P. Johnny Dohut OFM
(Penulis adalah Biarawan Fransiskan – Pernah Menjadi Koordinator JPIC-OFM Flores)
Suatu pagi di tepi danau Sano Nggoang. Bapa Herman Hemat, tetua adat kampung Nunang, bercerita tentang orang lumpuh dan orang buta. Orang lumpuh itu membutuhkan api untuk memasak. Karena tak bisa berjalan, ia menyuruh anjing peliharaannya untuk mengambil api pada saudaranya si buta. Orang buta itu mengikat api pada ekor anjing. Anjing itu kepanasan dan lari menyelamatkan diri karena pelahan-lahan api bekerja menghanguskan bulu-bulunya. Mereka menertawakan anjing yang terkaing-kaing seperti meminta tolong.
Si Buta dan Si Lumpuh masih menikmati itu sebagai lelucon, ketika Si Empo Tanah marah melihat musibah itu. Dalam kemarahannya ia memberi dua tawaran. Apakah kalian memilih nasi atau bubur? Keduanya memilih bubur. Kemudian Empo Tanah menancapkan tombaknya ke tanah. Sejurus kemudian ia mencabut tombak itu. Seketika keluar lumpur beserta air. Air dan lumpur terus berrtambah lalu menjadi danau yang saat ini bernama Sano Nggoang (Kertas Posisi JPIC OFM Indonesia, 2019).
Cerita ini jarang dieksplorasi dalam konteks perjuangan menolak geothermal, dan kerap dianggap tidak penting oleh sebagian orang. Menganggapnya sekadar mitos sambil merendahkan alam kebudayaan primitif. Ini hanyalah karangan orang tua, cerita pengantar tidur seperti berbagai jenis dongeng dan cerita rakyat lainnya.
Namun jika mitos dipahami sebagai sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang (Van Peursen, 1976) maka kita perlu mengoreksi anggapan keliru di atas. Dalam kaitan dengan itu, cerita Bapak Herman Hemat sama sekali bukan pengantar tidur. Ada pedoman dan arah bertindak yang harus digali di balik mitos itu untuk suatu keputusan menggarap api. Karena bertindak tanpa pedoman justru bisa mendatangkan bencana, bukan manfaat.
Ia menuturkan kisah itu saat JPIC OFM Indonesia melalukan investigasi perihal proyek geothermal Wae Sano sejak 2018. Tulisan ini hendak digarap untuk membawa kita pada penggalian makna. Pedoman dan arah seperti apa yang ada di balik kisah ini? Hal ini kita lakukan di tengah polemik panjang perjuangan warga menolak Geothermal Wae Sano. Sebagian bersimpati terhadap perjuangan warga mempertahankan ruang hidup mereka, sementara yang lain bersikap sinis, menganggap mereka sebagai kelompok kecil anti-pembangunan.
Kritik Terhadap Mitos Pembangunan
Orang buta itu dipercayakan untuk menggarap api, sesuatu yang sangat berbahaya. Dalam keterbatasannya, ia tidak cukup hati-hati mengikat api pada ekor anjing. Anehnya, ia begitu yakin bahwa anjing bisa diandalkan untuk mengantar api itu kepada kawannya, si lumpuh. Orang lumpuh itu juga sama; ia terlalu percaya bahwa orang buta itu bisa mengikat api dengan benar pada anjing dan mengantarnya dengan selamat ke dapurnya. Dua orang yang ceroboh dalam menggarap api ini akhirnya menuai bencana!
Warga yang menolak geothermal memang sungguh menyadari: kita sedang bermain dengan api besar di wilayah yang masuk zona ring of fire, cincin api pasifik! Pengeboran bisa saja sukses menemukan potensi itu. Namun ia juga bisa gagal. Toh sudah banyak contoh di tempat lain, pengeboran yang justu mendatangkan lumpur yang merusak ladang-ladang warga. Ada juga yang mati karena semburan gas beracun di pusat-pusat pengembangan energi panas bumi. Ladang, rumah, sumber air dan ruang hidup warga seluruhnya sedang dipertaruhkan di hadapan narasi pembangunan yang bombastis demi meningkatkan rasio elektrifikasi itu.
Kita bisa menyebut api dalam mitos itu sebagai metafora dari “potensi panas bumi” di Wae Sano yang akan dimanfaatkan secara tak langsung untuk meningkatkan rasio elektrifikasi. Mata bor akan menembus ribuan meter untuk menemukan potensi itu. Tapi siapa bisa menjamin bahwa proyek ini akan berhasil dan aman?
Di balik penolakan warga, juga melalui penuturan mitos si Buta dan Si Lumpuh itu, mereka mau menyampaikan: sudah ada model mitis tindakan yang mengabaikan aspek kehati-hatian. Tindakan tanpa kehati-hatian justru membuat ‘maksud baik’ menjadi musibah. Si lumpuh dan si buta didesak keluar dari ruang hidup mereka. Mereka harus mengungsi dari kampungnya yang terendam lumpur dan air. Hal ini tentu tidak mudah bagi keduanya. Yang satu tak dapat melihat jalan dan yang lainnya bisa melihat jalan tapi tidak bisa melangkah. Lebih mudah membayangkan kematian mereka pelahan-lahan tenggelam dalam danau itu!
Cerita Bapak Herman Hemat dalam konteks pergerakan warga menolak geothermal mengandung kritik yang tajam. Ia menuturkan mitos untuk mengkritik mitos yang lebih besar: mitos pembangunan! Dalam banyak kasus, pembangunan itu sendiri berubah menjadi narasi kosong—janji-janji yang tak pernah sepenuhnya terwujud.
Mitos itu hidup dalam cara pikir bahwa pemerintah dan perusahan tahu segalanya yang baik dan warga tinggal menerima saja. Sementara dalam kenyataannya partisipasi warga dalam pengambilan kebijakan publik menjadi salah satu faktor penting untuk suatu kebijakan pembangunan. Mitos pembangunan hidup dalam cara berpikir bahwa perusahaan dan pemerintah bekerja semata-mata untuk kepentingan publik. Fakta seringkali menyingkap kepentingan para agen, jauh dari semangat membangun kebaikan bersama!
Mitos juga ada dalam kepercayaan diri penuh kebohongan mengatakan, semua prosedur sudah dilalui. Sementara kenyataanya ruang untuk partisipasi publik seringkali merampok kebebasan warga untuk mengambil sikap. Proses itu sering kali digantikan oleh yang namanya sosialiasi dan sarat dengan pengkondisian demi paduan suara setuju. Sikap kritis terhadap kebijakan pembangunan dalam forum sosialiasi itu juga hampir pasti akan dianggap melawan negara.
Suara Warga Harus Didengar
Api mainan si buta dan api potensi panas bumi yang ada di bawah kampung Nunang, Desa Wae Sano, terkait satu sama lain. Orang Nunang belajar untuk hati-hati sekali dalam menggarap api. Mereka terus ingin memastikan bahwa orang buta dan lumpuh hanya ada dalam mitos. Mereka tidak hendak mengulang kecerobohan mitologis itu yang diperparah oleh mitos pembangunan. Mereka takut pada orang buta dan lumpuh yang terlalu ceroboh dan tak berempati. Mereka takut pada pihak yang merasa diri paling pakar tetapi tak bisa mempertanggungjawabkan kecelakaan pembangunan yang membawa korban di tempat lain. Bahwa geothermal memang digadang-gadang sebagai energi bersih, tetapi ia sekaligus berisiko tinggi.
Orang buta itu tidak punya kemampuan sebetulnya tetapi sangat berani mengambil risiko. Begitu juga si lumpuh, nampak terlalu ceroboh, menyerahkan urusan api kepada orang buta, dengan kemampuan melihat yang terbatas tetapi menganggap diri mahir dan pakar menggarap api. Anjing itu menjadi korban. Satu per satu bulunya dilumat api. Ia terkaing dan lari kian kemari; namun sayang kepanikannya hanya menjadi tontonan lucu bagi kedua manusia itu. Keduanya sama sekali tak memiliki empati.
Mari kita lihat dalam kenyataan hidup yang lebih luas dari Wae Sano. Bukankah di tempat lain banyak orang yang kehilangan ruang hidup yang sehat karena pembukaan lahan untuk perkebunan skala besar? Karena pertambangan yang sembrono dan sering mengabaikan tanggung jawab reklamasi. Lalu ketika bencana datang, berupa banjir misalnya atau anak yang tengelam di kolam bekas galian tambang, ada saja yang dengan enteng tanpa empati mengatakan: pembangunan selalu punya risiko. Kalimat ini tak ada bedanya dengan tawa si buta dan si lumpuh—mereka tidak sadar bahwa bencana itu hasil dari kecerobohan mereka sendiri.
Penolakan terhadap proyek geothermal adalah gema dari trauma mitologis itu. Kisah si buta dan si lumpuh menjadi pengingat: kehati-hatian adalah kunci. Jangan sampai keputusan tergesa melahirkan danau bencana yang menenggelamkan kampung dan kehidupan warganya. Gelombang penolakan dan mitos lokal bertemu pada satu simpul: tidak mudah percaya pada “kepakaran teknis” yang sudah sering menuai bencana di banyak tempat. Karena itu, tongkat yang ditancapkan Empo Tanah dalam mitos seharusnya kini ada di tangan warga. Mereka yang harus diberi kebebasan memilih: nasi atau bubur? Bahkan sangat mungkin juga mereka menjawab: jangan repot-repot, kami masak sendiri saja!
Tetapi sebelum nasi jadi bubur, dan mitos pembangunan itu menjadi bencana, rakyat harus diberi ruang untuk memberikan persetujuan bebas tanpa paksaan. Mereka adalah subjek pembanguan, bukan sekadar objek, sekadar sasaran sosialiasai yang tak punya pilihan lain selain setuju. Suara mereka perlu didengar. Jika tak tercapai kesepakatan, maka penolakan pun memiliki nilai. Warga berhak menolak pembangunan yang mengancam ruang hidup mereka, berdasarkan pertimbangan yang masuk akal dan informasi yang komprehensif. Ketika mereka menolak pembangunan karena kehilangan kepastiaan akan keselamatan ruang hidup, mereka sebetulnya sedang menolak bala dan mitos pembanguan yang punya banyak contohnya di negeri ini.
Perwakilan warga Wae Sano di Labuan Bajo bahkan pernah menyatakan secara terbuka: mereka menolak menjadi kelinci percobaan. Dalam mitos sebetulnya sudah ada korban percobaan: anjing yang terbakar bulunya! Kini, anjing itu menjelma barking dog, yang terus menyalak lewat suara-suara kritis. Ia menggonggong lantang sebagai bentuk peringatan dan perlindungan. Ia menjaga rumahnya, dalam ungkapan Bapa Herman Hemat—riang tana tiwa, lami tana taki (Terjemahan bebas: menjaga tanah warisan, tempat berpijak dan mengabdi pada kehidupan). Ia harus tetap menjadi anjing yang tak mempan oleh sepotong tulang dan daging bercampur remah-remah roti pembangunan! ***