Artikel berikut ini memiliki intensi sangat sederhana, yakni menyajikan secara serba umum pemikiran salah satu tokoh besar Indonesia, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (06 Mei 1929 – 10 Februari 1999). Dalam uraian berikut ini saya hanya akan membatasi diri pada tiga hal saja, yakni pertama, mengenai manusia dan kekudusan aktivitas hariannya; kedua, mengenai agama dan iman atau religiositas; dan ketiga, teologi pembebasan atau pemerdekaan. Ketiga hal ini saling berkaitan satu sama lain dan boleh disebut sebagai dasar bagi cita-cita dan perjuangan Romo Mangun.
Romo Mangun: Banyak Sebutan
Banyak hal bisa dikatakan tentang Romo Mangun: imam katolik, sastrawan dan budayawan, penikmat dan kritikus sastra, guru dan pendidik, arsitek, aktivis dan pemikir sosial politik, dan teolog katolik. Sejumlah predikat itu dikukuhkan oleh kenyataan tak terbantahkan bahwa Romo Mangun mengumumkan pemikiran-pemikiran dan kepeduliannya itu baik dalam bentuk karya tulis maupun dalam bentuk tindakan dan praksis hidup.
Sebagai penulis, Romo Mangun telah menghasilkan banyak buku dan sejumlah tulisan – untuk menyebut beberapa di antaranya – Ragawidya, Sastra dan Religiositas, novel Romo Rohadi, novel Burung-Burung Manyar, trilogi Rara Mendut, Ikan Hiu, Ido, Homa, Durga Umayi, Gerundelan Orang Republik, Republik Indonesia Serikat. Romo Mangun juga adalah seorang guru dan pendidik yang memperkenalkan konsep dan praksis pendidikan dengan fokus perhatian pada manusia sebagai pribadi yang integral, dinamis, dan kreatif. Sebagai pemikir dan aktivis sosial yang dijiwai iman katolik dia terlibat dalam upaya pemerdekaan dan pencerahan masyarakat sederhana, khususnya di tepi Kali Code dan Kedung Ombo.
Sebagai imam dan teolog katolik dia – antara lain – memperkenalkan istilah “Gereja Diaspora” sebagai suatu model praksis beriman untuk konteks Indonesia yang dicirikan oleh keberagaman suku, agama, ras dan budaya. Sebagai pemikir politik dia mencita-citakan Indonesia yang berbentuk serikat, yang sekarang ini dipadatkan dalam istilah otonomi daerah.
Romo Mangun tentang Manusia
Pada tahun 1975, Romo Mangun menerbitkan sebuah karya berjudul Ragawidya. Sebelas tahun kemudian yakni pada 1986 buku ini direvisi dan diterbitkan lagi oleh penerbit yang sama, Kanisius. Lalu terbit lagi pada 1988.
Ragawidya memikat dan memiliki bobot teologis. Memikat karena Romo Mangun menguraikan secara fenomenologis hal-hal yang terlihat sangat banal, sepele dan artifisial dari hidup manusia namun menyingkap kebenaran mengenai manusia itu sendiri. Dalam buku itu, Romo Mangun memaparkan sekitar 20 aktivitas harian manusia seperti makan, minum, melamun, berdiri, berkata, tidur, duduk, menyanyi, mandi, berpakaian, dst.
Karya itu juga memiliki bobot teologis yang luar biasa karena beberapa hal berikut. Pertama, manusia dipandang sebagai makluk kesatuan jiwa dan raga, rohani dan jasmani, ilahi dan insani. Namun demikian, tubuh adalah locus theologicus, tempat dan sarana untuk memperlihatkan dan membuat jelas sisi spiritual, dimensi dalam, aspek batiniah dari kita. Dalam kalimat Romo Mangun, “… tubuh manusia adalah ekspresi, sabda, ungkapan, sasmita, bahasa yang mewartakan batin” (Mangun 1988: 15). Tubuh dialami sebagai semacam “sakramen” yang mesti memberikan kesaksian tentang sisi-sisi personal batiniah relasi kita dengan Tuhan. Tubuh menyatakan nilai sakramental, yakni menjadi tempat kasih Tuhan dihadirkan. Melihat, umpamanya, bukan hanya dipandang sebagai pekerjaan indra mata saja tetapi pekerjaan seluruh diri dengan gairah, rindu, nafsu, dan tafsirnya. Demikianpun aktivitas mandi. Manusia memandikan tubuhnya dengan membasahi dan membersihkannya dengan air. Tetapi mandi juga menjadi sarana pembersihan, syukur, dan persiapan untuk layak di hadapan Tuhan.
Kedua, manusia adalah makhluk relasional. Dalam pelbagai aktivitas hariannya itu, manusia menunjukkan bahwa dia adalah makhluk yang relasional. Eksistensinya diteguhkan oleh kehadiran sesamanya dan sarana-sarana yang ada. Dalam arti itu, manusia adalah makhluk yang tergantung pada yang lain. Dia memang bisa berdikari namun untuk dapat berdikari dengan sejati dia membutuhkan sentuhan dan perhatian pihak lain. Penerimaan akan ciri relasional memungkinkan manusia berlaku rendah hati, tidak keji dan kejam terhadap sesamanya, mengupayakan kesejahteraan bersama, berkomunikasi dengan sesama tanpa curiga dan prasangka, dll. Cara orang berpakaian, misalnya, menyajikan kepada kita tak hanya mengenai mahal atau murahnya baju itu tetapi juga tentang identitas dan karakter orang yang memakainya.
Ketiga, visi inklusif iman akan Allah. Aktivitas-aktivitas yang disebut oleh Romo Mangun dalam buku itu juga memperlihatkan keyakinan dasar bahwa Allah itu hadir di mana-mana dan karena itu, dapat dirasakan kehadiran-Nya oleh siapa saja yang peka. Dalam arti itu hidup manusia bagi Romo Mangun mesti menjadi sebuah bakti dan persembahan untuk Allah dan sesama ciptaan. Manusia sejatinya adalah makhluk yang memiliki bakat religius. Hidup harian kita akan otentik dan dapat dijalankan dengan penuh makna hanya ketika hidup itu sendiri memperlihatkan kebenaran mengenai manusia dan martabatnya di hadapan Allah. Itu sebabnya, buku ini memperlihatkan semacam mistik keseharian manusia.
Romo Mangun tentang Agama dan Iman atau Religiositas
Hal lain lagi yang menarik dari Romo Mangun adalah distingsi yang dibuatnya tentang agama dan iman atau religiositas[1]. Pembedaan itu dibuat oleh Romo Mangun dengan bantuan pembacaan dan perenungan terhadap beberapa karya sastra dari AA Navis, yakni Robohnya Surau Kami, Datangnya dan Perginya dan Kemarau. Romo Mangun menulis sebagai berikut:
“…di negeri ini kita dapat menjumpai koruptor-koruptor kecil besar, lintah-lintah darat dan penipu yang rajin beragama, tanpa prihatin sedikit pun, apakah praktek semacam itu cocok atau tidak dengan kehendak Allah yang Mahabaik dan Maha Pengasih. Mereka agamawan, tetapi tidak atau bahkan jauh dari sikap religius otentik”[2].
Dalam rangka memaparkan distingsi yang disajikannya, Romo Mangun mengajukan beberapa pertanyaan berikut ini : Apakah beragama dan beriman itu sama saja? Apakah arti agama bila tidak berprikemanusiaan? Apa arti agama tanpa religiositas?
Bagi Romo Mangun, agama lebih merupakan pelembagaan hubungan personal seseorang dengan Tuhan atau “Dunia Atas”. Karena itu, agama lebih menyangkut “…aspek resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya dan lain-lain yang melingkupi segi kemasyarakatan”[3]. Agama itu berkaitan dengan aspek formal legal. Di Indonesia, setiap warga harus mencantumkan pada kartu tanda penduduk salah satu dari 6 agama yang diakui dan diterima secara resmi oleh negara, yakni : Islam, Protestan, Katolik, Budha, Hindu, Konghucu.
Iman atau religiositas dipahami oleh Romo Mangun sebagai “penuntunan manusia ke arah segala makna yang baik”[4]. Jelaslah religiositas berkaitan dengan “aspek batin, riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal karena menapaskan intimitas jiwa”.[5] Religiositas itu berkaitan dengan cita rasa yang dialami dan yang diperlihatkan oleh manusia secara keseluruhan (akal dan rasa manusiawinya). Secara sederhana, religiositas itu menyangkut etos, karakter, spiritualitas, penjiwaan nilai-nilai yang dihayati seseorang dengan penuh passion, gairah dan rasa syukur.
Jelas kiranya bahwa Romo Mangun tidak menyangkal relasi yang terdapat antara agama yang dipilih seseorang dan iman yang hendak dihayatinya. Orang yang beragama mestinya menampilkan religiositas yang otentik. Namun demikian, ideal relasi itu tidak selalu sejalan dalam pola laku hidup harian. Ada orang beragama namun perilakunya korup, kejam dan tak peduli. Tetapi ada juga orang yang tidak “beragama”, namun perilakunya memiliki “cita rasa, sikap dan tindakannya religius”. Maka, pembedaan perlu dibuat agar orang tidak menyamakan saja pengertian mengenai agama dan iman atau religiositas.
Romo Mangun tentang Teologi Pemerdekaan
Beberapa butir gagasan Romo Mangun mengenai Teologi Pemerdekaan dapat dibaca pada artikel yang ditulisnya dalam Prisma tahun 1982 berjudul, “Gereja antara Yesus dari Nasaret dan Caesar”. Artikel itu kemudian dipilih dan diterbitkan lagi sebagai salah satu karangan dalam buku bunga rampai berjudul “Agama dan Tantangan Zaman. Pilihan Artikel Prisma 1975-1984”. Bunga rampai karangan itu diterbitkan oleh LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial).
Saya hanya akan memaparkan tiga pokok penting Teologi Pemerdekaan yang disajikan oleh Romo Mangun dalam tulisannya itu. Pertama, nama dan konteks Teologi Pemerdekaan. Romo Mangun dalam tulisannya itu menyebut nama-nama otoritatif dalam refleksi Teologi Pembebasan: John Sobrino, Camara, Guttierez, JB Metz dan dokumen Puebla, Meksiko. Kecuali JB Metz yang juga menulis Teologi Politik dengan latar Eropa, tokoh-tokoh lainnya hidup dan berada dalam konteks Amerika Latin: agama katolik dianut mayoritas penduduk tetapi pada saat yang sama kemiskinan, terorisme, ketidakadilan, dan lainnya menimpa sebagian besar rakyat katolik. Pertanyaannya: manakah peran pembebasan dari agama katolik?
Kedua, keyakinan bahwa iman itu tak hanya berciri personal tetapi sekaligus juga berdimensi sosial dan emansipatif. Bagi Romo Mangun, Teologi Pemerdekaan bukan hanya sebuah refleksi teoretis akademis tetapi pertama-tama dan terutama adalah “…konsekuensi dari iman”[6]. Mengapa? Eklesiologi Vatikan II memandang Gereja sebagai sakramen Allah; tanda dan sarana persekutuan dengan Allah dan umat manusia. Selain itu, realitas historis menuntut kita untuk terlibat dalam perjuangan untuk pembebasan dari kemiskinan, ketidakadilan, ketidaktahuan, krisis ekologi, dst. Gereja tidak lagi tinggal diam atau mencuci tangan saja. Tidak ada iman Katolik yang tidak sekaligus juga berarti menjalankan misi pembebasan, misi keadilan, hormat terhadap ciptaan.
Ketiga, misi Gereja sekarang adalah melanjutkan misi pembebasan Yesus Kristus. Bentuk perwujudannya adalah cinta kasih yang diungkapkan dalam keberpihakan terhadap orang-orang miskin[7]. Istilah lazimnya: preferential option for the poor (pilihan atau keberpihakan pada orang-orang miskin). Pilihan keberpihakan pada orang miskin tidak hendak mengatakan bahwa Allah pilih kasih. Tidak. Akan tetapi hal itu merupakan suatu cara menghidupkan iman, yakni caranya iman akan Kristus itu diterima, diwartakan, direalisasikan dan dihadirkan di dunia ini. Allah dalam Kristus menghendaki kita untuk menunjukkan kasih kepada mereka yang miskin, yaitu mereka yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Termasuk mereka yang disingkirkan martabatnya karena ras, agama, gender, budaya dan status ekonomi.
Dengan singkat, pemaparan Romo Mangun mengenai Teologi Pemerdekaan ini mengingatkan kita akan kalimat legendaris dari St. Ireneus: gloria Dei, homo vivens et vivere pro homine est cognoscere Deum, yang artinya kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup dan hidup bagi manusia adalah berupaya mengenal Allah.***
Catatan Kaki:
[1] Y.B. Mangunwijaya. Sastra dan Religiositas (Kanisius: 1982), bab 1 “Pada Awal Mula” hal. 11-15. Distingsi ini dibuat oleh Romo Mangun dalam kaitan dengan ulasannya mengenai Sastra. Dimaklumkan oleh Romo Mangun semacam tesis atau lebih tepat slogan, yakni “Pada Awal Mula, Segala Sastra adalah Religius”.
[2] Sastra dan Religiositas, hal.12.
[3] Sastra dan Religiositas, hal. 11.
[4] Sastra dan Religiositas, hal 15.
[5] Sastra dan Religiositas, hal 11.
[6] Prisma. Agama dan Tantangan Zaman. (LP3ES : 1982), hal 307.
[7] Bagi Romo Mangun, cinta kasih kristiani itu selalu berarti keberpihakan dan bukan bersikap netral. Berpihak pada yang lemah dan yang dirugikan oleh suatu struktur sosial politik. Cinta kasih itu konkret. Tuhan membebaskan manusia tidak secara abstrak tapi konkret, historis dan dalam konteks. Agama dan Tantangan Zaman, hal 314-317.