Kegiatan Global TSF-Mining 2023

TSF-Mining 2023 diselenggarakan selama 4 hari. Tiga hari pertama dimulai dengan pleno yang membahas tema-tema utama TSF 2023 “Hak untuk Mengatakan Tidak” (The Right to Say No) dan “Hubungan antara Keadilan Iklim, Transisi yang Adil, dan Transisi Mineral” (The Relationship between Climate Justice, Just Transition, and Mineral Transition). Sedangkan agenda selanjutnya diisi dengan diskusi paralel yang terbagi dalam beberapa kelompok diskusi mengenai isu-isu tematik yang dapat berkontribusi pada hasil yang konkret sebagai tanggapan terhadap dua tema utama di atas.

Hari ketiga akan berfokus pada deklarasi akhir TSF-Mining 2023, agenda aksi atau peta jalan aksi, dan struktur yang jelas untuk memajukan agenda advokasi setra kampanye global. Hari keempat dan terakhir adalah kunjungan solidaritas untuk belajar dan mendengar dari masyarakat lokal yang menolak proyek pertambangan dan ekstraktif di tanah dan perairan mereka. Ada beberapa tempat yang dikunjungi oleh peserta TSF: Kendeng, Dieng dan Jepara.

Dinamika Kegiatan Hari I

Selasa, 17 Oktober 2023, suasana Hotel MG Setos begitu ramai. Semua peserta kegiatan TSF berbondong- bondong ke lantai 16 Hotel MG Setos, Semarang. Kegiatan dimulai pada pkl. 08.30 WIB diawali dengan acara pembuka, yaitu tampilan Wiji Kendeng, anak-anak muda dari Kendeng. Mereka menampilkan tarian daerah dan puisi yang mengandung pesan menjaga bumi, hutan dan alam.

Mengawali kegiatan, pemandu acara menyampaikan sejumlah tata tertib selama kegiatan berlangsung. Beberapa hal yang ditegaskan oleh pemandu acara, yaitu tidak boleh mengambil foto tanpa izin orang yang bersangkutan dan menahan diri untuk tidak mengunggah foto-foto selama kegiatan berlangsung di media sosial.

Semarang: Kota Perlawanan dan Harapan

Sebelum memasuki acara inti, semua peserta diajak untuk mendengarkan beberapa sambutan dan pengenalan konferensi. Sambutan disampaikan oleh Martin (koordinator komite nasional), Jaybee Garganera dari Filipina (panitia pengarah untuk Asia Pasifik selaku host kegiatan TSF-Mining 2023), dan Siti Maimunah (anggota panitia penyelenggara dan tuan rumah kegiatan). Dalam sambutanya, ibu Siti mengucapkan selamat datang kepada semua peserta kegiatan dan memperkenal sekilas tentang kota Semarang, Jawa Tengah.

“Model industri ekstraktif telah lama diadopsi di Indonesia dan Kota semarang saat ini adalah kota yang mengalami penurunan. Kota ini juga merupakan kota sangat penting dalam catatan sejarah bangsa Indonesia. Kota ini merupakan kota perlawanan pada masa kolonial” kisah ibu Siti. Beliau melanjutkan bahwa kegiatan ini juga sebagai moment untuk membangun solidaritas global untuk bersama-sama bersuara mewujudkan keadilan dan keutuhan ruang hidup kita di wilayah kita masing-masing.

Harapan-Harapan Peserta

Memasuki acara inti (seminar), perwakilan masing-masing peserta menyampaikan harapan-harapannya dalam kegiatan ini. Kesempatan yang pertama diberikan kepada peserta dari Amerika Latin yang diwakili oleh Sdr. Rodrigo de Castro Amédée Péret, OFM, (seorang Fransiskan dari Brazil). Rodrigo menyampaikan harapannya bahwa “semoga dari forum ini kita mendapatkan resolusi yang jelas mengenai perjuangan kita untuk mengatakan tidak pada pertambangan dan ekonomi esktraktif”. Selain itu, perwakilan dari Afrika dan Eropa menyatakan harapan yang sama yaitu “mendapatkan gagasan-gagasan baru dari forum ini, ingin belajar satu sama lain, memahami strategi perjuangan, membangun aliansi serta membangun solidaritas global menentang ekonomi ekstrativisme yang tidak berkelanjutan”. Perwakilan dari Asia-Pasifik mengharapkan bahwa semoga dalam forum ini kita juga mendengarkan cerita-cerita kemenangan perjuangan warga masyarakat kita dan mendapatkan hasil yang konkret dalam isu transisi energi dan menyusun strategi yang lebih massif.

Satukan Kekuatan untuk Memindahkan ‘Gunung’ Ketidakadilan

Hari pertama kegiatan TSF 2023 (17 Oktober) diawali dengan sesi mendengarkan sejumlah kisah dari masing-masing wilayah terkait perlawanan dan perjuangan melawan pertambangan dan ekonomi ekstraktif. Dalam sesi ini ada sejumlah perwakilan dari tiap-tiap tapak yang menceritakan berbagai bentuk perlawanan mereka terhadap pertambangan. Kesempatan pertama diberikan kepada peserta dari dari Thailand. Dia menceritakan bahwa salah satu wilayah hutan lindung di sana dijadikan medan proyek pertambangan yang berdampak pada kehidupan masyarakat yang ada di situ. Ia mengisahkan bahwa ada sejumlah warga masyarakat diserang oleh aparat keamanan yang mencederai Hak Asasi Manusia. Bahkan bukan hanya warga, para pembela HAM pun ikut diserang. Di Tengah situasi itu, masyarakat berdiri melawan bersama-sama proyek-proyek pemerintah yang tidak adil dan tidak berkelanjutan itu.

Salah satu peserta dari Indonesia juga menceritakan kondisi warga masyarakat Sepaku, Kalimantan Timur. Beliau mengisahkan bahwa Sepaku, Kalimantan Timur, ditetap oleh Pemerintah Indonesia sebagai IKN (Ibu Kota Negara) baru. Isu-isu yang beredar di Jakarta seolah-olah proyek ini baik-baik saja di masyarakat, tidak ada konflik. “Semua itu tidak benar. Masyarakat di sana, mereka akan digusur. Lahan-lahan kami sudah diambil, dibeli dengan harga yang murah, hutan-hutan habis untuk kehidupan kami dan perempuan kehilangan pekerjaan. Situasinya sedih dan mencekam. Masyarakat sedang berjuang untuk tidak digusur dari kampung mereka. Pemerintah terlihat sangat cuek dengan kondisi warga Masyarakat. Kami juga merasa terbuang”. Kisah salah satu peserta.

Teman-teman dan Finlandia juga menceritakan perjuangan mereka melawan pertambangan. Ia menyampaikan sejumlah strategi dalam melawan pertambangan, salah satunya adalah memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk mengampanyekan kegiatan kita. Dan itu terbukti dalam perjuangan mereka selama ini.

Kisah yang sangat menarik juga dikisahkan oleh teman-teman dari Turki. Mereka menceritakan bahwa “pertambangan emas sangat banyak di Turki. Tahun 2004, menjadi tahun yang sangat kritis, saat Presiden Erdogan memberikan IUP di berbagai wilayah di Turki. Saat ini, ada begitu banyak perusahaan transnasional (TNC) melakuan pertambangan di sana. Kami melakukan demonstrasi penolakan dan ada 2 ribu orang melakukan demonstrasi serta menduduki wilayah operasi pertambangan. Perempuan menjadi garda terdepan dalam dalam perjuangan kami” tutur salah seorang perwakilan dari Turki.

Tanggapan Panelis: Konteks Politik Global Saat Ini

Setelah mendengarkan kisah dari masing-masing wilayah, para panelis menanggapi kisah-kisah tersebut. Ada 4 panelis yang menanggapi kisah-kisah tersebut. Salah satu Panelis mengatakan bahwa ekstraktivisme, selalu menjadi logika yang mendasari akumulasi berkelanjutan pada skala global. Ini adalah pola pikir hegemonik, infrastruktur institusional, dan sponsor fiskal atau politik subversif untuk negara-negara klien industri ekstraktif, serta mekanisme yang tak tergantikan untuk memenuhi tugas yang mustahil: memasok energetika abadi dan menyempurnakan ekspansi kapital global dari cacat genetiknya sendiri.

Selain itu, dari kisah-kisah yang telah dipaparkan, nyata bahwa ekstraktivisme tidak dapat berlanjut seperti yang diharapkan, tanpa infrastruktur hukum-politik yang koheren secara global dari proses kapital global, untuk mengatasi ketidakmampuan industri global dalam menangani limbah, pemaksaan yang diperlukan dan kekerasan terorganisir untuk proyek-proyek investasi, rezim perpajakan multinasional, dan lain-lain. Ekstraktivisme hadir dengan berbagai nama dan kedok, dan ada lebih dari satu cara bagi ekstraktivisme untuk membunuh dan menimbulkan penderitaan.

Panelis lain melihat bahwa masifnya proyek-proyek ekstratif saat ini menjadi sebuah bentuk penjajahan yang baru (neokolonialisme). Memang, kekerasan senjata tidak terlihat, tetapi kemiskinan yang terorganisir, regulasi yang menindasa rakyat, kekerasan budaya, ketimpangan sosial-ekonomi dan lain-lain sangat nyata terjadi.

Yang lain menambahkan bahwa ekstraktivisme adalah modus akumulasi kapital yang mengintegrasikan pertambangan gas, minyak dan mineral, perikanan, pertanian dan kehutanan. Hal ini terjadi di seluruh dunia, baik di Utara maupun di Selatan, yang mengandalkan moda konsumsi yang tidak berkelanjutan dengan permintaan barang yang terus meningkat.

Ekstraktivisme telah menghancurkan cara-cara produksi sebelumnya dengan jutaan orang kehilangan tanah dan air serta mata pencahariannya. Biasanya, hal ini menjadi kriminalisasi, sementara untuk bertahan hidup bagi mereka yang dirampas sering kali berarti terlibat dalam kegiatan “ilegal dan kriminal” yang ditentukan oleh sistem (gangsterisme, perdagangan narkoba, pelacuran, konflik militer, dan penebangan dan penambangan “illegal”, yang produknya sering kali dibeli oleh Perusahaan Multinasional (MNC).

Saat ini, kita menghadapi krisis peradaban yang menghancurkan kehidupan. Terdapat sebuah kontradiksi antara reproduksi kapital dan reproduksi kehidupan. Karena itu, menurut sejumlah panelis dalam diskusi ini, ekstraktivisme harus dilawan dengan berbagai cara di tingkat lokal, regional, nasional dan internasional.

Salah satu pernyataan yang menarik dari Georgine Kengne, seorang Perempuan dari Kamerun diakhir sesi ini adalah “Ketika kita berbicara tentang mineral hijau, bagi kami mineral yang sangat penting adalah air. Kami ingin mereka berhenti mencemari air dan membuatnya dapat diakses oleh semua orang”.

Hubungan antara Keadilan Iklim, Transisi yang Adil, dan Transisi Mineral

Sesi terakhir kegiatan TSF pada hari pertama, mendiskusi tema pokok “Hubungan antara Keadilan Iklim, Transisi yang Adil, dan Transisi Mineral”. Ada beberapa panelis yang menjadi pembicara dalam diskusi ini.

Ada sejumlah informasi yang disampaikan dalam sesi bahwa perusahaan-perusahaan pertambangan berkolaborasi dengan berbagai lembaga dan pemerintah untuk secara agresif melakukan kegiatan mereka yang merusak dan tidak adil secara sosial sebagai solusi palsu terhadap krisis iklim. Mereka kerap memakai narasi atau bahasa seperti “ekstrativisme hijau” dan “green mining”.

Salah satu panelis dari Brazil dengan lugas mengatakan bahwa tidak ada yang namanya transisi hijau, pertambangan hijau. Itu semua tidak betul dan hanya kamuflase. Di lapangan nyatanya, pertambangan itu justru merusak dan menghancurkan jenis kehidupan. Karena itu bagi dia, tambang bukan solusi. Sudah begitu banyak permasalahan yang ditimbulkan karena tambang. Tambang memperpanjang kekerasan dan kerusakan.

Karena itu, menurut beberapa panelis, perlu membongkar narasi-narasi hegemonis di belakang narasi “green mining”, transisi hijau dan lain-lain. Di sini dibutuhkan kerja sama internasional dan kerja sama semua pihak. Bersama-sama kita mengatakan ‘tidak’ pada pertambangan, ekonomi ekstraktif yang tidak berkelanjutan.

Bersambung

1 KOMENTAR

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here