P. Yulius Fery Kurniawan OFM
Kita tidak bermaksud merefleksikan bagian 10-11 dari Kidung Segenap Ciptaan sebagai suatu teks telanjang. Merenungkan ‘teks sebagai teks’ bisa dilakukan secara personal, misalnya dalam meditasi dan doa. Tulisan ini hendak membangun jembatan yang mengaitkan sejarah pemikiran dan peristiwa sebelum dan sesudah Kidung ini dibuat. Seperti dalam hermeneutika, aktivitas memahami bukan melulu mengontruksi masa lalu. Dengan memahami masa lalu, kita dibantu untuk membaca masa kini dan memproyeksikannya pada masa depan kita.
Persoalannya, mengontruksikan masa lalu tidaklah mudah. Kita tidak memiliki laporan historis tentang bagaimana Kidung ini dibuat. Paling kita hanya bisa memanfaatkan Legenda Perugina yang menceritakan proses pembuatan Kidung ini lumayan rinci dibandingkan hagiografi-hagiografi lainnya. Artikel 83 dari Legenda Perugina menceritakan Fransiskus yang menggubah sebagian besar bagian Kidung khususnya berkaitan dengan pujian pada alam sekitar. Baru pada artikel 84, dikisahkan Fransiskus menambahkan bagian 10-11 dalam rangka mendamaikan Uskup dan Walikota yang sedang bertikai. Atas dasar Legenda Perugina, yang tentu saja terbatas sebagai suatu laporan sejarah, kami meyakini bahwa Fransiskus tidak menggubah Canticum Fratris Solis sekali jadi. Bagian 10-11 ditambahkan kemudian oleh Fransiskus ke dalam batang tubuh Kidung (Paul M. Allen & Joan deRis Allen, 2000: 82-83; Chiara Frugoni 1995: 158).
TENTANG ALAM DAN KEMANUSIAAN DALAM KIDUNG
Kidung Segenap Ciptaan, bagian 10-11 berbunyi demikian: “Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena mereka yang mengampuni demi kasih-Mu, dan yang menanggung sakit dan suka-derita. Berbahagialah mereka, yang menanggungnya dengan tenteram, karena oleh Engkau, Yang Maha Luhur, mereka akan dimahkotai.” Bagian ini tergolong unik karena menjadi awal pujian kepada Tuhan melalui keutamaan dan kondisi insani. Sedangkan bagian-bagian sebelumnya dari Kidung berbicara tentang keutamaan alam.
Penting untuk diketahui, Fransiskus dipengaruhi oleh wawasan dunianya. Orang-orang Eropa Abad Pertengahan pada umumnya meyakini adanya keutamaan-keutamaan dalam alam (Paul M. Allen & Joan deRis Allen, 2000: 104-105). Ada empat keutamaan utama alam, yakni: Angin dan udara, bumi, air, dan api. Ada juga empat keutamaan spiritual alam: Matahari, bulan, dan bintang-bintang. Jenis keutamaan yang kedua disebut spiritual karena anasir-anasir alam tersebut seringkali menjadi lambang dari dunia adikodrati. Kita bisa menemukan jejaknya kemudian dalam analogi Bonaventura: Matahari, sumber terang, melambangkan Kristus; Bulan melambangkan bunda-Nya; dan bintang-bintang, kehidupan para kudus (Bonaventura, Reductio § 21).
Fransiskus menyematkan sebutan ‘saudara’ dan ‘saudari’ pada setiap anasir alam itu bukan demi keindahan kata-kata puisi: “Kita memuji ciptaan karena ciptaan itu tampak mampu memuji-Nya. Dan ini bukan imajinasi, bukan juga analogi. Bagi Fransiskus, ini adalah pengalaman nyata […] Tidak diragukan lagi, kita perlu membedakan bobot khusus dari berbagai arti kata cum (dengan) dan per (karena, melalui)…” (Cacciari, 2011: loc. 319-324). Ketika dikatakan “Terpujilah Tuhanku per (karena, melalui)…”, Fransiskus melihat kemanfaatan alam bagi manusia sebagai pancaran kebaikan ilahi. Namun bukan sekedar itu. Ketika di awal Kidung dikatakan “Terpujilah Engkau, Tuhanku cum (bersama, dengan)”, Fransiskus mengajak ciptaan untuk bersama-sama memuji-Nya. Ciptaan itu capax dei, mempunyai kemampuan untuk memuji Pencipta layaknya manusia.
Karena itu, Cacciari (2011: loc. 302-306) menolak gambaran Dante (1265-1321) tentang Fransiskus. Il poverello ini digambarkan seperti seorang metafisikus, yang memahami Ada-Tertinggi di antara arak-arakan hirarki kosmik. Gambaran yang mirip bisa kita temukan juga pada Bonaventura. Dalam Itinerarium maupun Legenda Mayor, Fransiskus dilukiskan seperti punya ketajaman seorang teolog yang melihat rentetan penyebaban yang berujung pada Prinsip yang tidak disebabkan (Principium non de principio). Bagi Cacciari (2011: loc. 319), Kidung Segenap Ciptaan digubah oleh Fransiskus, seorang ‘naturalis’. Secara sederhana, langsung, tanpa tafsir, ia menatap keutamaan ilahi dalam ciptaan. Tatapan langsung Fransiskus ini Scotus bahasakan dengan istilah intuitio (Allan Wolter 1990: 104-106). Intuisi adalah kemampuan intelek untuk menatap hakikat kenyataan secara langsung tanpa melalui proses abstraksi. Tanpa investigasi rasional Fransiskus mudah saja melihat wajah ilahi ‘melalui’ dan ‘dengan’ ciptaan-ciptaan lainnya.
KEMAMPUAN (POTENTIA) YANG MENGALAHKAN KUASA (POTESTAS)
Terhadap alam, Fransiskus bersikap ‘naturalis’. Terhadap manusia, ia bersikap ‘manusiawi’. Dalam Anggaran Dasar, Surat-surat, dan Petuah-petuahnya kita bisa melihat Fransiskus yang tidak menyangkal nafsu buta, kekerasan, iri hati, kecongkakan, dan ketamakan manusia. Namun ia juga masih melihat keutamaan manusia untuk tidak menyerah dengan kecondonga pada dosa-dosa itu. Salah satunya, bagian 10-11 dari Kidung Segenap Ciptaan mengekspresikan keutamaan manusia untuk (1) mampu mengalami sakit (fisik) dan derita (psikis), (2) mampu menanggungnya, serta (3) mampu mengampuni. Sungguh berharga keutamaan ini bagi manusia sepanjang zaman. Orang mampu berempati pada sakit dan derita orang lain karena ia pernah juga mengalaminya. Insan mampu menanggungnya dengan keyakinan, sakit dan derita bukan akhir segalanya. Manusia bisa mengampuni karena mengalami pembebasan ketika diampuni. Mereka yang sakit menyembuhkan sesamanya yang sakit.
Keutamaan ini penting untuk menciptakan perdamaian, tentu setelah melewati proses yang menyakitkan dan menyengsarakan. Bagi siapa pun yang menyukai dialog, damai, dan pengampunan, konflik dan perang adalah siksaaan batin dan fisik (Frugoni 1995: 158). Tak terkecuali itu terjadi pada Fransiskus. Dalam keadaaan sakit komplikasi berat, Fransiskus semakin menderita dan sakit lantaran mengetahui konflik di antara dua sahabatnya, yakni Walikota Assisi (podestas) dan Uskup Assisi. Mereka saling berbalas. Uskup mengekskomunikasi walikota. Dan walikota menghalangi aktivitas dan kebijakan Uskup. Keduanya sama-sama terluka batinnya, tetapi pihak yang lebih banyak menanggung akibat dari konflik itu adalah warga masyarakat.
Sebagaimana setiap manusia biasa menulis puisi atau catatan harian ketika mengalami derita, Fransiskus pun berbuat demikian. Ia merasa perlu menambahkan pada Kidungnya suatu pujian pada kemanusiaan dan pengampunan. Siapa tahu syair itu bisa mengubah hati yang keras, sebagaimana seni sering terbukti mampu menggerakkan jiwa. Juga barangkali ia sadar betul pengaruhnya pada banyak orang, termasuk pada dua pendukung ordonya, Wali Kota dan Uskup Assisi.
Kekudusan, yang dasarnya adalah integritas hidup, memberi dia kewenangan (auctoritas) di luar otoritas (auctoritas) Kota dan Keuskupan. Ia didengarkan. Ia berani meminta para saudara atas namanya untuk mengumpulkan Uskup, Walikota, dan rakyat di pelataran Gereja. Di ruang publik itu lalu Fransiskus meminta para saudara menyanyikan Kidung Segenap Ciptaan dengan tambahan bagian 10-11. Semua terharu mendengarnya. Khalayak Asisi tahu, Kidung ini tercipta dari rasa sakit dan derita Fransiskus, sosok yang sangat mereka hormati dan cintai. Kita tahu akhir kisah ini. Walikota dan Uskup berdamai di hadapan rakyat sekaligus umat.
Kekuasaan (potestas) kalah oleh kemampuan (potentia) Fransiskus dan saudara-saudaranya. Dan kemampuan itu bukan ‘barang jadi’ yang jatuh otomatis dari ‘Langit’. Rahmat tidak bekerja efektif tanpa latihan. Fransiskus dan para saudara sudah jatuh-bangun merasakan penderitaan dan berulangkali mengampuni orang-orang yang mencurigai dan menolak cara hidup mereka. Kemampuan untuk menanggung dan mengampuni – juga kemampuan apa pun – adalah potensi yang bisa lenyap. Kemampuan ini mesti terbentur kenyataan, terbentur lagi, sehingga terbentuk. Inilah yang Bonaventura sebut dengan habitus affectivus, yakni: kemampuan kehendak manusia yang terberi untuk mencintai tetapi perlu dilatih agar menjadi disposisi tetap (Rik Van Nieuwenhove, 2012: 214).
Fransiskus dan para saudara awal berkali-kali terbentur pengalaman konflik, salah satunya pertikaian Walikota dengan Uskup. Di balik konflik tersebut ada rentetan pertarungan kuasa yang lebih besar. Kepausan dan kerajaan yang saling berebut kuasa mempengaruhi hubungan uskup dan walikota (podestas). Dan kuasa yang diperebutkan memiliki banyak wajah, yakni kuasa politik-hukum, kuasa ekonomi, dan kuasa pengetahuan. Macam-macam kuasa ini yang kedua pihak perebutkan dan persaingkan. Karena macam-macam kuasa ini, sebagian kecil masyarakat semakin sejahtera, sebagian besar mengalami kesengsaraan.
KUASA POLITIK-HUKUM
Berkaitan dengan kuasa politik, masyarakat Abad Pertengahan berjibaku dengan pertanyaan ini: Dari mana asal-usul otoritas sipil? Dalam alam pikiran teosentris-kristiani mereka pada umumnya meyakini, bahwa kuasa rohani dan kuasa sipil berasal dari kekuasaan Tuhan. Gereja lalu menerima mandat dua kuasa ini. Dengan kuasa rohani, ia memiliki otoritas mengampuni dan mengutuk. Dengan kuasa sipil, ia berwenang untuk mengatur kehidupan publik masyarakat. Lalu Gereja memberikan kuasa politik kepada otoritas sipil. Keyakinan umum ini tentu saja berasal dari klaim teologis institusi gerejawi.
Pada kurun waktu Abad Pertengahan, masih belum populer pernyataan-pertanyaan kritis seperti ini. “Bagaimana mungkin kepausan yang seharusnya melayani berhak memerintah dengan tangan besi layaknya pemimpin bangsa-bangsa (Bdk. Mrk. 10: 42-44)?” Atau, “mengapa urusan-urusan yang termasuk wewenang sipil dan yang termasuk wewenang rohani bertumpang tindih?” (Bdk. Mat. 22; 21). Klaim teologis kepausan tersebut bisa muncul dan berkembang populer seiring dengan semakin besarnya peran Gereja dan biara-biara dalam menyelamatkan peradaban Eropa di saat-saat kritis. Praktis sesudah kejatuhan Romawi Kuno, para klerus yang berperan penting dalam mengatasi persoalan sosial-ekonomi setempat. Sedangkan para rahib merawat, mereproduksi, dan mengembangkan literatur-literatur dan pengetahuan di dalam biara.
Tidak mungkin menyebutkan semua contoh keterlibatan Gereja di sini. Cukup kita ingat peran Paus Leo I (440-461) dalam menyelamatkan Roma dari serangan bangsa Hun di bawah pimpinan Attila. Kita juga ingat, peristiwa Malam Natal tahun 800, ketika Paus Leo III memahkotai Karolus dari wangsa Frank sebagai Kaisar Romawi Suci. Peristiwa ini menegaskan klaim Kepausan sebagai penerima pertama mandat kuasa rohani dan duniawi dari Tuhan, yang kemudian memandatkan kuasa duniawi itu kepada raja. Sebagai balas jasa, raja wajib mendukung kepentingan kepausan.
Memang perlu diakui peran politis kepausan dalam masyarakat di masa-masa kritis. Namun juga diakui kemudian tumpang tindih kekuasaan yang diemban kepausan kerap membawanya pada konflik dengan otoritas sipil (Alessandro Barbero, 2016: 8-16). Kesadaran untuk otonom dari intervensi kuria Roma perlahan tumbuh di antara para penguasa sipil. Frederick Barbarossa, yang Paus Adrianus IV mahkotai sebagai kaisar Romawi Suci pada 1155, ikut mengupayakan otonomi itu. Caranya, ia mulai menerapkan Sistem Hukum Latin (Corpus Iuris Civilis). Dalam sistem ini otoritas sipil tidak diasalkan pada kuasa ilahi tetapi pada hukum alam. Kekaisaran tidak memerlukan lagi legitimasi kepausan. Cara lainnya, Frederick mengangkat banyak podestas (wali kota) sebagai penguasa di suatu kota sekaligus perpanjangan tangan kebijakan politiknya (Alessandro Barbero & Chiara Frugoni, 2008: 952).
Tidak semudah itu Kaisar Frederick melawan kepausan! Klaim teologis kepausan masih memenangkan sebagian besar hati rakyat. Di Abad Pertengahan, kualitas kesehatan yang buruk, tingkat kematian anak-anak yang tinggi, banyaknya penyakit yang tidak teridentifikasi, perang-perang bersusulan membuat hidup menjadi tak pasti. Ketidakpastian ini mengondisikan rakyat untuk cenderung mencari pegangan pada agama yang menawarkan kepastian. Kotbah dan homili klerus lebih mendapatkan perhatian. Klaim-klaim sekuler tentang kekuasaan duniawi sulit tumbuh di ‘rawa-rawa teosentris’.
Otoritas sipil lokal macam wali kota di Assisi tetap memerlukan legitimasi teologis dari Gereja setempat. Sekalipun uskup adalah pemegang klaim teologis, ia juga memerlukan perlindungan otoritas sipil. Keduanya sebenarnya saling membutuhkan dalam mengelola rakyat sekaligus umat. Pertikaian sering timbul karena berebut kebanggaan, siapa yang paling berpengaruh dan berkuasa. Semakin memanas, kalau kebanggaan akan kuasa bertemu dengan kepentingan ekonomi.
KUASA EKONOMI
Di Abad Pertengahan, struktur masyarakat membentuk piramida hirarkis. Di tingkatan pertama ada para klerus, para rahib, otoritas sipil, dan bangsawan. Di tingkatan kedua ada para warga pria. Di tingkatan ketiga ada warga perempuan dan anak-anak. Mereka semua tinggal di dalam tembok kota, dengan ruang-ruang publik yang penting: Pelataran Istana Uskup dan walikota, biara, dan paroki (Le Goff, 2010: loc. 330). Sementara para petani miskin yang diperas tenaganya oleh para bangsawan, para klerus miskin, tukang nujum, para bida’ah, dan para penderita lepra tidak masuk hitungan. Mereka tinggal di luar kota dan tidak mendapatkan hak-hak politik-ekonomi yang didapat warga kota.
Hal penting lainnya, di zaman Fransiskus hidup mulai muncul kelas baru, yakni kaum pedagang. Mereka ini sekalipun bukan bagian dari keluarga bangsawan yang berpengaruh tetapi hidupnya makmur dan tinggal di dalam kota. Kemakmuran ini mereka peroleh bukan karena previlese keturunan tetapi karena keuletan, kecakapan, dan semangat kompetitif dalam berdagang. Kelas pedagang ini hidup dalam iklim dinasti politik monarki tetapi menghayati meritokrasi dalam pekerjaan.
Dibandingkan kaum bangsawan dan klerus yang bersantai-santai dengan previlese-previlese, kaum pedagang ini berbeda (Ja’ Gurevic, in Le Goff [1987] 1997: 318-372). Mereka hidup dengan kerja kerasnya. 1) Usaha-usaha mereka berkontribusi besar dalam pendistribusian barang-barang kebutuhan warga dan memperlancar transaksi ekonomi. Jejaring sosial mereka lintas kota dan lintas bangsa. 2) Demi mempermudah komunikasi antar pedagang, catatan-catatan tentang perjalanan dagang dan keuangan tertulis dalam berbagai bahasa rakyat (Le Goff, 2010: loc. 444- 452) Kebiasaan ini turut membantu pembentukan bahasa bangsa. 3) Pelipatgandaan kepemilikan pribadi mereka tidak lagi bertumpu pada feodalisme, tetapi pada akumulasi keuntungan dalam berdagang. Hal ini turut memperkuat fungsi uang lebih sebagai alat tukar (nummus) daripada fungsinya sebagai penanda status kekuasaan (pecunia). 4) Hukum lama yang mengatur soal pemindahan kepemilikan menurut warisan keturunan mulai kurang relevan. Ada tuntutan untuk merumuskan hukum yang bisa mengatur soal pemindahan kepemilikan privat dalam konteks transaksi dagang maupun pinjam-meminjam.
Melihat keuletan kelas pedagang dan kebaruan yang mereka bawa ini, piramida sosial dan kebudayaan yang sudah mapan sebenarnya mulai tergoncang. 5) Secara perlahan mulai muncul suatu mentalitas baru tentang nilai kerja. Siapa yang rajin dan ulet dalam bekerja, layak mendapatkan upah lebih. Sedangkan kepemilikan yang diperoleh karena previlese keluarga dan klerikal mulai secara kasak-kusuk dianggap sebentuk kemalasan yang tidak adil. Berkat mereka juga, sebenarnya beban tugas uskup dan walikota dalam mengelola ekonomi kota lebih diperingan. Kontribusi dan pengaruh para pedagang terhadap masyarakat memang tidak bisa diremehkan. Mau tidak mau kaum bangsawan dan klerus mesti mengambil peluang dari keberadaan kelas baru tersebut.
Peluang itu bukan hanya soal memajukan kehidupan ekonomi kota. Kaum pedagang juga menjadi peluang bagi uskup dan walikota yang saling berebut kekuasaan. Semakin kuat suatu kuasa politik mengatur kelas pedagang, semakin meluas kuasanya. Dari situ uskup dan walikota berebut wewenang dalam mengatur kelas pedagang. Walikota mengatur para pedagang dengan norma-norma hukum kota. Dengan ketakutan-ketakutan ekskomunikasi dan siksa neraka, Uskup menggiring kaum pedagang untuk berpihak kepadanya. Dari situ juga, para pedagang terpecah menjadi dua: sebagian lebih dekat pada otoritas sipil, sebagian lain mendekat kepada otoritas gerejawi.
Kita bisa membayangkan, konflik yang memanas di antara keduanya akan mengganggu distribusi barang kebutuhan dan transaksi ekonomi. Uskup menakut-nakuti pedagangnya walikota dengan ekskomunikasi. Walikota menghalangi pedagangnya uskup ketika bergerak keluar-masuk tembok kota. Akibatnya, warga masyarakatlah yang terkendala dalam memperoleh barang-barang kebutuhan. Lalu bagaimana nasib orang-orang di luar tembok kota? Mereka tidak dirugikan, juga tidak diuntungkan oleh konflik itu. Yang pasti, mereka sudah selalu kalah dan sengsara.
KUASA PENGETAHUAN
Tidak ada kuasa yang bisa bertahan tanpa legitimasi pengetahuan. Dalam konteks Abad Pertengahan struktur hirarki masyarakat pararel dengan struktur pengetahuan saat itu. Teologi (theologia) dianggap menduduki puncak pengetahuan tertinggi, mengungguli filsafat (philosophia) dan ilmu-ilmu teknis (artes). Aritmatika, astronomi, geometri, dan musik (quadrivium), bersama dengan gramatika, retorika, dan dialektika (trivium) menjadi bagian dari rumpun ilmu teknis yang bermanfaat bagi kehidupan praktis sehari-hari. Di atasnya terdapat ilmu hukum dan ilmu medis yang masih praktis tetapi juga mengandung unsur teoritis. Di atasnya lagi ada filsafat alam, filsafat moral, dan metafisika. Paling atas adalah teologi yang berspekulasi tentang prinsip-prinsip tertinggi dan ilahi. Jadi, semakin konkret dan praktis suatu pengetahuan, semakin rendah tingkatannya. Semakin reflektif, spekulatif, dan kontemplatif suatu pengetahuan, semakin kedudukannya lebih tinggi.
Dalam struktur hirarki pengetahuan semacam itu, tidak mengherankan asal-usul dan legitimasi kekuasaan mesti dicari dalam pendasaran teologis. Allah sebagai penguasa Surga dan Dunia menjadi sumber dari kekuasaan. Ia lalu memberikan kepada manusia kekuasaan rohani dan kekuasaan duniawi. Perdebatan teologis Abad Pertengahan berpangkal pada dua macam kekuasaan tersebut: 1) Atau Tuhan memberikan kuasa rohani dan duniawi kepada Gereja, dan lalu gereja memberikan kuasa duniawi kepada Raja, atau 2) Tuhan langsung memberikan kuasa rohani kepada Sukup Roma dan kuasa duniawi kepada otoritas sipil. Pada zaman Fransiskus hidup, pandangan pertama menjadi kecenderungan dominan kaum terpelajar. Saat teologi menjadi Ratu semua pengetahuan, institusi gerejawi menjadi pemegang awal kuasa rohani sekaligus duniawi. Penobatan raja dan penguasa lokal oleh Paus merupakan praktek yang lazim.
Penting juga bagi para raja dan walikota untuk memiliki kaum terpelajar di sekitarnya. Tidak jarang kaum terpelajar di sekitar otoritas sipil berdebat dengan cendekiawan di sekitar para klerus. Konflik politik dan ekonomi memantik perdebatan pengetahuan di dalamnya. Argumentasi disusun demi kepentingan kekuasaan yang mereka dukung.
Fransiskus jelas bukan seorang terpelajar, dalam arti tidak fasih membaca dan menulis bahasa Latin (illiterante) (Fumagalli, in Le Goff [1987] 1997: 241). Ia bersekolah dasar dekat Gereja San Giorgio (Frugoni, 1995: 21). Jadi bukan berarti tumpul nalarnya. Doa-doa dan petuah yang ia susun, termasuk Kidung Segenap Ciptaan menunjukkan Fransiskus peka pada kondisi masyarakatnya dan paham bagaimana mengartikulasikannya dalam bahasa yang menyentuh. Kemampuan paling agung manusia bagi Cicero adalah seni berbahasa, yang bisa membuat para perkasa mengikuti dia yang menguasai seni itu. Fransiskus memahami kekuatan kata-kata tanpa belajar khusus teori seni retorika Cicero. Ia belajar dari pergaulan yang manusiawi; tentu dengan bantuan terang ilahi dari sudut pandang iman.
Ia bukan bego dalam arti modern. Fransiskus memang tidak bisa memaparkan (Erklaren) pikiran-pikiran canggih dan kontelasi langit yang rumit seperti gli intellettuali (para terpelajar), tetapi mampu memahami (Verstehen) nilai berharga di balik ciptaan. Ia bukan membangun argumen, melainkan menemukan keterhubungan setiap anasir ciptaan. Kepekaan pada kesalingterhubungan antarciptaan dan kebergantungan ciptaan pada Pencipta membuatnya tidak memihak pada satu kutub kekuasaan, kecuali mereka yang paling rentan menjadi korban konflik kekuasaan. Hari ini, perkembangan studi sains kontemporer lebih bisa membantu kita untuk memahami keterhubungan kosmik ini secara ilmiah, menurut bukti-bukti yang kredibel, dan bukan sekedar klaim-klaim sentimentil.
Kaum terpelajar memenangkan kekuasaan yang ia bela dengan dasar-dasar teologis. Penguasa sah memerintah karena mendapatkan mandatnya dari Surga. Semakin spekulatif argumentasinya, semakin kuat ia memerintah. Tetapi Fransiskus tidak mengatasi kuasa Uskup dan Walikota dengan metafisika atau teologi. Ia justru menggunakan artes (ilmu teknis) dalam seni berbahasa, secara lebih khusus syair puitis. Fransiskus mengangkat artes yang menduduki rumpun ilmu pengetahuan terendah menjadi ‘pengganggu’ pengetahuan-pengetahuan spekulatif. Bukan bahasa hukum dan perdagangan, juga bukan disputatio teologica, melainkan ekspresi artistik yang Fransiskus pilih.
Sejak akhir Abad ke-20, hermeneutika ilmu-ilmu kemanusiaan memberikan tempat terhormat bagi bahasa puitis. Ia dipandang memiliki daya untuk mentransformasi bahasa baku yang kerap dipakai untuk mendominasi orang lain. Puisi mampu memproduksi bahasa-bahasa baru. Ini bukan temuan yang sama sekali baru dari pemikiran kontemporer. Sejak dulu manusia membangun dunianya pertama-tama dengan bahasa dan seni, dengan teknik, baru kemudian berefleksi. Fransiskus salah seorang yang menyadari daya kreatif dari seni, khususnya bahasa.
FRANSISKUS MERANGKUL MACAM-MACAM KUASA
Fransiskus bagaimana pun juga mewarisi dari ayahnya, Pietro Bernardone, suatu mentalitas ulet dan kreatif dari homines populi, yakni kelas pedagang (Frugoni, 1885: 23). Ia memang mengecam pencarian harta duniawi yang keterlaluan dan melupakan kerinduan akan harta surgawi. Namun ia tidak reaksioner, dan lebih memilih bagi dirinya sendiri suatu kehidupan alternatif. Ia tinggalkan cita-cita untuk menjadi boni homines, yakni menjadi bangsawan dengan jalan menjadi ksatria perang. Dilepaskan juga peluang menjadi pedagang sukses macam ayahnya.
Fransiskus kemudian memutuskan ke luar dari tembok kota membentuk cara hidup baru, mula-mulai sendirian, lalu berkembang menjadi suatu persaudaraan, bersama orang-orang tersingkir (Frugoni, 1995: 39-44). Ini sungguh transformatif pada zaman itu. Panggilan ‘saudara’ dan ‘saudari’ kepada setiap orang tidak lazim pada zamannya. Istilah tersebut mengekspresikan suatu pertemuan komunitas di dalam dan di luar tembok. Sekali lagi, di sini kita menyaksikan kekuatan bahasa! Melalui panggilan fratelli e sorelle, dirumuskan suatu cara hidup alternatif, ‘di luar’ bahasa hukum (abdicatio iuris) yang memecah manusia ke dalam kelas-kelas sosial (Agamben [2011] 2021, 976-980).
Penting dicatat, Fransiskus sebenarnya tidak sama sekali meninggalkan kota. Ia keluar-masuk kota dengan keyakinannya akan hidup Injili. Semula ia dipandang sebelah mata oleh warga kota. Tetapi, keuletan dia (khas pedagang!) dalam menghayati hidup baru inilah yang semakin lama menimbulkan simpati bahkan ketertarikan. Di dalam kota, walikota dan uskup, bangsawan dan klerus elit, warga laki-laki dan perempuan, pedagang dan para terpelajar mulai terpengaruh forma vitae Fransiskus di luar tembok. Ia menjadi medium, merangkul manusia dalam tembok dan luar tembok; antara si kaya dan si miskin. Mengamati gerak keluar-masuk Fransiskus ini, kita boleh mengatakan bahwa Fransiskus tampaknya tidak pernah memprioritaskan ‘pinggiran’ secara geografis. Kota tidak lebih penting daripada desa, demikian juga sebaliknya. Yang terpenting, apa yang perlu dibuat untuk melipatgandakan kebaikan dan menjembatani perbedaan?
Ketika jumlah anggota persaudaraannya semakin bertambah drastis, ia menasehatkan agar para saudaranya tidak membenci dan iri pada mereka yang hidup makmur, bergelimang kekuasaan, dan berpakaian mewah (AngBul II). Kecintaannya pada orang miskin tidak membuatnya membenci orang kaya. Ia bergaul dengan klerus miskin dan kaya, para penderita lepra dan dokter, petani miskin dan para pedagang. Dirangkulnya semua orang sebagai ciptaan yang sama-sama harus dikasihi!
Jelas juga bahwa Fransiskus tidak segan-segan memodifikasi cara hidupnya. Ketika kebiasaan meminta-minta berpotensi mengurangi jatah para pengemis, Fransiskus menyerukan agar para saudara lebih mengutamakan bekerja dengan tangannya sendiri (Frugoni, 2010: 90; AngTBul VII & AngBul). Baru kalau tidak cukup, bolehlah mereka mengungsi ke ‘meja Tuhan’ (Wasiat § 19-22). Mungkinkah keuletan dan kreatifitas Fransiskus ini mewarisi mentalitas pedagang dari orang tua Fransiskus? Bisa jadi, iya. Tetapi terutama pergaulan yang luas membuatnya peka dan memahami relung-relung terdalam kemanusiaan waktu itu.
Menarik kalau kita membuat paralelisme keutamaan manusia dalam Kidung Segenap Ciptaan bagian 10-11 dengan macam-macam kuasa.
Fransiskus mampu merasakan sakit dan derita yang warga kota alami akibat proses ekonomi terganggu oleh konflik Uskup dengan Walikota. Sedangkan di luar tembok kota, ia menyaksikan ketabahan luar biasa dari orang-orang terbuang dalam menanggung sakit dan derita. Ini kontras dengan Uskup dan Walikota Assisi. Mereka sama-sama tidak kuasa menanggung rasa sakit dan derita ketika wibawa politiknya direndahkan. Kedua pihak tidak mau saling memahami, curiga, dan mendendam satu sama lain. Pengampunan menjadi sulit dicapai.
Ekonomi yang kacau balau menyebabkan sakit dan derita. Kepemimpinan yang tidak tabah dan lemah dalam menanggung tanggung jawab menyebabkan perebutan kekuasaan yang berkepanjangan. Memahami lawan menurut prasangka-prasangka akan memperlama proses pengampunan dan rekonsiliasi. Sebaliknya, tiga prasyarat bagi rekonsiliasi dan perdamaian adalah kemampuan berempati (ekonomi), kepemimpinan yang bertanggung jawab (politik), dan kemampuan memahami (pengetahuan).
Kita perluas sedikit dengan karya-karya Fransiskus lainnya. Menangani sakit dan penderitaan sesama menjadi yang utama dalam pengelolaan kebutuhan hidup komunitas. Karenanya, kebutuhan-kebutuhan mendesak tidak mengenal hukum (neccessitas non habet legem) (AngBul IX). Kepemimpinan sejati dalam mengelola hubungan sosial menolak lari dari tanggung jawab dalam merawat hidup orang lain (SurMin). Dan itu berarti siap capek, siap menanggung sakit dan derita. Empati dan ketabahan adalah dua syarat penting dalam ekonomi dan politik. Masih ada satu lagi. Sikap saling memahami membantu setiap orang menurunkan egonya, meredam dendam dan emosi buta, sehingga membuka diri pada mengampuni dan diampuni.
Kita tidak menyangkal, kekudusan Fransiskus membuat Kidung gubahannya memiliki otoritas. Karena Fransiskus yang menciptakan, maka Kidung Segenap Ciptaan punya kekuatan untuk memengaruhi Walikota, Uskup, dan rakyat dari Assisi. Diasosiasikan dengan wawasan sekuler dan bukan Kristiani, kita bisa merumuskan kekudusan sebagai kesesuaian antara pikiran, kata-kata, dan karya. Kata-kata belum tentu memenuhi kerinduan manusia. Syair bisa menggerakkan batin insani kalau lahir dari pemahaman mendalam dan kepedulian konkret pada kemanusiaan. Pemahaman mendalam yang beriringan dengan praksis memampukan Fransiskus untuk memilih diksi-diksi yang menggugah dalam penulisan Kidung tersebut.
Ketiga keutamaan dalam Kidung bagian 10-11 tersebut membuat seseorang, sekalipun tanpa jabatan politis dan kemakmuran ekonomis, dimahkotai kewibawaan adikodrati, “Berbahagialah mereka, yang menanggungnya dengan tenteram, karena oleh Engkau, Yang Maha Luhur, mereka akan dimahkotai”. Kemampuan merasakan sakit dan menderita mengalirkan empati ke dalam ekonomi. Kemampuan menanggung sakit-derita membentuk kepemimpinan yang bertanggungjawab dan tahan banting. Kemampuan mengampuni memperkaya pengetahuan dengan niat membangun damai. Ketiga keutamaan merangkul ketiga kuasa dan menjadikannya sarana-sarana untuk membangun komunitas yang peka, tentram, dan damai.
PARA FRANSISKAN MELEBARKAN RANGKULAN FRANSISKUS
Dengan Kidung gubahannya, Fransiskus memadamkan konflik dalam kota. Konflik yang lebih besar, yakni kepausan dan kekaisaran, masih berlangsung. Bukan Fransiskus yang mengakhirinya, tetapi para pengikutnya. Berkaitan dengan kuasa politik-hukum penting untuk diingat kontribusi Scotus (Ordinatio IV, q. 2). Baginya, hukum positif yang mengatur hak dan pemindahan kepemilikan pribadi lahir dari kesepakatan umum (ex communi consensu), dan setiap otoritas sipil mesti tunduk pada hukum itu. Ockham lebih berani lagi. Argumentasinya membela pembedaan langsung kekuasaan: dari Tuhan, kepausan menerima mandat kuasa rohani dan kerajaan menerima kuasa duniawi. Kekuasaan di dunia bukan dipandang sebagai realitas obyektif, tetapi subyektif. Itu bisa dibatalkan masyarakat apabila otoritas mengkhianati hukum yang disepakati (McFadden, 2021: 69-71. Memisahkan dua macam kuasa menghentikan rebutan kuasa politik antara agama dan negara.
Di balik pemisahan kekuasaan itu ada ide melawan penundukan kuasa rohani atas kuasa duniawi, demikian juga sebaliknya. Sejalan dengan ide ini adalah perubahan struktur pengetahuan. Para Fransiskan secara bertahap turut aktif mengakhiri dominasi teologi atas ilmu pengetahuan lainnya. 1) Bonaventura, bersama Thomas Aquinas, membuat teologi menjadi scientia, sehingga kemudian kaum terpelajar non klerus berhak untuk mengkritik dan mempelajarinya. Untung saja posisi Bonaventura yang menjadikan teologi sebagai rujukan semua pengetahuan tidak bertahan menjadi pegangan. Jika posisinya bertahan, Eropa tidak kunjung mengalami revolusi ilmu pengetahuan.
2) Sejalan dengan Thomas Aquinas, Scotus (Lectura, prol., p.3, n.121) menolak hubungan saling menundukkan antara teologi dan filsafat. Keduanya tidak bertentangan tetapi bekerja dalam wilayah yang berbeda. 3) Roger Bacon lalu dengan keras mengkritik fisika yang masih berkutat dengan spekulasi metafisik. Ia mendorong agar fisika bertumpu pada matematika dan studi empirik (Fumagalli, 1997: 255-256; Antiseri, 2001: 75-80). Dari sini benih spesialisasi ilmu-ilmu ditabur. 4) Ockham lalu mengajukan prinsip parsimoni (dikenal dengan pisau cukur Ockham), yakni menyederhanakan teori dari argumentasi berlebihan yang tidak perlu (McFadden, 2021: 50-56). Filsafat alam dan ilmu-ilmu teknis mesti dijauhkan dari sifat spekulatif metafisika. Prinsip parsimoni ini menjadi fondasi bagi sains modern: Semakin sederhana suatu teori, semakin indah, dan semakin mendekati kebenaran.
Para Fransiskan kemudian juga mengupayakan agar kuasa ekonomi bisa menyejahterakan semakin banyak orang, dan bukan hanya kaum bangsawan dan klerus (Antiseri, 2008: 64-73). 1) Antonius Padua misalnya membela penggunaan uang bagi semua kelas sosial untuk peminjaman yang adil dan investasi yang menguntungkan. 2) Olivi dalam Tractatus de contractibus usurariis et restitutionibus memperjelas pembedaan antara praktek riba yang dikecam oleh Gereja dan praktek bunga dalam aktifitas eekonomi. Ia juga membela penggunaan uang dan peminjaman untuk investasi yang bisa memberikan keuntungan lebih dan demi kemajuan usaha (belakangan disebut modal). Teorinya tentang kemanfaatan (virtuositas), kesesuaian dengan selera pembeli (complacibilitas), dan kelangkaan dari suatu benda menjadi dasar dalam menentukan nilai suatu barang.
3) Scotus juga turut membela praktek bunga dan aktifitas peminjaman dengan mengelaborasi teori Fransiskan tentang pemisahan riil hak milik dan hak guna. Aktivitas pinjam-meminjam hanya memindahkan hak guna dan bukan hak milik ke pihak lain. Karena itu mereka yang berhutang mesti mengembalikan ke peminjam. Karena kualitas barang menurun dan nilai mata uang berubah, maka bunga bisa dituntut seturut perjanjian yang sudah disepakati sebelumnya. Hal penting lainnya adalah pembelaan Scotus terhadap nilai kerja. Siapapun yang turut aktif dalam membantu pemerintah dan warga melalui profesi pekerjaannya berhak memperoleh upah dan keuntungan yang layak.
4) Alessandro Bonini, pernah menjadi Minister General Ordo, dalam karyanya De usuris juga turut membela praktik penerapan bunga dalam transaksi perdagangan dan membedakannya dari riba. Sumbangannya yang lain adalah memperkenalkan seni campsoria, yakni teknik pertukaran valuta. Keuntungan dalam penukaran mata uang ini tidak termasuk riba melainkan justru memperlancar penukaran antar bangsa dengan mempertimbangkan kondisi yang merubah nilai suatu barang atau uang di suatu wilayah.
Pikiran-pikiran dan terobosan cemerlang tersebut diteruskan dan dikembangkan oleh dua teolog Fransiskan selanjutnya: Astenani dari Asti († 1330) dan Gerardo Odone (1273-1348), juga selanjutnya oleh para Fransiskan Observan seperti Bernardinus dari Siena (1380-1444), Antonius dari Firenze (1389-1459), Nicola Oresme (1320-1382), Alberto da Sarteano (1385-1450), dan Yakobus dari Marca (1394-1476). Menarik komentar Bazzichi – dikutip Antiseri (2001: 72-73) – mengenai faktor-faktor yang membentuk para Fransiskan dalam berkontribusi menyejahterakan kehidupan sosio-ekonomi masyarakat: “Bergaul dengan banyak orang, peka pada realitas sosial, studi dan analisis mengenai masalah-masalah yang baru muncul dalam masyarakat, ketekunan mereka pada tingkatan praktis dalam pengajaran teologi moral, dalam kotbah, dan pengakuan dosa. Hal-hal inilah yang menjadi alasan-alasan penting […] untuk pemahaman historis mengapa para fransiskan, mulai paruh kedua abad ketigabelas, hampir menjadi satu-satunya ordo yang menguraikan pada tingkatan doktriner, suatu teologi ekonomi dan sebagai konsekuensinya, menjalankan praktek positif berkenaan dengan bunga dan produktifitas uang, dengan melampaui halangan yuridis-moral di mana Hukum Kanonik mengutuk praktik riba”.
Fransiskus yang terbiasa bergaul dengan siapa pun telah mampu menggubah suatu Kidung yang menyentuh sanubari warga Assisi. Pergaulan dan studi mendalam menjadi ruang bagi para Fransiskan selanjutnya untuk mengembangkan semangat Fransiskus tanpa harus merepitisi dan menjiplaknya. Ide-ide para Fransiskan tentang politik menjadi benih bagi prinsip-prinsip liberal. Idenya tentang pengetahuan menyediakan ‘bahan mentah’ bagi metodologi sains modern. Pembelaan mereka pada produktivitas uang, hak guna, bunga, dan nilai kerja menjadi benih bagi kapitalisme.
PENUTUP
Sayangnya, kapitalisme hari ini telah mendominasi tata kehidupan global. Politik dan pengetahuan kelabakan mengendalikannya. Produk-produk hukum ditekuk-tekuk dan jurnal penelitian ilmiah bisa difabrikasi untuk membuka kran investasi yang merusak alam. Seni dan kebudayaan menjadi komoditas turisme yang tunduk pada pasar. Sulit menemukan cara hidup alternatif di luar sistem kapitalisme-liberalisme global. Dahulu Fransiskan ikut berproses membentuk tata kehidupan alternatif selain sistem monarkhianisme. Hari ini, bentuk kehidupan macam apa yang muncul dari pikiran-pikiran dan kerja-kerja konkrit para Fransiskan sebagai alternatif dari tata kelola kapitalistik yang mereka pernah bangun?
‘Empati pada sakit dan derita masyarakat’ dan ‘tanggung jawab sosial untuk menanggungnya’ perlu dilengkapi dengan pengampunan, yakni ‘upaya-upaya membangun jembatan berbagai pihak yang berkehendak baik’. Untuk kondisi dunia sekarang, pengetahuan sudah terspesialisasi dan menjadi otoritas kebijakan; demokrasi membuka ruang partisipasi publik; dan uang menjadi alat tukar semua orang. Karenanya, para Fransiskan perlu berani terlibat dalam praksis sosial-politik masyarakat dengan menjadi ahli di banyak bidang ilmu dan keahlian, serta membangun jejaring kerjasama. Motif belajar bukan lagi sekedar melawan kemalasan tetapi juga agar lebih baik membantu orang lain.
Fransiskan (seharusnya) menjadi rumah bagi semua orang yang peduli pada persoalan kemanusiaan dan dunia. Sayang pikiran dan kerja konkret kita kurang dikenal. Mungkin karena pengelolaan media sosial kita belum maksimal. Atau barangkali kita masih bingung membedakan ‘berbagi kisah’ dari ‘pamer’? Perdebatan kuno Abad Pertengahan soal uang juga mesti disudahi, dan diganti dengan persoalan ‘nilai lebih,’ akar dari upah kerja yang tidak adil. Tidak ada salahnya kita memiliki usaha-usaha mandiri yang bisa menopang karya-karya pelayanan kita. Justru ini menghindarkan kita dari sejumlah donor yang bisa jadi asal-usulnya dari penghisapan dan eksploitasi.
Cukupkah kita hanya dengan mendaraskan Kidung Segenap Ciptaan di dalam kapel yang steril dari jeritan orang miskin dan Ibu Bumi? Pantaskah kita hanya berhenti dengan mengarak-arak patung Fransiskus dan Antonius Padua bersama umat yang memikulnya dengan kondisi ekonomi dan pendidikan menyedihkan. Kita perlu meneruskan gairah Fransiskus dan para Fransiskan sebelumnya, yakni dengan terus berpikir semendalam mungkin, bertindak sekonkret mungkin. Jangan sampai sebaliknya, kita berpikir belepotan, bertindak abstrak. ***
SUMBER BACAAN
Agamben, Giorgio. Homo Sacer IV, 1: Altissima povertà (2011), in Homo Sacer: Edizione integrale 1995-2015, Macerata: Quodlibet, 2018.
Allen, Paul M. & Joan deRis Allen. Francis of Assisi’s Canticle of Creatures: A Modern Spiritual Path (1996). New York: Continuum, 2000.
Antiseri, Dario. L’attualità del pensiero francescano: Risposte dal passato a domande del presente. Soveria manelli: Rubbettino, 2008.
Barbero, Alessandro & Chiara Frugoni. Dizionario del medioevo. Bari: Laterza, 1994.
Barbero, Alessandro. Le parole del papa Da Gregorio VII a Francesco. Bari: Laterza, 2016.
Duns Scoti, Ioannis. Opera Omnia Vol. XVI: Lectura Prologue. Studio et Cura Commissionis Scotistica. Roma: Civitas Vaticana, 1960.
Duns Scoti, Ioannis. Opera Omnia XIII: Ordinatio IV. Studio et Cura Commissionis Scotistica. Roma: Civitas Vaticana, 2011.
Frugoni, Chiara. La santità governata. I tre papi di san Francesco, in I volti del potere. Bari: Laterza, 2010.
Frugoni, Chiara. Vita di un’uomo: Francesco d’Assisi. Torino: Einaudi, 1995.
Ladjar, Leo Laba (Penerjemah dan Pengantar). Fransiskus dan Karya-Karyanya. Jakarta: Sekafi, 2000.
Le Goff, Jacques (curatore). L’uomo Medievale (1987). A cura di Jacques Le Goff. Bari: Laterza, 1997.
Le Goff, Jacques (curatore). La città medievale, Milano: Giunti, 2010.
McFadden, Johnjoe. Life is Simple: How Occam’s Razor Set Science Free and Unlocked the Universe. London: Basic Books, 2021.
Van Nieuwenhove, Rik. An Introduction to Medieval Theology. Cambridge: Cambridge University Press, 2012
Wolter, Allan. “Duns Scotus on intuition …”, in The Philosophical Theology of John Duns Scotus. Ithaca: Cornell University Press, 1990.