Bagian I
Krisis yang paling serius yang dihadapi oleh masyarakat global saat ini bukan lagi perang dan pandemi Covid-19, melainkan krisis perubahan iklim. Krisis ini terjadi secara mondial dan mempercepat eskalasi berbagai masalah sosial: bencana, penyakit, migrasi, kelaparan, konflik dan lain-lain. Kelompok yang paling rentan terkena risiko akibat krisis ini adalah orang-orang miskin. Krisis ini mendesak kita semua, masyarakat global, untuk berbuat sesuatu dan mencari solusi yang efektif agar masalah ini cepat diatasi.
Di tengah krisis global ini, sudah saatnya kita semua mengakui bahwa krisis perubahan iklim saat ini bukan hanya peristiwa alam semata, tetapi juga akumulasi dari tindakan manusia yang cenderung merusak alam. Yang dituntut dari kita semua saat ini adalah mengubah pola pikir dan tindakan kita terhadap alam. Pola pikir yang salah akan memengaruhi dan berekses pada tindak praksis kita dalam memperlakukan alam. Satu hal yang harus kita sadari bersama adalah bahwa alam, bumi ini diciptakan oleh Tuhan bukan hanya untuk manusia, melainkan untuk semua makhluk. Bumi ini sebagai rumah bersama, tempat tinggal semua mahkluk. Di rumah bersama ini, semua makhluk hidup berdampingan, saling bergantung satu sama lain dan membentuk satu keluarga, yaitu keluarga kosmis. Namun, ternyata masih ada sebagian orang yang belum menyadari secara sungguh akan hal itu. Uraian dibawah ini akan diperlihatkan klaim-klaim yang keliru dari sebagian orang yang melegitimasi mereka untuk merusak alam.
- Perubahan Iklim: Peristiwa Alam dan Tidak Disebabkan oleh Manusia?
Berhadapan dengan fakta perubahan iklim saat ini, ternyata masih ada sejumlah orang yang mengklaim bahwa perubahan iklim merupakan peristiwa alam dan sama sekali tidak disebabkan oleh manusia. Bagi mereka, variasi suhu merupakan hal yang alamiah. Tindakan dan aktivitas manusia tidak ada hubungannya dengan perubahan iklim. Dari klaim ini muncul sebuah pertanyaan: betulkah perubahan iklim saat ini (dan bencana ekologis lainnya) semata-mata merupakan faktor alamiah dan tidak ada kaitannya dengan aktivitas dan tindakan manusia? Mari kita lihat sejumlah fakta berikut.
Pertama, kita tidak bisa menafikan bahwa variasi suhu adalah hal yang normal! Kita semua bisa melihat dan merasakan perubahan musim, yang ada kalanya musim panas yang sangat panas atau musim dingin yang sangat dingin. Namun, jumlah perubahan suhu dan kecepatan perubahannya tidak terjadi secara normal. Cakupan dan kecepatan perubahan ini mengganggu keseimbangan planet kita yang menjadi tempat kita semua bergantung.
Kedua, suhu bumi yang bertambah panas akan memicu berbagai reaksi berantai dalam alam seperti: menyebabkan hujan yang tidak dapat diprediksi, gurun yang semakin meluas, badai yang sangat besar, kadar/zat asam laut meningkat, dan naiknya permukaan air laut. Konsekuensi langsung yang dialami oleh keluarga manusia -yaitu kita semua- adalah bencana kelaparan, muncul berbagai macam penyakit, migrasi, dan konflik sosial. Krisis perubahan iklim ini bukan semata-mata faktor alam. Kita harus jujur dengan diri kita sendiri bahwa aktivitas manusia (kita semua) turut berkontribusi terhadap perubahan iklim yang ekstrem saat ini.
Dalam situs resmi Laudato Si’ Movement khususnya dibagian guideline Laudato Si’ week 2023 ada sejumlah fakta yang menunjukkan bahwa aktivitas manusia turut berkontribusi terhadap perubahan iklim dan kerusakan ekologis lainnya seperti semakin hilangnya keanekaragaman hayati di planet ini (Anda bisa telusuri informasi ini di https://drive.google.com/file/d/1k30CKW5sphCSlmGfF3BHhbMA8plsGBDn/view). Di sana dikatakan bahwa sejak tahun 1800-an, aktivitas manusia telah memicu terjadinya perubahan iklim, terutama karena pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas. Pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan emisi gas rumah kaca, yang memerangkap panas matahari di sekitar bumi dan meningkatkan suhu. Konsentrasi gas rumah kaca berada pada tingkat tertinggi dalam 2 juta tahun terakhir. Bahkan beberapa dekade terakhir suhu panas diproyeksikan mencapai sekitar 3,2°C, tercatat sebagai suhu terpanas pada akhir abad ini. Suhu yang semakin panas ini akan berisiko bencana yang besar seperti: naiknya permukaan air laut, kebakaran hutan yang besar, kekeringan, badai yang lebih kuat, dan hujan yang tidak dapat diprediksi. Akibat lanjutan dari bencana ini adalah kelaparan, munculnya berbagai macam penyakit, meletusnya berbagai macam konflik, dan angka migrasi semakin meningkat. Banyak orang di seluruh dunia sudah mengalami dampak yang menghancurkan ini.
Selain itu, fakta perubahan iklim yang diakibatkan oleh aktivitas manusia juga telah menjadi salah satu pemicu utama hilangnya keanekaragaman hayati (main drivers of biodiversity loss) yang ada di planet ini. Hilangnya keanekaragaman hayati menyebabkan berkurangnya sejumlah jenis makanan, air, dan bahkan oksigen. Hal ini akan merusak ekosistem dan kemampuan alam untuk mengatur emisi gas rumah kaca serta melindungi bumi kita dari cuaca ekstrem. Adalah sebuah tragedi jika ada makhluk hidup yang harus punah karena tindakan kita. Mengapa? Karena kenyataannya adalah bahwa kita bergantung mutlak pada alam untuk kelangsungan hidup kita di planet ini. Melihat fakta-fakta yang ada di atas, masihkah kita tetap mengklaim bahwa perubahan iklim hanyalah fenomena alam semata dan tidak ada hubunganya dengan cara kita memperlakukan alam? Karena itu, untuk melindungi rumah kita bersama dan mencapai keberlanjutan penuh dalam semangat ekologi integral, kedua kedua krisis ini harus ditangani bersama.
- Manusia Diciptakan untuk Menguasai dan Memiliki Alam?
Sampai hari ini, ternyata masih ada orang yang berpikir bahwa alam dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya diperuntukkan semata-mata untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Mereka melihat alam hanya sebagai obyek dan instrumen (sarana) yang dapat dimanfaatkan sepuas-puasnya untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Cara pandang seperti ini mengungkapkan suatu penyangkalan yang serius terhadap kenyataan bahwa semua makhluk di alam ini saling terkoneksi, terhubung dan saling tergantung satu sama lain.
Pada tahun 1970-an, Gereja Katolik mendapat kritikan bahwa kekristenan sebagai biang krisis ekologi. Satu di antara pengkritik itu adalah Lynn White. Menurutnya, berdasarkan Kitab Kejadian 1:27-28, orang Kristen merasa memiliki martabat yang paling luhur karena mereka diciptakan oleh Allah, mereka diberi kuasa untuk menguasai bumi. Dengan demikian, orang Kristen merasa berhak menguasai ciptaan lain dan bebas mengeruk sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tuduhan Lynn White di atas perlu ditanggapi dan dievaluasi kembali. Allah tentu saja menciptakan manusia unik dan berbeda dari makhluk ciptaan yang lain. Manusia diberikan sejumlah kemampuan dan kapasitas oleh Allah seperti: akal budi, kehendak, kesadaran dan lain-lain, yang tidak dimiliki oleh mahkluk ciptaan yang lain. Itulah yang membuat manusia berbeba dan unik dari ciptaan yang lain. Namun, keunikan dan keberbedaan itu bukan menjadi sebuah alasan untuk menguasi dan menghancurkan yang lain. Kitab Kejadian 1:27-28 harus dimaknai secara utuh bahwa Allah memberikan kuasa kepada manusia, bukan untuk menguasai dalam arti destruktif, yang menghancurkan tetapi diberi ‘kuasa atau wewenang untuk bertanggung jawab memelihara alam’. Perlu diingat bahwa Adam ditempatkan oleh Allah di taman Eden pertama-tama “untuk mengusahakannya dan memeliharanya” (Kejadian 2:15). Kita telah melakukan pekerjaan yang baik dalam mengolahnya, tetapi kita harus bekerja sedikit lebih keras untuk memeliharanya. Karena itu, kuasa dan segala kemampuan yang luar biasa yang dimiliki oleh manusia harus digunakan secara bertanggung jawab. Paus Fransiskus dalam Laudato Si artikel 78 mengatakan demikian: “Sebuah dunia yang rapuh, yang perawatannya dipercayakan Allah kepada manusia, menantang kita untuk menemukan cara-cara yang cerdas untuk mengarahkan, mengembangkan, dan membatasi kekuatan kita”.
Bersambung…
Uraian ini diinspirasi dari platform Laudato si Week 2023 “A Guide to Challenging Conversations about Faith and Climate Change” yang kemudian diolah dan dikembangkan secara sistematis oleh sdr. Mikael Gabra Santrio, OFM berdasarkan sumber-sumber berikut:
-https://laudatosiweek.org/laudato-si-week-resources-2023/ diakses pada Rabu, 24 Mei 2023 pada pkl. 10. 00 WIB.
–https://drive.google.com/file/d/1k30CKW5sphCSlmGfF3BHhbMA8plsGBDn/view, diakses pada Kamis, 25 Mei 2023 pada pkl. 10.00
-Tristanto, Lukas Awi. Hidup dalam Realitas Alam. Sketsa-sketsa Ekoinspirasi. Yogyakarta: Kanisius, 2016.