Dr. V. Darmin Mbula OFM
Kota Jakarta kini berusia 498 tahun dipanggil bukan sekadar menjadi kota cerdas penuh teknologi, tetapi sebaiknya menjelma menjadi kota peradaban cinta—di mana damai dan keadilan bersemi, diskriminasi dan kekerasan terhapus, dan setiap insan dipeluk dalam terang kasih Ilahi.
Jakarta sebagai kota peradaban cinta harus melampaui sekadar menjadi smart city dengan teknologi canggih, dan menjadi ruang hidup yang membangun relasi kasih, keadilan, serta penghargaan terhadap martabat setiap warganya. Di kota ini, tidak boleh ada tempat bagi spiral konflik kekerasan dan diskriminasi, karena yang dijunjung tinggi adalah damai, keberagaman, dan kepedulian yang menyatukan.
Di Kota Jakarta tak ada lagi spiral konflik dan kekerasan yang kerap lahir dari ketimpangan dan ketidakadilan yang tak ditangani, menjauhkan masyarakat dari cita-cita kota beradab. Kota yang cerdas (smarter city) bukan hanya ditandai oleh teknologi, tetapi juga oleh kebijakan yang berpihak pada perdamaian, inklusivitas, dan martabat manusia. Kota peradaban cinta adalah visi luhur di mana keadilan, kasih, dan harmoni ilahi menjadi fondasi—menjadi arah yang memberi makna sejati bagi pembangunan kota dan peradaban cinta
SPRIAL KOFLIK KEKERASAN (SKK)
Spiral konflik kekerasan di abad ke-21 merujuk pada proses berulang dan meningkatnya intensitas kekerasan yang berakar dari ketegangan sosial, ekonomi, politik, dan identitas. Johan Galtung, dalam bukunya “Peace by Peaceful Means” (1996), menggambarkan spiral ini sebagai pola yang dimulai dari kekerasan struktural (kemiskinan, ketidakadilan sistemik), berkembang menjadi kekerasan kultural (legitimasi kekerasan lewat ideologi atau agama), dan akhirnya mewujud sebagai kekerasan langsung (fisik). Ketika akar masalah tidak diatasi, kekerasan akan berputar dan menguat, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Di era globalisasi dan digitalisasi, konflik ini juga termanifestasi dalam bentuk siber dan polarisasi digital.
Dalam kehidupan sehari-hari, spiral konflik kekerasan tampak nyata ketika seorang anak yang tumbuh dalam keluarga penuh kekerasan membawa luka batin dan kemudian mengulang pola itu dalam relasi sosialnya. Ketegangan juga terjadi ketika warga miskin kota yang terus-menerus digusur tanpa dialog akhirnya meluapkan kemarahan melalui demonstrasi yang berujung bentrokan dengan aparat. Di ruang digital, ujaran kebencian yang dibiarkan menyebar bisa memicu konflik antar kelompok, lalu meluas ke dunia nyata dalam bentuk diskriminasi dan kekerasan massa.
Menurut Paul Lederach dalam “The Moral Imagination: The Art and Soul of Building Peace” (2005), salah satu kunci untuk menghentikan spiral ini adalah membangun ruang di mana pihak-pihak yang bertikai bisa melihat kemungkinan masa depan bersama, bukan hanya masa lalu yang penuh luka. Di abad ke-21, pendekatan resolusi konflik haruslah transformatif, melibatkan perubahan struktural, keadilan restoratif, dan pemberdayaan komunitas. Tanpa itu, kekerasan akan terus berulang dalam bentuk baru yang lebih kompleks dan tersembunyi—baik dalam relasi sosial, politik identitas, maupun dunia digital.
SMART CITY SEBAGAI GAYA HIDUP
Smart city sebagai gaya hidup bukan hanya tentang penggunaan teknologi canggih, tetapi mencakup pola pikir kota yang menempatkan manusia, keadilan, dan keberlanjutan sebagai pusat pembangunan. Menurut Anthony M. Townsend dalam bukunya “Smart Cities: Big Data, Civic Hackers, and the Quest for a New Utopia” (2013), smart city adalah kota yang memanfaatkan data dan teknologi secara kolaboratif untuk membangun tata kelola yang partisipatif, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan warga. Dalam konteks konflik dan kekerasan, pendekatan ini menjadi alat untuk mengidentifikasi potensi ketegangan sejak dini dan menciptakan kebijakan yang lebih inklusif, sehingga dapat mencegah meledaknya kekerasan sosial.
Sebagai gaya hidup, smart city mendorong warga untuk terlibat aktif dalam menciptakan lingkungan yang adil dan aman—misalnya melalui platform pelaporan masalah sosial secara real-time, ruang diskusi daring yang dikelola secara etis, atau program pendidikan kewargaan digital. Contohnya dapat dilihat di kota yang menerapkan urban commons—pengelolaan sumber daya kota secara kolektif oleh warganya—yang terbukti mengurangi konflik antara pemerintah dan masyarakat melalui dialog terbuka dan transparan. Konsep ini juga didukung oleh Carlo Ratti dalam “The City of Tomorrow” (2017), yang menekankan pentingnya merancang kota sebagai ekosistem partisipatif, bukan sekadar objek pembangunan teknologis.
Dengan mengadopsi prinsip smart city, kota dapat menjadi ruang yang mencegah spiral kekerasan dengan membangun kepercayaan sosial dan memperkuat kehadiran negara yang adil. Teknologi bukan digunakan untuk mengontrol, melainkan untuk memperkuat relasi sosial dan mempercepat keadilan distributif, seperti akses yang setara terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan ruang publik yang aman. Dalam kerangka ini, smart city menjadi salah satu kunci untuk membangun kota yang beradab—di mana konflik tidak diredam secara represif, melainkan diurai melalui partisipasi, keterbukaan, dan tanggung jawab bersama.
KOTA PERADABAN CINTA
Kota peradaban cinta bukan sekadar kota yang bebas dari konflik dan kekerasan, tetapi kota yang secara aktif membangun kehidupan bersama berdasarkan kasih, keadilan, dan penghargaan terhadap martabat manusia. Mengutip gagasan Martin Luther King Jr. dalam “Where Do We Go from Here: Chaos or Community?” (1967), ia menyebutkan bahwa masyarakat yang sehat dan bahagia abadi bukan hanya menghindari kekacauan, tetapi menciptakan komunitas yang didasarkan pada cinta yang aktif dan transformatif—agape. Dalam konteks kota, ini berarti struktur sosial, ekonomi, dan politik dirancang bukan untuk melayani segelintir orang elite saja, tetapi untuk merangkul dan memberdayakan semua warganya, membuat rakyat kecil mampu tersenyum.
Menghilangkan spiral konflik kekerasan memang langkah penting, tetapi kota belum mencapai kemuliaan sejatinya jika tidak membangun nilai-nilai luhur yang memampukan manusia hidup dalam damai dan kasih. Dalam konteks inilah, konsep Kota Allah sebagaimana diuraikan oleh Santo Agustinus dalam “The City of God” (426 M) menjadi relevan. Agustinus membedakan antara Civitas Dei (Kota Allah) dan Civitas Terrena (Kota Dunia), di mana Kota Allah dibangun di atas cinta kepada Tuhan dan sesama, sedangkan Kota Dunia dibangun di atas cinta diri yang memunculkan kekuasaan dan konflik. Maka, kota peradaban cinta adalah wujud konkret dari upaya membangun Civitas Dei di tengah dunia modern.
Kota yang bergerak ke arah Kota Allah tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi atau kecanggihan teknologi, tetapi lebih mendalam: pada spiritualitas publik, solidaritas antarwarga, dan sistem sosial yang melayani kesejahteraan bersama (common good). Konsep ini ditekankan pula oleh Jacques Ellul dalam “The Meaning of the City” (1970), yang melihat bahwa kota memiliki potensi untuk menjadi tempat perjumpaan manusia dengan yang ilahi, jika dimaknai bukan sekadar sebagai ruang fisik, tetapi sebagai panggilan etis dan spiritual. Oleh karena itu, kota tidak boleh hanya dibangun dengan beton dan data, tetapi juga dengan belas kasih, keadilan, dan pertobatan sosial.
Kota peradaban cinta adalah proyek jangka panjang yang menuntut kolaborasi antara iman, ilmu, dan kebijakan publik. Ia bukan utopia yang tidak realistis, tetapi arah yang membimbing keputusan-keputusan kota agar senantiasa mengedepankan kehidupan, perdamaian, dan pengharapan. Ketika kota memelihara cinta sebagai etos hidup, dan menghadirkan nilai-nilai Kota Allah dalam keseharian warganya, maka kota itu bukan hanya tempat tinggal—melainkan tempat pembaruan peradaban. Akhirnya, Jakarta 498: Membangun Cinta, Menyatukan Negeri. ***