (1985), Between Facts and Norms (1992), The Inclusion of the Other (1996), The Future of Human Nature (2003), Old Europe, New Europe, Core Europe (2005), dan This Too a History of Philosophy (2019).
DOMAIN MORAL
Berdasarkan alam pikiran Yunani Kuno dan Abad Pertengahan, kebajikan moral memainkan peran utama dalam perkembangan serta kebahagiaan manusia. Terkait hal ini, Habermas membedakan domain pertanyaan moral dari persoalan mengejar kebahagiaan dan kehidupan yang baik. Hal ini bukan untuk menyangkal pentingnya moralitas bagi kehidupan yang baik. Melainkan untuk mengenali tantangan yang ditimbulkan pluralisme budaya. Untuk memahami konsepsi Habermas mengenai domain moral dan ruang lingkup etika diskursus, harus dilihat bagaimana Habermas membedakan moralitas dari alasan pragmatis (pragmatic) serta etis-eksistensial (ethical-existential).
Penggunaan nalar praktis secara pragmatis dikenal dari teori pilihan rasional. Dalam penalaran pragmatis, dilakukan penghitungan sarana untuk suatu tujuan tertentu. Dengan kata lain, menilai dan menentukan tujuan serta preferensi berdasarkan nilai-nilai yang ada. Ketika membedakan penalaran pragmatis dengan diskursus moral, Habermas menolak upaya mereduksi kewajiban moral yang mengikat tanpa syarat menjadi pertimbangan pilihan rasional. Habermas menyelaraskan pemahamannya mengenai penalaran pragmatis dengan aturan keterampilan dan nasihat kehati-hatian, di mana keduanya melibatkan keharusan hipotetis (hypothetical imperatives).
Habermas membedakan antara penalaran etis-eksistensial dan domain moral. Terdapat empat gagasan untuk memahami perbedaan tersebut. Pertama, domain moral terkait dengan norma umum atau aturan tindakan. Misalnya, jangan mencuri. Selain itu, domain moral terkait dengan penilaian khusus yang menerapkan norma tersebut pada situasi konkret. Misalnya, saya harus membantu pengemis ini. Kedua, norma dan penilaian moral menjawab pertanyaan bagaimana harus memerlakukan satu sama lain sebagai pribadi. Sedangkan penilaian etis menjawab pertanyaan bagaimana kehidupan yang baik.
Ketiga, isi musyawarah dan argumentasi berbeda. Pertimbangan moral membutuhkan sudut pandang yang tidak memihak ketika mempertimbangkan kepentingan dan nilai semua orang. Sedangkan pertimbangan etis mengacu pada tradisi, sejarah, dan nilai-nilai pribadi atau kelompok tertentu dengan tujuan membuat keputusan otentik secara pribadi atau kolektif. Keempat, cakupan konsensus rasional yang diharapkan berbeda. Dalam pandangan Habermas, jawaban atas pertanyaan moral harus memeroleh persetujuan universal dari orang-orang yang berakal sehat.
Sejalan dengan neo-Kantian, Habermas menekankan prioritas (priority) norma moral di atas pengejaran kebaikan pribadi atau kelompok. Penalaran etis dan pragmatis harus bergerak dalam batas-batas yang ditetapkan oleh kewajiban moral terhadap orang lain. Jika tidak, norma moral tidak dapat mengikat semua orang tanpa syarat. Pilihan pribadi menjalani kehidupan secara moral bukanlah persoalan moral, tetapi persoalan etika. Oleh karena itu, pertanyaan mengapa manusia harus menghargai kehidupan diatur norma moral dan menghormati orang yang otonom adalah persoalan etika diskursus.
KOGNITIVISME METAETIS
Unsur-unsur etika diskursus Habermas dapat dilihat dalam karyanya mengenai ruang publik dan kebenaran. Namun, Habermas pertama kali secara eksplisit mengartikulasikan etika diskursus sebagai tanggapan terhadap persoalan metaetika yang muncul pada paruh pertama abad XX. Perlu diketahui bahwa etika normatif (normative ethics) membahas pertanyaan mengenai prinsip dan norma moral mana yang benar. Sedangkan metaetika (metaethics) mempelajari sifat domain moral, yaitu pertanyaan mengenai semantik fundamental dari klaim moral. Dalam artikelnya pada 1983 mengenai etika diskursus, Habermas memusatkan perhatian pada metaetika dalam kaitannya dengan objektivitas pernyataan moral.
Pada pertengahan abad XX, dua posisi dasar objektivitas moral mendominasi lanskap metaetika. Misalnya, pemikiran Anglo-Amerika dan Nietzsche dalam filsafat kontinental menegaskan bahwa klaim moral hanya mengungkapkan keinginan dan perasaan pembicara untuk berkuasa. Mereka mengambil pandangan skeptis terkait klaim moral. Meskipun pernyataan seperti berbohong itu salah tampaknya mengungkapkan pengetahuan objektif. Realitas memerlihatkan bahwa pembicara hanya mengatakan saya tidak suka berhobong atau saya ingin mencegah anda berbohong. Ketika mengaitkan sifat moral dengan tindakan, pembicara membuat klaim mengenai realitas moral objektif yang dapat dipersepsi langsung. Pernyataan moral dengan demikian tergantung pada kesesuaiannya dengan fakta moral.
Teori kesalahan (error theory) J. L. Mackie mewakili kemajuan kubu skeptis. Mackie menerima tata bahasa yang menyatakan fakta dari klaim moral. Tetapi Mackie menolak objek putatif mereka atas dasar ontologis, di mana tidak ada sifat moral objektif yang dapat dirujuk oleh pernyataan tersebut. Sehingga semua pernyataan moral salah. Pendekatan skeptis tampaknya berlaku adil dan berbicara seolah-olah ada fakta moral.
Etika diskursus Habermas merupakan upaya metaetis untuk menyelamatkan moralitas objektif dari skeptisisme. Solusi Habermas terletak pada pendekatan pragmatisnya terhadap bahasa dan kritiknya terhadap model objektivitas serta kebenaran yang naif. Sebagai seorang pragmatis, Habermas menegaskan bahwa teori moral harus mengadopsi perspektif performatif (performative perspective) dari peserta yang terlibat dan mengambil karakter objektif dari diskursus moral.
Habermas mengacu pada teori tindakan komunikatif dengan sistem klaim validitas. Hal ini ditempuh dengan menganalogikan klaim empiris yang terkait dunia luar. Misalnya, terpapar asap rokok orang lain berkontribusi pada penyakit paru-paru. Selain itu, melalui penilaian moral dan norma mengenai tindakan yang benar. Misalnya, mereka yang mampu melakukannya harus membantu yang membutuhkan. Sebagai sikap terhadap hal-hal yang mengakui jawaban benar dan salah secara objektif, klaim validitas terbuka pada kritik serta pembenaran publik. Sama seperti seorang perokok dapat melawan dan membela kebenaran empiris (empirical truth) berdasarkan klaim mengenai perokok pasif serta mengacu pada bukti eksperimental dan epidemiologis. Demikian juga kebenaran moral (moral rightness) dari norma, membantu yang membutuhkan dengan alasan yang tepat.
PRINSIP DISKURSUS DAN UNIVERSAL
Etika diskursus Habermas menghubungkan validitas objektif pernyataan moral dengan justifikasi publik. Secara khusus, norma atau penilaian moral hanya valid apabila seseorang dapat menawarkan alasan yang meyakinkan. Terkait pembenaran norma, Habermas menunjukkan dua prinsip. Pertama, prinsip diskursus, membenarkan secara tidak memihak norma-norma tindakan. Bukan hanya norma moral, tetapi juga norma hukum, politik, kelembagaan, dan budaya.
Berdasarkan prinsip diskursus, ditegaskan bahwa hanya norma-norma yang valid disetujui dalam diskursus rasional. Perlu diketahui bahwa prinsip diskursus tidak mengatakan sesuatu yang dianggap sebagai alasan yang baik. Karena prinsip diskursus mencakup semua jenis norma sosial. Sedangkan isi alasan yang baik berbeda-beda menurut jenis norma.
Kedua, norma moral mengikat semua orang, bukan hanya anggota suatu negara atau kelompok tertentu. Menurut prinsip universal, norma moral berlaku apabila konsekuensi dan dampak dapat diperkirakan berdasarkan kepentingan serta orientasi nilai setiap pribadi tanpa paksaan. Norma moral harus dibenarkan bagi mereka yang kepentingan dan orientasi nilainya (interests and value-orientations) dipengaruhi oleh norma yang bersangkutan. Sehingga prinsip universal menentukan orang-orang yang terkena dampak.
Prinsip universal melibatkan sekumpulan asumsi. Sebelum mengkaji asumsi-asumsi tersebut, perlu diperhatikan bagaimana prinsip universal bertumpu pada empat konsep yang menempatkan etika diskursus secara kokoh dalam tradisi neo-Kantian. Pertama, Habermas mengambil pendekatan deontologis (deontological) terhadap ranah moral dengan fokus pada kewajiban dan larangan yang mengikat tanpa syarat. Mengambil bentuk norma-norma umum yang menjabarkan perhatian timbal balik dan rasa hormat satu sama lain sebagai pribadi. Selain itu, menetapkan batas-batas dalam mengejar tujuan tertentu.
Prinsip universal mengasumsikan bahwa norma moral memiliki dampak yang dapat diperkirakan oleh pribadi dan kelompok kepentingan serta orientasi nilai dalam situasi khas yang diatur oleh norma. Misalnya, seseorang dapat dengan bebas menggunakan ponselnya untuk tujuan komunikasi. Hal ini secara langsung mengatur tindakan yang bertujuan untuk komunikasi. Selain itu, nilai dibagikan secara luas dan ingin dikejar oleh setiap pribadi. Norma terkait telepon seluler mengkodifikasi kepentingan dengan cara tertentu untuk mewujudkan kebaikan.
Jika norma tersebut diadopsi, maka akan memiliki konsekuensi (consequences) terkait praktik komunikasi. Namun, adopsi dari norma juga memiliki efek samping (side-effects) pada kepentingan dan nilai lain yang secara langsung dipersoalkan dalam norma. Misalnya, menikmati makanan dengan tenang di restoran atau mengemudi dengan aman di lalu lintas yang padat. Menurut prinsip universal, ketika menerima norma moral berarti menerima cara-cara yang dapat diduga di mana norma tersebut mengatur dan memengaruhi pribadi atau kelompok.
Kedua, seperti Kant, Habermas mengidentifikasi sudut pandang moral (moral point of view) dengan perspektif yang tidak memihak (impartial perspective). Namun, tidak seperti Kant, Habermas tidak mengaitkan ketidakberpihakan dengan kebebasan, kepentingan, kecenderungan, dan keadaan khusus. Sebaliknya, prinsip universal membuat ketentuan eksplisit untuk pengambilan perspektif, di mana peserta memerhitungkan konsekuensi, minat, kebutuhan, dan nilai-nilai tertentu yang dipertaruhkan untuk setiap pihak yang terkena dampak. Oleh karena itu, membenarkan suatu norma memerlukan penerimaan bersama atas dampak yang dapat diperkirakan dari norma tersebut.
Ketiga, seperti Kant, Habermas mengambil pendekatan prosedural (procedural) terhadap moralitas. Jika etika diskursus dibaca sebagai etika normatif, maka tidak memberikan seperangkat norma substantif atau nilai-nilai tertentu yang tidak dapat diganggu gugat seperti dalam teori hukum kodrat. Melainkan sebagai prosedur atau metode untuk menguji norma-norma substantif agar dapat diterima secara moral. Dengan kata lain, prinsip universal mewakili prinsip moral Kant versi Habermas.
Keempat, prinsip Kant dirancang untuk memandu musyawarah moral soliter (monologis) dari pribadi dewasa. Terkait hal ini, prinsip universal bersifat dialogis (dialogical) dan menyerukan diskursus nyata (proses argumentasi). Sehingga orang-orang yang terlibat mengesampingkan tekanan kehidupan sehari-hari dan mengambil sikap hipotetis (hypothetical attitude) terhadap klaim moral yang dipermasalahkan, mengujinya berdasarkan alasan yang baik dan dapat diterima setiap orang yang terlibat.
TIGA ASUMSI PRINSIP UNIVERSAL
Habermas mengusulkan prinsip universal sebagai prinsip moral bagi masyarakat pluralis yang tidak bisa lagi mengandalkan satu agama atau pandangan dunia tertentu sebagai dasar penyelesaian konflik moral. Habermas mengangap penting menurunkan (derive) prinsip universal untuk menunjukkan secara logis mengikuti beberapa premis yang tidak kontroversial. Meskipun derivasi prinsip universal tetap menjadi kontroversi ilmiah, premis yang dipersoalkan menunjukkan tiga asumsi dasar prinsip universal. Dengan memeriksa asumsi-asumsi tersebut, diperoleh pemahaman yang lebih tepat mengenai pembenaran intersubjektif rasional (rational intersubjective justifiability).
Pertama, asumsi topikal dalam kaitannya dengan konsep norma moral. Habermas mengasumsikan jenis konteks sosial tertentu, di mana etika diskursus menjadi relevan, menyelesaikan konflik dengan membuat kesepakatan norma moral (moral norm). Habermas menganggap peserta memahami norma yang mereka terima ketika membuat kesepakatan. Asumsi mengenai topik diskursus moral memiliki implikasi terkait alasan relevan dalam pembenaran moral dan untuk yang mungkin terpengaruh (possibly affected). Asumsi topikal (topical assumption) menegaskan, diskursus moral terkait aturan umum yang mengikat tanpa syarat untuk memerlakukan orang dengan perhatian dan rasa hormat. Selain itu, mengatur dan memengaruhi pengejaran tujuan pribadi dan kelompok.
Kedua, asumsi konsensus dalam kaitannya dengan menentukan diskursus moralitas. Habermas beranggapan bahwa para peserta yang menghadapi konflik moral ingin mencapai konsensus (consensus) mengenai norma moral yang dapat diterima melalui diskursus rasional, yaitu melalui proses argumentasi dialogis. Sehingga para peserta berkomitmen pada pembenaran dialogis dan tidak memihak atas dasar alasan yang dapat diterima oleh semua pihak yang terpengaruh ide dasar sebagaimana terkandung dalam prinsip diskursus (discourse). Dalam asumsi prinsip diskursus, Habermas menempatkan dua gagasan. Pertama, alasan yang baik membutuhkan konsensus. Kedua, konsensus harus dikeluarkan berdasarkan diskursus yang rasional.
Ketiga, asumsi proses dalam kaitannya dengan praanggapan argumentasi pragmatis. Habermas menganggap praanggapan pragmatis (pragmatic presuppositions) berlaku untuk argumentasi (argumentation) secara umum. Berlaku tidak hanya untuk diskursus moral rasional, tetapi juga untuk diskursus ilmiah dan hukum. Dalam diskursus moral, alasan yang relevan berkaitan dengan topik yang dipermasalahkan. Selain itu, alasan berkaitan dengan penerimaan aturan yang mengatur kepedulian dan penghormatan terhadap orang lain serta pengaruhnya terhadap pengejaran tujuan.
Perlu diketahui bahwa asumsi proses (process assumption) disebut sebagai diskursus norma moral rasional apabila memenuhi tiga kondisi. Pertama, setiap orang mampu memberikan kontribusi relevan, yaitu pertimbangan terkait pertanyaan moral yang dipermasalahkan diberi suara yang sama. Kedua, peserta tidak tertipu atau menipu diri sendiri terkait alasannya, tetapi memahami alasan yang relevan. Ketiga, peserta bebas untuk mempertimbangkan semua alasan yang relevan dan menilai berdasarkan kelayakannya.
DISKURSUS PEMBENARAN
Diskursus pembenaran (justification discourse) berfokus pada pembenaran norma umum untuk semua yang terpengaruh. Sedangkan diskursus penerapan (application discourse) dipahami sebagai upaya sekelompok orang mengidentifikasi norma mana yang sesuai untuk keadaan mereka. Perlu diketahui bahwa diskursus moral mengenai validitas norma-norma umum menjadi bagian dari budaya dan politik kontemporer. Misalnya, perdebatan mengenai hukuman mati, aborsi, dan bunuh diri yang dibantu dokter. Terlepas dari karakternya yang ideal, etika diskursus menginformasikan partisipasi dalam perdebatan berdasarkan dua tingkat, yaitu tingkat pribadi dan politik publik.
Pada tingkat kesadaran moral pribadi, perdebatan menghadapkan individu dengan pertanyaan moral yang memengaruhi keputusan. Misalnya, ketika mempertimbangkan referendum yang melegalkan bunuh diri yang dibantu dokter, harus mempertanyakan apakah tindakan tersebut secara moral diperbolehkan atau tidak. Terkait hal ini, etika diskursus mengambil keputusan dengan mempertimbangkannya berdasarkan hati nurani dan membuat penilaian bijaksana bersama mitra dialog.
Pada tingkat musyawarah publik, etika diskursus menjadi bagian teori pembuatan hukum yang sah. Dalam hal ini, teori demokrasi Habermas menegaskan, hukum dikatakan sah apabila dikeluarkan berdasarkan musyawarah publik. Selain itu, pembuatan hukum dan pelaksanaannya menjamin anggapan bahwa hasilnya rasional. Jika undang-undang mengatur pertanyaan moral seperti di atas, maka keabsahan undang-undang bergantung pada musyawarah tingkat masyarakat dan badan legislatif. Hal ini tidak berarti bahwa prinsip-prinsip etis diskursus memberikan cetak biru untuk desain musyawarah. Melainkan bahwa prinsip universal dapat menginformasikan penilaian mengenai legitimasi dengan meneliti proses inklusivitas perspektif, bebas dari pemaksaan dan tekanan.
Tingkat pribadi dan politik terletak dalam proses sejarah, di mana refleksi pribadi, debat publik, dan perkembangan sosial-politik bersatu dalam pembelajaran kolektif. Menganggap diskursus pembenaran umum tidak terpusat secara temporal dan spasial. Misalnya, diskursus mengenai perbudakan. Meskipun perbudakan merupakan realitas sosial, upaya mempertahankan perbudakan di ruang publik pada dasarnya telah lenyap. Berdasarkan diskursus etis, meyakini bahwa perbudakan salah berarti meyakini proses diskursus historis. Hal ini menghasilkan pengamatan menyeluruh dan konklusif atas pertimbangan yang relevan untuk mengevaluasi perbudakan. Pertimbangan tidak hanya mencakup argumen intelektual, tetapi juga catatan sejarah penderitaan dan perjuangan manusia.
DISKURSUS PENERAPAN
Kehidupan moral terkait penilaian mengenai benar dan salah dalam keadaan konkret, baik secara prospektif atau retrospektif. Terkait hal ini, prinsip universal memberikan pembenaran norma-norma umum dalam terang yang dapat diperkirakan. Namun, prinsip universal tidak mengantisipasi berbagai macam komplikasi yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sejumlah situasi, norma yang bertentangan mungkin tampak berlaku. Sehingga seseorang tidak yakin norma mana yang harus dipatuhi. Berdasarkan karya Klaus Günther, Habermas memerlakukan penilaian tersebut sebagai penerapan norma umum dalam keadaan tertentu.
Tugas utama diskursus penerapan (discourse of application) adalah menilai apakah suatu norma valid, sesuai situasi konkret dan kemungkinan normatif alternatif. Hal ini seringkali melibatkan spesifikasi atau kualifikasi norma. Dalam mengkualifikasi suatu norma, norma-norma umum memiliki karakter abstrak yang dikualifikasi berdasarkan syarat ceteris paribus. Para filsuf mengatakan bahwa norma umum memiliki validitas prima facie atau pro tanto, berlaku sejauh aspek lain dari situasi konkret tidak membenarkan pengecualian.
Alasan yang relevan berbeda secara signifikan dari alasan yang ada dalam diskursus pembenaran umum. Meskipun prinsip kesesuaian mirip dengan prinsip universal, menuntut pengawasan cermat terhadap fitur-fitur tertentu dari situasi dan norma alternatif yang mungkin tampak relevan. Para peserta harus mendeskripsikan dan menafsirkan situasi dengan cara menangkap berbagai macam kemungkinan normatif alternatif. Kemudian mengevaluasi interpretasi alternatif tersebut sebagai sesuatu yang memadai atau tidak memadai. Argumen yang baik adalah argumen yang menyertakan deskripsi situasi yang lengkap dan interpretasi yang koheren berdasarkan persyaratan normatifnya.
Seperti prinsip universal, prinsip kesesuaian melibatkan idealisasi kontrafaktual. Oleh karena itu, dirumuskan dalam sesuatu yang dapat diterima oleh mereka yang terlibat dalam diskursus. Seseorang juga dapat mempertimbangkan sejumlah prosedur yang terstruktur secara institusional sebagai diskursus penerapan atau sebagai subjek pengamatan kritis dari sudut pandang kesesuaian. Habermas menjadikan ajudikasi hukum sebagai contoh diskursus penerapan. Pada tataran penerapan, etika diskursus menginformasikan musyawarah dan pengambilan keputusan di bidang hukum, penyelesaian sengketa lingkungan, etika kesehatan, dan tata kota.
Analisis penerapan memungkinkan Habermas menanggapi kritik etika kepedulian (ethics of care) terhadap moralitas Kant. Para kritikus berpendapat bahwa pendekatan Kantian mengabaikan signifikansi moral dari relasi antarpribadi. Misalnya, moralitas relasi antara orang tua dan anak-anaknya tidak dapat sepenuhnya ditangkap dalam aturan umum yang mencakup relasi keturunan. Sebaliknya, orang tua harus peka terhadap kebutuhan anak. Konsep penerapan Habermas menanggapi kritik tersebut dengan mengakui fakta bahwa setiap orang dianggap sebagai pribadi yang benar-benar berbeda dari semua yang lain.
PERSOALAN MOTIVASI
Kelayakan etika diskursus bergantung pada solusi terkait persoalan motivasi (the problem of motivation). Dalam tradisi Aristoteles, persoalan tersebut dikaitkan dengan kelemahan kehendak dan solusinya terletak pada pengembangan kebajikan. Orang yang berbudi luhur adalah orang yang termotivasi untuk bertindak secara moral. Kebajikan merupakan disposisi yang stabil untuk melakukan sesuatu yang benar dengan konsisten dan senang hati.
Etika diskursus harus berhadapan dengan persoalan motivasi pada dua tingkat, yaitu motivasi untuk masuk diskursus moral dan mematuhi praktik norma-norma yang diyakini benar dalam diskursus. Misalnya, dasar apa yang kita miliki untuk berpikir bahwa orang peduli terhadap diskursus moral? Terkait pertanyaan tersebut, Habermas merujuk karya psikologi perkembangan seperti Lawrence Kohlberg dan Robert Selman. Menurut Kohlberg, moral anak-anak berkembang melalui tiga tingkat penilaian moral, yaitu pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.
Ketika anak-anak menjadi dewasa, mereka mengembangkan kapasitas memecahkan persoalan sosial dan moral. Dimulai dari sudut pandang mementingkan diri sendiri (pra-konvensional). Kemudian berkembang melalui tingkat konvensional konformis sosial berdasarkan mentalitas hukum dan ketertiban (law and order). Sampai akhirnya pada tingkat pasca-konvensional, di mana mereka menyadari hukum yang ada harus dijustifikasi dalam kaitannya dengan prinsip keadilan universal.
Ketika merujuk pada psikologi moral, Habermas tidak mengklaim penelitian psikologi empiris memilih etika diskursus sebagai teori keadilan yang benar. Karena kelayakan etika diskursus bergantung pada budaya keluarga dan pendidikan tertentu. Berbeda dengan kepribadian tingkat konvensional yang menganut norma dan hukum sosial yang mapan, kepribadian pasca-konvensional mampu secara kritis mengamati status quo dalam terang prinsip universal keadilan. Terkait hal ini, Habermas mengajukan etika diskursus sebagai metode refleksi.
Perkembangan sikap pasca-konvensional tidak cukup untuk membuat etika diskursus layak secara sosial. Karena ketika dibandingkan dengan moralitas konvensional, moralitas pasca-konvensioanal tidak dapat bersaing dengan tradisi yang sarat emosi, solidaritas dan keterikatan kebiasaan yang mendukung norma, dan adat istiadat serta praktik yang mapan. Selain struktur kepribadian pasca-konvensional, etika diskursus bergantung pada struktur sosial dan kelembagaan yang mendorong penyelesaian persoalan diskursif dan menghilangkan hambatan untuk mematuhi norma yang dibenarkan atau mencegah ketidakpatuhan.
Berdasarkan asumsi bahwa banyak orang mampu bersikap pasca-konvensional, kedua jenis kelembagaan tersebut membantu memecahkan dua persoalan motivasi sebagaimana dijelaskan di atas. Misalnya, prosedur pembuatan kebijakan dapat membantu memotivasi partisipasi dalam diskursus dengan mewajibkan birokrat untuk mengadakan public hearing sebagai langkah dalam pengambilan keputusan. Selain itu, mekanisme pengawasan peraturan dapat mencegah perilaku yang dipertanyakan secara moral di sektor masyarakat tertentu dan membantu anggotanya mematuhi norma-norma moral.
KEHIDUPAN YANG BAIK
Sebagai teori moral, etika diskursus Habermas didasarkan pada keyakinan sebagaimana dianut sejumlah filsuf moral, di mana filsafat tidak lagi mendikte teori komprehensif mengenai kehidupan yang baik (the good life) yang bersifat informatif dan valid secara universal. Habermas dengan demikian mengukir domain moral dari tatanan tradisionalnya, seperangkat persoalan yang berkaitan dengan kebahagiaan dan kehidupan yang baik. Selain itu, membatasi tugas teori moral pada rekonstruksi sudut pandang moral (moral point of view).
Pendekatan modern terhadap moralitas tidak tertandingi, terutama oleh para feminis dan pemikir yang dipengaruhi Aristoteles dan Hegel. Habermas telah mengembangkan penjelasan mengenai pekerjaan etis dari alasan praktis (ethical employment of practical reason) yang meskipun terikat konteks, tidak sepenuhnya bergantung pada preferensi subjektif. Etika diskursus Habermas sebagai teori moral membantu memahami pertanyaan-pertanyaan etis (ethical) yang menjadi dimensi penting filsafat moral.
Pertanyaan etis mengenai kehidupan yang baik muncul tidak hanya untuk individu, tetapi juga untuk kelompok. Tidak seperti pertanyaan moral, pertanyaan etika tidak menghasilkan jawaban yang mengikat secara universal. Tetapi juga tidak hanya menghasilkan imperatif hipotetis dari penalaran pragmatis yang hanya memiliki validitas bersyarat yang bergantung pada preferensi, nilai, dan tujuan individu. Sebaliknya, pertimbangan etis dapat mengarah pada jawaban mutlak (absolute) atau tidak bersyarat bagi individu (for an individual). Misalnya, ketika seseorang menegaskan panggilan untuk suatu pekerjaan. Tidak seperti penalaran pragmatis, di mana setiap individu memiliki otoritas epistemik akhir (final epistemic authority) untuk mengidentifikasi preferensinya, alasan etis terbuka pada pengujian intersubjektif dalam diskursus.
Seperti dikatakan Habermas, keaslian tujuan kehidupan dapat dipahami sebagai klaim validitas yang analog dengan klaim kebenaran dari tindak tutur ekspresif. Dengan kata lain, klaim keaslian adalah klaim validitas kompleks yang menghubungkan kebenaran dengan klaim evaluatif, yaitu klaim mengenai nilai dan tujuan sebagaimana diwujudkan dalam pilihan hidup seseorang. Hal ini memerlihatkan bahwa pilihan pribadi otentik melibatkan klaim validitas yang dapat dipertanyakan dan dipertahankan dengan alasan objektif, alasan yang dapat bertahan dalam diskursus rasional. Alasan relevan untuk diskursus eksistensial etis mencakup narasi pribadi dan informasi mengenai bakat, temperamen, dan perilaku. Selain itu, narasi dan argumen yang menafsirkan atau mengartikulasikan nilai-nilai diharapkan dapat diwujudkan dengan mengejar tujuan hidup yang signifikan.
Ketika memegang penilaian pribadi mengenai kehidupan yang baik dan bertanggung jawab atas diskursus eksistensial etis, Habermas menegaskan bahwa penilaian tersebut melibatkan klaim validitas yang objektivitasnya diukur dengan pembenaran publik di hadapan khalayak. Dapat dikatakan bahwa klaim keaslian hanya valid apabila peserta secara rasional menyetujui dua gagasan. Pertama, tidak ada yang mereka ketahui mengenai riwayat hidup pembicara, komitmen, bakat, motif, temperamen, dan perilaku sebagai klaim mengenai apa yang baik untuknya. Kedua, interpretasi pembicara mengenai nilai-nilai relevan yang dipersoalkan, di mana pilihannya mengejar kebaikan dapat dimengerti.
EVALUASI TERHADAP ETIKA DISKURSUS JÜRGEN HABERMAS
Perlu diketahui bahwa dalam etika diskursus Habermas tidak menyusun norma moral. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Habermas tidak meletakkan dasar moralitas dalam masyarakat. Habermas sekadar memberikan metode untuk memastikan diberlakukannya norma moral. Dengan kata lain, Habermas menunjukkan cara mengatasi keraguan dan konflik norma moral. Hal ini memerlihatkan bahwa Habermas tidak mau menggantikan moralitas di dalam masyarakat dengan moralitas baru. Bahkan pada tataran tertentu Habermas tidak mau menyeragamkan berbagai macam pandangan moral.
Habermas mengandaikan di dalam masyarakat sudah ada moralitas. Jika muncul persoalan moral, maka etika diskursus mengambil peran aktif untuk memecahkan persoalan tersebut. Sehingga etika diskursus melakukan suatu diskursus berdasarkan moralitas yang sudah ada di dalam dunia kehidupan. Oleh karena itu, etika diskursus tidak masuk ke dalam persoalan yang membicarakan hakikat moralitas. Dengan demikian, etika diskursus mengandaikan bahwa masyarakat sudah menghidupi sikap moral.
RELEVANSI ETIKA DISKURSUS HABERMAS UNTUK MASYARAKAT INDONESIA
Etika diskursus Habermas menawarkan prosedur memecahkan persoalan hidup bersama secara adil di tengah kemajemukan pandangan hidup dan keyakinan. Selain itu, etika diskursus tidak melenyapkan perbedaan identitas warga negara, melainkan menjamin kelangsungan hidup bersama. Selanjutnya akan diuraiakan tiga relevansi etika diskursus untuk masyarakat Indonesia yang majemuk dan kompleks.
Pertama, Indonesia mempunyai berbagai macam agama sebagaimana dianut masyarakat. Sehingga sulit menerapkan doktrin tertentu sebagai norma hidup bersama. Dalam situasi dan kondisi tersebut, etika diskursus relevan untuk menjembatani berbagai macam orientasi nilai, budaya, agama, dan kepercayaan di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk serta kompleks. Selain itu, etika diskursus merangsang dan mendorong tradisi serta kelompok yang berbeda-beda merefleksikan diri. Bersedia melakukan diskursus berdasarkan pandangannya yang relevan bagi kehidupan bersama. Sebagaimana ditegaskan dalam etika diskursus, hanya norma yang dikehendaki semua pihak boleh diberlakukan secara universal.
Kedua, dalam etika diskursus dibedakan antara yang etis dan yang moral. Pembedaan tersebut relevan untuk mengejawantahkan dialog antaragama di Indonesia. Bahkan pada tataran tertentu menjamin pluralitas agama di tengah masyarakat. Berhadapan dengan pluralitas agama, masyarakat Indonesia harus memusatkan perhatian pada persoalan keadilan, bukan persoalan kebaikan. Karena membiarkan yang etis hadir di tengah masyarakat dalam diskursus, berpotensi menghilangkan kekhasan setiap agama. Selain itu, agama tertentu akan mendominasi agama yang lain. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk dan kompleks, jangan sampai yang etis dipaksakan sebagai norma universal.
Ketiga, etika diskursus relevan untuk kehidupan masyarakat Indonesia dalam rangka mewujudnyatakan toleransi antaragama. Melalui toleransi antaragama masyarakat Indonesia disadarkan pentingya menjunjung tinggi pluralitas agama dan bersedia menjalani hidup di tengah perbedaan. Tidak memaksakan pandangan dan keyakinan agama tertentu kepada yang lain. Karena memaksakan pandangan dan keyakinan agama tertentu hanya akan menimbulkan perpecahan, penderitaan, ketidakadilan, dan ketidakdamaian.
PENUTUP
Terdapat dua gagasan pokok dari etika diskursus Habermas, yaitu otonomi dan solidaritas. Perlu diketahui bahwa etika diskursus mengembangkan gagasan Kantian mengenai otonomi ke arah dialogis yang lebih eksplisit. Perubahan dialogis tersebut berimplikasi pada gagasan mengenai solidaritas moral. Gagasan Kant mengenai komunitas moral agen otonom pada dasarnya mengasumsikan solidaritas moral sebagaimana ditetapkan sebelumnya pada tingkat alasan murni. Dipandu oleh imperatif kategoris, pribadi yang dewasa dan otonom dapat memahami tuntutan solidaritas melalui refleksi pribadi. Sebaliknya, bagi Habermas, sesuatu yang dituntut solidaritas bergantung pada hasil relasi dengan orang lain. Keterlibatan tersebut merupakan pelestarian otonomi dan solidaritas.
Melalui diskursus moral, setiap peserta menerima penghormatan sebagai pribadi yang otonom. Selain itu, peserta terikat dalam solidaritas dengan orang lain, yaitu dalam usaha menguji kontribusi mereka dalam pembenaran norma dan penilaian moral supaya diterima oleh semua yang terpengaruh. Norma-norma yang muncul dari diskursus tersebut melayani kepentingan bersama. Karena norma-norma melindungi dinamika relasi, di mana orang-orang memerlakukan satu sama lain dengan perhatian dan rasa hormat. Jika diskursus moral memiliki struktur internal dan dampak sosial, maka etika diskursus memberikan pendekatan yang tepat untuk masyarakat modern yang menekankan kebebasan pribadi serta mendambakan solidaritas.
SUMBER BACAAN:
FINLAYSON, JAMES GORDON. Habermas: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press, 2005.
FULTNER, BARBARA (Editor). Jürgen Habermas: Key Concepts. London: Routledge, 2011.
LEMERT, CHARLES C. DAN ANTHONY ELLIOTT. Introduction to Contemporary Social Theory. New York: Routledge, 2014.
MEISENBACH, REBECCA J. “Habermas’s Discourse Ethics and Principle of Universalization as a Moral Framework for Organizational Communication.” Management Communication Quarterly. Vol 2 (Agustus 2006), hlm. 39-62.
CATATAN:
Tulisan ini pernah dimuat di dalam majalah GITA SANG SURYA, Vol. 17, No. 4 (Juli-Agustus 2022), hlm. 45-55.