Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

Dalam rangka mengejawantahkan semangat persaudaraan, para saudara Fransiskan “Gardianat Portiuncula” (Komunitas Joseph Cupertino, Antonius Padua, dan Pastoran Paskalis) mempunyai agenda “mengunjungi tempat ibadah”. Para saudara memilih dan memutuskan untuk mengunjungi Vihāra Dhammacakka Jaya. Selain kunjungan, para saudara ingin mengenal lebih dekat “Pandangan Keagamaan Buddha” dalam dialog interaktif.

Kunjungan tersebut dilaksanakan pada Jumat, 28 Maret 2025. Tepat pukul 07.00 WIB para saudara berkumpul di Komunitas Joseph Cupertino. Perjalanan menuju Vihāra diatur dalam dua gelombang keberangkatan. Terkait hal ini, kami menggunakan tiga mobil yang dikemudikan oleh Sdr. Antonius Nugroho Bimo Prakoso OFM, Sdr. Yansianus Fridus Derong OFM, dan Sdr. Stefanus Harkam Nampung OFM. Dibuat dua gelombang keberangkatan karena ada tiga puluh satu saudara yang mengikuti kegiatan ini. Sehingga Sdr. Bimo, Sdr. Fridus, dan Sdr. Stefan, setelah mengantar para saudara gelombang pertama, kembali ke Komunitas Joseph Cupertino untuk menjemput para saudara gelombang kedua.

Kegiatan dimulai pukul 09.00 WIB dan diawali dengan sambutan serta perkenalan. Pada bagian pertama, Sdr. Bimo selaku gardian Gardianat Portiuncula menyampaikan sambutan dan memperkenalkan para saudara Fransiskan. Dalam sambutannya, Sdr. Bimo mengucapkan terima kasih kepada Bapak Unico Husien selaku Pengurus Vihāra Dhammacakka Jaya, para Bhikku, dan umat Buddha yang memperkenankan serta menyambut kehadiran para saudara Fransiskan di Vihāra dengan baik. Sebagaimana disampaikan Sdr. Bimo, kita semua yang berada di tempat ini mempunyai keyakinan dan cara pandang yang kurang lebih sama terkait pentingnya menumbuhkan serta mengembangkan dinamika perjumpaan persaudaraan, yaitu sikap (cara hidup) saling menghormati serta mengenal satu sama lain. Oleh karena itu, perjumpaan persaudaraan di tempat ini merupakan awal yang baik untuk kedepannya menjalin komunikasi dan mengadakan kegiatan lanjutan.

Selanjutnya, pada bagian kedua, Bapak Unico menyampaikan sambutan dan memperkenalkan para Bhikku serta umat Buddha yang hadir dalam kegiatan ini. Bapak Unico mengucapkan terima kasih atas niat baik dan tulus dari para saudara Fransiskan Gardianat Portiuncula, terutama di tengah kesibukannya masih berkenan meluangkan waktu untuk hadir dan ada bersama kami di Vihāra ini. Bagi Bapak Unico, kegiatan bersama ini membawa kegembiraan, terutama untuk mengenal lebih dekat satu dengan yang lain. Harapannya, kegiatan ini tidak berhenti disini, kedepannya para saudara Fransiskan, apabila mempunyai waktu bisa datang lagi untuk berkegiatan bersama.

Setelah mendengarkan sambutan yang disampaikan Sdr. Bimo dan Bapak Unico, kegiatan dilanjutkan dengan dialog interaktif. Dialog diawali dengan penyampaian materi oleh Bhikkhu Sukhemo. Bhikkhu Sukhemo menyampaikan sejumlah hal terkait agama Buddha dan Vihāra Dhammacakka Jaya. Pertama, dua aliran dalam agama Buddha (Hinayana [Theravada] dan Mahayana. Kitab Suci dalam Hinayana [Theravada] menggunakan bahasa Pali dan sebagian besar penganutnya berada di Asia Tenggara. Sedangkan Kitab Suci dalam Mahayana menggunakan bahasa Sansekerta dan sebagian besar penganutnya berada di Asia Timur.

Kedua, agama Buddha menekankan cara hidup yang diwarnai dan ditandai dengan kesadaran. Selain itu, dinamika dan perjuangan hidup manusia diharapkan menghantarnya sampai pada pencerahan. Terkait hal ini, Buddha adalah guru agung yang dijadikan teladan untuk sampai pada pencerahan. Ketiga, ajaran Buddha tercatat dalam Tripitaka (Sutta Piṭaka, Vinaya Piṭaka, dan Abhidhamma Piṭaka).

Keempat, Vihāra Dhammacakka Jaya merupakan sebuah Vihāra Theravāda pertama yang memiliki Simā atau prasarana penahbisan Bhikkhu di Indonesia. Vihāra yang berlokasi di daerah Sunter, Jakarta Utara ini didirikan dengan harapan untuk menjadi mother temple atau Vihāra induk bagi Vihāra Theravāda lain di Indonesia.

Setelah menyimak materi yang disampaikan Bhikkhu Sukhemo, para saudara Fransiskan yang mengikuti kegitan ini menyampaikan tanggapan dan pertanyaan. Pertama, Sdr. Frumensius Gions OFM mengutip dan menyampaikan salah satu bagian dari teks Nostra Aetate: “… Buddhisme dalam pelbagai alirannya mengakui, bahwa dunia yang serba berubah ini sama sekali tidak mencukupi, dan mengajarkan kepada manusia jalan untuk dengan jiwa penuh bakti dan kepercayaan memperoleh keadaan kebebasan yang sempurna, atau – entah dengan usaha sendiri entah berkat bantuan dari atas – mencapai penerangan yang tertinggi. … Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci di dalam agama-agama ini. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.”

Sdr. Frumens melanjutkan dengan menyatakan bahwa apa yang membuat kita hadir dan ada bersama di tempat ini karena kita berupaya menjawab dua pertanyaan: (1) Siapa kita ini? (2) Kemana kita akan pergi? Selain itu, kesadaran untuk mengejawantahkan persaudaraan semesta sangat penting. Persaudaraan yang terwujud dalam relasi manusia dengan Tuhan, sesama, dan ciptaan lainnya.

Setelah mendengarkan tanggapan dari Sdr. Frumens, Bhikkhu Sukhemo mengemukakan demikian, dalam agama Buddha “tidak ada ciptaan”. Agama Buddha lebih menyoroti pilihan hidup manusia, menjadi manusia yang baik atau menjadi manusia yang buruk, di mana pilihan tersebut ada konsekuensi atau akibatnya. Oleh karena itu, “yang menciptakan” adalah tindakan atau perbuatan manusia sendiri berdasarkan pilihan bebasnya. Harapannya manusia senantiasa melakukan perbuatan baik (kesucian) untuk “mengakhiri penderitaan”. Selain itu, agama Buddha juga meyakini dan mengajarkan tentang “kelahiran kembali”. Kelahiran kembali merupakan suatu proses menjadi ada kembali dari suatu makhluk hidup di kehidupan mendatang. Proses ini adalah konsekuensi atau akibat dari perbuatan atau tindakan manusia di masa lampau.

Kedua, Sdr. Fridus berbicara tentang fenomena krisis lingkungan dan krisis kemanusiaan, di mana lingkungan rusak serta banyak orang mengalami penderitaan. Bagaimana agama Buddha melihat persoalan tersebut?

Bhikkhu Sukhemo menanggapi pernyataan dan pertanyaan Sdr. Fridus dengan menegaskan pentingnya pendidikan. Pendidikan yang dapat membantu manusia mempunyai moral yang baik. Selain menanamkan budaya membaca yang memungkinkan mempunyai wawasan yang luas, membiasakan diri berperilaku baik dalam hal-hal sederhana juga sangat penting. Dalam agama Buddha diajarkan untuk tidak membunuh makhluk hidup, tidak mencuri, tidak selingkuh, tidak berbohong (berdusta), tidak mengonsumsi miras, dll. Dengan kata lain, cara hidup disiplin membantu manusia mampu hidup harmonis dengan sesama dan lingkungan.

Ketiga, bagi Sdr. Rikard, dalam kehidupan di tengah masyarakat, moralitas merupakan sesuatu yang penting untuk membantu manusia tidak jatuh ke dalam tindak kejahatan yang dapat merugikan yang lain. Moralitas dapat dipahami sebagai “nilai ideal” yang harus manusia wujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari. Terkait hal ini, bagaimana pandangan agama Buddha mengenai moralitas?

Menanggapi pernyataan dan pertanyaan Sdr. Rikard, Bhikkhu Sukhemo menyatakan bahwa tindak kejahatan mengakibatkan penderitaan. Dalam agama Buddha terdapat “jalan untuk mengatasi penderitaan”: cara pandang yang benar, berpikir dengan benar, berbicara benar, bertindak benar, pekerjaan yang benar, upaya benar, perhatian yang benar, dan konsentrasi yang benar.

Keempat, perwakilan dari saudara muda, mengajukan pertanyaan demikian: bagaimana pandangan agama Buddha tentang hukum karma? Terkait hukum karma, apakah ada belas kasih atau pengampunan?

Menanggapi pertanyaan tersebut, Bhikkhu Sukhemo menegaskan demikian, karma merujuk pada perbuatan atau tindakan yang dilakukan manusia melalui pikiran, perkataan, dan tindakan fisik. Oleh karena itu, hukum karma merupakan sebuah prinsip kausalitas, di mana setiap perbuatan atau tindakan (baik atau buruk) memiliki konsekuensi atau akibat yang sesuai. Dengan demikian, “tidak ada belas kasih”, apabila melanggar akan menanggung akibatnya.

Tepat pukul 10.30 WIB, kegiatan dilanjutkan dengan meditasi yang dipimpin oleh Bhikkhu Sukhemo. Perlu diketahui bahwa tujuan meditasi dalam agama Buddha yaitu membersihkan dan menjernihkan pikiran dari kondisi mental yang negatif, mengembangkan kualitas yang lebih positif, menuju pencerahan, dan membebaskan diri dari penderitaan.

(Ruang Meditasi)

(Perpustakaan)

(Ruang Sekolah Minggu)

(Pohon Bodhi)

Setelah selesai meditasi, tepat pukul 11.00 WIB, para saudara diajak untuk mengenal lingkungan Vihāra: ruang meditasi, perpustakaan, ruang ‘sekolah minggu’, dll. Kemudian pada pukul 12.00 WIB para saudara makan siang bersama umat Buddha yang hadir dalam kegiatan ini. Para Bhikkhu tidak ikut makan bersama, karena mereka tidak boleh mengonsumsi makanan padat di atas pukul 12.00 WIB. Kemudian, tepat pukul 13.00 WIB para saudara pamitan dan kembali ke komunitas masing-masing. ***

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

1 × 3 =