Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

Hidup dan Karya-Karya William Ockham

William Ockham lahir di Surrey-Selatan Inggis pada 1288. Ia anggota Ordo Fransiskan dan menempuh pendidikan di London serta Oxford. Pada 1324, Ockham dituduh sebagai bidah (heresy). Oleh karena itu, ia pergi ke Avignon (istana kepausan) dan tinggal di sana selama empat tahun.

Pada waktu itu terjadi kontroversi mengenai kemiskinan apostolik (apostolic poverty), di mana Paus mengambil posisi kritis ketika berhadapan dengan doktrin kemiskinan yang diajarkan para Fransiskan. Selanjutnya, pada 26 Mei 1328, Ockham dan para Fransiskan lainnya melarikan diri ke istana Louis Bavaria. Karena dikucilkan, Ockham tinggal di Munich-Jerman Selatan di bawah perlindungan kaisar sampai ia meninggal (1347).

Pada periode 1320, Ockham menulis sejumlah karya, yaitu Commentary on the Sentence, Summa Logicae, komentar mengenai Fisika Aristoteles, On Predestination and Future Contingents, Quodlibetal Disputations, dan risalah mengenai Ekaristi. Ketika berada di Jerman ia menulis De Imperatorum et Pontificium Potestate, Dialogus, dan Opus Nonaginta Dierum. Melalui karya-karya tersebut, Ockham menegaskan batas-batas antara dunia sekuler dan religius.

Ockham dikenal melalui gagasannya mengenai pisau cukur Ockham (Ockham’s razor). Terkait pisau cukur Ockham, Rik Van Nieuwenhove menegaskan, beings are not to be multiplied beyond necessity. Karena tidak ada pluralitas yang harus diasumsikan, kecuali dapat dibuktikan melalui akal budi, pengalaman, dan otoritas yang memadai.

Perlu diketahui bahwa Ockham menjunjung tinggi prinsip kesederhanaan (parsimony) dalam karya-karya yang dikerjakannya. Tidak seperti para pendahulunya pada abad XIII, Ockham menggunakan pendekatan empiris. Selain itu, ia meyakini bahwa akal budi dan pengalaman (reason and experience) dapat berbenturan dengan kebenaran yang diungkapkan (revealed truth).

Gagasan William Ockham Mengenai Nominalisme

Ockham menentang gagasan realisme dari para pemikir abad XIII seperti Thomas Aquinas, Bonaventura, dan Yohanes Duns Scotus. Mereka adalah para pewaris alam pikiran realisme Plato dan Aristoteles yang meyakini bahwa yang universal pada dasarnya real serta menjadi basis pengetahuan universal (universal knowledge). Terkait hal ini, Ockham menyebut kategori universal sebagai nama atau konsep universal (universal names or concepts).

Menurut Ockham, segala sesuatu yang tidak tergantung pada akal budi bersifat partikular. Hanya sesuatu yang partikular yang ada dalam kenyataan. Oleh karena itu, universalitas merupakan ciri pemaknaan, tidak mengacu pada status ontologis tertentu. Dengan kata lain, universalitas adalah ciri tindakan kognitif dan tidak mengacu pada sesuatu yang berada di luar akal budi. Misalnya, Rose dan Henry adalah manusia. Berdasarkan kalimat tersebut, manusia adalah nama mental (mental name/nomen mentale).

Jika yang universal sekadar nama dan tidak mempunyai status ontologis, bagaimana menjelaskan kesamaan di antara dua hal, misalnya Plato dan Socrates? Karena Plato dan Socrates lebih mempunyai kesamaan daripada Plato dan keledai. Seorang realis tidak mengalami kesulitan untuk memahami dan menjelaskan kesamaan antara Plato dan Socrates, keduanya mempunyai ciri kemanusiaan yang universal.

Ketika Ockham mengemukakan bahwa kemanusiaan sebagai sesuatu yang bersifat universal sekadar nama, bagaimana ia menjelaskan kesamaan antara pribadi manusia yang berbeda? Menanggapi pertanyaan tersebut, Ockham menerapkan prinsip kesederhanaan. Misalnya, Plato dan Socrates sama, bukan karena keduanya memiliki kesamaan seperti sifat universal, tetapi karena keduanya memang sama.

Epistemologi William Ockham

Gagasan Scotus mengenai haecceitas memberikan status kepada setiap pribadi sesuai dengan partikularitasnya. Ockham mengikuti gagasan Scotus dan menegaskan bahwa hanya ada sesuatu yang bersifat partikular. Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana cara memperoleh pengetahuan universal? Untuk memahami jawaban Ockham, akan diuraikan terlebih dahulu secara singkat epistemologi Thomas.

Menurut Thomas, ketika indera (mata) manusia dipengaruhi oleh sesuatu (anjing), maka ia akan menerima konfigurasi warna dan bentuk tertentu. Terkait hal ini, kekuatan kognitif (phantasia) menerima sesuatu yang masuk ke dalam akal budi melalui indera dan mengubahnya menjadi fantasi. Akal budi kemudian mengabstraksikan sesuatu yang universal tersebut berdasarkan fantasi dan melihat atau mengenali sesuatu yang dimaksudkan, yaitu anjing.

Berdasarkan uraian di atas, kekuatan argumentasi Thomas yaitu kemampuannya menjelaskan bagaimana sesuatu yang terpahami dapat ditarik dari bentuk universal menjadi realitas individual. Sedangkan Ockham menolak segala sesuatu yang bersifat universal. Karena ia memegang keyakinan bahwa tidak ada sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai “abstrak” atau pengetahuan universal.

Implikasi Nominalisme dan Epistemologi William Ockham pada Teologi

Menurut Ockham, alam semesta (universe) terdiri dari berbagai macam benda partikular (monad) yang tidak berhubungan satu sama lain. Oleh karena itu, ia menafsirkan relasi sebab-akibat berdasarkan kerangka urutan yang teratur, bukan pada relasi intrinsik. Akibatnya, eksistensi Allah Yang Esa (the existence of the one God) tidak dapat dibuktikan.

Ockham menyarankan supaya eksistensi Allah dibuktikan dengan mengacu pada kekekalan (conservation) daripada kausalitas efisien. Karena ketidakterbatasan aktual segala sesuatu yang berbeda dan yang ada secara bersamaan pada dasarnya tidak mungkin. Terkait hal ini, gagasan Ockham mengenai yang universal tidak selaras dengan teologi Allah Tritunggal. Jika kodrat Yang Ilahi sekadar nama atau konsep, maka Ia tidak memiliki realitas ontologis.

Ockham menolak alam pikiran Kristen Latin tradisional yang berciri Neo-Platonis. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Ockham juga menolak idea Yang Ilahi. Alam pikiran Neo-Platonisme Kristen memungkinkan sejumlah pemikir seperti Agustinus, Eriugena, Victorines, dan Bonaventura memperdebatkan pandangan dunia sakramental (sacramental world-view), di mana ciptaan memanifestasikan Yang Ilahi.

Jika yang universal tidak memiliki status ontologis, maka idea Yang Ilahi tidak dimungkinkan. Menurut Ockham, ciptaan bukan manifestasi Yang Ilahi. Karena ciptaan adalah ciptaan pada dirinya. Hal ini selaras dengan minimalisme epistemologinya. Karena Ockham meyakini bahwa ketika Allah menciptakan segala sesuatu, Ia tidak memikirkan sesuatu yang bersifat universal dan idea Yang Ilahi. Allah hanya memikirkan ciptaan-Nya. Sehingga doktrin Kristen mengenai kebebasan dan kemahakuasaan Yang Ilahi pada dasarnya berbahaya.

Menurut Scotus, menjaga kemahakuasaan dan kebebasan Yang Ilahi merupakan sesuatu yang penting. Terkait hal ini, Ockham membedakan antara kekuatan mutlak dan kuasa Allah. Pada abad XIII pembedaan tersebut merupakan sesuatu yang lumrah. Sebagaimana dikemukakan Thomas, kekuatan mutlak mengacu pada segala sesuatu yang mungkin dilakukan Allah. Sedangkan kuasa menakdirkan mengacu pada kuasa Yang Ilahi. Misalnya, menghukum orang-orang Mesir atau membangkitkan Lazarus dari kematian merupakan kuasa yang ditetapkan oleh Allah.

Mengikuti Scotus, Ockham menafsirkan kekuatan mutlak dan kuasa menakdirkan dalam istilah yang lebih legalistik. Menurut Scotus, kuasa menakdirkan mengacu pada tindakan yang sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan. Sedangkan kekuatan mutlak mengacu pada kemungkinan bertindak di luar hukum yang telah ditetapkan. Perbedaan tersebut harus dipahami sebagai kekuatan untuk melakukan sesuatu (power to do something).

Gagasan Ockham mengenai perbedaan antara kekuatan mutlak dan menakdirkan berbeda dengan pemikiran Thomas. Menurut Thomas, Allah menentukan sesuatu yang jumlahnya tidak terbatas. Oleh karena itu, kuasa menakdirkan tidak tergantung pada kekuatan mutlak. Ketika Allah menentukan pilihan, Ia memperoleh finalitas. Dengan demikian, kuasa yang ditetapkan Allah tidak dapat berubah.

Ockham menegaskan bahwa kemungkinan kekuatan mutlak Allah meluas ke dalam kuasa menakdirkan. Karena ada banyak hal yang sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan yang dapat dilakukan Allah, tetapi Ia tidak melakukannya. Sebagaimana dikemukakan Scotus dan Ockham, kuasa yang ditetapkan Allah dapat berubah. Dengan kata lain, Allah dapat mengeluarkan hukum moral baru (issue new moral laws).

Menurut Ockham, manusia melalui kekuatan mutlak Allah dapat diselamatkan tanpa harus mengejawantahkan amal kasih. Namun, realitas memperlihatkan bahwa apabila manusia tidak melakukan amal kasih, ia tidak akan diselamatkan. Berhadapan dengan persoalan tersebut, Ockham mengemukakan bahwa Allah dengan bebas mengasihi siapa saja yang ingin ia kasihi. Hal ini tampak seperti cara pandang kaum Pelagian. Selain itu, Allah terlihat bertindak sewenang-wenang (act arbitrarily).

Terkait Ekaristi, Ockham setuju dengan Petrus Lombardus bahwa hakikat roti dan anggur tetap dan berdampingan dengan Tubuh dan Darah Kristus. Hal ini ia pandang lebih masuk akal daripada gagasan mengenai transubstansiasi dalam Ekaristi, di mana hakikat roti dan anggur tidak ada lagi, yang ada hanyalah Tubuh dan Darah Kristus.

Ockham mengemukakan bahwa teologi bukan ilmu. Karena Allah bukan objek pengamatan empiris (empirical observation). Selain itu, pernyataan teologis harus didasarkan pada iman, bukan pada pengetahuan. Dengan kata lain, teologi tidak dapat disebut sebagai sains. Terkait hal ini, Thomas dan Ockham menerima gagasan bahwa teologi didasarkan pada wahyu (revelation). Ketika Thomas memperdebatkan status ilmiah teologi, Ockham menolaknya. Karena status ilmiah teologi terletak pada iman.

Catatan Kritis

Ockham dipandang menghancurkan metafisika. Ia mengganti sistem teologi Abad Pertengahan dengan gagasan mengenai nominalisme dan fideisme. Dalam nominalisme, ada pada dasarnya bersifat individual, bukan universal. Sedangkan fideisme merupakan suatu paham yang meyakini bahwa tidak ada pengetahuan mengenai Allah (there is no knowledge of God). Hal ini menunjukkan bahwa Ockham mempunyai pendirian yang berbeda dengan tokoh seperti Aquinas dan Scotus. Terkait pengetahuan, mereka memandang sesuatu yang universal penting.

Perlu diketahui bahwa metafisika merupakan ilmu tentang keberadaan (the science of being) dan ilmu tentang Allah (the science of God). Terkait hal ini, Ockham juga mengembangkan metafisika. Ia merupakan pemikir yang cerdas dan berani serta layak diakui telah memberikan kontribusi dalam sejarah filsafat. Ketika mengemukakan suatu gagasan, Ockham sangat hati-hati. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari persoalan yang lebih dalam dengan Paus.

Seorang nominalis pada hakikatnya mempunyai ontologi mengenai sesuatu yang ada. Allah merupakan salah satu bagian dari ontologi Ockham. Tetapi fideisme Ockham menimbulkan skeptisisme religius. Ockham disebut sebagai fideis karena ia adalah seorang empiris. Manusia hanya memiliki pengetahuan mengenai segala sesuatu yang dialaminya di dunia. Dengan kata lain, manusia tidak mempunyai pengetahuan mengenai Allah, karena ia tidak mengalami Allah.

Berhadapan dengan situasi dan kondisi yang sangat terbatas, manusia berupaya sedemikian rupa berbicara mengenai alam semesta dan Allah. Dalam bahasa Ockham, manusia harus membuat konsep mengenai Allah. Upaya manusia tersebut memungkinkan terjadinya metafisika. Hal ini merupakan bukti bahwa Ockham menumbuhkan dan mengembangkan metafisika, membicarakan eksistensi Allah. Akhirnya, eksistensi Allah terbangun melalui kejelasan yang terus meningkat dalam metafisika menuju suatu bentuk yang penuh dalam teologi.

Sumber Bacaan:

Kaye, Sharon Marie. “Book Review: William of Ockham of Metaphysics.” British Journal for the History of Philosophy. Vol. 21, No. 4 (2013), hlm. 798-800.

Nieuwenhove, Rik Van. An Introduction to Medieval Theology. Cambridge: Cambridge University Press, 2012.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here