P. Yulius Fery Kurniawan OFM

Penolakan enam keuskupan di Flores dan Lembata terhadap proyek Geothermal menjadi polemik. Ada pihak yang mendukung sikap bersama enam keuskupan sebagai bagian dari tugas kenabian. Ada pihak yang mengkritisinya dengan alasan utama, Gereja terlalu ikut campur dalam urusan publik.

Gereja tidak seharusnya mencampuri urusan geothermal karena tiga alasan ini. Pertama, negara Indonesia bukanlah negara agama, maka proyek geothermal bukan termasuk wilayah Gereja. Kedua, persoalan geothermal memerlukan diskusi luas, yang melibatkan berbagai agama, suku, dan golongan, termasuk mereka yang diam tak bersuara. Ketiga, Gereja tidak boleh memaksakan pendapatnya pada masyarakat modern yang beragam.

Tulisan ini hendak membantah kritik atas penolakan enam keuskupan terhadap proyek Geothermal. Cara pertama, dengan menunjukkan hubungan kontradiktif di antara tiga alasan di atas. Cara kedua, dengan menjernihkan dan atau membantah setiap alasan di atas.

Tiga Alasan yang Kontradiktif

Jika kita terima alasan pertama dan ketiga, maka alasan kedua runtuh dengan sendirinya, dan alasan ketiga menjadi tak relevan. Di balik alasan pertama terkandung logika biner. Kalau bukan negara agama, maka negara sekuler. Jika republik ini sekuler, pemerintah tidak perlu menimbang suara agama dalam kebijakan politiknya. Diskusi luas yang melibatkan agama menjadi tidak berdasar. Secara logis, ketiga alasan itu kontradiktif.

Secara faktual, pemerintah berulangkali mengundang keuskupan untuk terlibat dalam tim penyelesaian masalah pengembangan Geothermal. Keuskupan Agung Ende, misalnya, menolak terlibat karena pelibatan PLN dan perusahaan pengembang yang seharusnya menjadi pihak yang perlu dievaluasi. Kalau begitu, apa dasar pemerintah membutuhkan keterlibatan Gereja? Jelas bukan karena Republik ini negara agama; tetapi juga bukan karena sekuler.

Gereja dan Negara Pancasila

Sekarang, kita bedah alasan pertama. Menjadi a-historis, kalau kita memahami Republik kita dengan logika biner sekularisme Barat. Indonesia bukan negara agama, bukan negara sekuler, melainkan Pancasila. Merujuk pada pidato Bung Karno tentang Pancasila pada 1 Juni 1945, Republik ini membuka kesempatan kepada setiap golongan agama dan suku untuk memperjuangkan nilai-nilainya secara berkebudayaan, melalui musyawarah mufakat. Dalam UUD’ 45 dan pembukaannya kita temukan juga pengakuan terhadap ekspresi-ekspresi keagamaan. Tidak ada tendensi untuk mengurung perjuangan nilai-nilai keagamaan ke dalam ruang privat. Republik ini sedari awal menghormati dan memungkinkan nilai-nilai khas komunitas, termasuk Gereja, mewarnai kebijakan publik.

Republik kita memang mewarisi karakteristik negara hukum modern dari Barat, yang lahir melalui proses sekularisasi. Tetapi bukan berarti tata sosio-politik-ekonomi steril dari nilai-nilai etis keagamaan. Alasannya sebagai berikut. (1) Nilai-nilai negara modern Barat sendiri terbentuk dari pertautan filsafat Yunani, hukum Romawi, dan nilai-nilai Kristiani. (2) Pancasila sendiri menegaskan cara berada kita yang tidak menjiplak Barat, apalagi mengikuti sekularisme ekstrim. (3) Di Barat sendiri terus timbul kesadaran untuk mengevaluasi batasan-batasan negara sekular. Republik modern bukan hanya mengenal ruang publik dan ruang privat, melainkan juga ruang sosial. Karenanya, mesti diakui eksistensi dan identitas komunitas-komunitas, termasuk agama-agama. Persis ruang-ruang sosial ini yang mengantarai tata ekonomi dan tata politik.

Kita mesti berhati-hati agar tidak keliru memahami posisi Gereja Katolik terkait pemisahan Agama dan Negara. Posisi ini tidak sama dengan menarik diri dari kemaslahatan publik. Gereja melarang hirarki terlibat dalam politik kekuasaan, tetapi mendorong suara kenabian para klerus dan religius dalam nilai-nilai etika politik dan ekonomi. Malahan, Gereja mendorong umat non-klerus dan non-religius untuk terlibat aktif dalam politik praktis.

Memurnikan tata keagamaan dari persoalan ekonomi-politik justru mengkhianati alasan keberadaan Gereja di dunia ini. Ini serupa dengan quietisme: suatu tendensi praktek keagamaan yang mengejar keselamatan pribadi dengan diam (latin: quies) terhadap persoalan dunia. Jangan kita persempit eksistensi Gereja dengan aktivitas altar belaka, sementara pasar kehidupan umat porak-poranda karena politik yang kotor.

Gereja itu jelas politis dalam nilai dan praksisnya, meliputi hirarki dan semua umat beriman. Kitab Suci sendiri juga berciri politis, sebagaimana para Nabi, bahkan Yesus Kristus berikap kritis terhadap praktek kekuasaan dan tata ekonomi yang tidak adil. Ajaran Sosial Gereja adalah bukti terang-benderang dari perhatian Gereja sepanjang zaman terhadap berbagai persoalan manusia dan dunia.

Menghormati Demokrasi dengan Berpendapat

Kita sepakat pentingnya diskusi luas dan demokratis dalam melihat persoalan geothermal. Diskusi ini mesti melibatkan berbagai golongan, lintas suku, agama, dan golongan. Persis Gereja mendukung diskusi yang demokratis dan hak setiap golongan untuk berpendapat. Maka tidak ada alasan untuk melarang Gereja berpendapat. Lagipula, dari seruan enam keuskupan untuk menolak proyek Geothermal, tidak sedikit pun tendensi untuk menghalangi suara golongan masyarakat lain.

Posisi Gereja dalam menolak proyek Geothermal dipersoalkan karena dianggap merupakan suara hirarki saja. Ini keliru besar. Suara para Uskup justru lahir dari jeritan umat yang menjadi korban proyek ini. Warga yang terabaikan dalam proyek strategis nasional ini adalah Gereja yang menderita. Para gembala memang dipanggil untuk menyuarakan suara domba-dombanya, sekecil apa pun mereka.

Gereja sebagai umat Allah mengemban panggilan untuk membela warga masyarakat, apa pun agamanya, yang menjadi tumbal proyek kebijakan politik. Silahkan saja kalau ada warga masyarakat atau kelompok tertentu yang mendukung proyek Geothermal. Tetapi bukan berarti Gereja harus ikut. Gereja punya posisi etis yang determinatif, yakni membela martabat kehidupan setiap orang, setiap gerenerasi Tidak seorang pun boleh dikorbankan demi pembangunan.

Demokrasi dan Modernisasi dalam Catatan

Kehendak baik agar pembangunan tidak mengorbankan masyarakat kecil mensyaratkan kebijakan politik melalui proses yang demokratis. Kita memilih demokrasi karena mewadahi bukan hanya kesepakatan tetapi juga ketidaksepakatan. Demokrasi, sejauh substansial, menjinakkan watak hegemoni modernisme yang cenderung melenyapkan pluralitas bentuk-bentuk kehidupan. Di sini praktek demokrasi dan modernisasi kita perlu diberi catatan.

Pertama, demokrasi yang ideal bekerja dalam bingkai hukum. Dasar dari keberadaan pemerintah adalah hukum yang lahir dari kesepakatan umum. Ini kontras dengan kondisi Republik kita. Pemerintah bertindak layaknya produsen hukum. Berlagak di atas hukum. Mengotak-atik pasal atau membatalkannya dengan pasal baru menjadi fenomena harian demi mempermudah investasi.

Agar proyek geothermal terdengar ramah, UU no. 27 tahun 2003 tentang panas bumi masuk dalam kategori pertambangan. Kebijakan ini diubah dengan  UU no. 21 tahun 2014  yang mengeluarkan panas bumi dari kategori pertambangan. Tiga tahun berselang, kementerian ESDM menyatakan Flores sebagai ‘pulau panas bumi’. Pernyataan ini tanpa partisipasi publik yang jujur dan adil, khususnya dengan masyarakat di sekitar wilayah panas bumi. Apa yang legal, belum tentu legitim secara demokratis apabila tidak mendengarkan secara tulus suara warga terdampak.

Kedua, pluralitas bukan satu-satunya karakteristik masyarakat modern. Bahkan seringkali dalam proses modernisasi suatu masyarakat, kekhasan tradisi suatu masyarakat dikorbankan. Pluralitas lenyap demi percepatan pembangunan, substitusi energi, perluasan investasi, dan pertumbuhan ekonomi. Relokasi bukanlah kekhasan masyarakat tradisional, melainkan konsep pembangunan modern. Garis batas administratif tidak mampu merangkul bentangan alam, ruang hidup mereka. Tidak mudah bagi masyarakat lokal untuk bercerai dari tanah leluhurnya.

Gampang sekali orang-orang yang mengenyam pendidikan modern mengajari masyarakat lokal tentang arti demokrasi, modernisasi, dan kemajuan teknologi. Tetapi sulit bagi mereka untuk menempatkan diri dalam kondisi di mana masyarakat kehilangan hidup yang layak karena proyek strategis nasional. Kepintaran tanpa empati melahirkan ketidakadilan yang canggih.

Sungguh naif menyamakan proyek panas bumi negara-negara maju dengan negara kita. Tata kelola pemerintahan kita masih sangat korup, malas, dan minim keahlian. Semakin buruk lagi pemerintah memfabrikasi analisis ilmiah dengan menyajikan janji-janji manis, tetapi menyembunyikan dari masyarakat resiko-resiko buruk yang tak diinginkan.

Di antara korban proyek panas ini, Gereja tidak boleh diam. Mereka yang diam bukanlah orang-orang yang tidak mau berpendapat, melainkan warga terdampak buruk, yang diabaikan suaranya. Mereka yang diam adalah juga warga yang mendukung geothermal karena dijauhkan dari informasi tentang resikonya. Keuskupan membantu menyuarakan rintihan mereka, bukan memaksakan suaranya sendiri. Bukan bersuara belaka tanpa mempertimbangkan dimensi sosial, budaya, dan ekonomi.

Di hadapan kekuasaan yang tidak partisipatif, manipulatif, tuli, dan korup, Gereja bukan hanya boleh mengkritisi tata kelola buruk dari proyek panas bumi. Sebagai bagian dari kelompok sosial, ia bahkan berhak dan terpanggil untuk memaksa pemerintah untuk menghentikannya. Resistensi ini bukan berjalan tanpa solusi. Sebab sudah berulangkali Gereja mendorong agar pemerintah lebih fokus pada pariwisata dan pertanian yang bersendikan lokalitas dan ekologis. Masih ada energi alternatif yang lebih minim resiko daripada panas bumi, seperti tenaga air, udara dan surya.

Berempati dan Menolak

Kita mulai dengan laku sederhana dulu. Bubuhkan empati dalam imajinasi kita. Bayangkan diri sendiri berada di sekitar proyek geothermal. Hidup dengan penurunan kualitas air, penyakit kulit, gangguan pernafasan, gagal panen, kualitas  udara memburuk, dan atap rumah yang keropos. Kalau karena saking pintarnya sampai sulit berimajinasi, mungkin memang perlu tinggal sejenak bersama warga terdampak. Tumpul empatinya kalau masih menutup mata terhadap korban.

Kita bisa bertutur manis sekali lagi. Bukan geothermal yang buruk, tetapi tata kelolanya. Iya, betul. Memperbaiki tata kelola berarti memperbaiki prosedur hukum, etos kerja birokrasi dan pengembang, serta mengevaluasi kecacatan pelaksanaan. Perbaikan ini jelas memerlukan proses yang tidak singkat. Sepanjang evaluasi itu, warga yang menjadi korban terus bertambah. Di ujung nasib para korban, setiap waktu menjadi sangat berharga. Saat-saat ini, penolakan lebih urgen daripada menunggu (entah kapan) tata kelola yang ideal menjadi nyata.

Necessitas non habet legem. Berkaitan dengan kehidupan vital, ketaatan pada hukum tidak wajib. Apalagi kalau suatu hukum atau kebijakan lahir dari proses manipulatif dan tidak partisipatif. Merawat kehidupan yang berkelanjutan lebih penting daripada ketaatan pada kebijakan politik yang sepihak. Proyek strategis negara tidak bisa menggantikan kebahagiaan antar generasi. ***

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

3 + four =