Menukik Lebih Dalam
Dinamika kegiatan TSF hari ke-2 dan ke-3 hampir sama. Dalam 2 hari berturut-turut, peserta masuk ke dalam beberapa kelompok untuk mendiskusikan berbagai tema sosial. Harapannya adalah diskusi ini dapat berkontribusi pada hasil konkret TSF-Mining 2023.
Tema diskusi pada hari ke- 2 dan 3 adalah memperdalam 2 tema utama TSF-Mining 2023 tentang “Keadilan Iklim, Transisi yang Adil, dan Mineral Transisi” dan “Hak untuk Mengatakan Tidak”. Masing-masing tema dibagi dalam beberapa sub tema. Di bawah ini, akan diperlihatkan secara garis besar hasil diskusi dari berbagai kelompok. Tiga tema yang pertama berkenaan dengan isu tentang Keadilan Iklim, Transisi yang Adil, dan Mineral Transisi. Sedangkan beberapa sub tema berikutnya berkaitan dengan Hak untuk Mengatakan Tidak.
Berikut sejumlah tema yang disodorkan oleh panitia, beberapa diantaranya: pertama, “Global Campaign on Transition Minerals”. Diskusi ini bertujuan untuk meninjau sejauh mana kampanye kita saat ini baik secara lokal maupun global mengenai mineral transisi. Selain itu, lokakarya ini juga untuk menganalisis kesenjangan atau peluang yang ada untuk bekerja sama mencari bentuk-bentuk kampanye global yang mendesak dilakukan; serta instrumen-instrumen apa saja yang mendukung untuk itu.
Kedua, “The Protection of environmental Human Rights Deefenders”. Tema ini mengeksplorasi tentang perlindungan terhadap pembela HAM di bidang lingkungan hidup. Dalam diskusi ini diperlihatkan bahwa masyarakat adalah kelompok yang paling rentan menanggung beban kerugian lingkungan yang diakibatkan oleh pertambangan. Diskusi ini ingin memahami dengan lebih baik apa yang mendesak dibutuhkan oleh para pembela HAM lingkungan di seluruh dunia dan situasi yang mereka hadapi saat ini.
Ketiga, “Global Trade Supply Chains and Transition Minerals”. Diskusi ini secara khusus mengkaji risiko dan dampak dari aturan dan kerangka kerja perdagangan dan investasi global yang membentuk dan memengaruhi tata kelola bahan baku serta sumber daya alam yang sangat penting untuk transisi energi. Diskusi ini juga membahas berbagai perjanjian perdagangan bebas dan kemitraan strategis terkait bahan baku yang saat ini sedang dinegosiasikan, termasuk yang didorong oleh Uni Eropa dan Kanada.
Keempat, “The Blue Economy as an Emerging Threat”. Dalam diskusi ini diperlihatkan bahwa banyak kegiatan ekonomi yang berkembang di bawah ekonomi biru diatur atau tidak diawasi dengan sedikit atau tanpa konsultasi dengan Masyarakat laut dan Hak untuk Berkata Tidak terhadap perkembangan tersebut.
Kelima, “The Right to Say No! Global Campaign”. Dalam kegiatan TSF pertama di Johannesburg, Afrika Selatan, tahun 2018, disepakati bahwa kampanye ini terus dilanjutkan pada TSF kedua. Pasalnya, ribuan masyarakat dirampas tanah ulayatnya – hampir tanpa ganti rugi yang adil dan merata. Perampasan tersebut sering kali disebabkan oleh perusahaan transnasional, terutama perusahaan tambang yang mendapatkan hak untuk menambang mineral di bawah permukaan tanah.
Masyarakat yang terkena dampak pertambangan menuntut untuk menjadi pusat dari proses pengambilan keputusan sehubungan dengan pembangunan di dalam dan di atas wilayah mereka dan mereka bersatu dalam aksi menentang ekstraktivisme.
Selama ini, setiap komunitas telah melakukan berbagai inisiatif untuk mengampanyekan hal ini dan pada kesempatan TSF ke dua ini, harapannya kampanye ini lebih massif dan lebih luas.
Dalam diskusi ini berbagai perspektif dikemukan. Apa makna Ketika kita mengatakan Right to Say No? Ketika kita melontarkan jargon ini, itu berarti kita memiliki jalan alternatif sebagai solusi. Tetapi, yang pertama-tama kita lakukan adalah membagikan pemahaman kepada masyarakat kita, mereka harus sadar dan tahu bahwa yang mereka tolak adalah tindakan-tindakan yang memasung hak-hak mereka. Masyarakat harus pahami dengan baik agar mereka berdiri tegak dan supaya masyarakat kita kokoh untuk mengatakan “Tidak”. Karena itu, perlu melakukan advokasi dan penyadaran kepada warga. Kata ‘No’ harus berasal dari rakyat sendiri. Mengatakan ‘No’ juga tidak hanya sebatas dalam ruangan, tetapi harus turun ke lapangan, ada bersama warga. Karena itu, perlu melakukan narasi-narasi tanding mulai level lokal, nasional dan internasional, pemanfaatan media sosial sebagai media strategis untuk berkampanye, dan edukasi warga masyarakat (butuh perjuangan untuk bertemu langsung dengan warga).
Dampak buruk dari perusahaan ekstraktif yang melanggar hak asasi manusia dan hak-hak alam masih menjadi tantangan besar. Hukum dan mekanisme negara masih kurang memberikan perlindungan kepada masyarakat dan alam. Meskipun di banyak negara, hukum memberikan perlindungan bagi masyarakat dan alam, namun perlindungan tersebut diabaikan atau ditegakkan secara parsial.
Keenam, “Traditional Leadership and Mining”. Tema ini sangat menarik untuk didiskusikan. Sebagian besar peserta diskusi aktif untuk berbicara mengenai pengalaman mereka di tapak masing-masing. Dalam forum diskusi ini dinyatakan bahwa para pendukung hak-hak masyarakat adat, suku dan komunitas tradisional menempatkan kepemimpinan tradisional sebagai pertahanan terkahir untuk melawan upaya pemerintah, penyandang dana dan Perusahaan untuk menjarah mineral tanpa menghormati masyarakat lokal di mana mineral tersebut ditemukan. Karena itu, pertahanan terkahir itu harus kuat dan kokoh.
Ketujuh, “The dangers of Green Extractivism: Human Rights Risks in the Ev Battery Supply Chains”. Diskusi ini hendak memperlihatkan bahaya dari ekstrativisme hijau dan resiko hak asasi manusia yang menyertainya. Dalam diskusi ini ada sejumlah pembicara yang menunjukkan hasil kerja dan penelitian mereka terkait bahaya proyek ekstraktivisme.
Pembicara dalam diskusi ini ada yang berasal dari Jepang, Indonesia dan Filipina. Presentasi mereka hampir sama, terutama akibat dan bahaya proyek-proyek ekstrativisme (tambang dll) antara lain: bahaya yang mengancam kesehatan warga karena air dan udara sekitar areal pertambangan tercemar dan memicu terjadinya berbagai macam bencana (bencana ekologis yang tidak organik). Salah satu pembicara dari Filipina mengatakan bahwa “Banyak warga yang terkena penyakit kulit dan ISPA di kepulauan Mindanao. Selain itu, daerah yang sebelumnya tidak pernah banjir, dengan masuknya pertambangan terjadi bencana banjir”. Ia menegaskan bahwa ruang hidup kita tidak bisa ditukar dengan uang.
Membuka Mata, Hati dan Telinga
Puncak dari seluruh kegiatan TSF-Mining 2023 adalah kunjungan solidaritas ke 3 tempat di Jawa Tengah, yaitu Jepara, Dieng dan Kendeng. Peserta mengunjungi ketiga tempat ini untuk mendengarkan kisah warga masyarakat yang gigih berjuang menolak proyek-proyek ekstraktivisme dan saling memberikan dukungan terhadap warga. Mengapa memilih ketiga tempat ini? Karena tempat-tempat ini menjadi contoh konkret dari proyek-proyek ekstraktif yang dibicarakan dalam forum TSF. Kendeng salah satu lokasi pabrik semen, Dieng wilayah kerja proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (geothermal) dan Jepara lokasi proyek tambang pasir besi.
Panitia membagi peserta ke dalam 3 kelompok; ada yang melakukan kunjungan ke Dieng, Jepara dan Kendeng. Pkl. 09.30 WIB, semua peserta meninggalkan hotel MG setos, tempat kegiatan dan mulai melakukan perjalanan. Saya ikut bergabung dengan kelompok yang mengunjungi Dieng untuk melihat dan mendengarkan cerita warga yang menolak dan terdampak dari proyek geothermal. Sebelum menuju lokasi geothermal, kami berkumpul di suatu rumah untuk mendengarkan kisah warga yang memperjuangkan ruang hidupnya dari cengkeraman proyek ekstraktif. Di dalam situasi yang hangat dan persaudaraan, ibu Siti dkk (warga di Dieng) mulai menceritakan kepada peserta TSF tentang perjuangan mereka menolak geothermal.
“Mudah-mudahan tidak ada lagi Dieng-Dieng lain di tanah air kita. Sejak masuknya geothermal di Dieng, relasi persaudaraan kami pecah dan bahkan pembelahan sosial itu semakin nyata sampai hari ini. Saya termasuk salah satu orang yang paling getol, menolak proyek geothermal di sini. Namun, saya sering kali disalahpahami dan dinilai sebagai provokator oleh sebagian orang” kisah ibu Siti.
Ternyata, hal yang sama juga dialami oleh teman-teman yang lain yang berasal dari Amerika Latin, Turki dan beberapa wilayah di Indonesia. Perjumpaan ini kian menarik, karena sejumlah peserta membagikan pengalamannya dalam memperjuangkan ruang hidupnya. Kisah-kisah itu, harapannya saling meneguhkan, saling menginspirasi dan saling mendukung dalam perjuangan melawan proyek-proyek ekstraktif yang berjangka pendek dan tidak berkelanjutan.
Kunjungan ketiga tempat ini menjadi agenda terakhir dari seluruh rangkaian kegiatan TSF-Mining 2023. Jumat, 21 Oktober 2023, sebagian besar peserta TSF Kembali ke wilayah perjuangannya masing-masing.
Selesai.