Tema Musim Penciptaan 2023 adalah “Hendaklah Keadilan dan Perdamaian Mengalir seperti Sungai”. Kita bersyukur bahwa setiap tahun kita memiliki waktu khusus (sejak 1 September- 4 Oktober) untuk berdoa dan merenungkan secara bersama seruan penciptaan untuk merawat bumi, rumah kita bersama.  Tema yang hendak kita refleksikan bersama pada minggu ke-4 ini adalah “kerawanan/krisis Pangan” (Food Insecurity). Hal ini perlu direfleksikan supaya mata kita terbuka pada kenyataan bahwa salah satu modus ketidakadilan yang mencolok mata saat ini adalah krisis pangan. Ada begitu temuan yang memperlihatkan bahwa akar dari krisis ini antara lain: konflik bersenjata, sistem produksi pertanian yang tidak pro lingkungan yang dapat mempercepat eskalasi kerusakan ekosistem dan krisis iklim, serta mentalitas segelintir orang yang mau mencari untung sebanyak mungkin dengan mengabaikan nilai keadilan.

Uraian ini akan terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama akan membahas krisis pangan global dan akar persoalannya. Kedua, refleksi teologis tentang makan (perspektif Teologi Makan).

Krisis Pangan Global

Salah satu bidang ketidakadilan yang besar di dunia ini adalah krisis pangan global. Diperkirakan ada 345 juta orang di seluruh dunia yang mengalami kerawanan pangan, namun 17% dari semua makanan yang diproduksi dibuang di sekitar waktu panen dan penjualan eceran. Lanskap dunia pertanian kita memiliki jejak yang besar pada penanaman tunggal, yang sering kali mengarah pada degradasi lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati, serta pengaruh industri peternakan yang berpengaruh terhadap peningkatan gas rumah kaca. Dengan kata lain, praktik produksi pangan modern kita saat ini berekses pada meningkatnya kehilangan keanekaragaman hayati, keterasingan manusia dari sumber makanan, dan pada saat yang sama meningkatkan kelaparan global. Dampak perubahan iklim dan perang juga telah mengusir manusia dari tanahnya dan membuat lebih banyak orang berada pada situasi rawan pangan.

Program Pangan Dunia (World Food Programme) memperkirakan bahwa lebih dari 345 juta orang di seluruh dunia menghadapi tingkat kerawanan pangan yang tinggi, dua kali lipat dari jumlah tahun 2020. Salah satu penyebab kelaparan terbesar adalah adanya konflik yang berkepanjangan. WFP memperkirakan bahwa 70% orang yang tinggal di daerah konflik mengalami kelaparan yang hebat dan terpaksa harus meninggalkan wilayahnya. Akibat lain yang cukup berdampak langsung terhadap krisis pangan saat ini ialah dampak perubahan iklim.

Sistem produksi pangan kita saat ini juga sangat dipengaruhi oleh perusahaan-perusahaan swasta yang mengejar keuntungan pribadi melalui penjualan benih-benih hasil rekayasa genetika. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa benih-benih ini, dan herbisida yang terkait dengannya, berbahaya bagi tanah dan organisme yang hidup di dalam tanah. Praktik-praktik yang tidak adil terkait dengan rekayasa genetika benih-benih tanaman telah menyebabkan para petani harus tersingkir dari tanah mereka karena praktik-praktik bisnis yang tidak etis dan perampasan lahan atas nama produksi pangan.

Ini hanyalah dua contoh yang menunjukkan bagaimana praktik pertanian modern saat ini membuat masyarakat kita semakin terasing dari lahan pertaniannya. Selain itu, arus urbanisasi, budaya membuang makanan, dan rantai pasokan global, membuat kita tidak lagi mengenal dari mana asal makanan kita.  Kita juga sulit untuk mengontrol kualitas makanan yang kita makan dan siapa yang memiliki akses terhadap makanan tersebut.

Inilah sejumlah akar persoalan yang membuat dunia kita berada dalam situasi krisis makanan atau pangan. Di satu sisi, ada segelintir orang hidup dalam berkelimpahan, tetapi di sisi lain terdapat jutaan orang hidup dalam situasi rawan pangan. Di sini, terlihat dengan jelas bahwa demi kepentingan pribadi atau kelompok dengan mudah orang mengabaikan keadilan. Sebagai orang Kristiani, ketidakadilan pangan sebagaimana dijelaskan di atas sesungguhnya merupakan sebuah persoalan iman dan moral. Iman kita mengajarkan kita untuk peduli pada keadilan dan persoalan kemanusiaan. Allah yang kita Imani adalah Allah yang pengasih dan suka akan keadilan. Sebagai orang yang beriman akan Yesus Kristus, berlaku tidak adil terhadap sesama bertentangan dengan karakter Allah yang maha adil yang kita Imani. Dengan kata lain, berlaku tidak adil terhadap sesama merupakan sebuah penyangkalan serius terhadap iman akan Allah yang maha adil, Allah yang kita sembah dan Imani. Selain itu, ketidakadilan pangan ini juga dilihat sebagai persoalan moral. Mengapa? Karena Allah kita adalah Allah Moral, Allah yang menciptakan segala sesuatu dalam keadaan baik, dan selalu membela yang baik dan menghukum yang jahat. Kita mengedepankan nilai moral berhadapan dengan mental zaman ini yang mengabaikan keadilan dan menghalalkan segala cara demi tujuan.

Teologi Makan

Pada bagian yang kedua dari uraian ini, akan diperlihatkan sebuah refleksi teologis tentang makan. Refleksi teologis ini ditempatkan dalam uraian ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa memperoleh makanan adalah hak setiap orang dan mengonsumsi makanan bukan hanya peristiwa biasa setiap hari, tetapi juga sebagai peristiwa iman. Berikut ini ada 4 tema utama dalam Alkitab yang menunjukkan bahwa makan juga sebagai peristiwa iman: Makan dan makanan menunjukkan kebutuhan kita Akan Tuhan, makan dan makanan menunjukkan penebusan, makan dan makanan sebagai persekutuan Injil, dan makan dan makanan menunjuk pada perjamuan kekal di Surga nanti.

  1. Makan dan Makanan Merujuk pada Kebutuhan Kita akan Tuhan

Uraian bagian yang pertama ini tidak bermaksud bahwa makan memiliki kekuatan magis. Tetapi bagi orang Kristen, segala sesuatu dalam hidup ini bermakna dan penting di hadapan Tuhan. Begitu pun dengan kebutuhan kita akan makan dan makanan bermakna dan berguna di hadapan Tuhan. Jadi, bagi orang Kristen, makan bukan sekadar menghilangkan rasa lapar, supaya bertahan hidup dan lain-lain, tetapi juga merujuk pada kebutuhan kita akan Tuhan. Johnathon Bowers dalam buku Killjoys, mengatakan bahwa “Makanan tidak pernah dimaksudkan untuk tujuan pada dirinya sendiri. Makan sebagai sebuah sarana dan tanda yang menunjukkan kepada kita akan kebutuhan kita akan Tuhan. Bowers melanjutkan bahwa ritme rasa lapar dan kenyang yang kita alami di dalam perut kita merupakan dramatisasi dari hubungan antara Tuhan dan keberadaan kita. Inilah inti dari firman Allah kepada bangsa Israel dalam Ulangan 8:3: “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi setiap firman yang keluar dari mulut TUHAN.”

Kebutuhan kita akan makanan menunjukkan kebutuhan kita akan Tuhan. Kita melihat kebenaran ini dalam kisah Kejatuhan manusia di Taman Eden (Kitab Kejadian bab 3). Adam dan Hawa diberikan makanan yang sempurna dan berlimpah di taman Eden. Mereka bisa makan sepuasnya apa pun yang mereka sukai. Namun, bukan hanya buah yang berlimpah di taman yang dibutuhkan Adam dan Hawa, melainkan juga firman yang Tuhan berikan kepada mereka untuk ditaati yang memberikan mereka kehidupan. Mereka tidak dapat hidup hanya dengan roti saja.

Seperti yang kita ketahui, mereka tidak mematuhi firman Tuhan dan tidak taat sehingga membawa perubahan besar pada dunia dan bahkan pada pola makan mereka. Salah satu akibat dari ketidaktaatan tersebut adalah mereka sulit menemukan makanan karena banyaknya rumput liar, onak dan duri yang membuat mereka susah memperoleh makanan (Kejadian 3:18-19). Adam pun harus bekerja keras mengolah tanah untuk mendapatkan makanan, dan sungguh sebuah perubahan yang sangat besar dalam taman Eden yang dipenuhi dengan buah-buahan. Jadi, makan bukan hanya sekedar rutinitas biasa sehari-hari. Bagi orang yang beriman, makan menandakan kebutuhan kita yang paling dalam akan Tuhan dan Firman-Nya.

  1. Makan Merujuk pada Tindakan Penebusan Allah

Sebelum manusia pertama itu jatuh ke dalam dosa, mereka tidak makan daging di taman Eden karena belum ada kematian di dalam taman itu. Setelah peristiwa kejatuhan mereka, Allah membunuh seekor binatang dan membuat pakain dari kulit binatang itu untuk menutupi tubuh mereka. Kematian membuka jalan bagi Adam dan Hawa untuk berkomunikasi dengan Tuhan.

Kemudian dalam Kitab Kejadian bab 9, Allah menyatakan bahwa semua makhluk hidup boleh dimakan. Persekutuan dengan Allah dipulihkan melalui pengorbanan binatang. Makan daging setelah kejatuhan adalah pengingat dosa yang terus menerus karena ada sesuatu yang harus mati. Namun, hal ini juga merupakan pengingat akan penebusan yang terus menerus karena kematian tersebut memberikan kehidupan fisik, makanan bagi tubuh kita.

Inilah sebabnya mengapa Yesus menyebut diri-Nya sebagai “roti hidup” (Yohanes 6:35). Manusia yang berdosa dapat bersekutu kembali dengan Allah, dan kita tidak lagi terpisah dari-Nya. Itulah yang dilakukan Yesus ketika Ia digantung di kayu salib. Kematian-Nya memberikan kita kehidupan rohani, makanan bagi jiwa kita. Itulah sebabnya, kita mengenangkan kematian Yesus dalam perjamuan kudus, yaitu dengan makan roti dan minum anggur.

Yesus memulihkan persekutuan antara manusia dan Allah di meja makan/perjamuan dengan mengorbankan darah dan daging-Nya sendiri di atas kayu salib. Dia menyuruh kita untuk meminum darah-Nya dan memakan tubuh-Nya (Yohanes 6:54) dan percaya kepada-Nya sebagai Juruselamat.

Pemulihan persekutuan antara manusia dan Allah dipulihkan kembali oleh Yesus pada kayu salib, tetapi Dia juga hidup dalam terang realitas yang akan datang selama hidup-Nya di bumi sebelum penyaliban dengan bersekutu dengan orang lain di sekitar meja makan/perjamuan.

  1. Makan dan Makanan sebagai Sarana Persekutuan Injil

Karena Yesus telah menggantikan kita di kayu salib, kita dapat bersekutu dengan Allah. Yesus menunjukkan persekutuan ini dengan membangun persekutuan dengan manusia di bumi sebelum Dia mati untuk kita.

Salah satu tuduhan utama yang dilontarkan orang-orang Farisi kepada Yesus adalah bahwa Dia makan bersama orang-orang berdosa, orang buangan, dan pemberontak (Markus 2:13-17).  Tetapi ketika Yesus makan bersama dengan orang-orang yang terbuang dalam masyarakat, mereka diubahkan selama-lamanya oleh Allah (misalnya Zakheus dalam Lukas 19:1-10). Makanan yang mereka makan saat makan bersama membuka kesempatan bagi tersebarnya Injil dan mengubah hidup mereka.

Teladan Yesus akan perjamuan makan bersama diikuti oleh persekutuan gereja perdana (Kisah Para Rasul 2:42) dan pelayanan para murid setelah kenaikan Yesus ke Surga. Pertobatan Petrus yang merangkul orang-orang bukan Yahudi ke dalam gereja terjadi melalui sebuah pengalaman akan makanan (Kisah Para Rasul 10). Karena semua makanan dinyatakan bersih, orang bukan Yahudi dan Yahudi dapat makan bersama, menyatukan gereja sebagai satu kesatuan di dalam Kristus. Kemudian dalam Kisah Para Rasul 16:34, kepala penjara di Filipi makan bersama Paulus dan Silas dan seluruh keluarganya bertobat dan dibaptis-berbicara tentang persekutuan Injil!

Ketika kita makan bersama dengan rekan seiman, kita merayakan kesatuan yang kita miliki di dalam Kristus melalui keselamatan yang telah Dia janjikan. Orang Kristen yang makan bersama benar-benar merasakan surga di bumi. Tetapi hanya sebuah rasa.

  1. Makan Mengarahkan Kita Pada Perjamuan Kekal

Perjamuan sesungguhnya, yang kekal dan yang memuaskan kita akan terjadi di masa depan bersama dengan Tuhan.

Kata-kata pembuka Alkitab, “Pada mulanya…” sudah memberi tahu kita bahwa akan ada akhir. Dan akhir itu sempurna adanya. Adam dan Hawa menikmati pesta yang luar biasa di taman Eden. Mereka bisa makan apa saja, kapan saja dan di mana saja. Hal itu juga akan berlaku bagi kita dalam keabadian pada hari perkawinan Anak Domba (Wahyu 19:7-9) yang digambarkan oleh nabi Yesaya dalam pasal 25. Perjamuan itu adalah perjamuan yang sangat istimewa dan meriah yang menandakan pemulihan antara Allah dan umat-Nya.

Kita melihat sekilas tentang pesta yang mewah ini di kerajaan Salomo di bumi.  1 Raja-raja 4:22-28 merinci semua makanan yang disediakan Salomo setiap hari di kerajaannya. Meskipun Salomo tidak sempurna, ia adalah gambaran seorang raja seperti Mesias yang memerintah Yerusalem. Perayaan yang dilakukannya dalam 1 Raja-raja adalah gambaran dari perayaan Mesias yang sejati yang akan kita nikmati di akhir zaman nanti.

Semua orang Kristen dari berbagai penjuru dunia, dari berbagai lapisan masyarakat, dari berbagai bangsa, akan makan bersama dalam perjamuan kekal ini. Itulah sebabnya kita dapat mencicipi kenikamatan kekal itu ketika kita mengadakan makan dengan orang-orang Kristen lainnya di dunia ini. Kebenaran ini mendorong Paulus untuk menegur Petrus dalam Galatia 2:4-5. Petrus tidak makan bersama orang-orang bukan Yahudi, dia tidak menikmati rasa surga di bumi yang begitu manis yang diberikan oleh Injil kepada orang-orang Kristen. Dan itu adalah kemunafikan, karena Injil yang sama yang ia beritakan kepada orang-orang bukan Yahudi memberikan kepadanya kemampuan untuk makan bersama dalam kesatuan seperti yang akan dinikmati oleh semua orang beriman di dalam kehidupan Kekal. Petrus menolak untuk hidup dalam terang Injil dengan menolak untuk makan bersama dengan orang-orang bukan Yahudi.

Jadi, makan bersama bagi kita orang beriman menunjukkan kenyataan bahwa suatu hari nanti kita akan makan bersama dengan SEMUA orang beriman lainnya pada hari perkawinan Anak Domba. Kita dapat makan bersama untuk menyehatkan tubuh jasmani kita, tetapi pada saat yang sama, kita juga dapat menantikan saat dimana kita akan makan bersama dengan Yesus.

Makan untuk Memuliakan Tuhan

Uraian-uraian di atas menunjukkan kepada kita bahwa menyantap makanan adalah sebuah peristiwa yang mengingatkan kita akan kemuliaan Tuhan. Dia telah mengambil salah satu hal yang paling biasa dari kehidupan kita di dunia ini, yaitu makan, dan menjadikannya mulia. Tuhan telah mengangkat nilai makanan bukan hanya sekadar bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan jasmani kita setiap hari saat ini di sini (hic et nunc) tetap juga mengajak kita untuk mengantisipasi peristiwa perjamuan yang kekal nanti bersama Dia di Surga.  Rasul Paulus dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus mengatakan “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Kor 10:31).

Semoga moment makan bersama dalam komunitas dan keluarga kita mengingatkan kita akan perjamuan abadi di Surga nanti serta mendorong kita untuk semakin memuliakan Tuhan.

Sumber Bacaan:

https://preachingforgodsworld.org/season-of-creation-week-four/)

https://naptimetheologian.com/theology-of-food/

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

11 − seven =